Anda di halaman 1dari 7

PEMBAKUAN BAHASA(STANDARISASI)

PEMBAKUAN BAHASA(STANDARISASI)

1. PERENCANAAN BAHASA
Perencanaan bahasa adalah perubahan bahasa yang disengaja, yaitu perubahan dalam
sistem-sistem kode bahasa atau ujaran atau kedua-duanya yang direncanakan oleh organisasiorganisasi yang didirikan untuk tujuan itu. Perencaan bahasa mengacu pada seperangkat kegiatan
yang disengaja, dirancang secara sistemik untuk mengorganisir dan mengembangkan sumbersumber bahasa dalam waktu yang direncanakan (Alwasilah, 1986: 106-107).
Jenis-jenis perencanaan bahasa
Perencanaan bahasa dibedakan menjadi empat dan dikaitkan dengan proses perencaan itu
sendiri. Keempat jenis itu adalah sebagai berikut:
1. Pembentukan Kebijaksanaan Bahasa
Yaitu bila masalahnya adalah pemilihan kode diantara ragam-ragam bahasa yang bersaing
untuk berbagi fungsi nasional. Misalnya: (1) keputusan perintah malaysia untuk menggunakan
bahasa melayu sebagai bahasa pengantar pengajaran pada sekolah-sekolah negeri, (2) undangundang atau peraturan pemerintah Amerika tentang pendidikan bilingual bagi mahasiswa dan (3)
penentuan bahasa hindi sebagai bahasa resmi India (Alwasilah, 1986: 115).
2. Kodifikasi
Yaitu bila masalahnya mencari stabilisasi dalam variabilitas regional dan sosiolinguistik.
Ada dua cara yang ditempuh dalam proses itu: (a) mengangkat satu variasi dari variasi-variasi
yang bersaingdan (b) menyatakan satu gabungan dari dialek-dialek terpenting. Contoh bahasa
shona gabungan dari unsur-unsur Zezuru, Karanga, Korekore, Menyika dan Ndau yang telah
menjadi bentuk standar. Pilihan atau penciptaan variasi bahasa baku memerlukan pembuatan
kamus tata bahasa atau petunjuk penggunan (Alwasilah, 1986: 115).
3. Elaborasi
Yaitu bila masalahnya adalah penambahan fungsi-fungsi baru dari suatu kode, misalnya bila
bahasa mulai dipergunakan untuk hasil-hasil teknologi dan sains. Dalam proses ini kegiatan-

kegiatan perencanaan terutama pembuatan dan penyebaran istilah-istilah baru (Alwasilah, 1986:
115).
4. Cultivation
Yaitu bila problemnya adalah pembedaan fungsional dan penentuan benar dan style.
Dalam proses ini, para perencana menyusun pedoman dan menyembangkan kreativitas sastra
dalam berbagai bentuk untuk berbagai tujuan dan audiensi (Alwasilah, 1986: 116).

2. PEMBAKUAN BAHASA
Pada dasarnya pembakuan adalah penentuan ukuran atau norma rujkan. Pembakuan
bahasa adalah penentuan ukuran atau norma rujukan yang digunakan atau dapat digunakan
sebagai kerangka rujukan atau patokan dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat pemakai
bahasa yang bersangkutan. Norma itu ditentukan oleh masyarakat pemakai bahasa yang
bersangkutan sediri atas dasar kesepakatan sosial sesuai dengan kebutuhan dan tingkat
perkembangan (Efendi, 1984: 86).
Pembakuan bahasa yang secara ideal bertujuan menetapkan penggunaan bahasa secara
mutlak, bernalar, teratur dan lengkap sedemikian rupa sehingga norma itu disepakati, diterima
oleh setiap masyarakat yang bersangkutan tidak mungkin dicapai baik dari segi teori atau
kenyataan (Efendi, 1984: 87).
Pembakuan bahasa memungkinkan bahasa yang bersangkutan tumbuh dan berkembang
sesuai dengan dinamika pertumbuhan dan perkembangan masyarakat pemakainya. Dalam
hubungan ini, pembakuan bahasa harus ditandai oleh adanya keseimbangan antara tujuan
pembakuan itu sendiri, yaitu pengadaan kerangka rujukan dan patokan sehingga terdapat
keseragaman umum (Efendi, 1984: 87-88).
Pada hakekatnya pembakuan bahasa itu bukan kekayaan bahasa itu sendiri, tapi lebih
merupakan suatu penyikapan istimewa masyarakat penutur bahasa terhadap bahasa, yang pada
akhirnya bermuara pada pelambangan sosial, kebanggaan atau pemerlain sosial (Alwasilah,
1986: 118).

