Anda di halaman 1dari 33

NAMA : YOGA ADITYA KURNIAWAN

NIM : 1401418262
ROMBEL : F

HAKIKAT, FUNGSI, DAN RAGAM BAHASA INDONESIA


Hakikat Bahasa Indonesia

Pengertian Bahasa

Manusia adalah makhluk sosial, sehingga manusia perlu berinteraksi


dengan manusia yang lainnya. Pada saat manusia membutuhkan eksistensinya
diakui, maka interaksi itu terasa semakin penting. Kegiatan berinteraksi ini
membutuhkan alat, sarana atau media, yaitu bahasa. Sejak saat itulah bahasa
menjadi alat, sarana atau media.
Terkadang kita berada di tengah-tengah suatu lingkungan masyarakat yang
menggunakan suatu bahasa yang tidak kita pahami sama sekali, serta mendengar
percakapan antar penutur-penutur bahasa itu, maka kita mendapat kesan bahwa
apa yang merangsang alat pendengar kita itu merupakan suatu arus bunyi yang di
sana-sini diselingi perhentian sebentar atau lama menurut kebutuhan dari
penuturnya. Bila percakapan itu terjadi antara dua orang atau lebih, akan tampak
pada kita bahwa sesudah seorang menyelesaikan arus-bunyinya itu, maka yang
lain akan mengadakan reaksi. Reaksinya dapat berupa: mengeluarkan lagi arusbunyi yang tak dapat kita
pahami itu, atau melakukan suatu tindakan tertentu.
Dengan demikian, bentuk dasar bahasa adalah ujaran. Santoso, dkk.
(2004:1.2) mengatakan bahwa ujaranlah yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya

Fungsi Bahasa
Ada yang beranggapan bahwa penguasaan bahasa khususnya bahasa
pertama tidak memerlukan usaha sama sekali. Bahasa yang dikuasai seseorang
adalah sesuatu yang wajar, bukan prestasi yang luar biasa. Akibat anggapan yang
keliru tersebut menyebabkan bahasa dianggap hal yang biasa sehingga tidak perlu
mendapat perhatian. Padahal, bahasa merupakan hal yang paling penting dalam
kehidupan kita.
Anda pasti memahami bahwa manusia telah ditakdirkan satu sama lain
memerlukan pertolongan untuk memelihara, meningkatkan, dan mempertahankan
kehidupannya. Pertolongan itu pertama-tama diperoleh dengan bantuan bahasa.
Manusia tidak pernah hidup seorang diri, melainkan selalu hidup berkelompok
karena manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, di dalam
berinteraksi, manusia membutuhkan bahasa.
Mengingat begitu vitalnya bahasa dalam kehidupan, maka tidaklah
mengherankan jika Samsuri (1994) mengatakan “Dapatkah kita kira-kirakan
bagaimana kebudayaan kita dapat kita terima dari nenek moyang kita dan kita
teruskan kepada anak-cucu tanpa memakai bahasa? Apakah ada ilmu pengetahuan
yang disampaikan dan dikembangkan tanpa penggunaan bahasa? Mungkinkah
pendidikan seluruhnya dilakukan tanpa memakai bahasa?” Pertanyaan-pertanyaan
tersebut tentu Anda dapat menjawabnya dengan mudah, bukan? Pasti Anda akan
menjawab dengan kata tidak. Dari pertanyaan-pertanyaan itu pula, akan lebih
menyadarkan kita bahwa ternyata bahasa itu memiliki fungsi yang sangat vital
dalam kehidupan ini.
Secara umum sudah jelas bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat
komunikasi. Bahasa sebagai wahana komunikasi bagi manusia, baik komunikasi
lisan maupun komunikasi tulis. Fungsi ini adalah fungsi dasar bahasa yang belum
dikaitkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Seperti yang telah disinggung
sebelumnya, dalam kehidupan sehar-hari, bahasa tidak dapat dilepaskan dari
kegiatan hidup masyarakat, yang di dalamnya sebenarnya terdapat status dan
nilai-nilai sosial. Bahasa selalu mengikuti dan mewarnai kehidupan manusia
sehari-hari, baik manusia sebagai anggota suku maupun bangsa.

Santoso, dkk. (2004) berpendapat bahwa bahasa sebagai alat komunikasi


memiliki fungsi sebagai berikut.
(1) Fungsi informasi, yaitu untuk menyampaikan informasi timbal-balik
antaranggota keluarga ataupun anggota-anggota masyarakat.
(2) Fungsi ekspresi diri, yaitu untuk menyalurkan perasaan, sikap, gagasan,
emosi atau tekanan-tekanan perasaan pembaca. Bahasa sebagai alat
mengekspresikan diri ini dapat menjadi media untuk menyatakan eksistensi
(keberadaan) diri, membebaskan diri dari tekanan emosi dan untuk menarik
perhatian orang.
(3) Fungsi adaptasi dan integrasi, yaitu untuk menyesuaikan dan membaurkan
diri dengan anggota masyarakat, melalui bahasa seorang anggota
masyarakat sedikit demi sedikit belajar adat istiadat, kebudayaan, pola
hidup, perilaku, dan etika masyarakatnya. Mereka menyesuaikan diri dengan
semua ketentuan yang berlaku dalam masyarakat melalui bahasa.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa manusia adalah makhluk sosial
yang perlu berintegrasi dengan manusia di sekelilingnya. Dalam berintegrasi
tersebut, manusia memerlukan bahasa sebagai alat. Dengan bahasa, manusia
dapat bertukar pengalaman dan menjadi bagian dari pengalaman tersebut.
Mereka memanfaatkan pengalaman itu untuk kehidupannya. Dengan
demikian mereka merasa saling terkait dengan kelompok sosial yang
dimasukinya.
(4) Fungsi kontrol sosial. Bahasa berfungsi untuk mempengaruhi sikap dan
pendapat orang lain. Bila fungsi ini berlaku dengan baik, maka semua
kegiatan sosial akan berlangsung dengan baik pula. Dengan bahasa
seseorang dapat mengembangkan kepribadian dan nilai-nilai sosial kepada
tingkat yang lebih berkualitas.
Sejalan dengan pendapat di atas, Hallyday (1992) mengemukakan fungsi
bahasa sebagai alat komunikasi untuk berbagai keperluan sebagai berikut.
(1) Fungsi instrumental, yakni bahasa digunakan untuk memperoleh sesuatu.
(2) Fungsi regulatoris, yaitu bahasa digunakan untuk mengendalikan prilaku
orang lain.
(3) Fungsi intraksional, bahasa digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain.
(4) Fungsi personal, yaitu bahasa dapat digunakan untuk berinteraksi dengan
orang lain.
(5) Fungsi heuristik, yakni bahasa dapat digunakan untuk belajar dan
menemukan sesuatu.

(6) Fungsi imajinatif, yakni bahasa dapat difungsikan untuk menciptakan


dunia imajinasi.
(7) Fungsi representasional, bahasa difungsikan untuk menyampaikan
informasi.
Apakah fungsi khusus bahasa Indonesia? Anda mungkin masih ingat
bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mempunyai fungsi khusus yang
sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia. Fungsi itu adalah sebagai:
(1) Bahasa resmi kenegaraan. Dalam kaitannya dengan fungsi ini bahasa
Indonesia dipergunakan dalam adminstrasi kenegaraan, upacara atau
peristiwa kenegaraan, komunikasi timbal-balik antara pemerintah dengan
masyarakat.
(2) Bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Sebagai bahasa pengantar, bahasa
Indonesia dipergunakan di lembaga-lembaga pendidikan baik formal atau
nonformal, dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
(3) Bahasa resmi untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
nasional serta kepentingan pemerintah. Dalam hubungannya dengan fungsi
ini, bahasa Indonesia tidak hanya dipakai sebagai alat komunikasi timbalbalik antara pemerintah dengan
masyarakat luas atau antar suku, tetapi juga
sebagai alat perhubungan di dalam masyarakat yang keadaan sosial budaya
dan bahasanya sama.
(4) Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam
kaitan ini, bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat yang memungkinkan
kita membina serta mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa
sehingga ia memiliki identitasnya sendiri, yang membedakannya dengan
bahasa daerah. Dalam pada itu untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern, baik dalam bentuk penyajian pelajaran, penulisan buku
atau penerjemahan, dilakukan dalam bahasa Indonesia.
Telah diketahui bahwa bahasa Indonesia selain sebagai sebagai bahasa
nasional juga sebagai bahasa negara. Dalam kedudukannya sebagai bahasa
negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai berikut.
(1) Bahasa resmi kenegaraan. Dalam kaitannya dengan fungsi ini bahasa
Indonesia dipergunakan dalam adminstrasi kenegaraan, upacara atau
peristiwa kenegaraan baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan,
komunikasi timbal-balik antara pemerintah dengan masyarakat. Dokumendokumen dan keputusan-
keputusan serta surat-menyurat yang dikeluarkan
oleh pemeritah dan badan-badan kenegaraan lain seperti DPR dan MPR

ditulis di dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato, terutama pidato


kenegaraan, ditulis dan diucapkan di dalam bahasa Indonesia.
(2) Bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Sebagai bahasa pengantar, bahasa
Indonesia dipergunakan di lembaga-lembaga pendidikan baik formal atau
nonformal, dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
(3) Bahasa resmi untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
nasional serta kepentingan pemerintah. Dalam hubungannya dengan fungsi
ini, bahasa Indonesia tidak hanya dipakai sebagai alat komunikasi timbalbalik antara pemerintah dengan
masyarakat luas atau antar suku, tetapi juga
sebagai alat perhubungan di dalam masyarakat yang keadaan sosial budaya
dan bahasanya sama.
(4) Alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam
kaitan ini, bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat yang memungkinkan
kita membina serta mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa
sehingga ia memiliki identitasnya sendiri, yang membedakannya dengan
bahasa daerah. Dalam pada itu untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern, baik dalam bentuk penyajian pelajaran, penulisan buku
atau penerjemahan, dilakukan dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian
masyarakat bangsa kita tidak tergantung sepenuhnya kepada bangsa-bangsa
asing di dalam usahanya untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern serta untuk ikut serta dalam usaha pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
Ragam Bahasa Indonesia
Klasifikasi Ragam Bahasa Indonesia
Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988) dikemukakan beberapa
penggolongan ragam bahasa. Pertama, ragam menurut golongan penutur bahasa
dan ragam menurut jenis pemakaian bahasa. Ragam yang ditinjau dari sudut
pandangan penutur terdiri atas:
(1) ragam daerah,
(2) ragam pendidikan, dan
(3) sikap penutur.
Ragam daerah dikenal dengan nama logat atau dialek. Logat daerah
kentara karena tata bunyinya. Ciri-ciri khas yang meliputi tekanan, intonasi,
panjang-pendeknya bunyi bahasa membangun aksen yang berbeda-beda.

Ragam pendidikan dapat dibagi atas ragam bahasa baku dan ragam
bahasa tidak baku (ragam bahasa baku dan ragam tidak baku akan diuraikan
secara khusus).
Ragam bahasa menurut sikap penutur mencakup sejumlah corak bahasa
Indonesia yang masing-masing pada asasnya tersedia bagi tiap-tiap pemakai
bahasa. Ragam ini biasa disebut langgam atau gaya. Langgam atau gaya yang
dipakai oleh penutur bergantung pada sikap penutur terhadap orang yang diajak
berbicara atau terhadap pembacanya. Sikap penutur dipengaruhi antara lain oleh
umur dan kedudukan yang disapa, pokok persoalan yang hendak disampaikannya,
dan tujuan penyampaian informasinya. Perbedaan berbagai gaya itu tercermin
dalam kosakata dan tata bahasa (Depdikbud, 1988)

Ragam Bahasa Baku dan Tidak Baku


Ragam bahasa yang dianggap memiliki gengsi dan wibawa yang tinggi
adalah ragam bahasa orang yang berpendidikan. Karena, ragam orang yang
berpendidikan kaidah-kaidahnya paling lengkap diuraikan jika dibandingkan
dengan ragam bahasa yang lain. Oleh karena itulah sehingga ragam tersebut
dijadikan tolok ukur bagi pemakaian bahasa yang benar atau bahasa yang baku.
Ragam bahasa baku menggunakan kaidah bahasa yang lebih lengkap
dibandingkan dengan ragam tidak baku. Adapun ciri ragam baku adalah sebagai
berikut.

(1) Memiliki sifat kemantapan dinamis. Bahasa baku harus memiliki kaidah dan
aturan yang relatif tetap dan luwes. Bahasa baku tidak dapat berubah setiap
saat.
(2) Kecendekiaan. Kecendekiaan berarti bahwa bahasa baku sanggup
mengungkapkan proses pemikiran yang rumit di pelbagai ilmu dan
teknologi, dan bahasa baku dapat mengungkapkan penalaran atau pemikiran
yang teratur, logis dan masuk akal.
(3) Keseragaman kaidah. Keseragaman kaidah adalah keseragaman aturan atau
norma. Tetapi, keseragaman bukan berarti penyamaan ragam bahasa atau
penyeragaman variasi bahasa (Depdikbud 1988).
Proses pembakuan bahasa terjadi karena keperluan komunikasi. Dalam
proses pembakuan atau standardisasi itu salah satu variasi pemakaian bahasa
dibakukan untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu yang variasi itu disebut
bahasa baku atau bahasa standar. Namun perlu diingat, dengan adanya
pembakuan bahasa atau bahasa Indonesia yang baku, bahasa Indonesia yang tidak
baku tetap hidup dan berkembang sesuai dengan fungsinya dalam komunikasi.
Dengan demikian, pembakuan tidak bermaksud untuk mematikan variasi-variasi
bahasa tidak baku.
Saudara, pasti sudah mengetahui bahwa ragam tidak baku banyak
mengandung unsur-unsur dialek dan bahasa daerah sehingga ragam bahasa tidak
baku banyak sekali variasinya. Selain dialek, ragam bahasa tidak baku juga
bervariasi dalam hal lafal atau pengucapan, kosa kata, struktur kalimat dan
sebagainya. Untuk mengatasi keanekaragaman pemakaian bahasa yang
merupakan variasi dari bahasa tidak baku maka diperlukan bahasa bahasa baku
atau bahasa standar. Mengapa? Karena bahasa baku tidak hanya ditandai oleh
kesergaman dan ketunggalan ciri-cirinya tetapi juga ditandai oleh keseragaman
dan ketunggalan fungsi-fungsinya.
Pada situasi komunikasi bagaimanakah kita harus menggunkan bahasa
Indonesia baku? Kridalaksana (1978) mengatakan bahwa bahasa Indonesia baku
adalah ragam bahasa yang dipergunakan dalam:
(a) komunikasi resmi, yakni surat-menyurat resmi, pengumumanpengumuman yang dikeluarkan oleh
instansi resmi, penamaan dan
peristilahan resmi, perundang-undangan, dan sebagainya (ingat
kembali fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi);
(b) wacana teknis, yakni dalam laporan resmi dan karangan ilmiah;
(c) pembicaraan di depan umum yakni dalam ceramah, kuliah, khotbah;
dan
(d) pembicaraan dengan orang yang dihormati yakni orang yang lebih tua,
lebih tinggi status sosialnya dan orang yang baru dikenal

Ragam Bahasa Tulis dan Bahasa Lisan


Saudara, sebagai seorang guru, Anda tentu tidak bisa lepas dari kegiatan
menulis dan berbicara. Oleh karena itu, Anda perlu memahami dengan baik
perbedaan ragam bahasa lisan dan tulis agar tulisannya tidak menggunakan ragam
bahasa lisan atau sebaliknya, dalam berbicara menggunakan ragam bahasa tulis.
Adalah suatu kecelakaan bagi penulis bila mengarang menggunakan bahasa lisan.
Apakah yang membedakan antara ragam tulisan dengan ragam bahasa lisan.
Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988) dinyatakan ada dua perbedaan
yang mencolok mata yang dapat diamati antara ragam bahas tulis dengan ragam
bahasa lisan, yaitu berhubungan dengan: (1) suasana peristiwanya, dan (2) dari
segi intonasi.
a. Dari segi suasana peristiwa
Jika menggunakan bahasa tulisan tentu saja orang yang diajak berbahasa
tidak ada dihadapan kita. Olehnya itu, bahasa yang digunakan perlu lebih jelas,
karena ujaran kita tidak dapat disertai dengan isyarat, pandangan, atau anggukan,
tanda penegasan di pihak kita atau pemahaman di pihak pendengar kita. Itulah
sebabnya kalimat dalam ragam tulis harus lebih cermat. