Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ILMU SEMANTIK

Disusun Oleh:
JONI SUSYANTO

FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN


UNIVERSITAS CORDOVA KABUPATEN SUMBAWA BARAT
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
BAB l
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semantik memiliki peran penting bagi linguistik khususnya berkaitan dengan
makna. Ilmu semantik terdapat beberapa hal yang perlu dikaji terutama terletak pada
makna suatu kata. Beranggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka
semantik merupakan bagian dari linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda
linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Kata semantik diartikan sebagai ilmu
tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa
fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer, 1994: 2).
Berbagai teori tentang semantik yang berhubungan dengan makna, maka
dapat diungkapkan bahwa setiap kata itu mempunyai makna atau arti yang berbeda-
beda. Tinjauan semantik dalam pengkajian makna meliputi hiponim, hipernim,
sinonim, antonim, polisemi dan homonim. Dalam pemakaian bahasa, ternyata tidak
sedikit bentuk kata yang memiliki hubungan. Hal ini dapat dilihat, baik pada cara
pengucapan, penulisan, maupun dalam bentuk pemaknaan.
Semantik merupakan salah satu cabang linguistik yang berada pada tataran
makna. Verhaar, dalam Pateda (2010:7) mengatakan bahwa semantik adalah teori
makna atau teori arti ( Inggris semantics kata sifatnya semantic yang dalam Bahasa
Indonesia dipadankan dengan kata semantik sebagai nomina dan semantis sebagai
ajektiva). Kata semantik disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang
linguistik ynag mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal
yang ditandainya, (Chaer, 1995 :2). Dalam mata kuliah semantik ini beberapa ruang
lingkup yang akan dibahas adalah berbagai masalah makna dalam linguistik. Salah
satunya adalah pembahasan mengenai makna dan masalahnya.
Dengan demikian diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang perbedaan
makna, informasi dan maksud, serta dapat menambah pengetahuan para pembaca
mengenai studi semantik.
BAB ll
PEMBAHASAN

A. Pengertian Semantik
Bahasa sebagai alat komunikasi merupakan suatu sistem yang bersifat arbitrer
dan konvensional. Maksudnya adalah bentuk bahasa dan makna tidak terikat dengan
aturan yang ada, atau bersifat sewenang-wenang (suka-suka). Hal tersebut
dikarenakan tetap berdasarkan kesepakatan atau konvensi pemakainya.
Kearbitreran bahasa menyebabkan kurangnya penelitian terhadap makna atau
semantik dibandingkan tataran analisis bahasa lain, yang meliputi morfologi (ilmu
mengenai seluk beluk kata dan sintaksis (ilmu mengenai kalimat), kecuali tataran
fonologi (ilmu mengenai bunyi) semua tataran analisis bahasa selalu berhubungan
dengan makna atau semantik.
Makna sebagai objek studi semantik tidak jelas wujudnya , berbeda dengan
morfologi dan sintaksis yang strukturnya jelas sehingga mudah untuk dianalisis.
Aliran struktural berpendapat bahwa setiap data keilmuwan harus bisa diamati secara
empiris. Sedangkan Hockett (1958) berpandangan bahwa semantik adalah bukan
merupakan bagian sentral melainkan peripheral dari bahasa.
Bahwasannya studi mengenai makna tidak dapat dipisahkan dari studi
linguistik lainnya, karena berbahasa hakikatnya adalah kegiatan mengekspresikan
lambang-lambang bahasa untuk menyampaikan makna yang terkandung dalam
lambang-lambang bahasa untuk menyampaikan makna yang terkandung dalam
lambang-lambang tersebut. Jadi pengetahuan tentang lambang dengan makna sangat
diperlukan dalam berkomunikasi.
Semantik sebenarnya merupakan ilmu tentang makna. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, semantik ialah: ilmu tentang makna kata dan kalimat; pengetahuan
mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata; bagian struktur bahasa yang
berhubungan dengan makna ungkapan atau struktur makna suatu wicara. Dan dalam
bahasa Inggris disebut meaning. Kata semantik sendiri berasal dari bahasa Yunani,
yaitu sema (kata benda) yang berarti “menandai” atau “lambang”. Kata kerjanya
adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Kemudian semantik
disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistik untuk mempelajari
hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan sesuatu yang ditandainya.
Namun istilah semantik sama halnya dengan kata semantique dalam bahasa
Perancis yang diserap dari bahasa Yunani yang diperkenalkan oleh M. Breal. Di
dalam kedua istilah semantics dan semantique, sebenarnya semantik belum secara
tegas membahas makna karena lebih banyak membahas tentang sejarahnya.
Selain itu istilah semantik dalam sejarah linguistik digunakan pula istilah
seperti semiotika, semiologi, semasiologi, sememik, dan semik yang merupakan
bidang studi yang mempelajari makna dari suatu lambang atau tanda pada objek
cakupan yang lebih luas, yakni mencakup lambang atau tanda pada umumnya.
Berbeda dengan istilah sematik yang digunakan dalam bidang studi linguistik.
Sedangkan Coseriu dan Geckeler, menyatakan istilah semantik yang populer
pada tahun 1950an, ada tiga istilah yang berhubungan dengan semantik yaitu
linguistic semantics, the semantics of logicians, dan general semantics.
Beberapa tokoh berpendapat mengenai semantik, antara lain : Verhaar (2001)
yang mengartikan bahwa semantik sebagai cabang linguistik berfungsi meneliti arti
atau makna. Sedangkan Kridalaksana (1993) berpendapat bahwa semantik adalah
bagian dari tata bahasa yang meneliti makna dalam bahasa tertentu, mencari asal
mula dan perkembangan dari suatu kata. Selain itu, Keraf (1991) menegaskan bahwa
semantik hanya berbicara tentang makna kata dan perkembangan makna kata. Dan
menurut Muhajir (1990) menyatakan bahwa semantik membahas tentang makna, baik
yang terdapat dalam morfem , kata kalimat maupun wacana.
B. Jenis Semantik
Objek dari semantik adalah makna dalam keseluruhan bahasa. Namun dari
semua tataran analisis bahasa hanya leksikon dan morfologi yang memiliki masalah
semantik. Semantik dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain:
a. berdasarkan tataran atau bagian dari bahasa yang menjadi objek
penyelidikannya. Maka jenis semantiknya disebut semantik leksikal dan
yang menjadi objek penyelidikannya adalah leksikon dari bahasa itu;
b. Morfologi dan sintaksis yang merupakan bagian dari tataran gramatikal,
dalam prosesnya juga mempunyai makna. Oleh karena itu, pada tataran
tersebut terdapat masalah-masalah semantik yaitu semantik gramatikal
yang objek studinya adalah makna-makna gramatikal dan semantik
sintaktikal yang berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan
sintaksis;
c. Selain itu verhaar mengemukakan istilah semantik maksud atau disebut
juga semantik pragmatik yang diartikan sebagai bidang studi semantik
yang mempelajari makna ujaran yang sesuai dengan konteks situasinya.

C. Hubungan Semantik dengan Semiotika


Semiotika merupakan teori tentang sistem tanda. Nama lain dari semiotika
merupakan semiologi (semiology) yaitu berasal dari bahasa Yunani semeion yang
bermakna tanda, mirip dengan istilah semiotika. (Lyon 1977:100). Semiologi dan
semiotika keduanya membahas mengenai tanda. Tanda bermacam-macam asalnya,
antara lain tanda berasal dari manusia yang berwujud lambang dan isyarat, tanda yang
berasal dari hewan dan tanda yang dibuat oleh manusia. Jadi lambang yang dihasilkan
oleh manusia merupakan pembahasan dalam bidang semantik, yakni menelaah makna
lambang. Lambang dapat diartikan sebagai tanda, dengan demikian tanda merupakan
objek pembahasan dari semiotika. Semiotika dapat dikelompokkan menjadi:
a. Semiotika Analitik (Parret, 1981:1) yaitu semiotika menganalisis sistem
tanda. Pierce menyatakan bahwa semiotika berobjekan tanda dan
menganalisis menjadi ide, objek, dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai
lambang, sedangkan makna yaitu sesuatu yang terkandung dalam
lambang yang mengacu pada objek tertentu.
b. Semiotika Deskriptif yaitu semiotika yang memperlihatkan sistem tanda
yang dapat kita alami sekarang. Meskipun ada tanda sejak dahulu tetap
seperti yang disaksikan sekarang.
c. Semiotika Faunal (Hawkes 1977:124) yakni semiotika yang khusus
memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan.
d. Semiotika Cultural (Ikegami 1985, Lamb 1984, Kelkar 1984) yakni
semiotika yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam
kebudayaan masyarakat tertentu.
e. Semiotika Naratif (Greimas, 1987:84-105) yakni semiotika yang
menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan.
f. Semiotika Natural yakni semiotika yang khusus menelaah sistem tanda
yang dihasilkan oleh alam.
g. Semiotika Normatif (Parret, 1983:1) yakni semiotika yang khusus
menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-
norma.
h. Semiotika Social (Halliday 1978, Ventola 1984) yakni semiotika yang
khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan manusia yang berwujud
lambang, baik lambang dalam bentuk kata maupun kalimat.
i. Semiotika Structural (Parnet 1983:1) yakni semiotika yang khusus
menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
Dapat dilihat hubungan antara semantik dengan semiotika, terlebih apabila
dipaahami bahasa sebagai semiotika social (Halliday 1978). Selain itu, jika bahasa
dianggap sebagai sistem tanda seperti yang dikemukakan oleh Saussure.
D. Semantik dan Disiplin Ilmu Lain
Persoalan makna bukan saja dipelajari dalam semantik tetapi juga filsafat,
logika dan psikologi. Dengan kata lain bahwa adanya hubungan antara linguistik
yang memelajari makna dengan disiplin ilmu-ilmu lain diatas. Hubungan tersebut
dikemukakan oleh George (i64:24) sebagai berikut :
Telah diketahui bahwa manusia dalam berkomunikasi menggunakan
kalimat(namun ada pula yang berkomunikasi secara non verbal). Kalimat merupakan
kajian sintaksis, sedangkan kalimat diucapkan oleh manusia mengandung makna.
Dengan demikian dapat dilihat adanya hubungan antara tataran linguistik berupa
sintaksis dan semantik.
Lebih lanjut George (1964) berpendapat bahwa selain hubungan antara
linguistik, psikologi, logika dan filsafat, tampak pula kedudukan pragmatic semantic
behavioral. Kemudian ada pula hubungan antara linguistik, psikologi, logika dan
filsafat, tampak pula adanya filsafat linguistik.
Batas-batas pendekatan seorang linguis, filsuf, psikolog, dan orang yang
bergerak dalam bidang logika dalam semantik susah untuk dijelaskan.
Semantik sebagai ilmu, memelajari pemaknaan dalam bahasa dan terbatas pada
pengalaman manusia. Jadi, secara ontologism semantik membatasi masalah pada
pengalaman yang dikajinya hanya pada persoalan yang terdapat didalam ruang
lingkup jangkauan pengalaman manusia. Selain itu semantik membicarakan apa yang
ditandai. Hal tersebut dikemukakan oleh Morris (1946) dalam bukunya berjudul
signa, language dan behavior. Jadi jika seekor anjing bereaksi berharap adanya
makanan apabila mendengar bel, maka bel tersebut sebagai penanda adanya
makanan.
Sifat kemajemukan bahasa sering menimbulkan kekacauan semantik, misalnya
dua oarng sedang berkomunikasi menggunakan kata yang sama untuk pengertian
yang berbeda, atau sebaliknya. Namun kekacauan semantik dapat dihindari dengan
prinsip kooperatif. Namun Kempson (1997:6) prinsip kooperatif berhubungan dengan
kuantitas kata, kuantitas pembicaraan, hubungan pembicaraan dan penyampaian yang
jelas.

E. Ruang Lingkup Kajian Semantik


Semantik dapat mencakup bidang yang lebih luas, baik dari segi struktur dan
fungsi bahasa maupun dari segi interdisiplin bidang ilmu. Akan tetapi ruang lingkup
semantik berkisar pada hubungan ilmu makna itu sendiri pada linguistik, walaupun
faktor nonlinguistik mempengaruhi berbagai fungsi bahasa (emotif dan afektif)
Makna dapat diteliti melalui fungsi , dalam pemahaman fungsi hubungan antar
unsure (struktur-hubungan antar unsur strukturalisme de Saussure). Dengan
demikian, dapat dapat mengenal berbagai makna, antara lain makna leksikal dan
makna gramatikal serta makna kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana sehingga
ruang lingkup semantik meliputi semua tataran bahasa, yaitu fonologi, morfologi,
sintaksis dan wacana.
Berikut ruang lingkup kajian semantik sebagai sebuah disiplin ilmu antara
lain:
1. Pengertian semantik
2. Jenis semantik
3. Kedudukan semantik dalam semiotika
4. Hubungan semantik dengan disiplin ilmu lain
5. Pengertian makna
6. Jenis-jenis makna
7. Perubahan makna
8. Hubungan makna dalam gaya bahasa, peribahasa, dan ungkapan
9. Hal-hal yang berkaitan dengan relasi makna, seperti antonym, hiponim,
homonym, polisemi, sinonim, dan medan makna; dan
10. Cara menganalisis makna
Berikut adalah penjelasan ruang lingkup semantik yang telah disebtukan diatas.
a. Pengertian Makna
Kata “meaning” sesuai dengan verba “mean” merupakan istilah yang paling
banyak dipermasalahkan dalam bahasa Inggris, dan tampaknya pengertian daripada
makna itu sendiri sangat membingungkan para ahli semantik.
Kata makna sebagai istilahmengacu pada pengertian yang sangat luas.
Sebagian orang menganggap bahwa makna sejajar dengan istilah arti, gagasan,
konsep, pernyataan, pesan, informasi, maksud dan lain sebagainya.
Ada tiga hal yang coba dijelaskan oleh filsuf dan linguis sehubungan dengan
usaha menjelaskan istilah makna. Tiga hal tersebut antara lain menjelaskan makna
secara alamiah, mendeskripsikan kalimat secara alamiah dan menjelaskan makna
dalam proses komunikasi (Kempson 1977). Kempson berpendapat untuk menjelaskan
istilah makna harus dilihat dari segi kata, kalimat dan apa yang dibutuhkan dalam
berkomunikasi. Selain itu, Grice (1957 dalam Bollinger 1981) menyatakan bahwa
makna ialah hubungan bahasa dan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para
pemakai bahasa sehingga dapat saling mengerti.
Untuk memahami apa yang disebut makna atau arti. Dapat pula mengikuti
pandangan menurut Ferdinand de Saussure, yang merupakan bapak linguistik modern
dengan teori tanda linguistiknya. Menurut de Saussure setiap tanda linguistik atau
tanda bahasa terdiri dari du komponen yaitu komponen signifian atau “yang
mengartikan” , dan komponen signifie atau “yang diartikan” yang wujudnya berupa
pengertian atau konsep (yang dimiliki signifian). Jadi dengan kata lain setiap tanda
linguistik teridiri atas unsure bunyi dan unsur makna. Dengan demikian, menurut
teori yang dikembangkan dari pandangan de Saussure bahwa makna adalah
“pengertian” atau “konsep” yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik
b. Jenis-jenis Makna
Palmer (1976:34) mengemukakan jenis-jenis makna antara lain makna
kognitif, makna ideasional, makna denotasi, dan makna proposisi. Sedangkan
Shipley, Ed (1962:261-262) berpendapat bahwa jenis-jenis makna yaitu makna
emotif, makna kognitif atau makna deskriptif, makna referensial, makna kamus,
makna samping dan makna inti.
Verhaar (1983: 151) mengemukakan istilah makna gramatikal dan makna
leksikal. Sedangkan Bloomfield (1933:151) mengemukakan istilah makna sempit dan
makna luas. Kemudian Leech (1976) menyebutkan tujuh tipe makna, antara lain
makna konseptual , makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, makna reflektif,
makna kolokatif dan makna tematik.
Jenis dan tipe makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa criteria dan sudut
pandan. Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara lain makna leksikal
dan grmatikal, berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem dapat
dibedakan adanya makna referensial dan non referensial, berdasarkan ada tidaknya
nilai rasa pada sebuah kata atau leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan
konotatif, berdasarkan ketetapan maknanya dikenal adanya makna kata dan makna
makna istilah atau makna khusus dan makna umum.

c. Perubahan Makna
Perubahan makna meliputi pelemahan, pembatasan, penggantian, penggeseran,
perluasan dan juga kekaburan makna. Perubahan kata dapat terjadi karena beberapa
hal, antara lain perubahan kata drai bahasa lain, akibat pertukaran tanggapan alat
indera, akibat perubahan lingkungan. Perubahan makna dapat terjadi karena
gabungan leksem, akibat tanggapan pemakai bahasa, dan perubahan makna akibat
asosiasi pemakai bahasa terhadap sesuatu. Faktor yang memudahkan perubahan
makna dapat terjadi yaitu karena kebutulan (makna yang terjadi karena kebetulan),
kebutuhan baru, tabu (kata itu tabu dikatakan karena makna yang terkandung pada
kata itu tidak begitu saja dilafalkan atau mengakibatkan malapetaka jika dilafalkan).
Menurut Ullmann (1972:192-197) ada faktor yang memudahkan perubahan
makna antara lain yaitu bahasa yang berkembang, makna kata itu esndiri kabur atau
samar-samar maknanya, kehilangan motivasi, adanya kata-kata bermakna ganda,
dalam konteks yang membingungkan serta struktur kosa kata.

d. Hubungan makna dalam gaya bahasa, peribahasa, dan ungkapan


1) Makna dalam gaya bahasa
Secara leksikologis yang dimaksud gaya bahasa yaitu pemanfaatan atas
kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis, pemakaian ragam
tertentu untuk memeroleh efek-efek tertentu, keseluruhan cirri bahasa
sekelompok penulis sastra, cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan
dalam bentuk lisan dan tulisan. (Depdikbud 1993). Makna mempunyai hubungan
timbal balik dengan lambang , yang berarti lambang mengandung makna, baik
makna leksikal maupun gramatikal.
Makna yang berhubungan dengan gaya bahasa, ada yang dapat dilihat dari
segi kedekatan antar makna dan adapula dari segi kesamaan antarmakna.
Kesamaan antar makna berhubungan dengan metafora, dan kedekatan antarmakna
berhubungan dengan metonomia. Badudu (1983:70) mengatakan bahwa gaya
bahasa metafora adalah gaya bahasa yang memperbandingkan suatu benda
dengan benda lain. Sedangkan Chaer (1984:9) mengatakan metafora dilihat dari
segi digunakannya sesuatu untuk memperbandingkan yang lain dengan yang lain.
Rumusan umum yang dikemukakan oleh Ogden dan Richard (1972:213) yakni
etaphor in themost general sense, is the use of one reference to a group of things
between which a given relation holds, for the purpose of facilitating the
discrimination of an analogous relation in another group”.
Berdasarkan uraian diatas, metafora dapat dibagi menjadi tiga, yaitu metafora
antropomorfis, metafora bintang dan metafora sinestik. Metafora antropomorfis
yaitu metafor yang berhubungan dengan diri manusia, misalnya anggota tubuh,
pengalaman-pengalaman membendingkan unsur-unsur badan dengan alam
sekitar. Metafora yang berhubungan dengan yang biasanya digunakan pada
manusia, tetapi maknanya dapat diterapkan pada benda lain. Dikaitkan dengan
gaya bahasa maka disebut gaya bahasa personifikasi. Misalnya angin berbisik.
Hal yang berhubungan dengan kesamaan makna, terlihat pada gaya bahasa
tropen. Misalnya ia hanyut dibawa lamunan. Hal menyamakan makna seperti itu
kadang-kadang untuk melembutkan maksud, apabila dihubungkan dengan gaya
bahasa disebut eufemisme. Contohnya dipenjarakan. Hal menyamakan makna
dapat juga kita lihat pada keadaan yang dilebih-lebihkan, apabila dihubungkan
dengan gaya bahasa disebut gaya bahasa hiperbola. Contohnya menyemut orang
di pasar.
Makna digunakan untuk merendahkan diri apabila dihubungkan dengan gaya
bahasa maka disebut gaya bahasa litotes. Misalnya datanglah ke pondok buruk kami.
Makna yang diterapkan untuk menyindir, apabila dihubungkan dengan gaya bahasa
disebut ironi. Untuk sindiran halus, gaya bahasa sinisme untuk sindiran yang agak
kasar, dan gaya bahasa sarkasme untuk sindiran yang kasar.

2) Makna dalam peribahasa dan ungkapan


Secara leksikologis peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang tetap
susunannya dan biasanya mengiaskan maksud tertentu, ungkapan atau kalimat-
kalimat ringkas padat yang berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip
hidup atau aturan tingkah laku (Depdikbud 1993). Sedangkan yang dimaksud
dengan ungkapan adalah apa-apa yang diungkapkan, kelompok kata atau
gabungan kata yang menyatakan makna khusus, gerak mata atau tangan,
perubahan air muka yang menyatakan perasaan hati (Depdikbud 1993).
Meskipun antara idiom dan ungkapan terdapat perbedaan makna, namun hal
yang berhubungan dengan idiom telah dimasukkan dalam pengertian ungkapan.
Secara leksikologis idiom adalah konstruksi dalam unsur-unsur yang saling
memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena
bersama yang lain, konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan
makna anggota-anggotanya, bahasa dan dialek yang khas menandai suatu bangsa,
kelompok atau suku (Depdikbud 1993).
Dalam kehidupan sehari-hari, kadangkala manusia tidak mau berterus terang.
Bahkan ada yang menggunakan isyarat tertentu. Karena hal tersebut maka
lahirlah apa yang disebut peribahasa dan ungkapan. Namun sulit untuk menerka
makna yang tersurat bersifat samar-samar. Dengan demikian kita harus
menghubungkan dengan makna sebenarnya. Setiap orang dituntut untuk
memahami makna setiap kata yang membentuk peribahasa dan ungkapan.
Kemudian setiap dituntut untuk menerka makna kaiasan yang ada didalamnya.
Makna buka kumpulan setiap kata, melainkan makna simpulan peribahasa atau
ungkapan.
e. Relasi Makna
Dalam setiap bahasa terdapat hubungan kemaknaan atau relasi semantik
antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya. Kata-kata biasanya mengandung
komponen makna yang kompleks. Hal tersebut mengakibatkan terajdinya hubungan
yang menunjukkan persamaan, pertentangan, kegandaan makna dan lain-lain.
Untuk mengkaji semantik para ahli membuat klasifikasi berbagai hubungan
makna dalam berbagai kategori misalnya sinonim, antonimi, polisemi dan
ambiguitas, homonym, hiponim dan sebagainya. Berikut akan dijelaskan berbagai
relasi makna :
1). Sinonim
Secara etimologis kata sinonim sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno,
yaitu onoma yang berarti nama, dan syn yang berarti dengan. Maka dapat
didefinisikan bahwa sinonim merupakan nama lain untuk benda atau hal yang sama.
Secara semantik Verhaar (1978) mengartikan sebagai ungkapan (bias berupa kata,
frase atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan yang lain.
Ada tiga batasan untuk sinonim yaitu kata-kata dengan referen ekstra linguistik yang
sama, kata-kata yang memiliki makna yang sama, dan kata-kata yang dapat disulih
dalam konteks ang sama.
Kata yang bersinonim kesamaannya tidak bersifat mutlak, karena prinsip
umum semantik yang mengatakan apabila bentuk berbeda maka makna pun akan
berbeda. Walaupun perbedaannya hanya sedikit.
2). Antonimi
Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti
nama, dan anti yang berarti melawan. Jadi secara harfiah antonym adalah nama lain
untuk benda lain pula. Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (biasanya
berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat0 yang maknanya
dinaggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya kata baik berantonim dengan
kata buruk. Antonym bersifat tidak mutlak, verhaar myatakan “.. yang maknanya
dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain”. Jadi dianggap kebalikan, bukan
mutlak berlawanan.
3). Polisemi dan Homonimi
Polisemi biasanya diartikan sebagai satuan bahasa (kata dan frasa/) yang
memiliki makna lebih dari satu. Sekaitan dengan polisemi, Palmer (1976) kata yang
mengandung seperangkat makna yang berbeda, mengandung makna ganda. Simpson
(1979) menyatakan suatu kata yang memiliki dua atau lebih makna yang
berhubungan. Polisemi dapat dicontohkan seperti kata kepala dalam bahasa Indonesia
memiliki makna antara lain : bagian tubuh dari manusia dan hewan, ketua atau
pemimpin, sesuatu yang ada disebelah atas, sesuatu yang berbentuk bulat, sesuatu
atau bagian yang dianggap penting. Beberapa alas an polisemi ada dalam suatu
bahasa. Dari penjelasan di atas polisemi menunjukkan kata memiliki lebih dari satu
makna. Namun pengertian polisemi bertumpang tindih dengan homomini yaitu gejala
kesamaan tulisan dan lafal dua kata yang berbeda.
Istilah homonimi dalam bahasa Inggris homonymy berasal dari bahasa
Yunani kuna, yakni onoma berarti ‘nama’ dan homos yang berarti ‘sama’. Secara
harfiah homonimi adalah nama sama untuk benda berlainan.
Namun perbedaan yang jelas antara keduanya adalah homonimi bukanlah
sebuah kata, melainkan dua kata atau lebih yang bentuknya sama. Dengan demikian
maka maknanya pun berbeda. Sebaliknya bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata
yang memiliki makna lebih dari satu. Kemudian makna-makna pada bentuk
homonimi tidak ada hubungan sama sekali antara satu dengan yang lain., namun
makna pada kata yang polisemi masih ada hubungannya karena dikembangkan dari
komponen-komponen makna kata-kata tersebut.
4). Hiponimi dan hipernimi
Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti
‘nama’ dan hypo berarti ‘dibawah’. Jadi secara harfiah hiponimi adalah nama yang
termasuk dibawah nama lain. Verhaar berpendapat hiponim ialah ungkapan (baik
berupa kata, frasa maupun kalimat ) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari
makna suatu ungkapan lain.
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawah dan
kelas atas, adanya makna sebuah kata yang berada dibawah makna kata lainnya.
Misalnya kata ikan yang merupakan hipernim, dan tongkol, mujahir, bandeng sebagai
hiponimnya.
5). Ambiguitas
Ambiguitas sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda. Namun
pengertian tersebut tidak dapat membedakan antara polisemi dengan ambiguitas.
Kegandaan makna pada polisemi berasal dari katanya, sedanfkan ambiguitas berasal
dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frasa atau kalimat. .
6). Redudansi
Istilah redudansi biasanya diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian
unsure segmental dalam sutau bentuk ujaran’. Misalnya kalimat bola ditendang
Udin, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan bola ditendang oleh Udin.
Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai suatu redundansi, yang
berlebih-lebihan dan sebenarnya tidak perlu. Secara semantik masalah redundansi
sebenarnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk
berbeda maka makna pun akan berbeda.
BAB lII
PENUTUP

A. Simpulan
Hakikat perubahan makna adalah bahwasannya perubahan makna
sebagai hasil asosiasi antara kata-kata yang diisolasikan (berdiri sendiri).
Sebab-sebab perubahan makna yaitu perkembangan dalam ilmu dan
teknologi, perkembangan social dan budaya, perbedaan bidang pemakaian,
adanya asosiasi, pertukaran tanggapan indera, perbedaan tanggapan, adanya
penyingkatan, proses gramatikal, dan pengembangan istilah.
Jenis perubahan makna yaitu perubahan meluas, perubahan
menyempit, perubahan total, penghalusan, dan pengasaran. Faktor yang
memudahkan perubahan makna yaitu factor kebahasaan, factor kesejarahan,
factor social, factor psikologi, factor pengaruh bahasa asing dan factor
kebutuhan kata yang baru.

B. Saran
Saran ini ditujukan untuk masyarakat Indonesia pada umumnya dan
mahasiswa pada jurusan kebahasaan terutama bahasa Indonesia, hendaklah di
zaman yang serba berubah ini kita lebih tanggap terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi khususnya dalam bidang bahasa Indonesia. Kita harus
melestarikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Perubahan yang
terjadi perlu kita cermati dengan baik agar keaslian bahasa Indonesia tetap
terjaga.
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul.2007.Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta


.1995.Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Suherlan dan R, Odien.2004.Ihwal Ilmu Bahasa dan Cakupannya. Serang: Untirta
Press
Pateda, Mansoer.1994.Semantik Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta
http://www.slideshare.net/Rizzty/makalah-semantik-dan-sintaksis-dalam-bahasa-
indonesia
http://anniunn.blogspot.com/2013/04/makalah-semantik-tentang-makna-dan.html
http://edbisofrisca.wordpress.com/2012/05/03/makalah-semantik-2/
http://ahmadzulbahasa.blogspot.com/2010/09/tugas-makalah-semantik.html

Anda mungkin juga menyukai