Anda di halaman 1dari 17

EDITING DALAM MENYUSUN ANTOLOGI CERITA ANAK

BERSAMA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Menulis Kreatif yang
diampu oleh:

Desti Fatin Fauziyyah, S.Pd., M.Pd.

Disusun oleh:

Kelompok 10

Asrilah Munaji 185030012

Silfi Nuraliya 185030019

Asti Pujiastuti Hidayat 185030026

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PASUNDAN

BANDUNG

2020
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Editing
Dalam dunia penerbitan, orang yang menyunting naskah disebut
penyunting atau editor. Istilah tersebut berasal dari Bahasa Inggris editor.
Menurut Echols, dkk. (Eneste, hlm. 10, 2012), kata edit sendiri bermakna
‘membaca dan memperbaiki (naskah), mempersiapkan (naskah) untuk diterbitkan.
Kini, kata editor sudah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia.

Menurut KBBI (Eneste, hlm. 8, 2012) penyuntingan bermakna ‘proses,


cara, perbuatan sunting-menyunting; segala sesuatu yang berhubungan dengan
pekerjaan menyunting; pengeditan’. Pernyataan tersebut didukung oleh Eneste
(hlm. 8, 2012) yang berpendapat bahwa pengertian menyuntingan yang cocok
dengan penerbitan buku adalah menyiapkan naskah siap cetak atau siap terbit
dengan memperhatikan segi sistematika penyajian, isi, dan bahasa (menyangkut
ejaan, diksi, dan struktur kalimat).

Eneste (hlm. 12, 2012) juga mengatakan bahwa istilah editor buku atau
penyunting buku mengacu pada orang yang mengumpulkan tulisan/karangan
orang lain untuk ditawarkan ke penerbit atau untuk diterbitkan. Editor buku atau
penyunting buku dapat juga disebut editor antologi atau antholgy editor.

Sehingga, dapat penulis simpulkan bahwa editing atau penyuntingan


dalam penerbitan buku ialah proses memperbaiki dan mempersiapkan suatu
naskah atau buku dengan memperhatikan segi sistematika penyajian, isi, dan
bahasa sehingga layak untuk diterbitkan.

2
Kurniawan (hlm. 98, 2010) berpendapat bahwa tugas paling utama dari
seorang editor adalah mencari, memperbaiki, dan menerbitkan naskah.
Pernyataan tersebut didukung oleh Eneste (hlm. 10, 2012) yang merincikan
tugas pokok seorang editor penerbit buku sebagai berikut.
a. merencanakan naskah yang akan diterbitkan oleh penerbit;
b. mencari naskah yang akan diterbitkan;
c. mempertimbangkan naskah yang masuk ke penerbit;
d. menyunting naskah dari segi isi atau materi;
e. memberi petunjuk atau arahan pada copyeditor yang membantunya mengenai
cara penyuntingan naskah.

Di samping itu, tugas tambahan bagi seorang editor penerbit buku, yaitu:

a. menyetujui naskah untuk dicetak;


b. memberi saran terhadap rancangan kulit depan buku; dan
c. menyetujui rancangan kulit depan (cover depan).

Jika dilihat dari tugasnya, tanggung jawab seorang editor buku atau
penyunting buku cukuplah berat. Sehingga nama editor pun biasanya dicantumkan
pada halaman hak cipta buku yang diterbitkan. Seorang editor buku atau
penyunting buku tidak boleh asal-asalan dalam menjalankan tugasnya. Dalam
proses editing atau penyuntingan, Rasibook (hlm. 12, 2019) memperingatkan
bahwa seorang editor tidak diperkenankan melakukan hal-hal berikut.

a. merusak atau menghilangkan bagian penting dari naskah; dan


b. mengubah maksud dari penulis dalam naskah tersebut.

Tentunya tidak semua orang dapat menjadi seorang editor atau penyunting
buku. Eneste (hlm. 15, 2012) menyebutkan beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi oleh seorang editor atau penyunting, meliputi penguasaan ejaan bahasa
Indonesia, penguasaan tatabahasa Indonesia, ketelitian dan kesabaran,
kemampuan menulis, keluwesan (kesupelan), penguasaan salah satu bidang
keilmuan, pengetahuan yang luas, dan kepekaan bahasa.

