Anda di halaman 1dari 17

RELASI MAKNA

Oleh:

IVAN HERMAWAN 311510022

B PAGI

SEMESTER : TUJUH (VII)

MATA KULIAH : SEMANTIK

DOSEN PENGAMPU : MAI YULIASTRI SIMARMATA, M.Pd.

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA

PONTIANAK

2018
2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Semantik.

Proses penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bimbingan dan petunjuk
dari beberapa pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada
Mai Yuliastri Simarmata, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Semantik
yang telah memberikan tugas pembuatan makalah dan memberikan arahan untuk
membuat makalah yang baik dan benar.

Dalam pembuatan makalah ini penulis telah berusaha sebaik mungkin


namun tentunya hasil yang diperoleh belumlah sempurna. Oleh karena itu,
kritikan dan saran sangat penulis harapkan guna penyempurnaan makalah dimasa
mendatang.

Demikian sebagai pengantar kata, dengan iringan serta harapan semoga


tulisan sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca. Atas apresiasi
semua pihak, penulis mengucapkan terima kasih, semoga amal baik yang diterima
oleh Allah Yang Maha Kuasa.

Pontianak,
Desember 2018

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................2
C. Tujuan.............................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN............................................................................4

A. Hakikat Relasi Makna...................................................................4


B. Relasi Makna Sinonim...................................................................5
C. Relasi Makna Antonim..................................................................7
D. Relasi Makna Homonim................................................................9
E. Relasi Makna Hiponim..................................................................11
F. Relasi Makna Polisemi...................................................................12

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia memiliki beraneka ragam suku bangsa atau kelompok etnis.
Masyarakat Indonesia yang majemuk juga memiliki beraneka ragam bahasa
yang digunakan. Keanekaragamaan masyarakat Indonesia yang multi etnis
tersebut, selain menggunakan bahasa Indonesia juga menggunakan bahasa
daerah sebagai alat komunikasi karena bahasa daerah merupakan bahasa
pergaulan di tingkat daerah. Hal ini sejalan dengan fungsi bahasa daerah yakni
sebagai lambang kebanggaan dan identitas daerah.
Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-
hari. Manusia tidak akan dapat berkomunikasi dengan sesamanya secara
efektif dan jelas tanpa adanya bahasa. Oleh karena itu, bahasa disebut juga
sebagai lambang identitas masyarakat penuturnya. Sifat bahasa yang dinamis
berdampak pada perkembangan dan perubahaan bahasa itu sendiri.
Pelestarian bahasa perlu dilakukan sebagai bentuk pelestarian terhadap
nilai-nilai budaya dalam masyarakat. Bahasa itu sendiri terdiri dari bunyi-
bunyi berartikulasi yang dinyatakan dengan sadar dan berbentuk tuturan yang
diucapkan oleh alat ucap manusia yang terdiri dari bentuk dan isi. Bahasa juga
dapat mencerminkan kehidupan kerohanian penutumya, dan dapat juga
mencerminkan identitas suatu suku bangsa, baik kemajuannya, peradabannya
maupun kebudayaannya.
Wiendi Wiranty, Lizawati (2017) menyatakan bahwa, pemakaian bahasa
dalam komunikasi selain ditentukan oleh faktor-faktor linguistik juga
ditentukan oleh faktor-faktor nonlinguistik atau luar bahasa, antara lain faktor
sosial yang merupakan faktor yang berpengaruh dalam penggunaan bahasa.
Yetni Halimah Karomani Iqbal Hilal (2013) menjabarkan, wujud visual
bahasa yang terkecil adalah kata atau kosakata. Kegiatan berkomunikasi
sangat dipengaruhi oleh kata untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, ide dan
lain-lain. Sampai atau tidaknya pesan yang diberikan bergantung pada

