Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN BACAAN FONOLOGI

LAPORAN BACAAN FONOLOGI BAHASA INDONESIA

Mata Kuliah : Fonologi Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu : Sri Mulyani., M.Pd.

Disusun Oleh : Tito Suprianto

NIM : 2108170063

Kelas : Karyawan (C)

Semester : Dua (2)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS GALUH CIAMIS

IDENTITAS BUKU
Buku Utama

Judul buku : Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia)

Penulis : Masnur Muslich

Penerbit : Bumi Aksara

Cetakan : Mei 2008

Tebal Buku : x+ 189 halaman

A. Definisi Fonologi (Fonetik dan Fonemik)

Fonologi adalah bagian tata bahasa atau bidang ilmu bahasa yang menganalisis bunyi bahasa secara umum.
Istilah fonologi, yang berasal dari gabungan kata Yunani phone 'bunyi' dan 'logos' tatanan, kata, atau ilmu'
dlsebut juga tata bunyi. Bidang ini meliputi dua bagian.

Fonetik, yaitu bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa atau bagaimana suate
bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia.

Fonemik, yaitu bagian fonologi yang mempelajari bunyi ujaran menurut fungsinya sebagai pembeda arti.

Bunyi ujaran yang bersifat netral, atau masih belum terbukti membedakan arti disebut fona, sedang fonem
ialah satuan bunyi ujaran terkecil yang membedakan arti. Variasi fonem karena pengaruh lingkungan yang
dimasuki disebut alofon. Gambar atau lambang fonem dinamakan huruf. Jadi fonem berbeda dengan huruf.

Untuk menghasilkan suatu bunyi atau fonem, ada tiga unsur yang penting yaitu:

1. Udara,

2. Artikulator atau bagian alat ucap yang bergerak, dan


3. Titik artikulasi atau bagian alat ucap yang menjadi titik sentuh artikulator.

B. Vokal, Konsonan, dan Diftong

Vokal

Vokal adalah bunyi-ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru tidak mendapat halangan.

Konsonan

Konsonan adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar dengan rintangan. Yang
dimaksud dengan rintangan dalam hal ini adalah terhambatnya udara keluar oleh adanya gerakan atau
perubahan posisi artikulator.

Diftong

Diftong adalah dua vokal beurutan yang diucapkan dalam satu kesatuan waktu. Diftong dalam bahasa
Indonesia adalah ai ,au, dan oi.

Contoh :petai, lantai, pantai, santai, harimau, kerbau, imbau, pulau, amboi.

C. Fonem dan Pembuktianya

Ø Fonem dan Pembuktiannya

Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang berfungsi membedakan arti. Fonem dapat dibuktikan melalui
pasangan minimal. Pasangan minimal adalah pasangan kata dalam satu bahasa yang mengandung kontras
minimal.

Contoh:

- pola & rnembedakan /o/ dan /u/®pula

- barang & membedakan /b/ dan /p/®parang

Ø Fonem dan Huruf

Bahasa Indonesia memakai ejaan fonemis, artinya setiap huruf melambangkan satu fonem. Namun
demikian masih terdapat fonem-fonem yang dilambangkan dengan diagraf (dua hunuf melambangkan satu
fonem) seperti ny, ng, sy, dan kh.

Di samping itu ada pula diafon (satu huruf yang melambangkan dua fonem) yakni huruf e yang digunakan
untuk menyatakan e pepet dan e taling.

Huruf e melambangkan e pepet terdapat pada kata seperti : sedap, segar, terjadi. Huruf e melambangkan e
taling terdapat pada kata seperti : ember, tempe, dendeng

D. Perubahan Fonem

Dalam pelaksanaan bunyi-bunyi ujaran, terjadilah pengaruh timbal-balik antara bunyi-bunyi ujaran yang
berdekatan. Karena adanya pengaruh timbal-balik itu terjadilah perubahan-perubahan bunyi-ujaran; ada
perubahan yang jelas kedengaran, ada yang kurang jelas kedengaran perubahan yang tidak jelas misalnya
fonem /a/ yang berada dalam suku kata /a/ yang berada dalam suku kata terbuka kedengarannya lebih
nyaring bila dibandingkan dengan fonem /a/ yang terdapat dalam suku kata tertutup. Bandingkan antara
/a/ pada kata: pada, kata, rata , dengan pada kata: bedak, tidak, sempat , dan lain-lain.

