Anda di halaman 1dari 13

ILMU ASHWAT

FONOLOGI DAN FONETIK


Makalah disusun untuk memenuhi syarat tugas mata kuliah Ilmu Ashwat

Dosen: Muhammad Hasyim, MA


Disusun oleh: Efri Anzani (19310117)

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS HUMANIORA

UNIVERSITAS UIN MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG
2020

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fonologi adalah bidang linguistic yang mempelajari, menganalisis, dan menelaah


rangkaian bunyi-bunyi bahasa. Secara etimologi fonologi terbentuk dari kata fon
bermakna bunyi, dan logi bermakna ilmu. Fonologi berbeda dengan fonetik, yang
mempelajari bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa di realisasikan atau di
lafalkan. Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia, terutama yang
berhubungan dengan penggunaan bahasa.

Objek studi fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Fonetik merupakan
cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah
bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Jenis
fonetik bersumber pada sudut pandang bunyi bahasa yaitu fonetik organis, fonetik
akustis, dan fonetik auditoris. Sedangkan fonemik merupakan cabang studi fonologi
yang mempelajari bunyi bahasa dengan menilik fungsi bunyi tersebut sebagai
pembeda makna bunyi-bunyi yang merupakan unsur-unsur bahasa terkecil dari bagian
struktur kata sekaligus berfungi untuk membedakan makna.

B. Rumusan Masalah

Terdapat beberapa rumusan masalah yang akan kita bahas pada makalah ini. Berikut
ini merupakan hal-hal yang akan kita bahas:

1. Apakah yang dimaksud dengan fonologi?


2. Apakah yang dimaksud dengan fonetik?
3. Apa sajakah macam-macam fonologi?
4. Apakah bedanya fonetik dan fonemik?
5. Apakah jenis-jenis dari fonetik?

C. Tujuan

Dalam penulisan makalah memiliki sebuah tujuan. Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah:

1. Untuk memenuhi salah satu tugas akhir mata kuliah Ilmu Ashwat.
2. Untuk mengetahui dan memahami fonologi.
3. Untuk memahani perbedaan antara fonologi, fonetik, dan fonemik.
4. Untuk mengetahui manfaat unsur-unsur terjadinya bunyi.

D. Manfaat

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah:

1. Menambah ilmu pengetahuan


2. Meningkatkan intelektualitas dan menambah pendalaman penghayatan keilmuan
3. Dari makalah ini kita bisa mengetahui lebih lanjut tentang fonologi, fonetik, dan
fonemik.
4. Mengetahui dan memahami tentang bunyi bahasa dan yang bukan.
5. Mengetahui lebih jelas bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan dalam
menghasilkan bunyi-bunyi bahasa.

BAB II

A. FONOLOGI

1. Kajian Fonologi

Fonologi mempelajari bunyi bahasa secara umum dan fungsional. Menurut


Abd Chaer dalam bukunya “linguistic umum” (2012:102), fonologi ini secara
etimologi merupakan kata yang dibentuk dari kata “fon” yang berarti “bunyi”
dan “logi” yang berarti “ilmu”. Sederhananya fonologi merupakan ilmu yang
mempelajari bunyi bahasa pada. Menurut Kridalaksana (1995: 57) Fonologi
adalah bagian dalam linguistic yang menganalisis bunyi-bunyi bahasa
berdasarkan fungsinya.

Menurut sumber di atas dapat disimpulkan bahwa fonologi adalah bidang


linguistic atau ilmu bahasa yang mempelajari, menganalisis, dan
membicarakan rentetan bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh indra
pengucapan manusia beserta fungsinya.

2. Macam-macam Fonologi

Fonetik

Bidang linguistic yang mempelajari bunyi bahasa tanpa


memperhatikan apakah bunyi tersebut memiliki fungsi sebagai pembeda atau
tidak di sebut dengan fonetik.