2.1 Proses pembakuan bahasa


Pembakuan adalah suatu proses yang berlangsung secara bertahap, tidak sekali jadi.
Pembakuan juga sikap masyarakat terhadap satu ragam bahasa, dan dari psikologi sosial kita
mengetahui bahwa sikap masyarakat akan sesuatu berproses tidak sebentar. Pada pokoknya
proses standarisasi mengalami tahap-tahap sebagai berikut:
1. Pemilihan (selection)
Satu variasi atau dialek tertentu akan dipilih kemudian dikembangkan menjadi bahasa baku.
Ragam atau variasi tersebut bisa berupa satu ragam yang telah ada, misalnya yang dipakai dalam
kegiatan-kegiatan politik, sosial atau perdagangan; dan bisa merupakan campuran dari berbagai
ragam yang ada. Bisa saja yang dipilih itu adalah ragam yang belum merupakan bahasa pertama
bagi masyarakat ujaran di daerah negeri itu (Alwasilah, 1986: 119).
2. Kodifikasi
Kodifikasi yaitu hal yang memberlakuakan suatu kode atau aturan kebahasaan untuk
dijadikan norma dalam berbahasa oleh masyarakat. Kodifikasi ini meliputi (1) otografi, (2)
penerapan atau lafal, (3) tata bahasa, (4) peristilahan. Badan atau lembaga tertentu biasanya
ditunjuk untuk terlaksananya kodifikasi ini. Lembaga ini menyusun kamus, buku tata bahasa
dengan berpedoman pada kode atau variasi yang akan dimasyarakatkan; sehingga setiap orang
mempunyai acuan aturan bahasa yang benar. Setelah kodifikasi ini dibentuk, maka warga
negara yang berpendidikan akan mempelajari atau ingin mempelajari bentuk bahasa yang benar
dan menghindari yang tidak benar, walaupun yang tidak benar ragam bahasanya sendiri
(Alwasilah, 1986: 121).
3. Penjabaran Fungsi
Apa yang dikodifikasikan itu tidak akan memasyarakat tanpa adanya penjabaran fungsi
ragam yang sudah standar itu. Pada kenyataannya proses elaborasi fungsi ini akan melibatkan
pemasyarakatan hal-hal ekstralinguistik seperti pembiasaan format atau bentuk surat atau dalam
penyusunan test dan lain sebagainya (Alwasilah, 1986: 121).
4. Persetujuan
Pada akahirnya ragam bahasa itu mesti disetujui oleh anggota masyarakat ujaran sebagai
bahasa nasional mereka. Kalau sudah sampai pada tahap ini, maka bahasa standar itu mempunyai

kekuatan untuk mempersatukan bangsa dan menjadi simbol kemerdekaan negara dan menjadi
ciri pembeda dari negara-negara lain (Alwasilah, 1986: 121-122).

3. BAHAN STANDAR
Salah satu usaha manusia untuk memperoleh alat komunikasi yang sebaik-baiknya dalam
kehidupan manusia adalah penentuan bahasa standar dan non standar yang merupakan dua ragam
dalam pemakaian bahasa sebagai hasil proses panjang dan saling berkaitan dalam peristiwa
kebahasaan. Namun, bagi negara-negara majupersoalan bukan lagi menjadi suatu hal yang perlu
dipermasalahkan karena penggunaan bahasa mereka sudah mantap dan mapan (Aslinda dan leni
Syafyahya, 2007: 119).
Pada hakikatnya, sebuah negara menghendaki adanya suatu bahasa yang dapat dipakai
sebagai alat komunikasi bagi seluruh warganya, baik dalam rangka pembinaan kebangsaan,
administrasi pemerintahan, maupun dalam bidang pendidikan. Dengan adanya suatu bahasa
untuk seluruh negara, hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah, antara instansiinstansi yang ada dalam sebuah negara, serta antara pendidik dengan anak didiknya berlangsung
dengan lancar dan tidak mengalami kesulitan. Oleh karena itulah perlu adanya suatu penetapan
bahasa yang standar. Untuk menentkan bahasa standar, ada proses yang melewati berbagai
konflik, namun ada pula yang tidak. Dalam hal penetapan bahasa indonesia, hampir tidak ada
persoalan, padahal dinegara-negara lain hal ini merupan persoalanyang penting (Aslinda dan leni
Syafyahya, 2007: 119).
Dinegara lain terutama india, filipina, dan malaysia tidak terjadi peristiwa historis yang
merintis jalan menuju pemilihan bahasa nasional sehingga proses pembakuan bahasa tidak
mudah diputuskan. Sebagai contoh, sejak 1947, india telah memperoleh kemerdekaan dan telah
berusaha menentukan bahasa nasionalnya untuk menggantikan bahasa inggris yang dirasakan
kurang cocok bagi negara yang telah merdeka. Atas berbagai pertimbangan yang dianggap telah
bijaksana, pemerintah india menetapkan bahasa urdu/bahasa hindi sebagai calon bahasa nasional
yang akan diajukan keparlemen. Namun, tindakan ini tidak disetujui oleh sebagian rakyat
sehingga timbul huru-hara. Masing-masing daerah menuntut agar bahasa daerahnya dapat
diangkat sebagai bahasa nasional. Dengan adanya reaksi semacam itu, terpaksa pemerintah india
menangguhkan penetapannya. Sampai saat ini negara india tetap tidak memiliki bahasa nasional

