Anda di halaman 1dari 21

Materi Ajar Bahasa Jawa

Materi Ajar
1. Definisi, manfaat, dan tujuan bahasa Jawa
2. Kesantunan dalam berbahasa Jawa
3. Definisi Sastra Jawa
4. Pembelajaran peribahasa Jawa
5. Puisi Jawa: Parikan
6. Puisi Jawa: Wangsalan
7. Puisi Jawa: Tembang,
8. Puisi Jawa modern,
9. Prosa fiksi Jawa
10.

Prosa fiksi modern, dan

11.

Cerita wayang

Materi Pragmatik

A. Hakikat Pragmatik
Parker (1986:11) mengemukakan pragmatik sebagai salah satu
cabang ilmu bahasa yang mempelajari bahasa secara eksternal atau
berdasarkan makna konteks. Berikut penjelasan yang diutarakan oleh
Parker.
Pragmatics is distinct from grammer, which is the study of the
internal structure or language. Pragmatics is the study of how language is
used to communicate.
Dari kutipan yang dikemukakan Parker tersebut dapat dijelaskan
bahwa

kajian

pragmatik berbeda

mengkaji tentang

darikajian tata

struktur

tetapi pragmatik merupakan ilmu

bahasa

internal
bahasa

yang

yang
bahasa,

mengkaji tentang

bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Kata kunci menurut


Parker terletak dari makna yaitu bahasa yang digunakan dalam situasi
berkomunikasi. Situasi berkomunikasi yang dimaksud adalah konteks
ketika sebuah ujaran digunakan mempengaruhi makna dari ujaran
tersebut. Hal yang senada diutarakan oleh Wijaya dan Rohmadi (2011:5),
pragmatik merupakan kajian yang menelaah makna wacana ditinjau dari
segi konteks. Maksud konteks berhubungan dengan situasi kalimat yang
dimaksud

terjadi.

Misalnya,

makna tangan

panjang dan

baik bila

digunakan pada kalimat dengan konteks yang berbeda akan memiliki


makna yang berbeda juga, seperti pada kalimat (1), (2), dan (3) berikut.
1) Pak Nurman memiliki tangan panjang yang mampu menggapai buah
mangga milik mertuanya.

2) Pak Zico terkenal baik di Desa Plangkian sejak diberhentikan dari


Pekerjaannya sebagai akuntan di Bank Bengkulu.
Dari

data

(1)

kata tangan

panjang secara

internal

maknanya

menunjukkan tangan yang berbentuk panjang. Kata baik pada data (2)
secara internal bermakna sifat yang bagus atau santun. Akan tetapi,
secara

eksternal

bila

dilihat

dari

penggunannya,

kata tangan

panjang tidak selalu bermakna tangan yang berbentuk panjang. Begitu


juga kata baik tidak selalu bermakna sifat yang bagus atau santun. Hal
ini dapat kita lihat dalam kutipan dialog berikut.
3) Pak Nurman

Sepertinya

tetangga

kita

itu,

terkenal tangan

panjang di desa MMMMMMMMMnkita ya Bunda?


Bunda Resa

: Ah, Ayah! Jangan sembarangan kalau bicara. Dia

kan tetangga nnnnnnnnnnnnnnnlama kita.


Pak Nurman
Ibu

: Memang baik sekali pak Samitra! Bayangkan saja

mmmmmmmmmmmMertuanya

saja

kemarin

diusir

dari

rumahnya, hanya gara-nnnnnnnnnnnnnnnngara mau pamit pergi ke


pasar loh, bunda.
Dari

dialog

(3)

tersebut

secara

eksternal

kata panjang

tangan memiliki makna pencuri bukan orang yang memiliki tangan


yang berbentuk panjang. Kemudian, untuk kata baik secara eksternal
memiliki makna kurang baik atau sifat yang buruk bukan bermakna
sifat baik atau santun. Dengan demikian, suatu kata bila ditinjau secara
pragmatik, suatu kata, frase, klausa, dan kalimat akan mengalami
perubahan makna bila konteks pembicaraan dalam komunikasi berbeda.
Dengan kata lain, makna yang dikaji dalam pragmatik merupakan makna
yang terikat konteks, berbeda halnya dengan semantik yang mengkaji
makna yang bebas dengan konteks.
Kajian pagmatik juga diutarakan oleh Leech (1983:13) sebagai salah
satu bagian dari ilmu bahasa yang menelaah penggunaan bahasa yang
berintegrasi dengan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Dari
pendapat Leech ini, kajian pragmatik bekerja mengkaji suatu penggunaan

bahasa yang tidak bisa terlepas dari unsur fonologi, morfologi, sintaksis,
dan semantik.
Dari beberapa pendapat ahli bahasa tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang
mengkaji makna suatu bahasa ditinjau dari penggunaan bahasa dalam
berkomunikasi atau terkait dengan konteks (eksternal) ketika bahasa
digunakan dalam berkomunikasi.
B. Sejarah Lahirnya Pragmatik
Bahasa sebagai sesuatu yang bersifat abstrak dan manasuka sulit
untuk diterjemahkan. Begitupun kaum strukturalis mengalami hambatan
dalam memaknai bahasa ketika dihadapkan pada suatu konteks. Pada
tahun-tahun sebelumnya, khususnya tahun 1930-an, linguisitk menurut
kaum struktural dianggap hanya mencakup fonetik, morfologi, dan
fonemik. Kemudian, pada era Bloomfield, kajian sintaksis dengan segala
sesuatu