1
pemahaman lawan bicara. Kemampuan memahami suatu kata dilihat dari
pengalaman seseorang itu dalam berbahasa.
Warisan budaya Indonesia yang harus dipertahankan salah satunya bahasa
dacrah. Adanya bahasa daerah menjadikan makhluk sosial merasa lebih
mudah untuk berkomunikasi dengan sesama makhluk sosial yang memiliki
bahasa dacrah yang sama, ada rasa persaudaraan antara penuturnya dan timbul
rasa sepenanggungan. Bahasa menjadi lambang setiap daerah, namun begitu
keberadaan pengguna bahasa daerah semakin hari semakin berkurang.
Makna adalah hubungan antara lambang bunyi dengan acuannya. Makna
merupakan bentuk responsi dari stimulus yang diperoleh pemeran dalam
komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki. Ujaran
manusia itu mengandung makna yang utuh. Keutuhan makna itu merupakan
perpaduan dari empat aspek, yakni pengertian (sense), perasaan (feeling), nada
(tone), dan amanat (intension). Memahami aspek itu dalam seluruh konteks
adalah bagian dari usaha untuk memahami makna dalam komunikasi. Ade
Kusmana (2014) menyatakan, sebuah kata yang digunakan dalam konteks
kalimat akan menngandung makna yang berbeda juga mempunyai makna
yang tidak sama.

B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah Hakikat Relasi Makna?
2. Bagaimanakah Relasi Makna Sinonim?
3. Bagaimanakah Relasi Makna Antonim?
4. Bagaimanakah Relasi Makna Homonim?
5. Bagaimanakah Relasi Makna Hiponim?
6. Bagaimanakah Relasi Makna Polisemi?

2
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1. Mendeskripsikan Hakikat Relasi Makna?
2. Mendeskripsikan Relasi Makna Sinonim?
3. Mendeskripsikan Relasi Makna Antonim?
4. Mendeskripsikan Relasi Makna Homonim?
5. Mendeskripsikan Relasi Makna Hiponim?
6. Mendeskripsikan Relasi Makna Polisemi?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Relasi Makna


1. Pengertian Relasi Makna
Kata-kata dalam sebuah bahasa secara semantik berhubungan satu
sama lain. Berdasarkan hubungan kata-kata tersebut manusia menjadi
lebih tanggap dalam menemukan makna yang hendak disampaikan oleh
lawan tuturnya. Pada saat manusia mengutarakan perasaan, gagasan,
keinginan dan pikirannya, mungkin saja manusia itu sendiri tidak
menyadari bahwa tuturannya berisikan kata-kata yang berhubungan satu
dengan yang lainnya. Sehubungan dengan itu, Chaer (2009:83)
menegaskan bahwa, sebuah kata yang memiliki hubungan dengan kata
lainnya dipandang sebagai hubungan kemaknaan atau relasi semantik.
Adanya relasi semantik di antara kata-kata itu justru dapat berfungsi ikut
menentukan makna sebuah kata. Misalnya, dalam bahasa Indonesia
terdapat seperangkat kata: mati, meninggal, wafat, mangkat, mampus.
Kata-kata itu secara bersamaan mengandung komponen makna yang sama
yaitu "hal tidak bernyawa lagi". Dengan dipakainya kata lagi berarti kata-
kata itu semula "pernah bernyawa".
Relasi makna dapat ditemukan di dalam sebuah kalimat atau
komunikasi yang digunakan oleh masyarakat, relasi makna mempunyai
hubungan atau persamaan makna namun biasanya dibedakan dalam
pengucapannya. Relasi makna adalah hubungan antara satuan bahasa yang
satu dengan yang lainnya (Suwandi, 2011:123). Sejalan dengan (Chaer,
2009:83) yang mengatakan bahwa relasi makna merupakan adanya
hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan
bahasa lainnya.
Hubungan atau relasi makna itu diantaranya adalah relasi
berdekatan seperti sinonim, antonim, hiponimi, polisemi,
homonimi/homografi (Subroto, 2011:59). Selanjutnya (Sitaresmi 2011:88)

4
menyebutkan bahwa relasi makna adalah hubungan antara makna kata
yang satu dan makna kata lainnya. Misalnya, hubungan antara kata baik
dan buruk, tinggi dan rendah yang menyatakan hubungan perlawanan
(antonim). Sebaliknya, Djajasudarma (2009 : 111) mengatakan bahwa
relasi makna adalah hubungan yang tidak kontroversi atau tidak
berlawanan, tetapi mengacu pada hubungan apa yang terjadi antara unit-
unit makna.
Hubungan atau relasi kemaknaan ini menyangkut sinonimi,
antonimi, homonimi, polisemi, dan sebagainya (Suwandi, 2008:123).
Sedangkan, (Chaer, 2009:83) pola relasi makna tersebut berwujud,
kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kelainan makna
(homonim), ketercakupan makna (hiponim), kegandaan makna (polisemi),
ambiguitas dan redundansi.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan
bahwa relasi makna adalah hubungan makna yang terdapat antara satuan
bahasa yang satu dengan yang lainnya. Satuan bahasa dapat berupa leksem
maupun kalimat, dan relasi makna itu dapat menyatakan kesamaan makna,
pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna atau juga
kelebihan makna.
2. Jenis-jenis relasi makna
Kata-kata (baca: leksem) sebuah bahasa secara semantik
berhubungan satu sama lain. Adanya relasi makna di antara leksem-leksem
itu justru dapat berfungsi ikut menentukan makna sebuah leksem.
Hubungan atau relasi kemaknaan ini menyangkut hal kesamaan makna
(sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kelainan makna (homonim),
ketercakupan makna (hiponim), dan kegandaan makna (polisemi).