B. FONETIK
A. Jenis-jenis Fonetik

Dalam proses terjadinya bunyi bahasa, fonetik terbagi enjadi 3 bagian, yaitu:
Fonetik articulatoris, Fonetik akustik, dan Fonetik auditoris

1. Fonetik Artikulatoris

Disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari mekanisme alat-
alat ucap bekerja menghasilkan bunyi serta bagaimana bunyi itu diklasifikasikan.
Untuk menghasilkan bunyi bahasa pembahasannya meliputi alat-alat ucap yang
digunakan, mengenai kategori bunyi bahasa yang dihasilkan serta criteria apa
yang digunakan mengenai syllable dan juga mengenai partikel atau ciri-ciri
suprasegmental, seperti tekanan, jeda, durasi, dan nada.

2. Fonetik Akustik

Ilmu yang mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fenomena alam atau fisis
disebut dengan fonetik akutik, dan di selidiki dari frekuensi getaran, timbre dan
amplitudonya. Yang dipelajari pada fonetik ini adalah saat bunyi bahasa
merambat diudara. Kecepatannya ketika merambat diudara dan gelombang bunyi
frekuensinya, intensitas bunyi, tekanan, dan spectrum. Juga mengenai pengukuran
akustik, akustik produksi bunyi, resonansi, serta skala desible. Meskipun linguistic
memiliki peran didalamnya, tetapi pembahasan ini lebih mengarah pada ilmu
fisika

3. Fonetik Auditoris

Ilmu yang mempelajari suaru bunyi yang diterima oleh telinga adalah bagian dari
jenis fonetik auditoris. Ia membahas struktur, persepsi gelombang dan fungsi alat
dengar. Jenis ini lebih berkaitan dengan dunia kedokteran

Dari jenis-jenis diatas yang paling berhubungan dengan dunia linguistic adalah
Fonetik artikulatoris, ia berkaitan dengan bagaimana sebuah bunyi bahasa
diucapkan oleh manusia atau bagaimana bunyi bahasa itu bisa dihasilkan.
Hubungan ketiga fonetik tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Pembagian Fonetik
B. System Produksi Bunyi Bahasa

terdapat 3 bagian penting di dalam tubuh manusia yang membantu bunyi


bahasa itu terproduksi, yaitu paru-paru sebagai sumber udara, pangkal
tenggorokan (larynx) tempat pita suara (vocal cord/vocal fold) sebagai sumber
suara, dan dikeluarkan dari rongga mulut yang juga filter melalui rongga
hidung.

a. Paru-paru (lung)
karena berfungsi sebagai sumber udara, paru-paru menjadi salah satu
organ penting sumber bunyi bahasa yang digunakan seluruh dunia. Ketika
mengucapkan sesuatu, dibutuhkan tekanan udara yang cukup dan tetap
maka paru-paru akan memompa udara yang dibutuhkan. Yang membantu
tekanan udara itu tercukupi dan tetap adalah otot disekitar tulang rusuk dan
diafragma, agar udara yang keluar mulai bergetar, maka dibutuhkan
sebuah penyempitan tertentu.

b. Pangkal Tenggorokan (larynx)


Pangkal tenggorokan terdiri dari empat partikel, yaitu tulang rawan
krikoid, tulang rawan ariteniod, sepasang pita suara, dan tulang rawan
tiroid.

karena dapat membuka dan menutup, tenggorokan memiliki fungsi sebagai


jalan keluarnya udara dari paru-paru. Bunyi vocal akan terbentuk jika
rongga tenggorokan terbuka, begitup sebaliknya akan membentuk
konsonan jika rongganya menutup.

c. Pita Suara (voval cords)


Otot aritenoid adalah system pengaturan keluarnya bunyi dari pita suara.
Pita suara bagian depan mengait pada tulang rawan tiroid, dan pita suara
bagian belakang mengait pada tulang rawan aritenoid. Pita suara dapat
terbuka luas atau tertutup, fungsinya sebagai katup yang mangatur
jalannya udara dari paru-paru ketika melalui tenggorokan.

Karena membuka dan menutup pita suara menciptakan glottis. Terdapat 4


posisi glottis, yaitu membuka lebar, membuka, menutup, dan menutup
rapat. Proses bergetarnya ini disebut proses fonasi. Pada dasarnya glottis
terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu bunyi yang bersuara (voiced
sounds), bunyi nirsuara (voiceless sounds), dan bunyi berbisik (whisper).