yang

berkaitan

dengan

makna

dikesampingkan

dalam

pencaturan linguistik karena dianggap terlampau sulit untuk diteliti dan


dalam proses analisis.
Pada tahun 1950-an dengan berkembangnya teori linguistik Chomsky,
sintaksis telah mendapatkan tempat dalam linguistik. Dalam teorinya,
linguistik yang berlatar belakang filsafat mentalis ini menegaskan bahwa
sintaksis merupakan bagian dari linguistik yang bersifat sentral. Gagasan
kesentralan sintaksis itu kemudian mendatangkan pradigma baru dalam
dunia linguistik. Sekalipun linguistik Chomsky dianggap lebih maju
disbanding era linguistik sebelumnya, bagi tokoh ini masalah makna
masih dianggap sulit untuk dianalisis.
Pada awal tahun 1970-an, para linguis yang bernuansa transformasi
generatif seperti Ross dan Lokoff, menyatakan bahwa kajian sintaksis itu
tidak bisa memisahkan diri dengan konteksnya. Sejak saat itu pula lahir
sosok baru dalam dunia linguistik yang disebut prgmatik, khususnya
untuk linguistik yang berkembang dibelahan bumi Amerika. Dapat
dikatakan bahw dengan munculnya tokoh-tokoh itu telah menandai telah

runtuhnya hipotesis tentang teori-teori bahasa yang telah berkembang


diera-era sebelumnya.
Istilah pragmatik sebenarnya sudah mulai dikenal sejak masa hidupnya
seorang filusufi terkenal bernama Charles Morris. Dalam memunculkan
istilah

pragmatic,

Morris

mendasarkan

pemikirannya

berdasarkan

gagasan filusufi-filusufi pendahulunya seperti Charles Shanders Phierce,


dan John Lokey yang banyak menggeluti ilmu tanda dan ilmu lambang
semasa hidupnya yang biasa dinamai semiotika (semiotics). Dengan
berdasarkan pada gagasan filusufi itu, Morris membagi ilmu tanda dan
ilmu lambang ke dalam tiga bagian yakni sintaktika (sintaktics) yakni ilmu
tentang relasi formal tanda-tanda, semantika (semantics) yakni studi
relasi

tentang

tanda-tanda

dengan

objeknya,

dan

pragmatika

(pragmatics) yakni studi relasi tentang tanda-tanda dengan penafsirnya.


Berawal dari filusufi ternama inilah pragmatik terlahir dan bertengger
dalam dunia linguistik.
Linguistik yang lazimnya disebut sebagai ilmu yang mengkaji selukbeluk bahasa keseharian manusia, memiliki beberapa cabang. Cabangcabang tersebut secara linguistik dapat diurutkan: fonologi, morfologi,
sintaksis, semantik, dan pragmatik. Dari urutan cabang-cabang linguistik
itu, tampak bahwa pragmatik merupakan ilmu linguistik yang paling baru.
Verhar (1996) menyebutkan bahwa lazimnya fonologi dibicarakan
berdampingan dengan fonetik. Sebab keduanya sama-sama meneliti
bunyi bahasa. Fonetik meneliti bunyi bahasa berdasarkan pelafalannya
dan

sifat

akustiknya.

berdasarkan

fungsinya.

Sedangkan
Morfologi

fonologi

meneliti

dikatakan

bunyi

sebagai

bahasa

ilmu

yang

mempelajari struktur internal kata, sintaksis mempelajari susunan kata


dalam kalimat, semantik mempelajari perihal makna. Sementara itu,
pragmatik mempelajari apa saja yang termasuk struktur bahasa sebagai
alat komunikasi antara penutur dan mitra tutur serta sebagai pengacuan
tanda-tanda bahasa yang sifatnya ekstralinguistik.
Berdasarkan latar belakang perkembangan
disimpulkan

bahwa kehadiran

pragmatik

pragmatik

disebabkan

dapat
kerena

adanya ketidakpuasan terhadap analisis bahasa yang hanya


menekankan pada unsusr-unsur formal bahasa saja atau bagian
struktur internal. Bahasa dipandang sebagai perwakilan atau
perwujudan

dari

simbol-simbol

bahasa.

Sementara

itu,

perwujudan atau simbol-simbol bahasa hadir apabila ada sesuatu


yang mendasarinya yang berupa unsur-unsur non kebahasaan.
Para penganut strukturalis dalam menganalisis bahasa hanya
menekankan pada struktur formal bahasa. Bahasa (kalimat)
hanya dikatakan lengkap apabila memuat unsur pembentuknya
dalam hal ini subjek (S) dan predikat (P) yang hanya ditandai dari
segi aktif, pasif, transitif, intransitif, semitransitif. Sementara itu
unsur-unsur yang menyertai kehadiran sebuah kalimat terkadang
diabaikan.