B. Relasi Makna Sinonim


Sinonim Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno,
yaitu anoma yang berarti 'nama', dan syn yang berarti 'dengan'. Maka secara
harfiah kata sinonimi berarti 'nama lain untuk benda atau hal yang sama'.

5
Secara semantik Verhaar dalam Chaer (2009: 83) mendefinisikan bahwa
sinonim merupakan ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang
maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Umpamanya kata
buruk dan jelek adalah dua buah kata yang bersinonim; bunga, kembang, dan
puspa adalah tiga buah kata yang bersinonim; mati, wafat, meninggal, dan
mampus adalah empat buah kata yang bersinonim".
Ketidakmungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang
bersinonim adalah banyak sebabnya. Antara lain karena, pertama, Faktor
waktu. Misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun,
keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang hanya cocok
untuk situasi kuno, klasik, atau arkais. Sedangkan kata komandan hanya cocok
untuk situasi masa kini (modern).
Kedua, Faktor tempat atau daerah. Misalnya kata saya dan beta adalah
bersinonim. Tetapi kata beta hanya cocok untuk digunakan dalam konteks
pemakaian bahasa Indonesia timur (Maluku); sedangkan kata saya dapat
digunakan secara umum di masa kini.
Ketiga, Faktor sosial. Misalnya kata aku dan saya adalah dua buah kata
yang bersinonim; tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya
dan tidak dapat digunakan kepada orang yang lebih tua atau status sosialnya
lebih tinggi.
Keempat, Faktor bidang kegiatan. Misalnya kata tasawuf, kebatinan, dan
mistik adalah tiga buah kata yang bersinonim. Namun, kata tasawuf hanya
lazim dalam agama Islam; kata kebatinan untuk yang bukan Islam; dan kata
mistik untuk semua agama. Contoh lain kata matahari bersinonim dengan kata
surya; tetapi kata surya hanya cocok atau hanya lazim digunakan dalam sastra,
sedangkan kata matahari dapat digunakan secara umum.
Kelima, Faktor nuansa makna. Misalnya kata-kata melihat, melirik,
melotot, meninjau, dan mengintip adalah kata-kata yang bersinonim. Kata
melihat memang bisa digunakan secara umum; tetapi kata melirik hanya
digunakan untuk menyatakan melihat dengan sudut mata; kata melotot hanya
digunakan untuk melihat dengan mata terbuka lebar; kata meninjau hanya

6
digunakan untuk melihat dari tempat jauh atau tempat tinggi; dan kata
mengintip hanya cocok digunakan untuk melihat dari celah yang sempit.
Sejumlah butir leksikal yang maknanya bertumpang tindih disebut sinonim
(Alwi, 2002:119). Namun, butir-butir leksikal itu tidak dapat dinyatakan
memiliki makna yang identik, tetapi memiliki makna yang bertumpang tindih.
Hampir tidak terdapat dua butir leksikal atau lebilh yang maknanya identik
benar-benar (sering disebut sinonim absolut). Dua butir leksikal memiliki
makna yang identik kalau butir-butir itu dapat saling menggantikan dalam
keseluruhan kemungkinan konteksnya tanpa mengubah isi konseptualnya.
Oleh karena itu Nida lebih suka menyebut relasi makna yang demikian
sebagai relasi bertumpang tindih.