Voiced sounds berfungsi untuk menghasilkan voicing dengan cara


menyempitkan pita suara sehingga udara yang keluar bergetar. Ini didapat
saat kita mengucapkan bunyi-bunyi bersuara (b, d, g, c, dan z).
Voiceless sounds berfungsi untuk membuat suara mengalir bebas tanpa
adanya getaran dengan cara menarik pita suara agak lebar dan membentuk
celah. Bunyi-bunyi yang dihasilkan tanpa getaran ( p, t, k, dan s)

Whisper mengahsilkan bunyi berbisik yang disebabkan oleh bagian depan


pita suara menyempit dan bagian belakangnya melebar.

C. Terjadinya Bunyi
a. Paru-paru merupakan sumber energy utama yang menghasilkan bunyi
bahasa karena memproduksi udara.
b. Ketika sedang bernafas udara yang dihirup ke dalam paru paru
dihembuskan secara bersamaan.
c. Bunyi bahasa terjadi karena mendapat hambatan di beberapa tempat ketika
udara dihembuskan atau dihirup.
d. Tempat atau alat yang dilewati di antaranya batang tenggorokkan, pangkal
tenggorokkan, kerongkongan, rongga mulut, dan rongga hidung.
e. Pita suara harus dalam keadaan terbuka saat udara mengalir keluar.
f. Bunyi bahasa tidak akan terjadi jika pada alat bicara bunyi bahasa tidak
mengalami hambatan udara

D. Alat Ucap
Bunyi-bunyi bahasa manusia dihasilkan oleh alat-alat ucap, yaitu mulut dan
partikelnya, serta kerongkongan dengan pita suara di dalamnya. Dibawah ini
terdapat gambar dan nama-nama dari alat ucap tersebut.

Gambar Alat Ucap

E. Klasifikasi Bunyi
1. Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam saluran
suara.
a. Tidak ada artikulasi pada pembentukan vocal, vocal juga merupakan
bunyi bahasa yang tidak mengalami rintangan.
b. Pada konsonan terdapat artikulasi, pada bagian alat ucap terdapat
hambatan arus udara yang membentuk bunyi konsonan.
c. Bunyi semi-vokal secara praktis termasuk konsonan, namun belum
membentuk konsonan murni saat diartikulasikan.

2. Berdasarkan jalan keluar arus udara.


a. Bunyi nasal, menghasilkan bunyi dengan cara membiarkan udara
keluar melalui rongga hidung dengan cara menutup arus udara dari
rongga mulut.
b. Bunyi oral, arus udara keluar melalui rongga mult dan menghasilkan
bunyi dengan cara mengangakat ujung anak tekak mendekati langit-
langit lunak untuk menuju rongga hidung.

3. Berdasarkan ada tidaknya ketegangan arus udara saat bunyi


diartikulasikan.
a. Bunyi keras (fortis), yaitu bunyi bahasa yang pada waktu di
artikulasikan disertai ketegangan kuat arus.
b. Bunyi lunak (lenis), yaitu bunyi yang pada waktu di artikulasikan tidak
disertai ketengan kuat arus.

4. Berdasarkan lama bunyi pada waktu diucapkan atau diartikulasikan


a. Bunyi panjang
b. Bunyi pendek

5. Berdasarkan derajat kenyaringannya


Bunyi dibedakan menjadi bunyi nyaring dan bunyi tak nyaring. Besar atau
luasnya resonansi pada saat bunyi diucapkan menjadi penentu besarnya
derajat kenyaringannya. Makin luas ruang resonansi saluran bicara waktu
membentuk bunyi, makin tinggi derajat kenyaringannya. Begtiu pula
sebaliknya.

6. Berdasarkan perwujudannya dalam suku kata


a. Bunyi tunggal: bunyi yang berdiri sendiri dalam satu suku kata
b. Bunyi rangkap: dua bunyi atau lebih yang terdapat dalam satu suku
kata. Terdiri dari:
 Diftong (vocal rangkap): ai, au, dan oi
 Klaster (gugus konsonan): pr, kr, tr, dan bl

7. Berdasarkan arus udara


a. Bunyi egresif: dibentuk dengan mengeluarkan arus udara dari dalam
paru-paru. Dibedakan menjadi:
 Bunyi egresif pulmonik: mengecilkan ruang paru-paru, otot
perut dan rongga dada.
 Bunyi egresif glotalik: merapatkan pita suara sehingga glottis
dalam keadaan tertutup.

b. Bunyi ingresif: dibentuk dengan cara menghisap udara ke paru-paru.