Perubahan-perubahan yang jelas kedengaran dan yang terpenting, yang biasa terdapat dalam bahasa
adalah:

1. Asimilasi
Asimilasi dalam pengertian biasa berarti penyamaan . Dalam Ilmu Bahasa asimilasi berarti proses di mana
dua bunyi yang tidak sama disamakan atau dijadikan hampir bersamaan. Asimilasi dapat dibagi berdasarkan
beberapa segi, yaitu berdasarkan tempat dari fonem yang diasimilasikan dan berdasarkan sifat asimilasi itu
sendiri.

a. Berdasarkan tempat dari fonem yang diasimilasikan kita dapat membagi asimilasi atas:

i) Asimilasi progresif, bila bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan. Contoh
dalam bahasa Indonesia sejauh ini belum dapat kami temukan. Tetapi untuk memperjelas proses ini dapat
diambil suatu contoh asing:

Latin Kuno: Colnis > Collis

Dalam contoh di atas fonem /n/ diasimilasikan dengan fonem /l/ yang mendahuluinya.

i) Asimilasi regresif, bila bunyi yang diasimilasikan mendahului bunyi yang mengasimilasikan, misalnya:

al salam (Arab) > assalam > asalam

in + perfect > imperfect > imperfek

ad + similatio > assimilasi > asimilasi

in + moral > immoral > immoral, dan lain-lain.

b. Berdasarkan sifat asimilasi itu sendiri, kita dapat membedakan asimilasi atas:

i) Asimilasi total, bila dua fonem yang disamakan itu dijadikan serupa benar:

ad + similatio > assimilasi > asimilasi

in + moral > immoral > imoral

al + salam > assalam > asalam

ii) Asimilasi parsial, bila kedua fonem yang disamakan hanya disamakan sebagian saja, misalnya:

in + perfect > imperfect > imperfek

in + port > import > impor, dan lain-lain.

Dalam hal ini nasal apiko-alveolar dijadikan nasal bilabial, seduai dengan fonem /p/ yang bilabial, tetapi
masih berbeda karena yang satu adalah nasal sedangkan yang lain adalah konsonan hambat.

2. Disimilasi

Kebalikan dari asimilasi adalah disimilasi , yaitu proses di mana dua bunyi yang sama dijadikan tidak sama.

Contoh: kolonel > kornel

lauk-lauk > lauk-pauk

sayur-sayur > sayur-mayur

3. Suara Bakti

Suara bakti adalah bunyi yang timbul antara dua fonem, dan mempunyai fungsi untuk melancarkan ucapan
suatu kata

Dalam mengucapkan kata-kata seperti gurauan, kepulauan, pakaian, putra, putri, bahtra, dan lain
sebagainya, terdengar bahwa dalam hubungan fonem-fonem itu timbul lagi bunyi w atau atau y , antara u-a
, dan antara i-a . Sedangkan pada kata-kata putra, putrid, dan bahtra diselipkan bunyi e (pepet) antara t-r .
Bunyi ini sama sekali tidak mempunyai fungsi untuk membedakan arti; gunanya hanya sebagai pelancar
ucapan saja. Bunyi semacam itu disebut suara bakti .
Intonasi

Intonasi adalah kerja sama antara nada, tekanan, durasi, dan perhentian-perhentian yang menyertai suatu
tutur, dari awal hingga ke perhentian terakhir.

Intonasi merupakan perpaduan dari bermacam-macam gejala yaitu tekanan (stress), nada(pitch), durasi
(panjang-pendek), perhentian, dan suara yang meninggi, mendatar, atau merendah pada akhir arus ujaran
tadi. Intonasi dengan semua unsur pembentuknya itu disebut unsur suprasegmental bahasa.

Landasan intonasi adalah rangkaian nada yang diwarnai oleh tekanan, durasi, perhentian dan suara yang
menaik, merata, merendah pada akhir arus ujaran itu.

Tekanan (Stress)

Tekanan (stress) adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai oleh keras-lembutnya arus ujaran.
Arus ujaran yang lebih keras atau lebih lembut ditentukan oleh amplitudo getaran, yang dihasilkan oleh
tenaga yang lebih kuat atau lebih lemah

Nada

Nada adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai oleh tinggi-rendahnya arus-ujaran.