3
Pernyataan Eneste didukung oleh Rasibook (hlm. 12, 2019) yang menyebutkan
beberapa kemampuan yang harus dimiliki editor atau penyunting buku, yaitu:

a. hobi membaca dan mahir menulis


b. memahami EYD dan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar
c. memahami bahasa sastra
d. mengetahui perkembangan zaman dan teknologi
e. bersahabat dengan kamus
f. teliti dan sabar
g. peka terhadap SARA dan pornografi
h. memahami kode etik editing naskah

B. Kegiatan Penyuntingan
Menurut Nursetyawathie, dkk. (hlm. 31, 2014) seorang editor atau
penyunting perlu mempertimbangkan tujuh aspek yang disunting dalam naskah
yang diantaranya ialah sebagai berikut.

1. Keterbacaan dan kejelasan (readilibility dan legibility)


Aspek ini berhubungan dengan penampilan tipografi naskah serta bagian-
bagian naskah. Editor harus memastikan naskah yang diserahkan memenuhi
standar keterbacaan, seperti penggunaan font yang sesuai (baik jenisnya
maupun ukurannya), penggunaan spasi atau leading, penggunaan nomor
halaman, penulisan catatan kaki ataupun penjelasan-penjelasan ilustrasi atau
gambar).
2. Konsistensi atau ketaatasasan
Aspek ini berhubungan dengan penggunaan ejaan, tanda baca atau istilah
yang ajek sesuai dengan acuan dalam gaya selingkung penerbit ataupun
kamus standar seperti Kamus Besar Bahasa Indoneisa. Editor harus konsisten
dalam penggunaan istilah, bahkan sekalipun istilah tersebut bukan istilah
standar seperti yang terdapat di dalam kamus, tetapi menjadi ciri khas dalam
sebuah penerbitan.

4
3. Kebahasaan
Aspek ini meliputi penggunaan kalimat serta pergantian paragraf yang harus
benar-benar disajikan secara baik dan benar. Dalam hal ini, kemampuan
menulis editor dipertaruhkan untuk melakukan penulisan ulang bagian-bagian
kalimat yang rancu ataupun tidak enak dibaca menjadi kalimat yang
bermakna dan enak dibaca.
4. Kejelasan dan gaya bahasa
Aspek ini berhubungan dengan gaya penulis yang harus dipahami betul oleh
editor sehingga pengubahan tidak turut mengubah gaya penulis, bahkan
maksud penulis.
5. Ketelitian data dan fakta
Aspek ini berhubungan dengan pemaparan yang harus sesuai dengan data dan
fakta sebenarnyam konstekstual ataupun bersifat mutakhir. Jika di dalam
naskah menyebutkan data dan fakta penduduk Indonesia, hendaklah editor
meyakinkan bahwa penulis sudah menggunakan data dan fakta yang valid
serta terbaru.
6. Kelegalan dan kesopanan
Aspek ini berhubungan dengan bahan-bahan yang mungkin melanggar hak
cipta seseorang ataupun bahan-bahan yang mungkin menimbulkan
kontroversi karena bersinggungan dengan isu SARA, gender, pencemaran
nama baik, terorisme, ataupun pornografi.
7. Ketepatan rincian produksi
Aspek ini berhubungan dengan spesifikasi produksi buku yang menuntut
kejelian editor untuk membuat estimasi ketebalan naskah, ukuran yang tepat
dan pas sesuai dengan penggunaan jenis kertas, hingga penjilidan.

C. Editing dalam Menyusun Antologi Cerita Anak Bersama


Menurut Zubaidah (hlm. 159, 2015) cerita anak adalah sebuah cerita yang
didasarkan pada penggunaan pandangan anak. Masalah yang diceritakan tidak
selalu dunia anak, namun dapat juga dari dunia remaja, orang dewasa, bahkan

5
orang tua. Dalam menghadirkan ceritanya selalu didasarkan pada tingkatan
perkembangan usia anak.

Cerita anak sangat diminati oleh anak-anak , sehingga segala cerita yang
didapatnya akan berimbas secara langsung pada dirinya sendiri. Rasibook (hlm. 2,
2019) mengatakan bahwa edit naskah adalah proses yang sangat penting untuk
menyiapkan naskah agar siap menjadi buku dan dikonsumsi pembaca. Khususnya
dalam menyusun antologi cerita anak, editing atau penyuntingan harus dilakukan
untuk menghindari adanya hal-hal kurang baik yang dapat terbaca oleh anak.
Perlu kita ingat, bahwa editing sendiri berfungsi untuk membantu penulis dalam
menyampaikan idenya kepada pembaca. Dengan demikian, seorang penyunting
bacaaan haruslah mengetahui seluk-beluk dunia anak-anak.

