Anda di halaman 1dari 1

Edu-Corner

Bersama Membangun Almamater (Himpunan


Mahasiswa Alhuda)

S u n d a y, J a n u a r y 1 6 , 2 0 11

Aspek Makna Ujaran

Oleh: Novi Rakmawati


(Himpunan Mahasiswa Al-Huda)
A. Pengertian Makna Ujaran
Berbicara mengenai makna, telah banyak sekali para
fakar linguistik memberikan definisi mengenai makna.
Berikut ini beberapa definisi mengenai makna:
1. Menurut Kamus Besat Bahasa Indonesia (1997) “
Makna adalah (a) arti, (b) maksud pembicaraan atau
penulis, (c) pengertian yang diberikan kepada suatu
bentuk kebahasaan.”
2. Verhaar (1978) “ Makna adalah gejala Internal
bahasa.”
3. Kridalaksana (1982:131) “ Makna adalah maksud,
pembicara, hubungan dalam arti kesepadanan atau
ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar
bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang
ditunjukkannya.”
4. Aminuddin (2001:52) “ Makna adalah hubungan
antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati
bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat
saling dimengerti.”

B. Memahami Makna Ujaran


Dalam memahami makna ujaran, pertama perlu
diingat adanya dua bidang kajian tentang makna, yaitu
semantik dan semiotik. Kedua buah kajian tersebut saling
mendukung satu sama lain dalam memahami makna ujaran
dalam sebuah praktek berbahasa. Semantik khusus mengkaji
makna bahasa sebagai alat komunikasi verbal manusia,
sedangkan semiotik mengkaji semua makna yang ada dalam
kehidupan manusia seperti makna-makna yang dikandung
oleh berbagai tanda dan lambang serta isyarat-isyarat
lainnya, seperti pemahaman mengenai gerak-gerak tubuh,
anggota tubuh, mimik dan sebagainya.
Kedua, untuk memahami makna sebuah ujaran maka
harus pula memperhatikan faktor-faktor lain diluar bahasa,
seperti faktor sosial, faktor sosiologi dan faktor budaya.
Ketiga, untuk memahami makna sebuah ujaran maka
harus memahami tingkatan makna secara semantik,
diantaranya:
1. Makna leksikal
Makna leksikal adalah makna yang secara
interen dimiliki oleh sebuah leksem, makna leksikal
dapat juga diartikan makna kata secara lepas, diluar
konteks kalimatnya. Didalam kamus bahasa makna
leksikal biasanya didaftarkan sebagai makna pertama
dari kata yang terdapat dalam kamus tersebut.
Contoh, kata “kepala” dengan arti “bagian tubuh dari
leher ke atas” adalah makna leksikal. Sedangkan
“kepala” dengan arti “pemimpin” bukan makna
leksikal.
Di dalam studi semantik yang menyangkut
makna leksikal terdapat beberapa kasus makna, yaitu:
a. Kasus Kesinoniman
Kesinoniman, maksudnya apabila ada
sejumlah kata yang memiliki kesamaan makna.
Contoh kata ayah dengan bapak, mati bersinonim
dengan wafat, meninggal dengan mampus. Kasus
kesinoniman ini bisa menjadi masalah, karena
dua kata yang bersinonim hanya kurang lebih
sama maknanya, tidak sama persis.
Contoh:
· Bapak si Amin baru pulang dari
Medan
Ayah
Tetapi pada kalimat berikut tidak dapat
saling menggantikan.
· “Selamat pagi Bapak lurah!” seru anak
itu
Ayah
Adapun ketidakpastian yang menyebabkan
kata yang bersinonim tidak dapat dipertukarkan
yaitu faktor areal, maksudnya dimana kata
tersebut biasa digunakan. Contoh “saya” dapat
digunakan dimana saja di Indonesia, sedangkan
“beta” hanya di Indonesia bagian timur.
Yang kedua, faktor sosial adalah tingkat tingkat
kedudukan sosial diantara dua partisipan yang
menggunakan katan yang bersinonim itu. Contoh
kata “saya” dapat digunakan oles siapa saja dan
terhadap siapa saja, sedangkan “Aku” hanya
digunakan terhadap lawan bicara yang lebih
muda.
Yang ketiga, faktor temporal yaitu waktu
penggunaan kata-kata itu. Contoh “hulubalang”
digunakan dalam konteks klasik, sedang
“komando” untuk masa sekarang.
Yang keempat, faktor bidang kegiatan artinya
dalam bidang apa kata-kata tersebut digunakan.
Contoh kata “matahari” dapat digunakan dalam
bidang apa saja, sedangkan “surya” digunakan
dalam sastra saja.
Yang kelima, faktor fitur semantik artinya
faktor ciri-ciri semantik yang dimiliki secara
interen oleh kata-kata itu sehingga membedakan
kata yang satu dengan yang lainnya. Contoh
melihat, melirik, mengintif, menonton.
b. Kasus Keantoniman
Antonim artinya keadaan dua buah kata atau
leksem yang maknanya bertentangan,
berkebalikan, atau berkontras. Contoh baik dan
buruk, penjual dan pembeli dan sebagainya.
Terdapat beberapa tipe keantoniman:
1) Keantoniman mutlak, yakni keantoniman
antara dua buah kata atau leksem yang
maknanya saling mediadakan. Contoh:
hidup-mati, gerak-diam.
2) Keantoniman relatif, yakni keantoniman
antara dua buah kata atau leksem yang
pertentangan maknanya bersifat relatif.
Contoh baik-buruk, tidak baik bukan
berarti buruk tapi bisa saja kurang baik,
sangat buruk dan lain-lain.
3) Keantoniman relasional, yakni
keantoniman dua buah kata atau leksem
yang maknanya saling melengkapi, atau
adanya sesuatu karena adanya yang lain.
Contoh: suami-istri, guru-murid.
4) Keantoniman hierarkial, yakni
keantoniman dua buah kata atau leksem
yang maknanya menyatakan jenjang
urutan dari ukuran, nilai, timbangan,
kepangkatan. Contoh: tamtama-bintara,
gram-kilo gram.
5) Keantoniman ganda, adalah keantoniman
sebuah kata dengan pasangan lebih dari
satu contoh: “berdiri” dengan “duduk”,
“berbaring”, “tiarap”, “jongkok”
c. Kasus Kehomoniman
Kehomoniman, maksudnya suatu keadaan
adanya dua buah kata atau lebih, yang ciri
fisiknya persis sama, tetapi maknanya berbeda.
Contoh kata paus, hak, pacar, kopi. Kata-kata
tersebut dapat menimbulkan salah penafsiran.
Contoh “saya minta kopinya saja”, kata “kopi”
dapat diartikan minuman kopi dan bisa juga
salinan surat yang difotocopy.
Dalam bahasa tulis ada istilah homograf yang
digunakan untuk menyebut kata yang tulisannya
sama lapalnya berbeda, contoh kata <tahu> dalam
arti “sejenis makanan dari kacang kedelai”
dilafalkan <Tahu>, dan kata <tahu> dalam arti
mengerti, memahami, dilafalkan <Tau>.
Sedangkan homofoni digunakan untuk
menyebut dua buah kata yang lafalnya sama tapi
tulisannya berbeda. Contoh dilapalkan <ban>
dalam arti kakak laki-laki atau lembaga
keuangan.
d. Kasus Kehiponiman dan Kehiperniman
Kehiponiman artinya keadaan sebuah kata
yang maknanya tercakup atau berada di bawah
kata yang lain. Contoh kata “merpati, gelatik,
tekukur” bercakup dalam kata “burung”.
Sedangkan kebalikan hubungan antara “burung”
dan merpati disebut hipernim.
2. Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna yang muncul
dikarenakan adanya proses gramatikal. Berikut ini
kasus-kasus yang berhubungan dengan makna
gramatikal,:
a. Fitur Makna
Makna setiap butir leksikal dapat
dianalisis atas fitur-fitur makna yang
membentuk makna keseluruhan butir leksikal
itu seutuhnya (Nida, 1995; Larson, 1989).
Contoh analisis fitur makna kata boy, man,
girl, dan woman.
Fitur
Boy Man Girl Woman
Makna
1.
Manusia
+ + + +
2.
- + - +
Dewasa
+ + - -
3. Laki-
laki
b. Makna Gramatikal Afikasi
Afikasi adalah proses pembubuhan
afiks pada bentuk dasar. Contoh afikasi
dengan frefik ber-pada kata dasar yang
berfitur makna [+ pakaian] akan melahirkan
makna gramatikal “mengenakan”. Untuk
kata-kata tertentu makna gramatikal harus
dilihat tidak hanya dalam tataran morfologi
saja, tetapi bagaimana kedudukan kata
tersebut dalam kalimat. Contoh:
· Usaha mematung banyak dilakukan
penduduk desa.
· Dia duduk saja mematung dalam seminar
itu.
c. Makna Gramatikal Reduflikasi
Makna garmatikal reduflikasi artinya
makna yang muncul dikarenakan adanya
pengulangan kata untuk memahami makna
dalam proses reduflikasi maka harus dilihat
dari kedudukannya kata tersebut dalam
tataran sintaksis. Contoh:
· Bukalah pintu itu lebar-lebar!
· Daunnya sudah lebar-lebar, tetapi belum
dipetik.
· Kumpulkan kertas yang lebar-lebar itu di
sini.
d. Makna Gramatikal Komposisi
Makna gramatikal komposisi yaitu
makna yang muncul sebagai akibat