sendiri dan bahasa inggris tetap menguasai kebahasaan di negara itu (Aslinda dan leni
Syafyahya, 2007: 120).
Setelah kerja pembakuan bahasa atau standar bahasa yang memang sangat dibutuhkan
oleh suatu negara, dalam perkembangan selanjutnya banyak hal harus dipikirkan dan dikerjakan
untuk mengembangkan bahsa tersebut, salah satunya adalah penetapan dan penciptaan istilah. Di
indonesia, istilah-istilah dapat diambila dari berbagai bahasa. Bila memang dibutuhkan dan
memang belum ada bahasa tersebut dalam bahasa indonesia maka ada dua cara pengambilan
istilah dari bahasa lain, yakni:
1. langsung disesuaikan dengan bahasa indonesia, baik bentuk maupun artinya.
2.

kedua masih dipinjam, dalam arti tulisannya masih dipertahankan dalam bahasa asalnya.
Maksudnya, ada dua cara penciptaan istilah, yaitu dipungut dan dipinjam.

4. BATASAN BAHASA
Bahasa didasarkan pada gengsi dan ukuran. Kita memberi suatu jawaban atas dasar
gengsi: Suatu bahasa adalah suatu standar bahasa. Prinsipnya pembedaan ini adalah mutlak:
dimana suatu ragam adalah standar bahasa, atau bukan. Ketika kita berbalik ke pembedaan lain,
berdasarkan ukuran, situasinya sangat berbeda, karena segalanya menjadi relatif contohnya, jika
dibandingkan dengan satu variasi variasi terpilih mungkin besar, namun dibanding dengan yang
lain hal ini mungkin saja kecil. maka, anggapan bahwa variasi utama adalah suatu bahasa, dalam
'ukuran' pengertian, jumlahnya sangat kecil. Disana, kemudian, bagaimanapun juga di mana
pembedaan antara 'bahasa' dan 'dialek' berdasarkan pada ukuran dapat dibuat lebih sedikit relatif.
Calon yang jelas untuk suatu ukuran ekstra adalah sebagai kejelasan timbal balik. Jika para
pembicara dua variasi dapat memahami satu sama lain. Ini adalah suatu ukuran yang digunakan,
tetapi hal ini tidak bisa diambil dengan serius sebab ada beberapa permasalahan serius dalam
aplikasinya. Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bahkan pemakaian populer tidak bersesuaian secara konsisten pada ukuran ini variasi yang kita
(sebagai orang awam) sebut perbedaan bahasa mungkin satu sama lain dapat dimengerti (e.g.
yang disebut 'berbagai dialek' dari Cina). Pemakaian populer cenderung untuk mencerminkan
definisi bahasa lain, berdasarkan gengsi, sehingga jika dua variasi adalah kedua-duanya bahasa
baku, atau atas standard yang berbeda, mereka semestinya bahasa yang berbeda, dan dan