Pada dasarnya, Rasibook (hlm. 21, 2019) mengatakan bahwa dua tahap
yang paling mendasar dalam proses editing ialah sebagai berikut.

a. Mendeteksi kesalahan dan juga kelemahan yang terdapat di naskah;


b. Mengoreksi setiap kesalahan dan juga kelemahan yang terdapat di naskah.

Menurut penulis, terdapat dua aspek yang paling penting dan harus
diperhatikan oleh seorang editor ketika melakukan editing dalam menyusun
antologi cerita anak bersama, diantara ialah sebagai berikut.

1. Penggunaan kata, kalimat, dan kebahasaan


Perhatikan contoh berikut!

Walaupun telah berjatuhan ribuan korban sebagai kusuma bangsa, dan


walaupun pejuang-pejuang yang tertawan mendapatkan siksaan yang luar
biasa kejamnya, tapi semangan bangsa Indonesia tidak luntur, bahkan
makin menyala-nyala tekadnya untuk mempertahankan tiap jengkal tanah
pusakanya.

Dari segi kata dan kalimat, rambu-rambu untuk menyunting naskah buku
sekolah juga berlaku dalam menyunting buku bacaan anak. Sebuah kalimat
tidak boleh lebih dari 10 kata bagi anak kelas 1 sampai 2, maksimal 15 kata
bagi anak kelas 3 sampai 4, dan maksimal 20 kata bagi anak kelas 5 sampai 6.

6
Contoh di atas tentu sulit dipahami oleh anak-anak karena kalimatnya terlalu
panjang, yaitu lebih dari 20 kata. Jangankan anak-anak, orang dewasa pun
sulit untuk memahami kedua bacaan tersebut. Anehnya, bacaan tersebut
sering kali terdapat dalam bacaan anak. Kalimat yang terlalu panjang
sebaiknya dibuat menjadi kalimat yang lebih pendek.
Selain itu, anak-anak tentu belum memiliki pembendaharaan kosa kata
yang cukup banyak dan sering kali merasa kesulitan dalam memahami kata-
kata yang terlalu ilmiah, kompleks, atau abstrak. Oleh karena itu, sebaiknya
dalam cerita anak digunakan kata-kata yang sederhana agar lebih komunikatif
bagi anak-anak.
Perhatikan contoh berikut!

Kata yang Sulit Dimengeti Kata yang Lebih Komunikatif


Alternatif Pilihan
Bahagia Senang
Rumit Susah, sulit
Kadaluwarsa Basi, lewat waktu
Produktif Giat, rajin
Tabel 1. Perbandingan kata yang sulit dimengerti dan kata yang lebih komunikatif bagi
anak-anak
2. Kelegalan dan kesopanan
Seorang editor atua penyunting cerita anak harus selalu waspada terhadap
SARA, pornografi, dan sejumlah ketentuan atau larangan dari Kejaksaan
Agung tentang barang cetakan yang tidak boleh dicetak atau diedarkan di
Indonesia. Khususnya untuk bacaan atau cerita anak, editor harus
memperhatikan beberapa unsur lainnya seperti unsur sadisme, pelecehan
terhadap orang tua, dan pelanggaran norma masyarakat.
Perhatikan contoh berikut!

Kakak sulungku mengambil sebuah gergaji dan memotong tangannya.


Kakakku yang kedua mencongkel matanya keluar dan meletakkannya di atas
piring. Kakakku yang ketiga membelah perutnya dengan sebuah pisau serta
mengeluarkan ususnya. Kemudian, semua itu mereka tinggalkan untuk
istirahat malam. Keesokan harinya, mereka akan memperlihatkan

7
kebolehannya masing-masing, mengoperasikan organnya kembali hingga
pulih seperti sediakala.

Pelecehan terhadap orang tua pun sebaiknya tidak terdapat dalam cerita
anak. Dengan demikian, anak-anak yang membaca cerita tersebut tidak akan
mendapat kesan bahwa melecehkan orang tua itu boleh dilakukan.