Dibedakan menjadi:
 Ingresif glotalik: pembentukannya sama seperti agresif glotalik
tetapi berbeda pada arus udara
 Ingresif velarik: menaikkan pangkal lidah ditempatkan pada
langit-langit lunak.
Kebanyakan bunyi bahasa Indonesia merupakan bunyi egresif

a. Pembentukan Vokal, Konsonan, Diftong, dan Kluster


1. Pembentukan Vokal
Vocal dibedakan pada tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak,
bentuk bibir, dan strukturnya. Jenis-jenis vocal berdasarkan pembentukannya,
yakni:
a) Berdasarkan bentuk bibir: vocal bulat, vocal netral, dan vocal tak bulat.
b) Berdasarkan tinggi rendahnya lidah: vocal tinggi, vocal madya (sedang),
dan vocal rendah.
c) Berdasarkan bagian lidah yang bergerak: vocal depan, vocal tengah, dan
vocal belakang.
d) Berdasarkan strukturnya: vocal tertutup, vocal semi-tertutup, vocal semi-
terbuka, dan vocal terbuka.

2. Pembentukan Konsonan
Konsonan terbentuk berdasarkan 4 factor, yaitu daerah artikulasi, cara
artikulasi, keadaan pita suara, dan jalan keluarnya udara.
Berikut klasifikasi konsonan tersebut:
a) Berdasarkan daerah artikulasi: konsonan bilabial, labio dental, apikodental,
apikoalveolar, palatal, velar, glottal, dan laringal.
b) Berdasarkan cara artikulasi: konsonan hambat, frikatif, getar, lateral, nasal,
dan semi-vokal.
c) Berdasarkan keadaan pita suara: konsonan bersuara dan konsonan tak
bersuara.
d) Berdasarkan jalan keluarnya udara: konsonan oral dan konsonan nasal.

3. Pembentukan Diftong
Diftong adalah dua buah vocal yang berdampingan dan pada saat diucapkan
bunyinya berubah. Perbedaan vocal dengan diftong adalah terletak pada cara
hembusan nafasnya.
Diftong dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
a) Diftong au pengucapan: [aw] => [harimau] dari kata harimau
b) Diftong ai pengucapan: [ay] => [pantay] dari kata pantai
c) Diftong oi pengucapan [oy] => [asoy] dari kata asoi

4. Pembentukan Kluster
Gugus kluster adalah deretan konsonan yang terdapat bersama satu suku kata.
a. Gugus konsonan pertama: /b/,/d/,/g/, /k/, /p/, /s/ dan /t/.
b. Gugus konsonan kedua: /l/, /r/, dan /w/.
c. Gugus konsonan ketiga: /k/, /m/, /n/, dan /s/.
d. Gugus konsonan keduanya adalah konsonan literal /l/, misalnya:
1. pl [pleno] pleno
2. bl [blanko] blanko
3. Dan begitu seterusnya hingga konsonan kedua /r/ dan /w/
e. Jika ketiga konsonan berderet, maka konsonan pertama selalu /s/, yang
kedua /t/, /p/ dan /k/ dan yang ketiga adalah /r/ atau /l/. Contohnya:
1. spr [sprey] sprei
2. skr [skripsi] skripsi
3. skl [sklerosis] sklerosis

F. Unsur Suprasegmental
Arus ujaran merupakan suatu rentetan bunyi yang bersambung-sambung terus-
menerus diselingi jeda singkat atau jeda agak singkat, disertai dengan kertas
lembut bunyi, tinggi rendah bunyi, panjang pendek bunyi, dan sebagainya.
Terdapat bunyi yang bisa di segmentasikan, sehingga disebut bunyi segment
namun yang berkenaan dengan keras lembut, panjang pendek dan jeda bunyi
tidak bisa di segmentasikan.
Bunyi atau unsur suprasegmental itu dibedakan atas:

a. Nada dan Intonasi


Nada berhubungan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Suatu bunyi
terdengar bernada tinggi apabila suatu bunyi segmental diartikulasikan
dengan frequensi getaran yang tinggi, begitupun sebaliknya. Di dalam
bahasa Indonesia, nada tidak bersifat fonemis tidak juga bersifat morfemis.
Tetapi, ada bahasa-bahasa yang memang melibatkan nada yang bersifat
begitu.

