Terjemahan merupakan salah satu teknik tertua untuk menunjukkan makna dari suatu
kata bahasa asing, dan tata cara ini telah digunakan di dalam pengajaran bahasa asing pada
zaman kekaisaran romawi. (teknik ini mulai ditinggalkan orang pada akhir abad pertengahan
(abad ke-15), tetapi menjadi populer lagi pada zaman kebangunan kembali (Rennanisance)
(abad ke-16)). Leksikografi dwibahasa sudah ada untuk yang pertama kalinya pada tahun
2500 SM di antara masyarakat akkadia. Pada awal abad ke-8 tidak hanya daftar kosa kata
Yunani-Latin yang dikembangkan, melainkan juga daftar kosa kata latin dan bahasa-bahasa
daerah. Para guru bahasa pada abad ke-19 pada umumnya berkeyakinan bahwa satu-satunya
metode yang jitu untuk memancarkan makna dari bahasa asing adalah melalui terjemahan.
Dasar-dasar Grammar Translation Method sudah ada pada zaman kebangunan kembali. Para
guru bahasa pada zaman itu berpandangan bahwa dengan latihan menerjemahkan dua hal
dapat direguk sekaligus, yakni pengenalan rasa bahasa dan penguasaan tata bahasa.
Akan tetapi, bagaimanakah sebaiknya tata bahasa suatu bahasa Asing harus disajikan:
di dalam bahasa Asing itu sendiri atau di dalam bahasa pertama? Persoalan ini menjadi
polemik besar dari abad ke abad. Baru pada abad ke-9 penyajian tata bahasa suatu bahasa
Asing di dalam bahasa pertama muncul untuk pertama kalinya. Tata cara ini menjadi populer
lagi pada abad ke-16, dan pada awal abad ke-19 penjelasan tata bahasa suatu bahasa Asing ke
dalam tata bahasa suatu bahasa daerah mulai diterima secara meluas.
2. Metode Terjemah
Metode Terjemah adalah metode yang banyak dipakai dalam pengajaran bahasa
asing. Prinsip yang dijadikan landasan dalam metode ini adalah bahwa penguasaan bahasa
asing yang dipelajari itu dapat dicapai dengan jalan latihan-latihan terjemahan dari bahasa
yang diajarkan ke dalam bahasa ibu murid atau sebaliknya. Latihan-latihan terjemahan ini
merupakan latihan-latihan utama dalam metode ini. Metode Terjemah terutama ditujukan
untuk bahasa tertulis. bukan untuk bahasa lisan. Oleh karena itu. latihan-latihan untuk
penguasaan bahasa lisan tidak terdapat dalam metode ini. Dengan demikian tujuan yang
dapat dicapai dengan metode ini hanya terbatas pada membaca, mengarang dan terjemahan,
sedangkan kemampuan berbicara diabaikan.
b. Guru membandingkan tata bahasa dan metode terjemah bahasa asing yang diajarkan
dengan bahasa ibu para siswa.
c. Siswa diberikan latihan-latihan yang berhubungan dengan kemampuan tata bahasa dan
terjemah.
d. Siswa diberikan tugas untuk menghafal kosakata yang dapat menunjang kemampuan
berbahasanya.
3. Ciri-ciri
a. Tujuan studi Bahasa Asing ialah untuk belajar bahasa agar mampu membaca sastra
dalam Bahasa Asing itu. Hal ini dimaksudkan agar pelajar memperoleh keuntungan dari
“disiplin mental” dan “pengembangan intelektual” yang merupakan hasil pengajaran
Bahasa Asing itu.
b. Metode ini memandang pengajaran bahasa sebagai terdiri dari penghapalan kaidah-
kaidah dan fakta-fakta tentang tata bahasa agar dapat dipahami dan dilakukan penerapan-
penerapan kaidah-kaidah itu pada morfologi dan sintaksis Bahasa Asing Itu.
c. Penekanannya pada membaca, mengarang dan terjemahan. Berbicara dan menyimak
(listening comprehension) kurang diperhatikan.
d. Seleksi kosakata khususnya berdasarkan teks-teks bacaan yang dipakai. Kosakata ini
diajarkan melalui daftar-daftar kata dwibahasa, studi kamus, dan penghafalan.
e. Unit yang mendasar adalah kalimat. Kebanyakan waktu pelajar dihabiskan oleh aktivitas
terjemahan kalimat-kalimat terpisah (dari dan ke Bahasa Asing).
f. Tata bahasa diajarkan secara deduktif (deductively), yakni dengan penyajian kaidah-
kaidah bahasa seperti dalam bahasa latin yang dianggap semesta (universal). Ini kemudian
di latih dengan terjemahan-terjemahan.
Siswa, guru dan bahan ajar memiliki peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan
metode ini. Siswa diharapkan untuk dapat lebih aktif dalam rangka meningkatkan skill dalam
bidang tata bahasa dan terjemah. Mereka dituntut untuk mempelajari sumber-sumber mengenai
bidang tersebut, contohnya penggunaan kamus. Begitupula guru, mereka harus selalu
membimbing para siswa agar dapat meminimalisir kesalahan-kesalahan dalam berbahasa.
Hal ini dapat dikaitkan dengan bahan ajar yang diberikan pada saat kegiatan belajar
mengajar berlangsung. Sang guru harus pintar dalam memilih bahan ajar yang akan disampaikan.
Bahan ajar yang dipilih harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga
kemampuan berbahasa siswa dapat terus dikembangkan. Misalnya guru harus menggunakan
bahan ajar yang bersifat kontemporer.
1. Analisis tata bahasa mungkin baik bagi mereka yang merancangnya, tetapi
membingungkan pelajar karena rumitnya analisis tersebut.
2. Terjemahan kalimat demi kalimat sering mengacaukan makna kalimat-kalimat dalam
konteks yang luas.
3. Para pelajar mendapat pelajaran dalam satu ragam tertentu, yakni ragam sastra bukan
ragam bahasa sehari-hari.
4. Para pelajar menghafalkan kaidah-kaidah bahasa yang disajikan secara preskriptif.
5. Tujuan yang dapat dicapai hanya terbatas pada pengetahuan kata-kata dan aturan aturan
tata bahasanya, dan membaca, walaupun yang terakhir ini membaca yang dapat
digolongkan kepada membaca yang kurang baik. Kemampuan mengarang dan berbicara
tidak dapat dicapai dengan sebaik-baiknya.