Perhatikan contoh berikut!


Sang ayah seketika itu marah. Ia berhenti makan.kemudian, sang ayan
memaki-maki sang ibu. Namun, sang ibu tetap diam. Sang ibu tetap tak
mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya minta maaf karena merasa
bersalah.

Sang ayah terus marah. Makin lama marahnyabukan makin mereda, tetapi
makin memuncak. Tiba-tiba sang ayah memukul kepala san ibu sambil
membentak-bentaknya.

Hari telah malam. Sang ayah masih tetap marah. Makin malam marahnya
makin menjadi-jadi. Sang ayah kembali memukul kepala san ibu hingga luka.

Pelanggaran norma atau tata krama masyarakat pun harus diwaspadai


oleh penyunting cerita anak, karena hal tersebut dapat mudah ditiru oleh
anak-anak. Misalnya, perkawinan sedarah yang sangat ditabukan dalam
masyarakat, dan kekerasan terhadap anak di bawah umur sangat dilarang oleh
masyarakat, sehingga harus ditiadakan dalam cerita anak. Contoh yang
populer adalah Sangkuriang yang ingin mengawini ibunya sendiri dan ibunya
yaitu Dayang Sumbi yang memukul kepala anaknya dengan keras
menggunakan centong nasi dalam cerita rakyat “Legenda Tangkuban
Perahu”. Kedua hal tersebut snagat melanggar norma atau tata krama
masyarakat.

Berdasarkan contoh dan penjelasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa


seorang editor dalam menyusun antologi cerita anak dapat mengusulkan beberapa
penyunting kepada pengarang seperti berikut ini.

8
a. Menghaluskan adegan atau bagian cerita yang mengandung unsur
sadisme dan pelecehan terhadap orang tua agar tidak terasa sadis dan
mengandung pelecehan.
b. Menceritakan adegan atau bagian cerita yang mengandung unsur sadisme
dan pelecehan terhadap orang tua dengan cara lain sehingga kesan sadis
dan pelecehan tidak tampak.
c. Menghilangkan atau membuang adegan atau bagian yang mengandung
unsur sadisme, pelecehan terhadap orang tua, atau pelanggaran norma
masyarakat itu.
d. Mengeluarkan cerita yang mengandung unsur sadisme, pelecehan
terhadap orang tua, atau melanggar norma masyarakat dalam suatu
antologi buku cerita anak bersama. Jadi, dapat dikatakan bahwa salah
satu cerita anak yang tidak layak untuk anak-anak akan dikeluarkan atau
tidak diterbitkan.

D. Contoh Cerita Anak


1. Versi Umum
Kisah ini bermula dari seorang dewa dan seorang dewi yang karena
kesalahan yang dibuatnya di kayangan, akhirnya harus menjalani hukuman di
dunia. Keduanya dihukum untuk berbuat kebaikan dalam hidupnya di bumi dalam
bentuk seekor babi hutan dan seekor anjing. Babi hutan jelmaan dewi itu bernama
Wayung Hyang, sedangkan anjing jelmaan dewa itu bernama Tumang. Wayung
Hyang karena dihukum sebagai babi hutan atau celeng, maka ia berusaha
melakukan berbagai kebaikan di dalam sebuah hutan. Sementara Tumang, sang
anjing jelmaan dewa itu mengabdi sebagai anjing pemburu pada seorang raja yang
bernama Sumbing Perbangkara.
Pada suatu hari, raja Sumbing Perbangkara berburu ke hutan di tepi
kerajaan. Di suatu tempat yang dekat dengan tempat tinggal babi hutan Wayung
Hyang, Sumbing Perbangkara ingin sekali kencing. Ia kemudian kencing dan
tanpa sengaja, tertampung dalam sebuah batok kelapa. Selang beberapa saat, babi
hutan Wayung Hyang yang sedang kehausan kemudian meminum air kencing
Sumbing Perbangkara. Siapa sangka, Wayung Hyang akhirnya hamil.