penggabungan dua buah kata atau lebih.
Contoh kata “kereta” dulu mengandung arti
kendaraan yang ditarik oleh kuda, tapi saat ini
berkembang dan muncul gabungan kata
kereta api, kereta kuda, kereta bisnis, kereta
barang, dan lain-lain.
e. Kasus Kepolisemian
Kepoliseman artinya apabila sebuah kata atau
leksem memiliki labih dari satu makna. Contoh
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
“kepala” mempunyai arti : (1) bagian tubuh di atas
leher; (2) bagian di atas leher tempat tumbuhnya
rambut; (3) bagian benda sebelah atas ; (4) bagian
yang terutama; (5) pemimpin, ketua.
Untuk memahami makna dalam kasus
kepoliseman maka harus dilihat kedudukan kata
tersebut dalam tataran sintuksis.
3. Makna Kontekstual
Makna kontekstual artinya hubungan antara
ujran dan situasi dimana ujaran itu dipakai, Konteks
ujaran ini dapat terjadi dalam beberapa kasus, yaitu:
a. Konteks Intra Kalimat
Artinya makna kata tergantung pada
kedudukannya di dalam kalimat, baik posisinya
dalam kalimat ataupun hubungannya dengan
kata-kata lain dalam kalimat. Contoh:
· Adik lagi makan
· Adik makan lagi
· Kakak jatuh cinta pada gadis itu
· Kakak jatuh dari pohon jambu
b. Konteks Antar Kalimat
Artinya makna ujaran dalam kalimat bisa
difahami maknanya, berdasarkan hubungannya
dengan makna kalimat sebelumnya atau
sesudahnya. Contoh makna kata operasi dalam
kalimat:
· Meskipun persiapan telah dilakukan dengan
seksama, tetapi operasi itu tidak jadi dilakukan.
Menurut keterangan tim medis hal itu karena
tiba-tiba si pasien mengalami komplokasi.
· Meskipun persiapan telah dilakukan dengan
seksama, tetapi operasi tidak jadi dilakukan.
Hal ini karena rencana operai itu telah bocor,
sehingga tak sebuah becak pun yang keluar.
c. Konteks Situasi
Maksudnya kapan, dimana, dan dalam suasana
apa ujaran itu di ucapkan. Contoh kalimat
tanya yang berbunyi “Tiga kali empat berapa?”
bila di ucapkan oleh seorang guru di kelas tiga
SD, tentu memberi jawaban “dua belas”.
Namun, bila ditujukan pada tukang afdruk
foto, maka jawaban mungkin “seribu” atau
“seribu dua ratus”.
4. Ujaran Taksa
Ujaran taksa adalah ujaran yang maknanya dapat
ditafsirkan bermacam-macam. Adapun sebab
terjadinya ketaksaan diantaranya:
a. Adanya Keharmonisan
Yaitu adanya kesamaan ciri fisik kata atau
laksem. Contohnya “Minggu lalu saya bertemu
paus”. Paus pada kalimat tersebut menunjukan
ketaksaan kerena belum jelas apakah yang
dimaksud kepala gereja atau sejenis ikan besar.
b. Kekurangan Konteks
Contoh pada kasus kehomoniman juga
merupakan tanda adanya kekurangan konteks yang
menyebabkan ketaksaan. Jika konteks kalimat
diperjelas maka ketaksaan dapat diatasi. Contoh:
· Mingu lalu ketika berkunjung ke Roma saya
bertemu paus
· Minggu lalu ketika berlayar di samudra ini
saya bertemu paus
c. Ketidakcermatan Struktur Grametikal
Ketidakcermatan struktur grametikal meliputi
struktur frase, klausa, kalimat, dan wacana.
Ketaksaan karena ketidakcermatan struktur
grametikal dapat pula terjadi pada kontruksi yang
struktur grametikalnya berterima tetapi berbagai
kendali semantik telah menimbulkan ketaksaan
padan kontruksi itu. Contoh “lukisan Yusuf”
terjadi ketaksaan apakah yang dimaksud lukisan
yusuf, lukisan itu karya Yusuf, atau lukisan itu
menampilkan wajah Yusuf.
d. Kekurangan Tanda Baca
Ketaksaan kerena kekurangan tanda baca
tanya hanya terjadi pada bahasa ragam tulis, hal ini
disebabkan karena pada ragam tulis tidak terdapat
Intonasi yang dapat memperjelas maksud ujaran.
Contoh “Buku sejarah baru” terdapat ketaksaan
apakah buku itu mengenai sejarah baru atau buku
baru itu mengenai sejarah. Untuk menghilangkan
ketaksaannya maka dapat diberi tanda hubung (-),
seperti “Buku sejarah-baru” untuk arti sejarah
baru, dan “Buku-sejarah baru” untuk arti buku
baru itu mengenai sejarah.

at 5:52 PM

Share

‹ Home ›
View web version

Powered by Blogger.

Anda mungkin juga menyukai