Para

penganut

pragmatik

berpandangan

bahwa

bahasa selalu hadir bersamaan dengan konteks. Baik konteks


lingual maupun ekstra lingual. Dalam analisis pragmatik, kajian
bahasa tidak bias dilakukan tanpa mempertimbangkan kontekks
situasi yang meliputi penutur dan mitra tutur, situasi, tujuan
pembicaraan, serta dampak atau bentuk-bentuk perubahan yang
ditimbulkan akibat tindakan tersebut.
C. Antara Pragmatik dan Semantik
Pragmatik dan semantik keduanya membicarakan makna. Perbedaan
keduanya terletak pada penggunaan kata kerja to mean sebagaimana
dalam pertanyaan berikut ini (Leech, 1983).
1. What does X mean? (Apa arti X?)
2. What do you mean by X? (Apa maksudmu dengan X?)
Pada umumnya semantik menganggap makna sebagai

suatu

hubungan yang melibatkan dua segi (dyadic), seperti pada kalimat (1)
sedangkan pragmatik menganggap makna sebagai suatu hubungan yang
melibatkan tiga segi (triadic), sebagaimana tercermin pada kalimat (2) di
atas. Dengan demikian, dalam pragmatik makna diberi definisi dalam
kaitannya

dengan

penutur,

sedangkan

dalam

semantik

makna

didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan dalam bahasa


tertentu yang terpisah dari penuturnya (Leech, 1983).
Pendapat lain mengatakan bahwa perbedaan antara semantik dan
pragmatik terletak pada konteks. Meskipun antara pragmatik dan
semantik memiliki perbedaan namun disisi lain kedua bagian linguistik ini
justru memiliki hubungan yang sinergis dan saling melengkapi walaupun
agak sulit untuk dibuktikan secara obyektif. Namun dalam hal ini menurut
Leech (1993:8) dapat dilakukan suatu pembenaran dengan cara negatif,
yaitu

dengan

menunjukkan

kegagalan-kegagalan

atau

kelemahan

pandangan ini. Pandangan yang lain adalah pertama, penggunaan makna


seperti pada kalimat (1) dan contoh kalimat (2) di atas termasuk bidang
semantik. Kedua, penggunaan makna pada contoh tersebut di atas
termasuk bidang pragmatik. Lebih jelasnya ketiga pandangan tersebut di
atas dapat dilihat pada bagan berikut ini:
Berdasarkan bagan di atas, menunjukkan bahwa betapa sulitnya
untuk merumuskan semantisme dan pragmatisme serta meberikan
contoh-contonya. Karena itu, menurut Leech (1993:9) lebih mengacu
kepada mereka yang lebih banyak memasukkan kajian makna kedalam
posisi semantisme, dan pragmatisis mengacu kepada mereka yang lebih
banyak memasukkan kajian makna kedalam posisi pragmatisme.
Berdasarkan hal di atas, Joko Nurkamto (2000) menyimpulkan bahwa
kajian semantik cenderung mengkaji makna yang terlepas dari konteks
ujaran.

Sedangkan

pragmatik

membicarakan

makna

dengan

mempertimbangkan konteks ujaran tersebut. Oleh karena itu, dalam


memahami

ujaran

semisal:

Gadis

itu

cantik,

semantik

hanya

mempertimbangkan faktor-faktor internal bahasa dalan ujaran itu, yaitu


kosa kata dan hubungan antar kosa kata itu; sedangkan pragmatik
mempertimbangkan siapa yang mengatakan kalimat itu, di mana, kapan,
dan dalam situasi apa, di samping faktor-faktor internal bahasanya. Bagi
semantik, ujaran di atas hanya berarti pemberitahuan bahwa gadis itu
berwajah cantik; namun bagi kajian pragmatik ujaran di atas dapat berarti
ganda, yaitu: pemberitahuan bahwa gadis itu berwajah cantik, anjuran

atau keingnan bagi seorang pemuda untuk mengenali dan mendekatinya,


atau yang lebih dari sekedar itu tergantung pada konteksnya.
Meskipun berbeda, dalam memahami makna suatu ujaran keduanya
bekerjasama secara komplementer. Artinya, makna suatu ujaran tidak
dapat hanya didekati dari salah satu satu sisi, baik semantik maupun
pragmatik, melainkan harus dilihat dari keduanya. Dalam contoh di atas,
misalnya, orang tidak akan dapat memahami bahwa ujaran Gadis itu
cantik berarti anjuran atau keingnan bagi seorang pemuda untuk
mengenali dan mendekatinya (Pragmatics). Apabila ia tidak memahami
makna dasarnya maka hal itu masuk bidang semantik (semantics).

D. Sumber Kajian Pragmatik


Pragmatik sebagai ilmu bersumber pada beberapa ilmu lain yang
juga

mengkaji

bahasa

dan

faktor-faktor

yang

berkaitan

dengan

penggunaan bahasa ilmu-ilmu itu ialah filsafat bahasa, sosiolinguistik


antropologi,

dan

linguistik

terutama

analisa

wacana

(discourse

analysis)dan toeri deiksis (Nababan, 1987). Dari filsafat bahasa pragmatik


mempelajari tindak tutur (speech act) dan conversational implicature.
Dari sosiolinguistik, pragmatik membicarakan variasi bahasa, kemampuan
komunikatif, dan fungsi bahasa. Dari antropologi pragmatik mempelajari
etika berbahasa, konteks berbahasa, dan faktor non verbal. Dari linguistik
dan

analisa

wacana

dibicarakan

lebih

dalam

pada

bagian-bagian

selanjutnya.
E. Obyek Kajian Pragmatik
Pada uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa pragmatik
mengacu pada kajian penggunaan bahasa yang berdasarkan pada
konteks. Bidang kajian yang berkenaan dengan hal itu yang kemudian
lazim

disebut

bidang

kajian

pragmatic

adalah

deiksis

(dexis),

praanggapan (presupposition), tindak tutur (speech act), dan implikatur


percakapan (conversational inplicature). Masing bidang kajian di atas
dibahas secara singkat di bawah ini:

1. Deiksis (Dexis)
Deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau
konstruksi

yang

hanya

dapat

ditafsirkan

acuannya

dengan

mempertimbangkan konteks pembicaraan (Hasan Alwi, dkk.,


1998). Kata saya, sini, sekarang, misalnya, tidak memiliki acuan
yang tetap melainkan bervariasi tergantung pada berbagai hal.
Acuan dari kata saya menjadi jelas setelah diketahui siapa yang
mengucapkan kata itu. Kata sini memiliki rujukan yang nyata
setelah di ketahui di mana kata itu di ucapkan. Demikian pula,
kata sekarang ketika diketahui pula kapan kata itu diujarkan.
Dengan demikian kata-kata di atas termasuk kata-kata yang
deiktis. Berbeda halnya dengan kata-kata seperti meja, kursi,
mobil, dan komputer. Siapapun yang mengatakan, di manapun,
dan kapanpun, kata-kata tersebut memiliki acuan yang jelas dan
tetap.
Bayangkan, ketika seorang mahasiswa UIN mendapati tulisan
di sebuah mikrolet jurusan GL/LG, yang bertuliskan hari ini bayar,
besok gratis. Demikian pula di dalam sebuah warung makan di
sekitar tempat kos mahasiswa, dijumpai sticker yang bertuliskan
Hari ini bayar, besok boleh ngutang. Ungkapan-ungkapan di atas
memiliki arti hanya apabila diujarkan oleh sopir mikrolet di
hadapan para penumpangnya atau oleh pemilik warung makan di
depan para pengunjung warung makannya.
Deiksis dapat di bagi menjadi lima kategori, yaitu deiksis orang
(persona), waktu (time), tempat (place), wacana (discourse), dan
sosial (social) (Levinson, 1983). Deiksis orang berkenaan dengan
penggunaan kata ganti persona, seperti saya (kata ganti persona
pertama), kamu (kata ganti persona kedua). Contoh Bolehkah saya
datang kerumahmu? Kata saya dan -mu dapat dipahami acuannya
hanya apabila diketahui siapa yang mengucapkan kalimat itu, dan
kepada siapa ujaran itu ditujukan.

Deiksis waktu berkenaan dengan penggunaan keterangan


waktu, seperti kemarin, hari ini, dan besok. Contoh, Bukankah
besok hari libur? Kata besok memiliki rujukan yang jelas hanya
apabila
Deiksis

diketahui
tempat

kapan

berkenaan

kalimat

dengan

itu

penggunaan

diucapkan.
keterangan

tempat, seperti di sini, di sana, dan di depan. Contoh duduklah di


sini!. Kata di sini memiliki acuan yang jelas hanya apabila
diketahui

dimana

kalimat

itu

diujarkan.

Deiksis wacana berkaitan dengan penggunaan ungkapan dalam


suatu ujaran untuk mengacu pada bagian dari ujaran yang
mengandung ungkapan itu (termasuk ungkapan itu sendiri),
seperti berikut ini, pada bagian lalu, dan ini. Contoh, kata that
pada kalimat that was the funniest story ever heard. Penanda
wacana yang menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat
lain. Seperti any way, by the way, dan di samping itu juga
termasuk dalam deiksis wacana. Deiksis sosial berkenaan dengan
aspek ujaran yang mencerrminkan realitas sosial tertentu pada
saat ujaran itu dihasilkan. Penggunaan kata Bapak pada kalimat
Bapak dapat memberi kuliah hari ini? Yang diucapkan oleh
seorang mahasiswa kepada dosennya mencerminkan deiksis
sosial. Dalam contoh di atas dapat diketahui tingkat sosial
pembicara dan lawan bicara. Lawan bicara memiliki tingkat sosial
yang lebih tinggi dari pada pembicara.
2. Praanggapan (Presupposition)
Praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai
dasar bersama bagi para peserta percakapan (Brown dan yule,
1996); atau What a speaker or writer assumes that the receiver
of the missage alredy knows(Richards, Platt, dan platt, 1993).
Asumsi

tersebut

ditentukan

batas-batasannya

berdasarkan

anggapan-anggapan pembicara mengenai apa yang kemungkinan

akan diterima oleh lawan bicara tanpa tantangan. Sebagai ilustrasi


perhatikan percakapan di bawah ini:
A: What about inviting John tonight?
B: What a good idea; then he can give Monica a lift.
Praanggapan yang terdapat dalam percakapan di atas antara
lain adalah (1) Bahwa A dan B kenal dengan John dan Monica, (2)
bahwa John memiliki kendaraan kemungkinan besar mobil, dan
(3) bahwa Monica tidak memiliki kendaraan saat ini (Richard, Platt,
dan Platt, 1993).
Dari contoh di atas dipahami bahwa apabila suatu kalimat
diucapkan,

selain

dari

makna

yang

dinyatakan

dengan

pengucapan kalimat itu, turut tersertakan pula tambahan makna,


yang tidak dinyatakan dengan pengucapan kalimat itu (Bambang
Kaswanti Purwo, 1990).
a. Tindak Tutur (Speech Act)
Tindak tutur adalah adalah suatu tuturan /ujaran yang
merupakan satuan fungsional dalam komunikasi (Richard,
Platt, dan Platt, 1993). Teori tindak tutur di kemukakan oleh
dua orang ahli filsafat bahasa yang bernama John Austin dan
John Searle pada tahun 1960-an. Menurut teori tersebut,
setiap kali pembicara mengucapkan suatu kalimat, Ia
sedang berupaya mengerjakan sesuatu dengan kata-kata
(dalam kalimat) itu. Menurut istilah Austin (1965: 94), By
saying something we do something. Seorang hakim yang
mengatakan dengan ini saya menghukum kamu dengan
hukuman penjara selama lima tahun sedang melakukan
tindakan menghukum terdakwa. Kata-kata yang diucapkan
oleh

hakim

tersebut

menandai

dihukumnya

terdakwa.