C. Relasi Makna Antonim


Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya
'nama' dan anti yang artinya 'melawan'. Maka secara harfiah antonimi berarti
'nama lain untuk benda lain pula'. Secara semantik, Verhaar dalam (Chaer,
2009: 89) mendefinisikan antonimi merupakan ungkapan (biasanya berupa
kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya
dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya dengan kata bagus
adalah berantonimi dengan kata buru; kata kecil berantonimi dengan kata
besar; dll.
Antontonimi biasanya disebut lawan kata dalam buku-buku bahasa
Indonesia. Banyak orang tidak setuju dengan istilah ini sebab pada hakikatnya
yang berlawanan bukan kata-kata itu, melainkan makna dari kata-kata itu.
Maka mereka yang tidak setuju dengan istilah lawan kata menggunakan istilah
lawan makna.
Relasi makna jenis ini disebut oleh Nida (Alwi, 2002; 121) dengan istilah
meaning complementary, yaitu sejumlah butir leksikal yang memiliki ciri
semantik bersama, tetapi juga memperlihatkan kontras makna dan bahkan
perlawanan makna.

7
Antonim dalam artinya yang lebih sempit dirumuskan sebagai
keberlawanan makna yang dapat dipertatarkan (gradability). Jadi, secara
umum berbeda dari komplementari karena tidak semuanya dapat
dipertatarkan. Jika ihwal dapat dipertatarkan menjadi ukuran penting untuk
antonim, dapat dipastikan bahwa pasangan yang berantonim terutama tercakup
dalam lingkup adjektiva karena kelas itu yang teruama dapat dipertatarkan.
Kebanyakan anggota pasangan antonim dalam bahasa Indonesia adalah dua-
dua (tinggi x rendah, panjang x pendek, tebal x tipis, dalam x dangkal, halus x
kasar, keras x lembut, mahal x murah, besar x kecil). Antonim sendiri
memiliki bermacam-macam oposisi antarkata. Keraf (2009: 40), mengatakan
bahwa macam-macam oposisi antarkata dapat diuraikan sebagai berikut:
pertama, oposisi kembar. Ciri utama dari kelas antonim ini adalah
penyangkalan terhadap yang satu berarti penegasarn terhadap anggota yang
lain; kedua, oposisi majemuk. Ciri utama kelas antonim ini adalah penegasan
terhadap suatu anggota akan mencakup penyangkalan terhadap suatu anggota
yang mencakup penegasan mengenai kemungkinan dari semua anggota yang
lain; ketiga, oposisi gradual. kelas ini sebenarmya suatu penyimpangan dari
oposisi kembar, yaitu antara dua istilah yang berlawanan masih terdapat
sejumlah tingkatan antara. Ciri utama antonim ini adalah penyangkalan
terhadap yang satu tidak mencakup penegasan terhadap yang lain, walaupun
penegasan terhadap yang satu mencakup penyangkalan terhadap yang lain;
keempat, oposisi relasional. Oposisi antara dua kata yang mengandung relasi
kebalikan. Relasi ini biasanya dinyatakan dengan mempergunakan kata yang
berlainan dalam konstruksi kalimat yang sama; kelima, oposisi hirarkis.
Oposisi yang terjadi karena tiap istilalh menduduki derajat yang berlainan.
Oposisi ini sebenarnya sama dengan oposisi majemuk, namun di sini terdapat
suatu kriteria tambahan yaitu tingkat. Termasuk dalam kelas kata ini adalah
perangkat ukuran dan penanggalan.
Berdasarkan definisi antonim menurut para ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa antonim merupakan suatu kata yang maknanya dianggap kebalikan
makna kata lain atau dapat didefinisikan sebagai keberlawanan makna kata.

8
Pada hakikatnya yang berlawanan bukan kata- kata itu, melainkan makna dari
kata-kata itu. Adapun oposisi antarkata meliputi; oposisi kembar adalah
antonim yang menunjukkan bahwa makna yang berlawan terbatas pada dua
kata saja (contoh; laki- laki> <wanita. Anak pak kades ada yang laki-laki dan
ada juga yang wanita), oposisi majemuk adalah antonim yang mencakup suatu
perangkat yang terdiri dari dua kata. Satu kata berlawanan dengan dua kata
atau lebih (pedas><manis, ibu membuat sambal ikan teri rasanya pedas dan
tidak manis), oposisi gradual adalah dua kata yang berantonim namun kata
yang berlawanan itu menyatakan tingkat (besar> <kecil, buah mangga itu ada
yang berukuran besar dan ada juga yang berukuran kecil), oposisi relasional
adalah antonim yang menunjukkan hubungan antara dua kata yang
mengandung relasi kebalikan dan dua kata yang berlawanan itu saling
melengkapi (suami>< istri, Tina sdalah istri Liyu dan Liyu adalah suami
Tina), dan oposisi hirarkial adalah lawan kata namun memiliki deretan jenjang
dan tingkat (lurah>camat, bupati, gubernur, dan presiden). Ayahku baru saja
diangkat jabatannya menjadi seorang lurah dan bukan camat, bupati, gubernur,
dan presiden.