Nada bisa bersifat morfemis dalam bahasa yang memiliki nada. Artinya,
perbedaan nada bisa membedakan makna. misal bahasa Mandarin,
Thailand, dan Vietnam yang merupakan bahasa tonal atau bahasa bernada

b. Durasi
Durasi berhubungan dengan panjang atau pendeknya pembunyian suatu
bunyi segmental. Bahasa Arab dan Jepang merupakan bahasa yang
menyertakan durasi sebagai pembeda maknanya.

c. Jeda dan Tekanan


Chaer menyebutkan jeda sebagai persendian sebab memang pada jeda
itulah terjadinya persambungan antara segmen yang satu dengan segmen
yang lain. Jeda bisa bersifat penuh dan juga sementara. (Abdul Chaer.
2003: 122)

Sendi dalam “internal juncture” merupakan sendi yang menunjukan batas


antara satu syllable dengan syllable lain. Ketika dilambangkan secara
ortografis, sendi dalam dilambangkan dengan tanda “+”. Misal lari terdiri
dari la+ri.

Sendi luar memperlihatkan batas yang lebih luas daripada suku kata.
Pembedanya antara lain:
1. Jeda antar kata pada frasa diberi tanda garis miring tunggal ( / )
2. Jeda antar frasa pada klausa diberi tanda garis miring ganda ( // )
3. Jeda antar kalimat pada wacana diberi tanda ( # )

Pada salah satu bunyi bahasa tekanan merupakan penguat atau pengeras
artikulasi. Dalam bahasa Indonesia tekanan pada pemberian bunyi bahasa
tertentu tidak bersifat distingtif. Tetapi, pada tataran kalimat bisa
mengakibatkan perbedaan makna. Misal ketika mengucapkan kata “Nak”.
Jika kata tersebut diucapkan tanpa tekanan, ucapan itu dapat berupa sapaan
atau panggilan. Tetapi, jika diberi tekanan yang lebih kuat, maka ucapan
itu akan menjadi teguran atau bahkan hardikan pada si anak yang di
panggil/disapa.

d. Silabel atau Suku Kata


Merupakan suatu ritmis terkecil dalam suatu arus ujaran atau rentetan
bunyi ujaran. Satu silabel biasanya diikuti oleh satu vokoid dan satu
kontoid atau lebih. (Abdul Chaer, 2003: 123)

Kontoid yang posisinya mengawali silabel disebut onset sedangkan


kontoid yang mengahiri silabel disebut koda. Diantara onset dan koda
terdapat sebuah inti silabel yaitu nukles. Nukles adalah bagian silabel
yang memiliki puncak kenyaringan tertinggi.

Kenyaringan tertinggi itu biasanya terletak pada sebuah vokoid.


Kenyaringan yang menjadi puncak silabel itu terjadi disebabkan oleh
adanya ruang resonansi berupa rongga mulut, rongga hidung, atau rongga-
ronggalain di kepala dan dada. Bunyi vokoid menjadi bunyi yang paling
nyaring dalam satu silabel karena bunyi vokoid menggunakan ruang
resonansi tersebut secara maksimal.

Meskipun bunyi vokoid hampir selalu menjadi kenyaringan tertinggi


dalam suatu silabel, tidak menutup kemungkinan bahwa kontoid pun bisa
menjadi puncak kenyaringan juga. Maka dari itu, pada kasus tersebut,
kontoid menjadi inti/nukles silabel.

Penentuan batas silabel sebuah kata kadang sulit ditentukan karena batas
tersebut bukan hanya sebuah problematika fonetik saja tetapi juga soal
fonemik morfologi, dan ortografi. Sebagai contoh kata makan, kata
tersebut dapat diurai menjadi “ma” dan “kan”, namun kata makanan yang
kata dasarnya makan ma+kan dan sufiks –an diurai menjadi ma, ka, dan
nan. Maka, koda pada silabel kan pada kata makan berubah tempat
menjadi onset pada silabel nan pada kata makanan secara ortografi dan
menurut ketentuan ejaan bahasa Indonesia, silabelnya adalah ma, kan, dan
an dalam pemenggalan suku kata. Bentuk dasar harus utuh dan dipisahkan
dari konstituen morfem terikat.