Durasi

Durasi adalah suatu jenis unsure suprasegmental yang ditandai oleh panjang pendeknya waktu yang
diperlukan untuk mengucapkan sebuah segmen.

Dalam tutur, segmen-segmen dalam kata / tinggi / yaitu / ting / dan / gi / masing-masingnya dapat
diucapkan dalam waktu yang sama, tetapi dapat terjadi bahwa seorang pembicara dapat mengucapkan
segmen / ting / lebih lama dari segmen / gi / atau sebaliknya. Misalnya:

/ ti . . ng-gi sekali / atau

/ ting-gi . . sekali /

Dalam hal yang pertama /i/ dari segmen / ting / diucapkan lebih lama, sedangkan dalam hal yang kedua /i/
dari segmen / gi / diucapkan lebih lama.

Kesenyapan

Kesenyapan merupakan suatu proses yang terjadi selama berlangsungnya suatu tutur atau suatu arus-
ujaran, yang memutuskan arus-ujaran yang tengah berlangsung

Ada kesenyapan yang bersifat sementara atau berlangsung sesaat saja, yang menunjukkan bahwa tutur itu
masih akan dilanjutkan. Ada pula perhentian yang sifatnya lebih lama, yang biasanya diikuti oleh suara yang
menurun yang menyatakan bahwa tutur atau bagiab dari tutur itu telah mencapai kebulatan.

Kesenyapan jenis pertama disebut kesenyapan antara atau kesenyapan non-final atau jeda . Kesenyapan ini
biasanya dilambangkan dengan tanda koma (,).

Sedangkan kesenyapan yang kedua disebut kesenyapan akhir atau kesenyapan final . Kesenyapan ini
biasanya dilambangkan dengan tanda titik (.) atau titik koma (;) bila suaranya merendah, dan akan
dilambangkan dengan tanda tanya (?) jika intonasi merendah, dan akan dilambangkan dengan tanda seru
(!) jika intonasinya lebih keras kedengaran dengan suara yang menurun.

E. Ejaan dalam Bahasa Indonesia

1. Huruf

Bagian terbesar dari sejarah umat manusia berada dalam kegelapan karena perkembangan, perluasan,
timbul-tenggelamnya bahasa-bahasa di muka bumi ini tidak diketahui. Bangsa-bangsa dahulu kala tidak
mengenal suatu cara untuk dapat meninggalkan kepada kita riwayat hidup mereka. Sumber-sumber yang
tertulis baru saja diketahui, dan hanya meliputi beberapa ribu tahun saja.

Bukti-bukti tertulis itu dalam bentuk yang paling tua terdapat misalnya pada orang-

orang Indian Mexico berupa lukisan-lukisan. Suatu urutan lukisan menggambarkan kepada kita suatu
peristiwa tertentu. Cara ini biasa disebut piktograf. Piktograf itu lambat laun dikembangkan sedemikian
rupa hingga suatu lukisan dapat menggambarkan pengertian-pengertian tertentu. Kata-kata yang berlainan
tetapi mempunyai bunyi yang sama juga dapat dilukiskan dengan tanda atau simbol yang sama; sistem ini
disebut ideograf atau logograf, yaitu suatu sistem dimana suatu kata dilambangkan oleh suatu tanda,
misalnya dalam huruf-huruf Tiongkok. Dalam sistem kita yang modern ini masih dapat ditemukan sistem
logograf ini, yaitu bila kita melambangkan bilangan-bilangan memakai tanda-tanda: 1, 2, 3, 4, 5, dan
sebagainya.

Dari sistem ideograf atau logograf itu kemudian diturunkan bermacam-macam lambang yang mewakili suku
kata saja. Contoh yang dapat dikemukakan adalah huruf-huruf Jepang, Dewa Negari, Arab dan lain-lain.
Untuk menunjukkan vokal dalam huruf-huruf Arab dan Dewa Negari diberi tanda-tanda
baru.perkembangan yang paling akhir sebagai penyempurnaan dari sistem perlambangan atas suku kata
(silabis), adalah setiap bunyi dilambangkan dengan satu tanda. Sistem ini disebut fonemis , misalnya aksara
Latin, Yunani, Jerman, dan sebagainya.