9
Sumbing Perbangkara yang pada dasarnya memang suka berburu kembali
ke hutan tersebut setelah berbilang bulan, tepat saat Wayung Hyang melahirkan
seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Sumbing Perbangkara yang berburu
kijang mendengar suara tangisan bayi. Ditemani anjing pemburunya Tumang, ia
akhirnya menemukan bayi perempuan yang tak lain adalah anaknya sendiri.
Terpikat oleh keelokan paras bayi itu, Sumbing Perbangkara membawanya pulang
dan mengangkatnya sebagai anak. Bayi perempuan itu kemudian diberi nama
Dayang Sumbi.
Dayang Sumbi kemudian semakin dewasa dan tumbuh menjadi seorang
putri yang berparas elok. Kecantikan tersiar ke segenap penjuru kerajaan hingga
didengar raja-raja dan para pangeran. Dayang Sumbi diperebutkan. Perang besar
terjadi di mana-mana. Merasa tidak nyaman dengan perang yang terjadi di mana-
mana karena memperebutkan dirinya, Dayang Sumbi akhir meminta kepada
ayahnya raja Sumbing Perbangkara untuk menyendiri dan pergi dari kerajaan.
Sumbing Perbangkara akhirnya mengijinkannya dan memberikan Tumang si
anjing pemburu untuk menemaninya. Dayang Sumbi tinggal di sebuah pondok di
tepi hutan. Dengan kehidupannya yang sederhana tak seorangpun yang tahu
bahwa ia adalah Dayang Sumbi yang diperebutkan banyak raja dan pangeran. Di
pondok itu ia mengisi kegiatannya dengan menenun.
Suatu hari, saat menenun kain, Dayang Sumbi duduk di atas sebuah bale-
bale. Karena mengantuk, alat tenunnya yang disebut torak jatuh ke lantai. Dayang
Sumbi merasa malas sekali memungut torak itu, sehingga ia bersumpah bahwa ia
akan menikahi siapapun yang mengambilkan torak itu untuknya. Tumang, anjing
yang ditugaskan menemani Dayang Sumbi akhirnya mengambilkan torak yang
terjatuh itu dan menyerahkannya kepada Dayang Sumbi. Demi memenuhi sumpah
yang terlanjur diucapkannya, Dayang Sumbi akhir menikah dengan Tumang.
Raja Sumbing Perbangkara yang mengetahui hal itu akhirnya merasa
sangat malu. Putrinya yang cantik menikah dengan seekor anjing dan kini tengah
mengandung. Dayang Sumbi akhirnya diasingkan ke hutan bersama-sama dengan
Tumang. Tidak ada seorangpun yang tahu bahwa Tumang adalah jelmaan seorang
dewa, kecuali Dayang Sumbi. Setiap malam purnama, Tumang dapat menjelma
menjadi seorang lelaki yang tampan.

10
Dayang Sumbi yang hamil akhirnya melahirkan seorang putra yang tampan.
Kulitnya putih dengan rambut lebat legam seperti arang. Dayang Sumbi
memberinya nama Sangkuriang. Bayi itu kemudian tumbuh menjadi anak yang
tangkas.
Sangkuriang telah mulai mahir memanah, pada suatu hari diminta ibunya
untuk berburu. Dayang Sumbi ingin sekali memakan hati rusa. Ditemani Tumang,
Sangkuriang berburu di hutan. Di suatu tempat, Sangkuriang melihat babi hutan
Wayung Hyang melintas. Ia segera membidikkan panahnya. Akan tetapi Wayung
Hyang berlari dan bersembunyi dengan gesit. Sangkuriang memerintahkan anjing
pemburunya, Tumang untuk mengejar babi hutan itu. Tumang yang mengetahui
jika babi hutan itu bukan sembarang babi hutan melainkan jelmaan dewi yang
bernama Wayung Hyang, menolak perintah Sangkuriang. Tumang, si anjing
jelmaan dewa itu hanya duduk diam memandang Sangkuriang.
Sangkuriang sangat marah kepada Tumang. Ia menakut-nakuti Tumang
dengan mengarahkan anak panah pada Tumang. Tetapi, tanpa sengaja, ia
melepaskan anak panah itu pada busurnya. Anak panah melesat dan menghunjam
ke tubuh Tumang. Anjing jelmaan dewa itu tewas. Sangkuriang yang ketakutan
bercampur putus asa akhirnya mengambil hati Tumang. Hati itu kemudian
dibawanya pulang dan diserahkannya kepada dayang Sumbi dengan mengatakan
bahwa itu adalah hati rusa hasil buruannya.
Dayang Sumbi dengan gembira memasak hati itu, mereka ia makan
dengan lahap. Setelah selesai makan, Dayang Sumbi teringat akan Tumang. Ia
bertanya kepada Sangkuriang di mana anjing Tumang. Sangkuriang yang
akhirnya tidak bisa berkelit jujur mengakui bahwa Tumang telah tewas karena
panahnya dan hatinya telah diserahkan kepada ibunya untuk dimasak.
Dayang Sumbi sangat murka. Sangkuriang telah membunuh ayah
kandungnya sendiri. Ia kemudian mengambil centong nasi dan memukul kepala
Sangkuriang hingga terluka sangat parah. Akan tetapi, luka di hati Sangkuriang
lebih parah. Ia akhirnya lari dari pondok mereka.
Menyadari bahwa ia telah melukai anaknya sendiri dan membuatnya lari,
Dayang Sumbi akhirnya merasa sangat menyesal. Sangkuriang adalah putranya
satu-satunya yang telah menemaninya hidup di hutan bersama Tumang. Demi