sebaliknya mereka harus bahasa yang sama jika mereka adalah kedua-duanya diwahahstandar
yang sama. Ini menjelaskan perbedaan antara gagasan-gagasan kita pada variasi Scandinavia
dan China: setiap Negara Scandinavia mempunyai suatu bahasa baku terpisah (tentu saja orang
Norwegia mempunyai dua), sedangkan Cina secara keseluruhan hanya mempunyai satu. Efek
dari situasi china sangat aneh: seseorang dari peking tidak dapat mengerti seseorang dari canton
atau hongkong ketika dia berbicara dialaek daerahnya sendiri, tapi diperkirakan dapat mengerti
secara lengkap ketika dia menulis secara standar.
2. Kejelasan timbal balik adalah suatu tingkatan derajat, berkisar antara total kejelasan hingga
menuju ke total tidak kejelasan. Bagaimana tokoh skala ini melakukan dua variasi diperlukan
dalam rangka menghitung sebagai anggota bahasa yang sama? Sudah jelas suatu pertanyaan
yang lebih baik dihindari, daripada dijawab. Karena jawaban apapun pasti sembarangan. (hal ini
tidak bernilai bahwa Sankoff Gilllian dalam Hudson (1983: 37) telah mengembangkan suatu
sistem untuk menghitung derajat kejelasan timbal balik, yang dengan jelas menunjukkan
kejelasan timbal balik itu mungkin hanya menjadi parsial ketika diberlakukan pada masyarakat
tertentu.)
3. Variasi mungkin disusun dalam suatu Dialek Berantai, suatu rantai dari variasi berdekatan di
mana masing-masing pasang dari variasi berdekatan satu sama lain dapat dimengerti, tetapi
pasangan yang diambil dari akhir kebalikan dari rantai adalah bukan. Satu hal seperti rangkaian
dikatakan kepada peregangan dari Amsterdam menuju Jerman ke Vienna, dan lainnya dari Paris
menuju selatan Italia. Ukuran dari kejelasan timbal balik adalah, bagaimanapun, berdasarkan
pada suatu hubungan antar bahasa yang secara logika berbeda dari kesamaan bahasa, yang
seharusnya untuk menjelaskan. Jika A adalah bahasa yang sama seperti B, dan B adalah bahasa
yang sama seperti C, kemudian A dan C semestinya bahasa yang sama, dan seterusnya. '
Kesamaan bahasa' adalah suatu hubungan katakerja transitif, tetapi ' kejelasan timbal balik'
adalah intransitif: jika A dan B satu sama lain dapat dimengerti, dan B dan C satu sama lain
dapat dimengerti. Masalahnya adalah bahwa suatu hubungan intransitif tidak bisa digunakan
untuk menjelaskan suatu hubungan katakerja transitif.
4. Kejelasan timbal balik tidaklah berhubungan antar variasi, tetapi antara orang-orang, karena
mereka, dan bukan variasi, yang saling memahami satu sama lain. Maka, derajat dari kejelasan
timbal balik tergantung tidak hanya pada jumlah tumpang-tindih antara materi-materi didalam
dua variasi, tetapi pada kualitas orang-orang terkait. Satu kualitas yang sangat relevan adalah

motivasi: berapa banyak orang A mau memahami orang B? Ini tergantung pada banyak faktor
seperti berapa banyak A suka B, berapa banyak ia mengharapkan untuk menekankan persamaan
atau perbedaan antar mereka, dan seterusnya. Motivasi adalah penting sebab pemahaman orang
lain selalu memerlukan usaha pada pihak pendengar ketika bersaksi kemungkinan 'mematikan'
saat motivasi seseorang adalah rendah. Semakin besar perbedaan antara variasi, semakin besar
usaha yang diperlukan, maka jika A tidak bisa memahami B, ini menunjukkan bahwa tugas
tersebut adalah terlalu besar bagi motivasi A, dan kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi
jika motivasinya tadi lebih besar.
Kualitas relevan yang lain memberikan masalah lain mengenai penggunaan kejelasan timbal
balik sebagai ukuran, yakni bahwa hal ini tidak perlu timbal balik, karena A dan B harus
mempunyai derajat motivasi yang sama untuk pemahaman satu sama lain, maupun kebutuhan
yang mereka punyai sama jumlahnya dari pengalaman sebelumnya untuk tiap variasi lain. Secara
khas, lebih mudah bagi seorang pembicara non-baku untuk memahami seorang pembicara baku
dibanding putaran cara lain, sebagian sebab tadinya akan pasti mempunyai pengalaman lebih
dari variasi yang baku (khususnya melalui media) dibanding sebaliknya, dan sebagian sebab ia
mungkin termotivasi untuk memperkecil perbedaan budaya antar dirinya dan pembicara yang
baku (meskipun hal ini adalah sama sekali tidak perlu juga), sedang pembicara yang baku
mungkin ingin menekankan perbedaan ini.
Kesimpulannya, kejelasan timbal balik tidak bekerja sebagai suatu ukuran untuk
membatasi bahasa dalam ukuran arti. Tidak ada ukuran lain yang mana perlu dipertimbangkan
sebagai suatu alternatif, maka kita harus menyimpulkan Matthews dalam Hudson (1983: 37)
bahwa tidak ada pembedaan riil untuk ditarik antar ' bahasa' dan ' dialek' (kecuali berkenaan
dengan gengsi, di mana hal ini akan lebih baik untuk menggunakan istilah 'bahasa baku' atau
cuma 'baku', dibanding hanya 'bahasa'). Dengan kata lain, konsep 'bahasa X' tidak punya bagian
untuk bermain dalam sociolinguistics, untuk persisnya pertimbangan yang sama, dapatkah hal ini
mempunyai tempat di dalam ilmu bahasa. Semua yang kita butuhkan adalah dugaan 'variasi X',
dan pengamatan yang tak dapat dibandingkan bahwa variasi yang ditentukan mungkin secara
relatif serupa pada beberapa variasi lain dan secara relatif berbeda dari lainnya (Hudson, 1983:
34-37).

Anda mungkin juga menyukai