Terdakwa tidak akan masuk penjara tanpa adanya kata-kata


dari hakim (Clark dan Clark, 1977:26).
Kata-kata yang diungkapkan oleh pembicara memiliki
dua jenis makna sekaligus, yaitu makna proposisional atau
makna

lokusioner

(locutionary

meaning)

dan

makna

ilokusioner (illocutionary meaning). Makna proposisional


adalah makna harfiah kata-kata yang terucap itu. Untuk
memahami makna ini pendengar cukup melakukan decoding
terhadap kata-kata tersebut dengan bekal pengetahuan
gramatikal dan kosa kata. Makna ilokusioner merupakan
efek yang ditimbulkan oleh kata-kata yang diucapkan oleh
pembicara kepada pendengar. Sebagai ilustrasi, dalam
ungkapan saya haus makna proposisionalnya adalah
pernyataan yang menggambarkan kondisi fisik pembicara
bahwa Ia haus. Makna ilokusionernya adalah efek yang
diharapkan muncul

dari

pernyataan

tersebut

terhadap

pendengar. Pernyataan tersebut barangkali dimaksudkan


sebagai permintaan kepada pendengar untuk menyediakan
minuman bagi pembicara.
Searle (1986) dalam Joko Nurkamto (2000) membagi
tindak tutur menjadi lima. Pertama, komisif (commisive),
yaitu tindak tutur yang menyatakan bahwa pembicara akan
melakukan sesuatu di masa akan datang, seperti janji atau
ancaman. Contoh: Saya akan melamarmu bulan depan.
Kedua, deklaratif (declarative), yaitu tindak tutur yang dapat
mengubah keadaan. Contoh: Dengan ini Anda saya nyatakan
lulus. Kata-kata tersebut mengubah status seseorang dari
keadaan belum lulus ke keadaan lulus. Ketiga, direktif
(directive), yaitu tindak tutur yang berfungsi meminta
pendengar
permintaan,

untuk
dan

melakukan
perintah.

sesuatu

Contoh:

seperti

Silahkan

saran,
duduk!.

Keempat, ekspresif (expressive), yaitu tindak tutur yang


digunakan oleh pembicara untuk mengungkapkan perasaan
dan sikap terhadap sesuatu. Contoh: Mahasiswi itu cantik
sekali. Kelima, representatif (representative), yaitu tindak
tutur yang menggambarkan keadaan atau kejadian, seperti

laporan, tuntutan, dan pernyataan. Contoh: Ujian Akhir


Semester dimulai pukul tujuh.
Dari uraian di atas tampak bahwa tindak tutur (speech
act) merupakan fungsi bahasa (language function), yaitu
tujuan digunakan bahasa, seperti untuk memuji, meminta
maaf, memberi saran, dan mengundang. Fungsi-fungsi
tersebut

tidak

gramatikalnya,

dapat
tetapi

ditentukan
juga

dari

hanya
konteks

dari

bentuk

digunakannya

bahasa tersebut. Sebagai contoh, Kalimat deklaratif yang


secara tradisional digunakan untuk membuat pernyataan
(statement) dapat digunakan untuk menyatakan permintaan
atau perintah (Sinclair dan Coulthard, 1975).
Oleh karena itu, dalam teori tindak tutur (speech act)
dikenal istilah tindak tutur tidak langsung (indirect speech
act), yaitu tindak tutur yang dikemukakan secara tidak
langsung.

Bandingkan

diucapkan

seorang

kedua
tamu

ujaran
kepada

berikut
tuan

ini,

yang

rumahnya:

A: Maaf lho Bu, Gelasnya bocor


B: Bu, saya haus
Kalimat (1) adalah contoh tindak tutur tidak langsung,
dan kalimat (2) adalah kalimat contoh tindak tutur langsung.
Dalam komunikasi sehari-hari, tindak tutur langsung sering
dianggap lebih sopan dari pada tindak tutur langsung,
terutama apabila berkaitan dengan permintaan (requests)
dan penolakan (refusals).
b. Implikatur Percakapan (Conversational Inplicature)
Istilah implikatur dipakai oleh Grice (1975)

untuk

menerangkan apa yang mungkin di artikan, disarankan, atau


dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dengan apa yang
sebenarnya dikatakan oleh penutur itu (Brown dan Yule,
1996). Menurut Levinson (1983), implikatur percakapan
merupakan penyimpangan dari muatan semantik suatu

kalimat. Dikatakan bahwa:


they grenerate inferences beyond the semantic content of
the sentences uttered. Such inferences are, by definition,
conversational implicatures, where the term implicature is
intended to contrast with the term like logical implication,
entaiment and logical consequences which are generally
used to refer to inferences that are derived solely from
logical and semantic content. For implicatures are not
semantic inferences, but rather inferences based on both
the content of what has been said and some specific
assumption about the co-oprative nature of ordinary verbal
interction (103-104)
Pemahaman terhadap

implikatur

percakapan

tidak

terlepas dari asas kerja sama (co-oprative principle) yang


dikemukakan oleh Grice (Brown dan Yule, 1996: 31-32). Asas
umum kerja sama tersebut berbunyi: Berikan sumbangan
anda pada percakapan sebagaimana diperlukan, pada tahap
terjadinya, oleh tujuan yang diterima atau arah pertukaran
pembicaraan yang anda terlibat di dalamnya. Asas umum
tersebut menurut Joko Nurkamto (2000) dapat direfleksikan
dari beberapa maksim, yaitu: (1) Maksim Kuantitas: Berikan
informasi anda seimformatif yang diperlukan (sesuai dengan
percakapan sekarang. Jangan memberikan informasi yang
lebih informatif dari yang diperlukan, (2) Maksim Kualitas:
Jangan megatakan apa yang anda yakini tidak benar. Jangan
mengatakan sesuatu apabila anda tidak memiliki bukti
tentangnya,