Mengenai kontoid tak bersuara yang menjadi puncak silabel, Verhaar


(2004: 60) memberi contoh kata sepakat. Sejatinya, kata tersebut terdiri
dari tiga silabel, se, pa, dan kat. Namun, kata sepakat dalam pengucapan
sehari-hari cenderung diucapkan tanpa bunyi “e” pada silabel pertama dan
menjadi “spakat”. Dengan begitu “s” merupakan satu-satunya anggota
suku kata pertama.

C. Fonemik

Fonemik dapat diartikan sebagai satuan bahasa terkecil yang bersifat


fungsional, yang memiliki fungsi sebagai pembeda makna. Jika sebuah bunyi
dapat membedakan makna maka itu disebut sebagai fonem.

Dalam hal ini, diperlukan adanya fonemisasi yang ditujukan pada


makna tersebut. Dengan demikian fonemisasi itu bertujuan sebagai penentu
struktur fonemik sebuah bahasa, dan membuat ortografi yang praktis.

Untuk mengetahui sebuah bunyi fonem atau bukan, dibutuhkan sebuah


satuan bahasa yang biasanya terdiri dari sebuah kata yang mengandung bunyi
tesebut. Sekurang-kurangnya terdapat empat premis untuk mengenali sebuah
fonem, yaitu:

a. Bunyi bahasa dipengaruhi lingkungannya


b. Bunyi bahasa itu simetris
c. Bunyi bahasa yang secara fonetik mirip, harus digolongkan ke
dalam kelas fonem yang berbeda
d. Bunyi bahasa yang bersifat komplementer harus dimasukkan ke
dalam kelas fonem yang sama.
Dapat disimpulkan bahwa fonemik merupakan ilmu yang mempelajari
fungsi bunyi bahasa sebagai pembeda makna kata, misalnya: (l),(a),
(b),(a) dan (r),(a),(b),(a), keduanya mirip dan memiliki 4 buah bunyi
dan hanya berbeda dibunyi yang pertama yaitu l dan r.

a. Realisasi Fonem

Realisasi fonem sebenarnya ciri atau satuan fonologis, yakni fonem menjadi bunyi
bahasa. Realisasi fonem erat kaitannya dengan variasi fonem. Secara segmental,
fonem dibedakan oleh vocal dan konsonan.

b. Variasi Fonem

Variasi fonem adalah bentuk manifestasi bersyarat maupun tidak dari fonem.
Bentuk variasi suatu fonem yang ditentukan oleh lingkungannya dalam distribusi
yang komplementer disebut varian alofonis atau alofon.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Fonologi adalah cabang ilmu bahasa (linguistic) yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa, proses
terbentuknya dan perubahannya. Fonologi mengkaji bahasa secara umum dan fungsional.

Kajian fonetik terbagi atas klasifikasi bunyi yang kebanyakan bunyi bahasa Indonesia
merupakan bunyi egresif. Dan yang kedua pembentukan vocal, konsonan, diftong dank
luster.

Untuk menemukan bunyi-bunyi yang berfungsi dalam rangka pembedaan, diperlukan adanya
fonemisasi pada kajian fonetik. Dengan demikian fonemisasi itu berujuan untuk menentukan
struktur fonemis sebuah bahasa dan membuat ortografis yang praktis atau ejaan sebuah
bahasa.

DAFTAR PUSTAKA
1. Chaer, Abdul. (2012). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
2. Hasan, Alwi, dkk. (2003). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
3. Misdan, Undang. (1980). Bahasa Indonesia Pelajaran Bahasa II. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
4. Husen, Akhlan, dan Yayat Sudaryat. (1996). Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
5. Muchlisoh, dkk. (1992). Pendidikan Bahasa Indonesia 3. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
6. Resmini, Novi. (2006). Kebahasaan (Fonologi, Morfologi, dan Semantik). Bandung:
UPI Press.

Anda mungkin juga menyukai