D. Relasi Makna Homonim


Homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya dan hono
yang artinya 'Nama' sama. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai
'nama sama untuk benda atau hal lain. Secara semantik, Verhaar (Chaer, 2009:
94) memberi definisi homonimi merupakan sebagai ungkapan (berupa kata,
frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain juga berupa
kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Umpamanya antara kata
pacar yang berarti 'inai' dengan pacar yang berarti 'kekasih'; antara kata bisa
yang berarti 'racun ular' dan kata bisa yang berarti 'sanggup, dapat".
Sejumlah butir leksikal yang termasuk dalam domain semantik yang sama,
tetapi memperlihatkan kontras-kontras komponen makna tertentu. Hal itu
terlihat pada contoh berbicara, berpidato, berkotbah, berceramah.
berkampanye, berbisik, bernyanyi, dan bersenandung. Semuanya dapat

9
dimasukkan ke dalam sebuah domain semantik dengan ciri semantik bersama
'menggerakkan alat-alat ucap untuk menghasilkan suara atau bunyi lingual',
tetapi masing-masing memiliki komponen makna yang membedakan.
Hubungan antara kata pacar dengan arti 'inai' dan kata pacar dengan arti
kekasih' inilah yang disebut homonim. Jadi, kata pacar yang pertama
berhomonim dengan kata pacar yang kedua. Begitu juga sebaliknya karena
hubungan homonimi ini bersifat dua arah.
Sama halnya dengan sinonim dan antonim, homonim ini pun dapat terjadi
pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
Homonimi antarmorfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan
morfem terikat lainnya. Misalnya, antara morfem -nya pada kalimat: "ini buku
saya, itu bukumu, dan yang di sana bukuya' berhomonim dengan -nya pada
kalimat "Mau belajar tetapi bukunya belum ada". Morfem -nya yang pertama
adalah kata ganti orang ketiga sedangkan morfem-rya yang kedua menyatakan
sebuah buku tertentu.
Homonimi antarkata, misalnya antara kata bisa yang berarti racun ular dan
kata hisa yang berarti 'sanggup, atau dapat' seperti sudah disebutkan di muka.
Contoh lain, antara kata semi yang berarti 'tunas' dan kata semi yang berarti
'setengah'.
Homonimi antarfrase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti
perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya' dan frase cinta anai yang
berarti 'cinta kepada anak dari seorang ibu'. Contoh lain, orang tua rang yang
sudah yang berarti 'ayah ibu' dan frase orang tua yang berarti 'orang yang
sudah tua’.
Homonimi antarkalimat, misalnya antara isteri lurah yang baru itu cantik
yang berarti 'lurah yang baru diangkat itu mempunyai isteri yang cantik', dan
kalimat Isteri lurah yang baru itu cantik yang berarti 'lurah itu baru menikah
lagi dengan seorang wanita yang cantik'.
Berdasarkan definisi di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa homonim
merupakan dua kata atau lebih yang memiliki tulisan dan lafal yang sama,
tetapi makna dari kedua kata tersebut berbeda.

10
E. Relasi Makna Hiponim
Hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti nama' dan
hypo berarti 'di bawah'. Jadi, secara harfiah berarti nama yang termasuk di
bawah nama lain'. Secara semantik Verhaar (Chaer, 2009: 99) menyatakan
hiponim ialah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase
atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu
ungkapan lain. Umpamanya kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan
sebab makna tongkol berada atau termasuk dalam makna kata ikan. Tongkol
memang ikan tetapi ikan bukan hanya tongkol melainkan juga termasuk
bandeng, tenggiri, teri, magjair, cakalang, dan sebagainya. Hiponim
merupakan semacam relasi antar kata yang berwujud atas, bawah, atau dalam
suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain (Keraf 2009:38).
Relasi inklusi disebut juga relasi makna yang bersifat hiponimik
menunjukkan bahwa arti sebuah leksem termasuk ke dalam atau cakup ke
dalam arti leksem lain yang lebih luas. Jadi, arti leksem mawar, melati,
anggrek, dan bogenvil, misalnya, termasuk dalam arti leksem bunga. Dengan
perkataan lain, arti leksem bunga mencakupi arti leksem-leksem mawar,
melati, dan seterusnya. Leksem yang artinya mencakupi disebut penggolong
atau superordinat, sedangkan leksem yang artinya tercakup ke dalamnya
disebut bawahan atau hiponim. Jadi, terdapat relasi makna antara mawar,
melati, dan anggrek dengan leksem bunga. Leksem mawar, melati, dan
anggrek termasuk golongan bunga, atau laksem bunga mencakupi arti lakssem
mawar, melati, dan anggrek.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hiponim adalah
suatu ungkapan yang maknanya dianggap bagian dari suatu ungkapan lain.
Hiponim juga merupakan relasi antar kata yang wujudnya dalam suatu makna
terkandung sejumlah komponen yang lain.

11
F. Relasi Makna Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga
frase) yang memiliki makna lebih dari satu (Chaer, 2009:101). Umpamanya,
kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna bagian tubuh dari leher
ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan; bagian dari suatu yang
terletak di sebelah atas atau depan dan merupakan hal yang penting atau
terutama seperti pada kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta api; bagian
dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan
kepala jarum; pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah, kepala kantor,
dan kepala stasiun; jiwa atau orang seperti dalam kalimat setiap kepala
menerima bantuan Rp 5.000.000,00.
Keraf (1980:36) mengemukakan polisemi adalah satu bentuk
mempunyai beberapa makna. Sementara itu, Parera (2004:81)
mengungkapkan bahwa polisemi adalah satu ujaran dalam bentuk kata yang
mempunyai makna berbeda-beda, tetapi masih ada hubungan dan kaitan antara
makna-makna yang berlainan. Pendapat lain mengatakan bahwa polisemi
menunjukan suatu kata memiliki lebih dari satu makna (Djajasudarma,
1999:43).
Taufik (2015) menyatakan, polisemi adalah satu kata mempunyai
makna lebih dari satu yang masih memiliki hubungan dan kaitan dengan
makna dasarnya. Misalnya, kata terang yang mengandung makna cerah,
siang hari, bersih, nyata, sah, bercahaya. Frase orang tua yang mengandung
makna ayah-ibu, orang yang sudah tua, orang yang dihormati atau dituakan.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pollisemi yang
berarti satu bentuk mempunyai beberapa makna. Polisemi adalah suatu ujaran
dalam bentuk kata yang mempunyai makna yang berbeda-beda, tetapi masih
ada hubungan dan kaitan antara makna-makna yang berlainan tersebut. Suatu
bentuk kata yang dibedakan berdasarkan ujarannya, namun maknanya masih
saling berkaitan.

12
DAFTAR PUSTAKA
Alwi H. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abdul.2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Rineka.
Cipta. Sitaresmi, Nunung. 2011. “Tinjauan atas kosakata serapan asing
dalam bahasa indonesia dari segi morfologi (studi deskriptif terhadap
pemakaian nomina dan adjektiva serapan asing dalam media
massa)”. (dalam http://digilib.upi.edu/pasca/available/etd-1120106-
145227/). Diakses tanggal 01 Januari 2019.
Djajasudarma, Fatimah. 2009. Semantik 1: Makna Leksika dan Gramatikal.
Bandung: Refika Aditama.
Halimah, Y., “Kemampuan Menentukan Relasi Makna Pada Siswa Kelas Xi
SMAN 1 Banjit”. Jurnal Kata (Bahasa, Sastra, dan
Pembelajarannya).
Keraf, Gorys. 2009. Diksi Dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Kusmana, A., (2014), “Pengembangan Model Materi Ajar Semantik”. Lentera
Pendidikan,17(1), 1-17.
Parera. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.
Subroto, Edi. 2011. Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik (Pengantar
Studi Semantik). Surakarta: Cakrawala Media.
Suwandi. Sarwiji. 2008. Semantik Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta:
Media Perkasa.
Taufik, (2015), “Polisemi Dalam Kumpulan Cerpen Wahai Karya Korrie
Layun Rampan”.
Wiranty, W., Lizawati, (2017), “Analisis Relasi Makna Adjektiva
Dalambahasa Melayu Dialek Selimbau Kabupaten Kapuas Hulu”.
Jurnal Pendidikan Bahasa,6(1).

13

Anda mungkin juga menyukai