(3)

Maksim

Hubungan:

Berbicaralah

yang

relevan, dan (4) Maksim Cara: Nyatakan dengan jelas.


Hindarkan ungkapan yang kabur. Hindarkan kata-kata yang
memiliki arti ganda. Berbicaralah dengan singkat (jangan
bertele-tele).

Berbicaralah

dengan

teratur.

Pengingkaran

terhadap

maksim-maksim

di

atas

mengakibatkan lahirnya arti tambahan pada arti harfiah


ujarannya.

Arti

tambahan

itu

merupakan

implikatur

percakapan. Perhatikan contoh perrcakapan antara A dan B


berukut ini:
A: I am out of petrol
B: There is garage round the corner.
Dari percakapan di atas tampak bahwa B melanggar
maksim

hubungan

(berbicaralah

yang

relevan).

Implikaturnya, yang berasala dari anggapan B menganut


asas kerja sama, adalah (1) bahwa ada pompa bensin di
sudut jalan; (2) bahwa pompa bensin tersebut masih buka
dan menjual bensin; dan (3) bahwa di balik sudut jalan yang
dimaksud bukanlah jarak yang jauh. Di samping itu, kita
harus

menafsirkan

bahwa

kata-kata

tidak

hanya

merupakan deskripsi keadaan tertentu saja, melainkan juga


sebagai permintaan bantuan, misalnya.
F. Kurikulum, Pragmatik dan Aplikasinya
1. Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa
Sebelum mengkaji lebih jauh, akan dipaparkan suatu pengertian
dari pragmatik yang dikutip dari salah satu ahli bahasa. Levinson
berpendapat bahwa pragmatik ialah kajian dari hubungan antara
bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa
(Nababan, 1987 : 3). Dari pendapat tersebut terlihat bahwa
pragmatik
melibatkan

merupakan

salah

unsur-unsur

di

satu
luar

bidang
bahasa

kajian

bahasa

(konteks)

di

yang
dalam

pengkajiannya.
Dalam pragmatik, pengkajian bahasa didasarkan pada penggunaan
bahasa

bukan

pada

struktural

semata.

Konteks-konteks

yang

melingkupi suatu bahasa akan mendapat perhatian yang besar dalam


kaitannya dengan makna yang muncul dari suatu penggunaan
bahasa. Kondisi praktis tindak komunikasi menjadi pijakan utama

dalam pengkajian pragmatik. Dalam hal ini, wacana-wacana yang


berkaitan dengan proses komunikasi akan dikaji.
Menurut Maidar Arsyad, pragmatik membaca pengkajian bahasa
lebih jauh ke dalam keterampilan menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi praktis dalam segala situasi yang mendasari interaksi
kebahasaan antara manusia sebagai anggota masyarakat (1997 :
3.17).

Dari

pendapat

tersebut

terlihat

jelas

bahwa

orientasi

pengkajian pragmatik adalah pada suatu komunikasi praktis, di mana


pada tataran praktis, muncul berbagai faktor diluar bahasa yang
turut memberi makna dalam proses komunikasi tersebut. Adapun
Nababan

mengemukakan

beberapa

faktor

penentu

dalam

berkomunikasi: siapa yang berbahasa dengan siapa; untuk tujuan


apa; dalam situasi apa (tempat dan waktu); dalam konteks apa
(peserta lain, kebudayaan dan suasana); dengan jalur apa (lisan atau
tulisan); media apa (tatap muka, telepon, surat, dan sebagainya);
dalam peristiwa apa (bercakap-cakap, ceramah, upacara, laporan,
dan sebagainya) (1987 : 70)
Dari pendapat tersebut didapat beberapa faktor yang mungkin
sekali mempengaruhi proses tindak komunikasi yaitu pelaku, tujuan,
situasi,

konteks,

jalur,

media,

dan

peristiwa.

Senada

dengan

Nababan, Suyono juga mengemukakan tiga konsep dasar dalam


komunikasi.

Suyono

mengemukakan

tiga

konsep

dasar

dalam

penggunaan bahasa (studi pragmatik) yaitu tindak komunikatif,


peristiwa komunikatif dan situasi komunikatif (1990 : 18). Melihat dua
pendapat tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda, hanya saja
Suyono lebih meringkas lagi faktor-faktor penentu tersebut dalam
tiga konsep dasar.
Dengan berpijak pada beberapa hal di atas, jelaslah bahwa
pragmatik

akan

sangat

membantu

dalam

pengajaran

bahasa

(khususnya di sekolah). Pengajaran bahasa yang berorientasi pada


kajian bahasa secara struktural jelas akan menimbulkan banyak
kendala ketika tidak dikaitkan dengan penggunaan bahasa secara

praktis di lapangan. Dalam kegiatan berbahasa seseorang dituntut


untuk

mencapai

kualitas

yang bersifat pragmatis. Dengan

bentuknya yang pragmatis diharapkan siswa dapat menggunakan


bahasa sasaran sesuai konteks yang melatari kegiatan bahasa nyata
(Nurhadi, 1995 : 146). Dari pendapat tersebut komunikasi yang
terjadi

diorientasikan

pragmatis,

sehingga

pada

pencapaian

pengguna

(dalam

kualitas

yang

hal

siswa)

ini

bersifat
dapat

menggunakan bahasa sesuai dengan konteksnya.