11
menenangkan perasaannya, Dayang Sumbi akhirnya bertapa. Dalam
pertapaannya, Dayang Sumbi kemudian dikaruniakan umur panjang dan awet
muda. Semumur hidupnya, ia akan tetap menjadi seorang wanita yang cantik dan
tak akan pernah terlihat tua.
Sementara itu, Sangkuriang yang lari dengan kepala terluka mengembara
ke mana-mana. Ia berguru dengan beberapa orang sakti. Ia masuk hutan keluar
hutan. Saat Sangkuriang telah menjadi pemuda sakti dan perkasa, ia mengalahkan
semua makhluk-makhluk halus atau guriang yang ditemuinya dalam
pengembaraan. Ia menaklukkan mereka dan dengan kesaktiannya menjadi tuan
dari guriang-guriang itu.
Pada suatu ketika, dalam pengembaraannya Sangkuriang akhirnya bertemu
dengan Dayang Sumbi. Sangkuriang sangat terpesona dengan kecantikan Dayang
Sumbi, lalu akhirnya jatuh cinta. Perasaan Sangkuriang berbalas. Dayang Sumbi
juga terpikat oleh ketampanan Sangkuriang. Akhirnya, Sangkuriang berniat
menikahi Dayang Sumbi. Saat Dayang Sumbi menyisir rambut dan merapikan
ikat kepala Sangkuriang, ia melihat ada bekas luka yang sangat besar. Setelah
mengamati wajah Sangkuriang, barulah ia sadar bahwa ia akan menikah dengan
anak kandungnya sendiri. Sangkuriang sendiri tidak menyangka bahwa Dayang
Sumbi adalah ibu kandungnya. Dayang Sumbi akhirnya mencoba menjelaskan
kenyataan bahwa Sangkuriang adalah putranya. Tetapi Sangkuriang telah
kehilangan akal sehat. Sangkuriang tetap memaksa. Akhirnya Dayang Sumbi
secara halus menghindari terjadinya perkawinan mereka. Ia meminta Sangkuriang
membuatkannya sebuah danau lengkap dengan perahunya dalam semalam. Bagi
Dayang Sumbi, ini adalah hal yang mustahil untuk dapat dilakukan oleh
Sangkuriang. Anak kandungnya itu tidak akan sanggup memenuhi persyaratan
yang mintanya. Di luar dugaan Dayang Sumbi, Sangkuriang menyanggupi
permintaannya.
Malam itu, Sangkuriang bekerja keras membuat sebuah danau.
Sangkurang menebang pohon, bekas pohon tebangannya itu berubah menjadi
sebuah bukit yang kini dikenal sebagai Gunung Bukit Tunggul, sementara daun,
ranting dan bagian kayu lainnya yang tidak terpakai ditumpuknya dan
terbentuklah Gunung Burangrang. Ia telah bekerja separuh malam. Selanjutnya