Dengan bermacam-macam cara itulah orang dapat melukiskan bahasa dalam bentuk lambang-lambang.
Segala macam cara itu pada umumnya disebut huruf.

Secara Harfiah , Huruf adalah lambang atau gambaran dari bunyi

Di antara sekian macam sistem itu, huruf yang didasarkan atas satu lambang untuk satu bunyi adalah
sistem yang paling baik. Dan untuk selanjutnya pengertian huruf yang akan dipakai adalah pengertian
terakhir.

Jadi sejauh ini sekurang-kurangnya umat manusia telah mengenal 4 macam sistem tulisan.

a. Tulisan piktograf: urutan beberapa gambar untuk melukiskan suatu peristiwa, misalnya pada orang
Indian Mexico.

b. Ideograf atau logograf: suatu tanda atau lambang mewakili sepatah kata atau pengertian, misalnya huruf
Cina.

c. Tulisan silabis: suatu tanda untuk menggambarkan suatu suku kata, misalnya tulisan Jepang, Dewa
Negari, dan lain-lain.

d. Tulisan fonemis: satu tanda untuk melambangkan satu bunyi, misalnya huruf Latin, Yunani, Jerman dan
lain-lain.

Setiap sistem perlambangan bunyi-ujaran mempunyai urutan-urutan tertentu. Rentetan urutan sistem
Latin lain dari Yunani dan lain pula dari urutan sistem Rusia. Rentetan huruf-huruf menurut sistem tertentu
itu kita kenal dengan abjad atau alfabet . Jadi ada alfabet Latin, ada alfabet Yunani dan lain-lain.

2. Ejaan

Ejaan adalah Keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan lambang-lambang bunyi-ujaran dan


bagaimana inter-relasi antara lambang-lambang itu (pemisahannya, penggabungannya) dalam suatu
bahasa.

Dasar yang paling baik dalam melambangkan bunyi-ujaran atau bahasa adalah satu bunyi-ujaran yang
mempunyai fungsi untuk membedakan arti harus dilambangkan dengan satu lambang tertentu. Dengan
demikian pelukisan atas bahasa lisan itu akan mendekati kesempurnaan, walaupun kesempurnaan yang
dimaksud itu tentulah dalam batas-batas ukuran kemanusiaan, masih bersifat relatif. Walaupun begitu
literasi (penulisan) bahasa itu belum memuaskan karena kesatuan intonasi yang bulat yang menghidupkan
suatu arus-ujaran itu hingga kini belum dapat dISudah diusahakan bermacam-macam tanda untuk tujuan
itu tetapi belum juga memberi kepuasan. Segala macam tanda baca untuk menggambarkan perhentian
antara, perhentian akhir, tekanan, tanda tanya, dan lain-lain adalah hasil dari usaha itu. Tetapi hasil usaha
itu belum dapat menunjukkan dengan tegas bagaimana suatu ujaran harus diulang oleh yang membacanya.
Segala macam tanda baca seperti yang disebut di atas disebut tanda baca atau pungtuasi. Walaupun sistem
ejaan sekarang didasarkan atas sistem fonemis, yaitu satu tanda untuk satu bunyi, namun masih terdapat
kepincangan-kepincangan. Ada fonem yang masih dilambangkan dengan dua tanda (diagraf), misalnya ng,
ny, kh, dan sy. Jika kita menghendaki kekonsekuenan terhadap prinsip yang dianut, maka diagraf-diagraf
tersebut harus dirubah menjadi monograf (satu fonem satu tanda). Di samping itu masih terdapat
kekurangan lain yang sangat mengganggu terutama dalam mengucapkan kata-kata yang bersangkutan,
yaitu ada dua fonem yang dilambangkan dengan satu tanda saja yakni e (pepet) dan e (taling). Ini
menimbulkan dualisme dalam pengucapan. Ejaan suatu bahasa tidak saja berkisar pada persoalan
bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujaran serta bagaimana menempatkan tanda-tanda baca dan
sebagainya, tetapi juga meliputi hal-hal seperti: bagaimana menggabungkan kata-kata, baik dengan
imbuhan-imbuhan maupun antara kata dengan kata. Pemotongan itu berguna terutama bagaimana kita
harus memisahkan huruf-huruf itu pada akhir suatu baris, bila baris itu tidak memungkinkan kita menulils
seluruh kata di sana. Apakah kita harus memisahkan kata bunga menjadi bu – nga atau b – unga .
Semuanya ini memerlukan suatu peraturan umum, agar jangan timbul kesewenangan.

