Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH KOMUNIKASI INTERNASIONAL

BAHASA DAN KOMUNIKASI VERBAL LINTAS BUDAYA

Disusun oleh :
Aditya Desta 2013130076
Satrio Rahmandito 2013110160
Noval Saiful Karim 2013110225
Muammar Rifai 2013110140

Institut Ilmu Sosial Ilmu Politik Jakarta


2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Perilaku verbal sebenarnya adalah komunikasi verbal yang biasa kita lakukan
sehari-hari. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis symbol yang
menggunakan kata-kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang kita
sadari termasuk ke dalam kategori pesan disengaja, yaitu usaha-usaha yang
dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Budaya
khususnya dalam lingkup lintas negara, memiliki keberagaman bahasa yang
berbeda. Bahasa dapat didefinisikan sebagai perangkat simbol,dengan aturan
untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami
suatu komunitas atau masyarakat dengan latar negara yang berbeda.

Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan fikiran,perasaan dan


maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang mempresentatifkan
berbagai aspek realitas individu kita. Dengan kata lain,kata-kata adalah abstraksi
realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas
objek atau konsep yang mewakil ikata-kata itu. Misalnya kata rumah,kursi atau
mobil. Realitas apa yang mewakili setiap kata itu?. Begitu banyak ragam
rumah,ada rumah bertingkat,rumah mewah,rumah sederhana,rumah hewan,rumah
tembok,rumah bilik,dan yang lainnya. Begitu juga kursi,ada kursi jok,kursi
kerja,kursi plastik,kursi malas,dan sebagainya. Kata mobil-pun ternyata tidak
sederhana,ada sedan,truk, mini bus,ada mobil pribadi,mobil angkutan dan
sebagainya.

Bila kita menyertakan budaya sebagai variabel dalam proses komunikasi


tersebut,maka masalahnya akan semakin rumit. Ketika kita berkomunikasi dengan
seseorang dari budaya kita sendiri,proses komunikasi akan jauh lebih mudah,
karena dalam suatu budaya orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa.
Namun bila komunikasi melibatkan orang-orang berbeda budaya,banyak
pengalaman berbeda dan akhirnya proses komunikasi juga menyulitkan.

Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki orang ,objek
dan peristiwa. Setiap orang mempunyai nama untuk identifikasi sosial. Orang juga
dapat menamai apa saja,objek-objek yang berlainan,termasuk perasaan tertentu
yang mereka alami. Penanaman adalah dimensi pertama bahasa dan basis bahasa
pada awalnya dilakukan manusia sesuaka mereka yang lalu menjadi konvensi
(Aubrey Fisher dan Catherine Adam,1994).
Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambang
terorganisasikan,disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar yang
digunakan untuk menyajikan pengalaman–pengalaman dalam suatu komunitas
geografis dan budaya. Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya
untuk menyalurkan kepercayaan,nilai dan norma. Bahasa merupakan alat bagi
orang-orang untuk berinteraksi dengan orang-orang lain dan juga sebagai alat
untuk alat berpikir. Maka bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk
berkomunikasi dan sekligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial.
Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran.
Kemampuan menyampaikan pesan verbal lintas budaya.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana proses berlangsungnya bahasa dan komunikasi verbal lintas


budaya?
2. Bagaimana bahasa dan komunikasi verbal dapat diterima pada budaya
yang berbeda?
3. Bagaimana menerapkan bahasa dan komunikasi verbal lintas budaya
dengan efektif?
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui cara yang efektif dalam penggunaan bahasa dan
komunikasi verbal lintas budaya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 BAHASA DAN KOMUNIKASI VERBAL LINTAS BUDAYA

Budaya yang berbeda memiliki sistem yang berbeda pula(dalam hal ini
yang dimaksudkan ialah bahasa). Ditahun 1950, pemerintah Amerika Serikat
mencoba untuk mengembangkan sistem untuk mesin penerjemah bahasa Rusia
dan bahasa lainnya. Software ini bisa menerjemahkan sebagian besar kata dan
struktur tata Bahasa, tapi tidak dengan makna dibalik setiap kata.

Hal mengkritik mesin penerjemah berakar dalam relativis melinguistik. Karena


ide-ide terbatas dalam bentuk linguistik, mengikuti Whorf (1956), ini biasanya
tidak mungkin untuk menunjukkan ide dari satu bahasa didalam bahasa lainnya.

Berbeda dari Hal dan Whorf, disana terdapat nomor dari researchers yang percaya
bahwa bahasa lebih banyak berbagi kesamaan dari pada perbedaan. Langit adalah
langit dan meja adalah meja, tidak peduli bagaimana perbedaan kebudayaan
memanggil itu semua. Dengan pemahaman yang lebih baik dari bahasa feature
universal, mengikuti pandangan ini,manusia biasanya akan lebih menikmati
keuntungan dari mesin penerjemah.

Menurut Larry L.Barker dalam Mulyana (2007), bahasa memiliki 3


fungsi ;penanaman (naming atau labeling), interaksi,dan transmisi informasi.
Penanaman atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasi
objek,tindakan,atau orang dengan menyebut namanya,sehingga dapat dirujuk
dalam komunikasi. Fungsi interaksi menurut Barker,menekankan berbagai
gagasan dan emosi yang dapat mengundang simpati dan pengertaian atau
kemarahan dan kebingungan. Melalui bahasa,informasi dapat disampaikan kepada
orang lain. Fungsi bahasa ini lah yang disebut fungsi transmisi. Barker
berpandangan, keistimewaan bahasa sebagai transmisi informasi yang lintas
waktu,dengan menghubungkan masa lalu,masa kini dan masa yang akan
datang,memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita. Tanpa bahasa kita
tidak mungkin bertukarin formasi.

Menurut Mulyana (2007),menambahkan agar komunikasi kita berhasil, bahasa


harus memenuhi tiga fungsi yaitu: untuk mengenal dunia disekitar kita;
berhubungan dengan orang lain;dan untuk menciptakan koherensi dalam hidup
kita. Melalui fungsi pertama kita dapat mempelajari apa saja yang menarik minat
kita. Kita juga dapat berbagi pengalaman masa lalu dan masa kini yang kita alami,
dan juga pengetahuan yang kita dapat kan dari berbagai media. Fungsi bahasa
kedua adalah sebagai sarana untuk berhubungan dengan orang lain. Fungsi ini
berkaitan dengan fungsi komunikasi khususnya fungsi sosial dan fungsi
instrumental. Bahasa memungkinkan kita bergaul dengan orang lain untuk
kesenangan kita dan untuk mempengaruhi mereka untuk mencapai tujuan. Melalui
bahasa kita dapat mengandalikan lingkungan kita, termasuk orang-orang disekitar
kita. Kemampuan orang lain dengan orang lain tidak hanya tergantung pada
bahasa yang sama, namun juga pengalaman yang sama dan makna yang sama
dalam kata-kata yang kita sampaikan. Sedangkan fungsi ketiga memungkinkan
kita untuk hidup lebih teratur, saling memahami diantara kita, baik kepercayaan
maupun tujuan-tujuan kita. Kita tidak mungkin menjelaskan semua itu dengan
menyusun kata-kata secara acak melainkan berdasarkan aturan-aturan tertentu
yang telah kita sepakati bersama. Akan tetapi kita sebenarnya tidak selamanya
dapat memenuhi ketiga fungsi tersebut, karena meskipun bahasa merupakan
sarana komunikasi dengan manusia lain, sarana ini secara inheren mengandung
kendala karena keterbatasan sifatnya. Seperti dikatakan S.I Hayakawa;”kata itu
bukan objek”. Bila orang-orang memaknai suatu kata secara berbeda, maka akan
timbul kesalahpahaman diantara mereka.
Menurut Ohoiwutun (1997) dalam Liliweri (2003), dalam berkomunikasi antar
budaya ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu;
1) kapan orang berbicara;
2) apa yang dikatakan;
3) hal memperhatikan;
4) intonasi;
5) gaya kaku dan puitis serta
6) bahasa tidak langsung.
Ke enam hal tersebut adalah saat yang tepat bagi seseorang untuk menyampaikan
pesan verbal dalam komunikasi antar budaya.

Kapan Orang Berbicara


Jika kita berkomunikasi antar budaya perlu diperhatikan ada kebiasaan (habits)
budaya yang mengajarkan kepatutan kapan seorang harus atau boleh berbicara.
Orang Timor, Batak, Sulawesi, Ambon, Irian, mewarisisi kapan saja bisa
berbicara, tanpa membedakan tua dan muda, artinya berbicara semaunya saja,
berbicara tidak mengenal batas usia. Namun orang Jawa dan Sunda mengenbal
aturan atau kebiasaan kapan orang berbicara, misalnya yang lebih muda
mendengarkan lebih banyak dari pada yang tua, yang tua lebih banyak berbicara
dari yang muda. Perbedaan norma berbahasa ini dapat mengakibatkan konflik
antar budaya hanya karena salah memberikan makna kapan orang harus berbicara.

Apa yang Dikatakan


Laporan penelitian Tannen (1984-an) menunjukan bahwa orang-orang New York
keturunanYahudi lebih cenderung bercerita dibanding dengan teman-temannya di
California. Cerita mereka (New York Yahudi) selalu terkait dengan pengalaman
dan perasaan pribadi. Masing-masing anggota kelompok kurang tertarik pada isi
cerita yang dikemukakan anggota kelompok lainnya.

Hal Memperhatikan
Konsep ini berkaitan erat dengan gaze atau pandangan mata yang diperkenankan
waktu berbicara bersama-sama. Orang-orang kulit hitam biasanya berbicara
sambil menatap mata dan wajah orang lain, hal yang sama terjadi bagi orang
Batak dan Timor. Dalam berkomunikasi ‘memperhatikan’ adalah melihat bukan
sekedar mendengarkan. Sebaliknya orang Jawa tidak mementingkan ‘melihat’
tetapi mendengarkan.

Intonasi
Masalah intonasi cukup berpengaruh dalam berbagai bahasa yang berbeda
budaya. Orang kadang di Lembata/Flores memakai kata bua berarti melahirkan
namun kata yang sama kalau ditekan pada huruf akhir ’a’-bua’(ataubuaq), berarti
berlayar; kata laha berarti marah tetapi kalau disebut tekanan diakhir ‘a’-lahaq
merupakan maki yang merujuk pada alat kelamin laki-laki.

5) Gaya Kaku atau Puitis


Ohoiwutun (1997:105) menulis bahwa jika anda membandingkan bahasa
Indonesia yang diguratkan pada awal berdirinya negara ini dengan gaya yang
dipakai dewasa ini, dekade 90-an maka anda akan dapati bahwa bahasa Indonesia
tahun 1950-an lebih kaku. Gaya bahasa sekarang lebih dinamis lebih banyak kata
dan frase dengan makna ganda, tergantung dari konteksnya. Perbedaan ini terjadi
sebagai akibat perkembangan bahasa. Tahun 1950-an bahasa Indonesia hanya
dipengaruhi secara dominan oleh bahasa Melayu.

Dewasa ini puluhan bahasa daerah, teristimewa bahasa Jawa dengan puluhan juta
penutur aslinya, telah ikut mempengaruhi ‘formula’ berbahasa Indonesia.
Anehnya bila berkunjung ke Yunani anda akan mengalami gaya berbahasaYunani
seperti yang kita alami di Indonesia sekarang ini. Disebut aneh karena Yunani
tidak mengalami pengaruh berbagai bahasa dalam sejarah perkembangan
bahasanya seperti yang dialami Indonesia.

6) Bahasa Tidak Langsung


Setiap bahasa mengajarkan kepada para penuturnya mekanisme untuk
menyatakan sesuatu secara langsung atau tidak langsung. Jika anda berhadapan
dengan orang Jepang,maka anda akan menemukan bahwa mereka sering
berbahasa secara tidak langsung, baik verbal maupun non verbal.
2.2 RELATIVISME LINGUISTIK DAN UNIVERSALISME

"Linguistik relativitas" telah menjadi ungkapan umum sejak Whorf (1956)


Menggunakannya untuk merealisasikan dasar yang tidak dapat dibandingkan
antara bahasa yang berbeda. Namun, pengamatan bahwa bahasa, pemikiran, dan
budaya yang erat bersama-sama dapat linealy telusuri melalui Sapir hingga
Boas,dan Humboldt (1903-1936,vol.7,hlm.60),yang mengusulkan bahwa setiap
bahasa memiliki pandangan sendiri dan bahwa "seluruh bahasa menengahi antara
manusia Dan alam internal dan eksternal yang mempengaruhi mereka" Boas.
(1911/1966) Mengamati bahwa bahasa menggambarkan klasifikasi yang
mendasari pengalaman, bahwa berbagai bahasa mengklasifikasikan pengalaman
berbeda,dan bahwa
klasifikasi tersebut tidak perlu naik kekesadaran (Lucy,1992). Boas terutama
tertarik pada cara dimana bahasa mencerminkan psikologi pemikiran pembicara
mereka. Dalam beberapa tahun kemudian, ia juga mempertimbangkan
kemungkinan bahwa kategori linguistik mungkin memaksakan diri pada pikiran
pembicara mereka (Lucy,1992).

Sapir (1924/1949) mengembangkan klaim yang lebih kuat pada hubungan antara
bahasa dan pikiran. Dia mempertahankan bahwa bahasa adalah panduan untuk
"realitassosial", karena kekuatan menyejukan semua pemikiran kita tentang
masalah sosial dan proses. Dengan kata lain, manusia tidak hidup didunia objektif
saja, "tetapi sangat banyak pada belaskasihan dari bahasa tertentu yang telah
menjadi media ekspresi bagi masyarakat mereka (Sapir,1924/1949,hal.162).
Whorf (1956) dibangun diatas Sapir dan mengklaim bahwa "otomatis,pola paksa
bahasa" (hal.221), yang tidak sama untuk semua bahasa tetapi khusus untuk setiap
bahasa,merupakan sisi formal bahasa,atau "tatabahasa", kemudian ia melanjutkan
untuk mengusulkan "linguistik prinsip relativitas": Yang berarti, dalam hal tidak
resmi pengguna tata bahasa sangat berbeda dan ditunjukkan oleh tata bahasa
mereka terhadap berbagai jenis observasi dan evaluasi yang berbeda dari tindakan
eksternal serupa observasi, dan karenanya tidak setara sebagai pengamat, tetapi
harus tiba dipandangan agak berbeda dari dunia.(hal. 221). Whorf (1956)
melangkah lebih jauh untuk mengklaim bahwa "bentuk-bentuk pikiran seseorang
dikendalikan oleh hukum tak terhindarkan dari pola yang ia tidak sadar. Pola-pola
ini adalah sistem atisasi rumit yang tidak dipersepsikan (intri
catesystematizationsunperceived),bahasa sendiri bisa sampai batas tertentu
menentukan sifat pemikiran kita. Untuk menunjukkan perumusan, determinisme
linguistik, Whorf (1956) membandingkan hopi dan bahasa Inggris dan
menunjukkan korespondensi antara struktur makna dan mode tertentu berpikir.
Whorf berpendapat, misalnya,bahwa dua bahasa memiliki cara yang berbeda pada
waktu encoding, yang mengarah penutur bahasa ini memiliki orientasi yang
berbeda terhadap gagasan temporal. Bahasa Inggris memperlakukan waktu dalam
bingkai tata bahasa yang sama yang digunakan untuk kata benda objek biasa,yang
mengarah pembicara untuk
Memperlakukan waktu sebagai objek yang memiliki substansi dan dihitung
seperti benda berwujud lainnya. Sebaliknya,bahasa hopi,meskipun memiliki kata-
kata untuk siklus temporal,tidak secara resmi struktur gagasan abstrak waktu
dalam tata bahasa. Hopi,oleh karena itu,tidak memperlakukan waktu sebagai
objek tetapi secara berulang. Lucy (1996) membuat review melalui studi empiris
pada proposisi Whorf, menyimpulkan bahwa "segelintir penelitian sebenarnya
ditujukan prinsip relativitas linguistik langsung dan hampir semua secara
konseptual cacat dengan cara yang sangat mendasar "(hal.37). Cacat
umum,berikut Lucy,termasuk bekerja dalam satu bahasa, mengistimewakan
kategori satu bahasa atau budaya distudi banding, berurusan dengan aspek relatif
marjinal bahasa,dan gagal untuk memberikan bukti langsung mengenai kognisi
individu.

Dengan munculnya ilmu-ilmu kognitif pada paruh kedua abad ke-20,proposisi


Whorf tampaknya dibuang sebagai imajinasi liar. Pinker (1994) mempertahankan
"diskusi yang menganggap bahasa yang menentukan pemikiran membawa pada
hanya dengan suspensi kolektif percaya" (hal.58).
Wason dan Johnson (1977) menyatakan bahwa "tidak ada bukti untuk versi kuat
dari hipotesis bahasa yang membebankan pada pembicara cara tertentu berpikir
tentang dunia" (hal.411). Upaya untuk menyanggah proposisi empiris Whorf,
bagaimanapun tampaknya tidak berhasil. Beberapa penelitian psikolinguistik
menunjukkan bahwa beberapa istilah leksikal,terutama dari segi warna dasar,bisa
bersifat universal (berlin dan kay,1969;Heider,1972;kay dan McDaniel,1978;lucy
dan Shweder,1979;Newman,1954). Studi-studi ini bagaimanapun,kritis cacat.
Mereka,tegas berdasarkan realitas masyarakat barat,dibandingkan warna istilah
dasar dari bahasa eksotis beberapa dengan orang-orang dari bahasa barat, terutama
Inggris. Pendekatan ini pastiakan mengarah pada kesimpulan bahwa istilah warna
dasar universal itu menghalangi setiap temuan alternatif,karena "secara radikal
bahasa yang berbeda akan cenderung melihat kekurangan dibandingkan dengan
kita sendiri sejauh yang banyak kosa kata deskriptif mereka dieliminasi dari
pertimbangan "(Lucy,1996,hal.47)
Masalah yang lebih penting dari studi ini adalah bahwa mereka bergeser jauh dari
jenis data gramatikal pusat untuk Whorf yang bekerja dan fokus pada item
leksikal (Lucy,1996). Pergeseran ini memunculkan sejumlah penilaian yang tidak
adil dari proposisi Whorf. Ferroluzzi (1992) melaporkan,"hanya minoritas kecil
dari ekspresif iguratif menciptakan masalah bagi pemahaman lintas budaya dan
hanya sekitar 2% dari ayat-ayat sajak atau makna ganda tampaknya menginspirasi
apa yang dikatakan "dan kemudian,mengklaim bahwa bahkan versi lemah
determinisme linguistik harus memenuhi syarat.(hL.391) Relativis melinguistik
dan universalisme tampaknya memiliki perbedaan yang tak terdamaikan. Mereka
tetap sangat "kompatibel,selama satu berlangganan perbedaan antara tingkat atom
dan molekul dari representasi semantik" (Gumperz dan Levinson,1996). Pada
tingkat atom (yaitu,pada tingkat leksikal),representasi semantik diambil dari
bahasa universal pemikiran,sedangkan pada tingkat molekuler (yaitu,pada tingkat
tata bahasa). Ada kombinasi bahasa-spesifik primitif atom universal,yang
mungkin memiliki efek konseptual tertentu pada pengguna.
Fakta dari masalah ini adalah bahwa"dunia nyata"adalah sebagian besar
Tidak sadar dibangun pada kebiasaan bahasa kelompok. Tidak ada dua bahasa
yang Pernah cukup mirip dan dianggap sebagai mewakili realitas sosial yang
sama.Dunia dimana masyarakat yang berbeda hidup adalah dunia yang
berbeda,bukan hanya dunia yang sama dengan label yang berbeda terpasang.
Pemahaman puisi sederhana melibatkan tidak hanya pemahaman tentang kata-
kata tunggal tapi pemahaman penuh dari seluruh kehidupan masyarakat seperti
yang tercermin dalam kata-kata (Sapir1929[1949], dikutip dalam Leavit 2006:63).

Dia tidak mengatakan bahwa tidak mungkin untuk menyampaikan konsep yang
sama dalam dua bahasa ; ia hanya menyatakan bahwa perbedaan bahasa
menyiratkan perbedaan antara dunia hidup. Dia juga tidak mengatakan bahasa
yang menentukan berpikir; itu adalah "bagian dari realitas sosial, "dan jika kita
ingin memahami realitas sosial seseorang, kita perlu mempertimbangkan
seluruhnya (Leavit 2006:63). Bahasa bukan "lambang budaya" (Jackson 1991:13),
tetapi merupakan bagian integral dari budaya yang tidak boleh diabaikan ketika
mencoba untuk menganalisis persepsi realitas dalam budaya itu. Ini menjadi jelas
bahwa baik Boas maupun Sapir mempromosikan esensialisme atau determinisme,
karena

Mereka tidak mengklaim ada menjadi link yang diperlukan antara bahasa rakyat
dan budaya mereka. Mereka tidak relativisme umum, karena mereka tidak percaya
semua kebenaran itu relatif. Mereka tidak universalis dalam pendekatan mereka,
karena mereka tidak mengandaikan adanya struktur linguistik bawaan berlaku
untuk semua bahasa. Apa yang mereka pegang ,adalah bahasa yang lebih dari
sekedar alat untuk menyampaikan persepsi yang sama dimana-mana.

Untuk menyimpulkan,analisis ini diperiksa perspektif teoritis yang berbeda pada


pemahaman manusia tentang realitas dan menemukan bahwa strukturalisme
linguistik dibangun diatas premis semiological Saussure bahwa,struktur universal
dan sewenang-wenang tetap dapat menjelaskan conceptuality manusia,tapi kami
telah melihat bahwa struktur seperti ini tidak ada. Pergeseran Barthes' untuk post-
strukturalisme meninggalkan gagasan makna struktural tetap; dalam
melakukannya, namun,ia mencapai sebuah realistis,kesimpulan relativis yang
tidak memberikan perspektif yang memahami concep tuality manusia.Boas dan
Sapir,sering keliru berpikir untuk mewakili determinis melinguistik atau
relativisme,memberikan tesis paling seimbang dan realistis bahwa pengalaman
manusia pada dasarnya plural.

2.3 RELATIVITAS FUNGSIONAL


Ditengah-tengah kontroversi antara relativis melinguistik dan universalisme Tidak
perbedaan linguistik lintas-budaya tetapi efek kognitif dari bahasa. Tidak Seperti
relativisme linguistik atau ahli bahasa boasian,beberapa kelompok lain dari
Peneliti seperti etnografer (Gumperz,1982;Gumperz & Hymes,1972;
Hymes,1974), Socio linguists(Bernstein,1971;Labov,1975) dan antropolog
(hal,1976) melakukan Tidak menganggap kognisi sebagai pusat perhatian, namun
membawa kemajuan Yang signifikan memahami hubungan antara bahasa dan
budaya. Para peneliti ini Fokus pada fitur fungsional penggunaan
bahasa,yaitu,cara-cara dimana budaya Differenct atau kelompok sosial
mengembangkan penggunaan tertentu dari bahasa Untuk mencapai tujuan
komunikatif tertentu.

2.4 ETNOGRAFI BERBICARA


Etnografi berbicara mengasumsikan bahwa pidato dihitung (Sanders,1987)
Dan bahwa pembicara sengaja menerapkan kode linguistik menuju tujuan sosial
dalam situasi budaya yang didefinisikan (Palmer,1996). Philipsen (1992)
berpendapat bahwa setiap kebudayaan khas memiliki kode pidato khas yang
berimplikasi khas budaya psikologi,sosiologi,dan retorika. Pembicara kompeten,
oleh karena itu harus mampu tidak hanya memproduksi kalimat yang tepat tetapi
juga menggunakan bahasa pragmatis dalam konteks sosial dan budaya tertentu
(Hymes,1971). Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa untuk memahami
penggunaan bahasa rakyat,seseorang harus datang untuk memahami "bagaimana
itu berbentuk budaya"(Philipsen,1992,hal.7).

Dari pada menyajikan sebuah teori jelas,Hymes (1972) menganjurkan "teori


deskriptif "bertujuan untuk menghasilkan gambaran umum tentang konteks dan
komponen dari cara berbicara (Philipsen,1992). Pekerjaan seorang etnografer dari
berbicara adalah untuk mengamati dan mengidentifikasi cara-cara khas
penggunaan bahasa dalam masyarakat tutur tertentu. Pendekatan deskriptif ini
cenderung mendorong etnografer untuk fokus pada satu aspek tertentu dari
penggunaan bahasa satu kelompok budaya tertentu pada waktu tertentu dan lebih
sering dari pada tidak,etnografer mempelajari peristiwa pidato non mainstream
atau komunitas (Abrahams,1989), India waktu (Philips,1989), dan komunitas
sopir truk (Philipsen,1992). Pendekatan ini selama bertahun-tahun telah
menghasilkan sejumlah besar penelitian tentang berbagai bahasa dan budaya
diseluruh dunia termasuk wacana asli Amerika Selatan (Sherzer&Urban,1986), di
Papua bahasa Guinea baru dan wacana (Brison,1992;Schieffelin,1990), pragmatik
dan budaya dari bahasa Afrika (Dahl,1995;Hayward & Lewis,1996;Hutar &
Gregerson,1985), pidato ritual di Indonesia (Kuipers,1998), dan semantik
kekuasaan di Pohnpei,Micronesia (keating,1998). Studi ini menunjukkan bahwa
bahasa terikat erat dengan nilai-nilai dan ideologi dari pengguna mereka,dan
struktur sintaksis dan leksikal pasti mencerminkan pengalaman istimewa dari
masyarakat pidato. Jadi,apa yang dibutuhkan untuk memahami cara-cara dimana
kelompok budaya berkomunikasi bukan perspektif global anglocentric tetapi
perspektif lokal yang spesifik. Beberapa studi yang dilakukan oleh sociolinguists
dan ahli bahasa antropologi juga dianggap penelitian etnografi (misalnya,kekuatan
dan solidaritas semantik sistem pronominalindo-eropa oleh Brown &
Gilman,1960;shapings budaya sistematis laki-laki dan bahasa perempuan oleh
Keenan,1974,sherzer,1987; Subtlenty mode tipuan dalam membuat permintaan
oleh Ervin-Tripp,1976;sistem pengalamatan Amerika utara bahasa Inggris oleh
Ervin-tripp,1974). Meskipun mayoritas penawaran penelitian etnografi dengan
satu bahasa dan budaya tertentu, beberapa pengecualian mencoba untuk
menerapkan pendekatan ini untuk pragmatik lintas budaya. Davis dan Henze
(1998) mengusulkan cara dimana isu-isu dalam pragmatik lintas budaya dapat
didekati dari perspektif etnografi,dan kemudian memberikan dua analisis ilustrasi:
pendidikan bahasa kedua dan komunikasi antar budaya ditempat kerja. Clyne
(1994) mengamati dan menganalisa interaksi lisan antara pembicara yang
bermigrasi ke Australia sebagai orang dewasa dan yang bahasa pertamanya adalah
bahasa lain selain bahasa Inggris. Paling terasa,volume diedit oleh
knapp,enninger,dan knapp-POTTHOFF (1987) berisi selusin studi tentang
berbagai pengaturan antar budaya termasuk kontak antara Jerman dan Turki,
negosiasi antara masyarakat Singapura Perancis dan Belanda,dan multi bahasa.
Mengingat pertumbuhan yang cepat dari kontak antar budaya dan meningkatnya
jumlah masalah yang disebabkan oleh studi ini,menggunakan berbagai
pendekatan, mencoba untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
komunikasi antara orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda.
Kurangnya pengetahuan tentang budaya lain (bukan pada bahasa lain),atribusi
etnosentris, stereotip,masalah sosial politik,dan keyakinan yang tidak beralasan
dari universalitas yang diusulkan menjadi beberapa faktor utama yang menyebab
kan mis comunications antar budaya.

2.5 BAHASA DAN KONTEKS


Bernstein (1971) dalam penelitiannya mengenai bahasa anak-anak, mempelajari
bahwa perbedaan strata sosial didalam suatu negara menggunakan tipe bahasa
yang berbeda. Anak-anak yang berasal dari keluarga kelas sosial menengah
berkomunikasi dengan meggunakan kosa kata yang lebih banyak dan spesifik.
Sementara anak-anak yang berasal dari keluarga kelas sosial bawah
berkomunikasi dengan minimnya kosa kata. Menggunakan kosa kata yang lebih
khusus menjadikan susunan tata bahasa lebih akurat dan mutakhir, menggunakan
berbagai jenis kata sifat dan kata keterangan, dan memanifestasikan kosa kata
yang relatif lebih besar. Penggunaan kosa kata khusus menjadikan komunikannya
lebih mudah mengerti apa yang disampaikan oleh komunikator. Oleh karena itu,
dalam
penyampaian pesan komunikator menggunakan kosa kata yang lebih spesifik.
Berbanding terbalik dengan komunikasi yang menggunakan kosa kata terbatas,
tata bahasa yang digunakan lebih sedikit dan terkadang susunan tata bahasanya
tidak lengkap. Hal tersebut dikarenakan pengetahuan mengenai kosa kata sifat dan
keterangannya sangatlah minim. Bernstein (1971,1972) berpendapat bahwa
sekolah menerapkan cara berkomunikasi yang menggunakan kosa kata yang lebih
khusus dan rumit seperti yang digunakan oleh kalangan kelas sosial menengah
sebagai bahasa dasar mereka. Tentu hal tersebut menjadi kesulitan atau pun
kelemahan bagi para kaum marginal. Bernstein(1971,1972) juga berpendapat
bahwa pengguna anti pekosa kata Dalam komunikasi tidak hanya ditentukan
dengan strata sosial saja, melainkan juga dengan jenis keluarga. Pada jenis
keluarga yang lebih mengutamakan kedudukan, masing-masing anggota dinilai
dan dilihat dari kedudukannya dalam sebuah keluarga. Tipe keluarga seperti ini
menganut sistem komunikasi tertutup dimana mereka kurang bebas dalam
berkomunikasi, masing-masing anggota memliki porsinya sendiri ketika akan
menyampaikan pendapatnya berdasarkan kedudukannya. Sedangkan dalam jenis
keluarga yang tidak mengutamakan kedudukannya dalam sebuah keluarga,
masing-masing anggota dinilai berdasarkan kualitas dari dirinya sendiri. Sehingga
masing-masing anggota keluarga bisa bebas menyampaikan pendapatnya.

Setiap keluarga memiliki metodenya sendiri dalam mengontrol atau mendidik


anaknya (Bernstein,1971). Dalam tipe keluarga yang mengutamakan kedudukan,
orang tua menggunakan teknik mengatur dan memberikan perintah, atau
memberikan saran terbaik berdasarkan pemikiran subjektif dari anggota keluarga
yang memiliki kedudukan, dan menuntut anak-anaknya untuk mengerjakan semua
kewajibannya. Berkerbalikan dengan keluarga yang menganut sistem kebebasan
individu, menggunakan cara mendidik yang lebih bebas serta mengutamakan
kemampuan atau bakat anak-anaknya.
Singkatnya penggunaan lambang atau kosa kata yang terbatas digunakan oleh
banyak masyarakat dan menggambarkan ideologi yang terbatas, sedangkan
penggunaan kosa kata atau lambang yang khusus atau spesifik menggambarkan
Individualistis dan ideologi universal.
Hal (1976) mengembangkan pandangan Bernstein (1971)untuk teori konteks. Hal
berpendapat bahwa lambang, konteks, dan makna tidak dapat dilepaskan.
Mengerti konteks sangatlah penting untuk memaham pesan.Bagaimana pun
proporsisi konteks yang menempati dalam komunikasi yang bervariasi.

Hal memberlakukan teori konteks untuk penjelasan mengenai perbedaan budaya


dalam penggunaan bahasa. Ia menyatakan bahwa kita bisa menempatkan
perbedaan budaya pada rangakaian kesatuan akan konteks komunikasi yang saling
berketergantungan. Kurang lebihnya masyarakat Timur memanifestasikan konteks
budaya tinggi, dan masyarakat Barat memanifestasikan konteks budaya rendah.
Masyarakat Timur lebih memandang kedudukan, dan masyarakat Barat lebih
memandang kualitas masing-masing individu.

Relativisme fungsional mengasumsikan bahwa bentuk yang diambil dari sistem


tata bahasa atau kalimat dari sebuah bahasa berhubungan dengan lingkungan
sosial dan kebutuhan individu. Penggunaan bahasa yang digunakan tidak hanya
menggambarkan posisinya dalam kehidupan sosial dan keadaannya, tetapi juga
menyatakan pandangan mereka terhadap aturan yang ada pada lingkungan sosial,
dan pada posisi mereka sendiri pada lingkungan sosial. Dengan kata lain, bentuk
dari bahasa mewakilkan penggambaran pembangunan kehidupan sosial di dunia.
Karena masing-masing budaya memiliki masing-masing lingkungan, nilai,
kepercayaan, dan sikap, kemudian bahasa cenderung berbeda satu sama lain.

2.6 PERBEDAAN PENGUNAAN BAHASA DISEMUA BUDAYA


Nilai dari sebuah pidato
Zen Buddhism atau meditasi kaum Buddha bisa menjadi pendukung yang antusias
dan pengkritik terburuk dari determinisme ilmu bahasa. Mereka menyadari bahwa
bahasa membatasi kemampuan manusia berpikir dan berimajinasi, karena itu
mereka berusaha bermediasi tanpa menggunakan bahasa dan berkomunikasi
diluar penggunaan komunikasi verbal.
Budaya Barat sudah menganut kebebasan berbicara dimana budaya Timur
Lebih mengutamakan keharmonisan atau keselarasan. Keheningan dalam budaya
Timur dianggap sebagai kepatuhan atau tanda bahwa penyampaian pesan oleh
komunikator dapat dimengerti oleh komunikan. Akan tetapi berbeda dengan
budaya Barat, dimana keheningan dianggap dengan ruang kosong, waktu istirahat
atau bahkan pesan yang disampaikan oleh komunikator tidak dapat dimengerti
atau diterima oleh komunikan.

Pada budaya Timur keheningan memang dianggap sebagai sesuatu yang


positif,akan tetapi tidak semua keheningan dianggap bernilai di Asia. Diam atau
memberikan respon yang pasif memang dibutuhkan ketika dalam keadaan
berbicara kepada yang lebih tua,menghormati orang lain yang sedang
berbicara,atau menghormati upacara agama. Tapi tidak semua diam dianggap
baik,contohnya ketika lawan bicara mengharapkan respon yang aktif,dan kita
tidak memberikan respon,hal tersebut dianggap bahwa kita tidak ikut
berpartisipasi dalam proses komunikasi tersebut.

2.7 GAYA BAHASA DAN PEMILIHAN KODE


“Peran pikiran Asia dengan konsep yang terkait persatuan dan harmoni”
(Oliver,1971,hal.10), memberi dua peningkatan karakteristik linguistik penting
yaitu: Status-markedness dan kelompok-orientedness.Goldstein dan Tamura
(1975), setelah dibandingkan cukup lama antara bahasa Jepang dan bahasa Inggris
Amerika, dapat disimpulkan bahasa Jepang jauh lebih tajam pada duaun surya itu
status dan kelompok,dari pada bahasa Inggris Amerika.
Orang Asia lebih peduli dengan statusnya dari orang Barat dan kekhawatiran
selalu diwujudkan dalam pesan mereka bukanlah hal yang baru. Poin penting
Goldstein dan Tamura (1975) adalah bahwa bahasa Jepang itu sendiri memiliki
sistem yang banyak menandai status. Sedangkan Indo-Eropa bahasa kita beberapa
perangkat linguistik yang terisolasi,seperti kata ganti (Brown & Levinson,1960),
hal alamat (Ervin-Tripp,1974),dan tindak tutur lebih atau kurang mengesankan
(Brown & Levinson,1987),untuk menandai perbedaan status,Jepang (dan Korea
juga) memanifestasikan perbedaan dalam seluruh sistem bahasa. Orang korea
membedakan lima gaya yang berbeda dalam halformalitas:formal satu-down,
informal satu-down,satu diseberang,resmi satu-up,dan informal satu-up,dalam

Rangka menghormati terwujud. Gaya yang berbeda memiliki set berbeda akhiran
infleksional,istilah alamat,pro-kata benda,item leksikal,awalan kehormatan dan
sufiks,partikel dan sebagainya. Informal gaya one-down dalam bahasa Korea
paling utama digunakan terhadap atasan yang sudah akrab. Gaya one-up formal
digunakan terhadap bawahan yang telah menetapkan derajat status.

Orang Asia sering membedakan antara kode pribadi,bahasa yang digunakan saat
tidak ada orang ketiga yang hadir,dan kode publis,bahasa yang digunakan di
hadapan orang lain.Di Jepang,orang tua atau kakek-nenek, ketika berbicara satu
sama lain dihadapan anak-anak,sebagian besar menggunakan istilah kekerabatan
yang sama digunakan oleh anak-anak untuk menghormati status lain (Goldstein &
Tamura,1975). Di Korea,untuk mengatasi orang dewasa dengan nama dihadapan
bawahan mereka (misalnya,anak-anak,bawahan,siswa) dianggap suatu usaha,
seperti dengan menggunakan sebuah penghinaan atau humor,mengabaikan status
penerima.

Tradisi di Asia, usia menjadi salah satu elemen yang paling penting dari status
seseorang.di Korea,bahkan perbedaan usia satu atau dua tahun menciptakan
perbedaan status. Dalam kelompok saudara,perbedaan usia yang dihormati di
keluarga Jepang dan Korea. Meskipun kakak memanggil muda dengan nama,adik-
adik memaknai yang lebih tua dengan istilah kekerabatan seperti "kakak"
(Goldstein & Tamura,1975). Perbedaan usia diluar keluarga juga dihormati.
Seorang anak mungkin memanggil gadis yang lebih tua dengan maknai istilah
"kakak," seorang wanita muda dengan istilah yang berarti "bibi." Seorang wanita
tua dengan arti "nenek." Seorang ibu berbicara kepada anaknya dalam bahasa
Inggris Amerika tentang seorang gadis yang lebih tua diseberang jalan dapat
mengatasi sebagai "that girl" atau dengan nama. Sedangkan di Jepang,istilah yang
digunakan dalam hubungan langsung dengan anak-anak yang diajak bicara,yaitu
"bahwa kakak perempuan "atau" kakak perempuan Hiroko."
Penekanan pada identitas kelompok di Jepang dan Korea melampaui
mengidentifikasi dengan anggota ingroup. Bahasa Jepang dan Korea
memanifestasikan pertimbangan hati-hati untuk tidak memisahkan lainnya dari
Diri. Dalam bahasa Inggris,seseorang tidak bisa melakukan percakapan tanpa kata
ganti. Dan seseorang yang lainnya merasa berbicara tidak nyaman ketika nama
pendengar telah dilupakan (Goldstein & Tamura,1975). Penutur bahasa Inggris
untuk mengkonfirmasi terus identitas individu dari orang lain. Di Jepang dan
Korea, konfirmasi identitas individu dihindari seluruh percakapan dengan
meminimalkan penggunaan youi,dan nama masing-masing. Mereka dapat
berbicara dengan baik dengan ketergantungan minimal pada kata ganti (ketika
subjek kalimat kata ganti, biasanya dihilangkan) dan cukupnya manbahkan jika
mereka tidak ingat nama lain (Goldstein & Tamura,1975).

Penelitian lain yang membandingkan kolektivisdan budaya individualis


melaporkan hasil yang konsisten dengan apa yang ditemukan di Asia Timur jauh.
Kashima dan Kashima (1998), meneliti penggunaan pertama-dan kedua-orang
kata ganti tunggal (misalnya,saya dan anda)di 39 bahasa yang digunakan di 71
budaya,menemukan bahwa budaya dengan "bahasa ganti-drop" cenderung kurang
individualistis dari mereka dengan "bahasa non-ganti-drop."

2.8 SPEECH ACTS


Di Asia, khususnya di Asia Timur,tujuan global mendahului tujuan lokal,
Hubungan mendahului tindakan,gaya mendahului isi,dan karakter mendahului
argumen. "Asia cenderung khawatir lebih banyak dengan kualitas emosional
keseluruhan interaksi dari pada dengan arti kata-kata atau kalimat tertentu"
(Gudykunst & Kim,1984,p.142). Mereka percaya bahwa dalam jangka panjang
hubungan mereka bukan kata-kata yang akan membantu mencapai tujuan
komunikasi mereka.
Pertama, orang-orang Asia, dibandingkan dengan orang Barat, sangat rendah diri
seperti ketegasan, terutama antara kelompok, orang Asia cenderung menekan
konfrontasi atau ekspresi pesan verbal negatif.
Budaya Jepang disebut "budaya pertimbangan" (Suzuki, 1986) dimana orang
selalu mencoba tidak menimbulkan masalah bagi orang lain dan tidak menyakit
Perasaan mereka, yang mengarah kepada orang Jepang untuk berhati-hati dan
pendiam (Lebra, 1976).
Di Thailand, keraguan jarang diungkapkan dengan kata, terutama ketika seseorang
berkomunikasi dengan orang tua dan orang-orang dari status yang lebih tinggi
(Smutkupt & Barna, 1976).
Kedua, orang Asia sering menekan ekspresi emosi mereka. Menjadi emosional
Dalam budaya Asia adalah percaya untuk mencerminkan kurangnya kontrol diri,
yang
Merupakan tanda yang bersifat sembrono. Orang asia akan mengatakan baik
Bukannya fantastis dan tidak sangat baik bukannya mengerikan.
Sebaliknya, budaya Arab, meskipun konteks tinggi dalam komunikasi, cenderung
terlalu ekspresif. Bahasa Arab penuh dengan fitur gramatikal pernyataan dan
berlebihan. Tampaknya, itu paradoks bahwa lebih dari ketegasan dan lebih
ekspresif komunikasi bahasa Arab membuat ambigu pesan sebagai ketegasan dan
dibawah komunikasi ekspresif Asia.
Budaya Italia, budaya Slavia, budaya Yahudi, dan budaya kulit hitam Amerika
juga sangat ekspresif. Budaya ini menghargai "ekspresi emosional tanpa
hambatan" apakah perasaan baik atau buruk (Wierzbicka,1991).
Bahkan tanpa kecenderungan ini, beberapa bahasa Asia memiliki struktur tata
bahasa yang dibudidayakan ambiguitas. Ambiguitas asli, bagaimanapun, berasal
dari sikap orang Asia' terhadap verbalisasi. Jepang dapat berbicara selama berjam-
jam tanpa jelas mengungkapkan pendapat mereka yang lain (Morsbach,1976).
Bahkan dalam percakapan biasa, orang Jepang mungkin berkata hay (ya) tanpa
perlu menyiratkan kesepakatan.
Ambiguitas pesan diminta budaya yang menekankan komunikasi konteks tinggi
untuk mengembangkan strategi untuk memecahkan kode pesan secara akurat.
Terutama ketika pembicara mencoba untuk memicu bukannya "standar" tapi
"implikatur yang dihasilkan" oleh" mengeksploitasi maksimal percakapan" (Grice,
1975), interpretasi tergantung banyak pada pengetahuan kontekstual.
Korea harus mengembangkan noon-chi untuk mengetahui niat, keinginan,

Suasana hati, dan sikap pembicara dari pesan ambigu (Lim&Choi,1996).


Noonchi, yang secara harfiah diterjemahkan sebagai "ukuran mata, "merupakan
bagian integral dari kompetensi komunikatif Korea. Orang yang tidak memiliki
kemampuan yang tepat untuk digunakan noon-chi sering mengancam orang lain
menghadapi dengan memaksa yang lain untuk mengatakan secara eksplisit
sesuatu yang dapat merusak orang lain terhormat.

Dalam keterusterangan di Barat dibangun pada fitur gramatikal seperti struktur


gramatikal lagi dan subjungtif dan suasana hati bersyarat. Demikian pula, budaya
Jawa mewujudkan derajat tinggi "tipuan" dan "kepura-puraan" (Geertz,1976).
Norma Jawa lebih menyukai tidak mengatakan apa yang ada dipikiran seseorang,
keengganan untuk menghadapi masalah dalam kebenaran mereka, tidak pernah
mengatakan apa yang benar-benar terpikir, menghindari kebenaran serampangan,
dan tidak pernah menunjukkan perasaan sebenarnya kepada seseorang secara
langsung (Wierzbicka,1991).
Ketika orang Asia ditempatkan dalam situasi dimana mereka harus verbalisasi
artinya, mereka tidak memiliki kemewahan tata bahasa dalam perangkat
kelangsungan. Ketika mereka berada dalam situasi dimana penggunaan sebutan
kehormatan tidak memadai (misalnya, ketika mereka berbicara dengan teman,
ketika mereka berdebat, atau ketika mereka berbicara dalam bahasa Barat),
mereka bisa sangat terarahkan
Sebaliknya, budaya Israel, dibandingkan dengan budaya masyarakat berbahasa
Inggris, umumnya lebih langsung. Israel kurang peduli dengan jarak sosial, dan
oleh karena itu, gaya interaksi mereka berorientasi pada solidaritas kesopanan.