12
setelah perahu selesai dibuat Sangkuriang mulai membuat danau. Sangkuriang,
seperti pengerjaan perahu, mengerahkan makhluk halus guriang untuk membantu.
Melihat situasi ini, Dayang Sumbi menjadi ketakutan. Akhirnya ia menebarkan
kain-kain hasil tenunannya di arah timur. Ia memohon kepada Sang Hyang
Tunggal agar usaha Sangkuriang digagalkan. Doanya dikabulkan. Kain-kain
tenunan Dayang Sumbi bercahaya kemerah-merahan di ufuk timur. Ayam-ayam
jantan kemudian berkokok. Kemudian, makhluk-makhluk halus guriang yang
membantu pekerjaan Sangkuriang membuat danau mengira hari akan segera pagi.
Merekapun segera berlari dan bersembunyi masuk ke dalam tanah. Sangkuriang
tinggal sendirian dengan pekerjaan pembuatan danau yang hampir selesai.
Sangkuriang merasa usahanya telah gagal. Ia menjadi marah sekali.
Sangkuriang mengamuk. Sumbat yang dibuatnya untuk membendung
Sungai Citarum dibuangnya ke arah timur dan menjadi Gunung Manglayang.
Danau Talaga Bandung yang dibuatnya kemudian menyurut. Lalu dengan sekali
tendangan keras, perahu buatannya terlempar jauh dan tertelungkup. Dalam
sekejap berubah menjadi Gunung Tangkuban Perahu. Sangkuriang mengejar
Dayang Sumbi yang melarikan diri. Ketika Dayang Sumbi hampir terkejar oleh
Sangkuriang di Gunung Putri, Dayang Sumbi memohon pertolongan Sang Hyang
Tunggal. Ia akhirnya menjelma menjadi sekuntum bunga jaksi. Sangkuriang terus
mencari Dayang Sumbi hingga sampai ke Ujung Berung dan tersesat ke alam gaib

c. Versi Anak-anak
Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang
bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama
Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu di dalam hutan. Setiap berburu,
dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama Tumang.
Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang,
tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja
merahasiakannya.
Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk
berburu. Setelah sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia
melihat ada seekor burung yang sedang bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir

13
panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat mengenai sasaran.
Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si
Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat
jengkel pada Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak
diijinkan pulang ke rumah bersamanya lagi.
Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut
kepada ibunya. Begitu mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat
marah. Diambilnya sendok nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena
merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk
pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya. 
Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia
berdoa setiap hari, dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya
kembali. Karena kesungguhan dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa
memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan usia muda selamanya.
Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia
berniat untuk pulang ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat
terkejut sekali, karena kampung halamannya sudah berubah total. Rasa senang
Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu dengan
seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi.
Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung
melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan
sepakat akan menikah di waktu dekat.
Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di
hutan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan
merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat
dia merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka
tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang
tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata
benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya sendiri.
Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah
dengan anaknya sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi
mencoba berbicara kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan

14
rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak disetujui
Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.
Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan
mereka tidak pernah terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi
menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua buah syarat kepada Sangkuriang.
Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi
mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan
dibatalkan.
Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum
dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat
sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus
diselesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan
berjanji akan menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian
yang dimilikinya, Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin
untuk membantu menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi
mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena
Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi
sebelum fajar.
Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar
kain sutera berwarna merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah
di timur kota, Sangkuriang mengira kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang
langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa tidak dapat memenuhi syarat
yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi. Dengan rasa jengkel dan kecewa,
Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya sendiri. Karena
jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air.
Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu
melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama
Tangkuban Perahu.

15
16
DAFTAR PUSTAKA

Eneste, P. (2012). Buku Pintar Penyuntingan Naskah – Edisi Kedua. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Fatkhani, N. F. (2018). Antologi Cerita Anak Indonesia. Jogja: Stiletto Indie


Book.

Kurniawan, A. (2010). Jalan Editor Seorang Mula Harahap. Jakarta: Agromedia.

Mawardi, D. (2009). Cara Mudah Menulis Buku. Depok: Raih Asa Sukses.

Nursetyawathie, dkk. (2014). Penyuntingan Teks Terjemahan. Tangerang Selatan:


Universitas Terbuka.

Rasibook. (2019). Panduan Rahasia Edit Naskah. Bandung: Rasi Terbit.

Torashyngu, L., & Widjajanto., D. (2013). When Aunthor Meets Editor. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Zubaidah, E. (2015). Peningkatan Kemampuan Mahasiswa Menulis Cerita Anak


melalui Strategi Menulis. Litera, 159.

17

Anda mungkin juga menyukai