Pembelajaran bahasa sudah semestinya mampu mengakomodasi
kebutuhan berbahasa secara praktis sesuai dengan kondisi yang
nyata. Dengan pola yang berdasar pada kajian pragmatik, proses
pembelajaran bahasa yang diterima oleh siswa secara otomatis akan
mengacu pada suatu kondisi praktis tindak komunikasi. Orientasi
pembelajaran yang seperti ini juga akan menuntut penyesuaian pada
berbagai aspek pembelajaran, dari kurikulum sampai tataran praktis
pembelajaran. Seperti dikemukakan oleh Maidar Arsyad bahwa dalam
pengajaran

berbahasa,

pembuat

kurikulum,

atau

program

pembelajaran harus memikirkan bahan tentang berbagai ragam


bahasa dan melatihkannya sesuai dengan situasi dan konteks
pemakaiannya (1997 : 3.17). Ada tiga hal penting dari pendapat
tersebut yaitu program belajar, ragam bahasa, dan pelatihan sesuai
situasi

dan

konteks.

Tiga hal tersebut memang sangat penting ketika suatu pembelajaran


bahasa sudah berorientasi pada penggunaan bahasa pada tataran
praktis.

Dari

program,

materi

(bahan),

ragam

bahasa,

dan

menciptakan suatu situasi dan konteks yang sesuai jelas tidak dapat
dihindarkan ketika target akhir dari pembelajaran bahasa adalah
siswa mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai
dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis (BSNP,
2006).
Ada juga pendapat lain yang lebih jauh merambah aspek lain di luar

bahasa. Eny (2004), berpendapat: Pengajaran bahasa Indonesia


seharusnya

berdasarkan

pada

dimensi

kultural

karena

dalam

pembelajaran itu diungkapkan gagasan mengenai masalah yang


berkaitan dengan ilmu, teknologi dan atau budaya yang sedang
dipelajarinya.

Pengajaran

itu

difokuskan

pada

kemahiran

menggunakan bahasa yang benar, jelas, efektif, dan sesuai dengan


fungsi bahasa sebagai alat komunikasiDari pendapat tersebut, Eny
mencoba melibatkan dimensi kultural karena berkaitan dengan
aspek-aspek kehidupan yang lain. Memang suatu bahasa pada
akhirnya akan bersinggungan dengan berbagai aspek yang lain ketika
manusia dalam menuangkan gagasan apapun akan menggunakan
suatu bahasa. Jadi akan sangat berterima jika suatu pembelajaran
bahasa harus berdasar pada kondisi praktis.
Berangkat dari berbagai paparan di atas, dapat kita tarik suatu
simpulan bahwa pembelajaran bahasa yang diorientasikan pada
tataran praktis tindak komunikasi akan sangat diperlukan bagi
peserta didik. Dalam hal ini, pendekatan komunikatif (lebih spesifik
pragmatik)
pembelajaran

sangat
bahasa

membantu
yang

dalam

dilakukan,

mengarahkan
terutama

pada

proses
tataran

pendidikan formal atau sekolah.

G. Kajian Kurikulum Kaitannya dengan Pendekatan Pragmatik


Di Indonesia akhir-akhir ini terjadi perubahan kurikulum, dan sampai
sekarang ini yang sedang diberlakukan adalah Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan atau yang lebih kita kenal dengan sebutan KTSP. KTSP ini
merupakan aplikasi lebih lanjut dari kurikulum sebelumnya yaitu KBK.
Pada dasarnya, dua model kurikulum ini sama yaitu berorientasi pada
suatu capaian kompetensi.
Pembelajaran bahasa Indonesia di dalam kurikulum ini di arahkan pada
suatu

kompetensi

berbahasa

baik

secara

lisan

maupun

tulis.

Pembelajaran

bahasa

Indonesia

diarahkan

untuk

meningkatkan

kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia


dengan

baik

dan

benar,

baik

secara

lisan

maupun

tulis,

serta

menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia


Indonesia (BSNP, 2006). Dari uraian tersebut jelas ditunjukan bahwa
kemampuan peserta didik berkomunikasi dalam bahasa Indonesia
menjadi tujuan pokok dari pembelajaran bahasa Indonesia (khususnya di
sekolah). Pendidikan tingkat bawah sampai tingkat atas, pembelajaran
bahasanya sudah diarahkan pada kemampuan berkomunikasi secara
praktis.
Untuk

mencapai

suatu

kemampuan

berkomunikasi

secara

baik,

tidaklah mungkin dapat tercapai hanya dengan mempelajari bahasa


secara struktural saja. Hal tersebut dikarenakan adanya banyak faktor di
luar bahasa yang mempengaruhi proses berkomunikasi. Dalam hal ini,
pendekatan pragmatik cukup membantu dalam pembelajaran bahasa
yang

berorientasi

Dalam

kurikulum

pada
yang

tindak

terbaru

komunikasi

ini,

dalam

secara

pembentukan

praktis.
arahan-

arahannya juga sudah banyak melibatkan kajian pragmatik di dalamnya.