Banyak bahasa Eropa lainnya seperti Rusia, Serbo-Kroasia, dan Spanyol Polandia
dan juga sangat langsung, Oleh karena itu, mungkin tidak bahasa Eropa tetapi
Inggris British dan Amerika Utara Inggris yang menekankan hak dan otonomi
individu (Wierzbicka,1991)

2.9 VALIDITAS BERTEORILINTAS BUDAYA


Meskipun ada perbedaan dalam penggunaan bahasa diseluruh budaya,
Upaya terus-menerus telah dilakukan untuk mengidentifikasi fitur
universal.Paling Penting dari ini adalah logika alam yang universal
(Gordon&Lakoff,1975), logika universal percakapan (Grice,1975), aturan
universal indirectness (Searle,1975), dan logika universal pilihan strategi
kesopanan (Brown&Levinson,1987). Meskipun generalisasi yang diusulkan
dalam karya-karya ini memberikan wawasan berguna dalam mekanisme
penggunaan bahasa, mereka tidak harus dilihat sebagai mutlak (Wierzbicka,1991).
Misalnya, Searle (1975,hal.64) menyatakan bahwa persyaratan percakapan biasa
kesopanan biasanya membuat canggung untuk mengeluarkan kalimat penting
datar dan performatif eksplisit dan bahwa kesopanan adalah motivasi utama untuk
indirectness. Wierzbicka (1991), berdasarkan perbandingan antara berbagai
bahasa termasuk Inggris, Italia, Rusia, Polandia, Yiddish, Ibrani, Jepang, Cina,
Korea, Walmatjari (bahasa Aborigin Australia), mengkritik klaim ini, mengatakan
mereka adalah ilusi dan manifestasi sederhana dari bahasa Inggris strategi
percakapan dan nilai-nilai budaya Anglo-Saxon. Prinsip kerja sama, empat
maksim percakapan, dan mekanisme implikatur-pembangkit juga khusus untuk
budaya Amerika Utara (Wierzbicka,1991) atau dibagian paling paling untuk
komunikasi konteks rendah. Asia tidak mengandaikan prinsip-prinsip atau kaidah
untuk memicu implikatur, sebagaimana dibuktikan oleh Jepang dan Korea noon-
chi Meskipun Brown dan Levinson (1987) menyatakan bahwa teori universal
mereka kesopanan didasarkan pada selusin bahasa dari seluruh penjuru dunia,
teori mengungkapkan bias anglocentrickuat.Lim (1994) melaporkan bahwa
"ingin" menjadi otonom, dihormati, kompeten, dan diterima (yang kira-kira
corerspond untuk Brown dan negatif dan positif Levinson wajah-ingin) hanya
mewakili satu dari lima dimensi Korea 'wajah-ingin, yaitu, swasembada wajah.
Empat dimensi lainnya adalah kesopanan wajah, termasuk citra yang tepat dan
terawat; integritas wajah, terdiri citra dapat dipercaya, bijaksana, dan wajar;
bangsawan wajah, incluiding citra menjadi amal, elegan, dan sejahtera;dan
kemampuan wajah, incluiding citra secara sosial sukses.Dua prinsip-prinsip inti
dari kesantunan, "penghindaran pengenaan" dan "persetujuan yang lain," dan
banyak taktik khusus lainnya mencerminkan jelas perspektif budaya khusus
penulis (Wierzbicka,1991).

Anglocentrism, paradigma dominan pragmatik lintas budaya saat ini,


memungkinkan penulis untuk membuat generalisasi lintas-budaya pengetahuan
etnografis mereka dengan pemeriksaan dari beberapa tangan yang dipilih, contoh
Terisolasi dari bahasa lain. Untuk mencapai generalisasi berlaku pada fitur
pragmatis tertentu, kita harus membandingkan seluruh sistem fitur pragmatis satu
bahasa dengan orang-orang dari bahasa lain. Para peneliti yang berusaha seperti
jenis ketat validasi lintas budaya selalu disambut oleh perbedaan kultur khusus
(Blum-Kulka,
House;&Kasper,1989;Emanatian,1995;Fitch&Sanders,1994;Suszczynska,1999).
Ini tidak berarti bahwa tidak ada universal dalam penggunaan bahasa. Studi
banding selalu menghasilkan kesamaan tertentu antara budaya. Kesamaan ini,
bagaimanapun, tampaknya ada pada tingkat atom, semantik,atau umum, tidak
pada tingkat molekuler, episodik, atau spesifik Gumperz dan Levinson (1996)
berpendapat. Dengan demikian, pencarian universal harus lebih fokus pada unsur-
unsur semantik dasar atau primitif semantik, dan studi tentang penggunaan
spesifik dari bahasa atau pragmatik harus keragaman to cultural lebih sensitif.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN

Budaya yang berbeda memiliki sistem yang berbeda pula (dalam hal ini yang
dimaksudkan ialah bahasa). Bahasa verbal adalah cara penyampaian dalam
berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata, entah lisan maupun tulisan.
Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan antar manusia. Melalui
kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi, pemikiran, gagasan, atau
maksud mereka, menyampaikan fakta, data, dan informasi serta menjelaskannya,
saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling berdebat, dan bertengkar. Dalam
komunikasi verbal itu bahasa memegang peranan penting.

3.2 SARAN

Dalam penyampaian pesan komunikator menggunakan kosakata yang lebih


spesifik. Berbanding terbalik dengan komunikasi yang menggunakan kosakata
terbatas, tata bahasa yang digunakan lebih sedikit dan terkadang sususan tata
bahasanya tidak lengkap. Hal tersebut dikarenakan pengetahuan mengenai
kosakata sifat dan keterangannya sangatlah minim.
DAFTAR PUSTAKA

Alo Liliweri,M.S.2003,Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya, Pustaka


Pelajar:Yogyakarta

Audrey B. Fisher, dan Katherine L. Adam S. 1994, InterpersonalCommunication :


Pragmatics of Human Communication, Edisi ke-2, McGraw-Hill, New York

Gudykunst, William B & Mody, Bella. 2002. Handbook of Internatioanal and


Intercultural Communication, 2nd edition, London : Sage Publication, Inc.

Mulyana, deddy. Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. (Bandung : Remaja Rosda


Karya:2007)hal66

Anda mungkin juga menyukai