3. Macam-Macam Ejaan

Sebelum tahun 1900 setiap peneliti bahasa Indonesia (pada waktu itu bahasa Melayu) membuat sistem
ejaannya sendiri-sendiri, sehingga tidak terdapat kesatuan dalam ejaan. Pada tahun 1900, Ch. van
Ophuysen mendapat perintah untuk menyusun ejaan Melayu dengan mempergunakan aksara Latin.

Dalam usahanya itu ia sekedar mempersatukan bermacam-macam sistem ejaan yang sudah ada, dengan
bertolak dari sistem ejaaan bahasa Belanda sebagai landasan pokok. Dengan bantuan Engku Nawawi gelar
Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, akhirnya ditetapkanlah ejaan itu dalam bukunya
Kitab Logat Melajoe, yang terkenal dengan nama Ejaan van Ophuysen atau ada juga yang menyebutnya
Ejaan Balai Pustaka, pada tahun 1901. Ejaan tersebut tidak sekali jadi tapi tatap mengalami perbaikan dari
tahun ke tahun dan baru pada tahun 1926 mendapat bentuk yang tetap.

Selama Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 telah disarankan agar ejaan itu lebih banyak
diinternasionalisasikan. Dan memang dalam perkembangan selanjutnya terutama sesudah Indonesia
merdeka dirasakan bahwa ada beberapa hal yang kurang praktis yang harus disempurnakan. Sebenarnya
perubahan ejaan itu telah dirancangkan waktu pendudukan Jepang. Pada tanggal 19 Maret 1947
dikeluarkan penetapan baru oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan Suwandi (SK No.
264/Bag.A/47) tentang perubahan ejaan bahasa Indonesia; sebab itu ejaan ini kemudian terkenal dengan
nama Ejaan Suwandi.

Sebagai dampak dalam keputusan di atas, bunyi oe tidak semuanya diganti dengan u. Baru pada tahun
1949, menurut surat edaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tanda oe mulai 1 Januari 1949
diganti dengan u. Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 kembali mempersoalkan masalah ejaan. Sesuai
dengan usul Kongres, kemudian dibentuk sebuah panitian dengan SK No. 44876 tanggal 19 Juli 1956.
Panitia ini berhasil merumuskan patokan-patokan baru pada tahun 1957. namun keputusan ini tidak dapat
dilaksanakan karena ada usaha untuk mempersamakan ejaan Indonesia dan Melayu. Sebab itu pada akhir
tahun 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan bersama
yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu – Indonesia). Tetapi konsep ejaan ini juga
tidak jadi diumumkan karena perkembangan politik kemudian.

Karena laju perkembangan pembangunan, maka dirasakan bahwa ejaan perlu disempurnakan. Sebab itu, di
tahun 1966 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sarino Mangunpranoto dibentuk lagi sebuah Panitia
Ejaan Bahasa Indonesia, yang bertugas menyusun konsep baru, yang merangkum segala usaha
penyempurnaan yang terdahulu. Sesudah berkali-kali diadakan penyempurnaan, maka berdasarkan
Kepurusan Presiden No. 57 tahun 1972 diresmikan ejaan baru yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus
1972, yang dinamakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

Perubahan yang paling penting dalam EYD adalah:

Lama Yang Disempurnakan

dj djalan j jalan

j pajung y payung

nj njonja ny nyonya

sj* sjarat sy syarat

tj tjakap c cakap

ch* tarich kh tarikh

* Kedua gabungan huruf ini sebenarnya tidak terdapat dalam ejaan lama. Di samping itu diresmikan pula
huruf-huruf berikut di dalam pemakaian:

f maaf, fakir

v valuta, universitas

z zeni, lezat

q, x huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai.

Buku teks Fonologi Bahasa Indonesia oleh Masnur Muslih

Anda mungkin juga menyukai