Berbagai tuntutan kompetensi yang dihadirkan juga sudah didasarkan
pada

tindak

komunikasi

(pragmatik).

Standar

kompetensi

dan

kompetensi dasar yang menjadi acuan dalam pembelajaran, sudah


dirancang sedemikian rupa untuk mengakomodasi tuntutan siswa
mampu berkomunikasi secara efektif efisien sesuai dengan etika yang
berlaku, baik secara lisan maupun tulisan. Dari aspek mendengarkan
(menyimak), membaca, berbicara, dan menulis sudah didasarkan pada
kebutuhan
tersebut,

komunikasi

praktis.

Dalam

pembelajaran

selalu akan diarahkan sampai

pada

empat aspek

kemampuan untuk

menangkap wacana yang terdapat di luar aspek kebahasaan secara


struktural. Dengan pemahaman yang baik terhadap hal-hal di luar
bahasa, siswa diharapkan mampu memaknai suatu bahasa dengan lebih
baik, dan lebih jauhnya lagi siswa diharapkan mampu berkomunikasi

dengan lebih baik pula.


Perencanaan yang seperti itu jelas harus didukung oleh seluruh elemen
pendidikan. Ketika pada tataran konsep sudah baik, tetapi pada tataran
praktis tidak dilakukan sesuai arahan, maka hasil yang dicapaipun tidak
akan maksimal. Dengan kurikulum yang terbaru ini jelas guru sebagai
salah satu elemen penting mempunyai keleluasaan dalam merancang
proses pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik,
karena kita tahu bahwa setiap daerah akan mempunyai fenomena yang
berbeda khususnya mengenai penggunaan bahasa. Namun yang perlu
dijadikan pegangan oleh para guru yaitu adanya standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang harus dicapai. Selebihnya menjadi kebijakan
pendidik dalam mengakomodasi kebutuhan komunikasi yang disesuaikan
dengan kebutuhan.
H. C. Contoh Pembelajaran dengan Berdasar pada Pendekatan Pragmatik
I. Pada bagian ini akan dipaparkan sedikit contoh yang berkaitan dengan
pembelajaran bahasa indonesia yang didasarkan pada kemampuan
pragmatik. Dalam hal ini kami akan mengacu pada suatu standar
kompetensi dan kompetansi dasar yang menjadi acuan dalam proses
pembelajaran di kelas. Sampel yang kami ambil adalah pembelajaran
pada tingkat SMA, kelas X semester 1. Aspeknya adalah berbicara
dengan

standar

kompetensinya

yaitu

mengungkapkan

pikiran,

perasaan, dan informasi melalui kegiatan berkenalan, diskusi, dan


bercerita, dan kompetensi dasarnya adalah memperkenalkan diri dan
orang lain di dalam forum resmi dengan intonasi yang tepat.
Dalam rancana pembelajaran (terlampir), siswa diarahkan untuk dapat
memperkenalkan diri dan orang lain dalam suatu forum yang resmi.
Dalam

hal

ini

memprektekan

guru

memberi

kompetensi

arahan

tersebut.

materi
Dalam

sebelum

siswa

arahannya

guru

menyampaikan materi bahwa dalam memperkenalkan diri maupun

orang lain haruslah kita memahami situasi yang ada dalam forum itu.
Dari materi ini jelaslah bahwa unsur-unsur di luar bahasa mulai
diperhatikan,

dengan

kata

lain

kemampuan

pragmatik

mulai

diperkenalkan pada siswa. Lebih lanjut guru menerangkan hal-hal yang


perlu diperhatikan dalam berbicara (memperkenalkan diri) di dalam
forum resmi, seperti dalam forum itu dihadiri siapa saja (siswa
berhadapan dengan siapa), orang yang diperkenalkan itu siapa, status
atau kedudukannya dalam forum menjadi apa, situasi yang dihadapi
seperti apa, tujuannya apa, dan berbagai hal yang lain yang perlu
diperhatikan

(mengacu

pada

kajian

pragmatik).

Selanjutnya guru mencoba menciptakan suatu situasi atau kondisi


pembelajaran sedemikian rupa sehingga siswa mendapat kesempatan
untuk menunjukan kompetensi yang dimilikinya dalam suatu situasi
yang diciptakan tersebut. Dengan memberikan peran-peran tertentu
pada beberapa orang, siswa dihadapkan pada suatu situasi seperti
yang

diharapkan

untuk

belajar

menghadapi

situasi

tertentu.

Dari pembelajaran yang dilakukan akan dapat terlihat, bagaimana


komunikasi yang terjadi. Apakah siswa sudah mampu berkomunikasi
dengan

tepat

pada

suatu

situasi

yang

diciptakan

tersebut.

Ketercapaian tersebut dapat dilihat dari bagaimana sikap yang


ditunjukan,

bagaimana

berkomunikasinya

pilihan

tercapai

kata

atau

yang
tidak,

digunakan,
dan

tujuan

sebagainya.

Dengan proses pembelajaran yang seperti itu diharapkan, siswa paling


tidak

mendapatkan

pengalaman

belajar.

Lebih

jauh

lagi

siswa

mengetahui berbagai hal yang perlu diperhatikan dalam proses


berkomunikasi secara praktis. Pada akhirnya siswa akan mendapat
bekal untuk berkomunikasi dalam masyarakat, paling tidak yang
berhubungan dengan materi yang diajarkan.

Anda mungkin juga menyukai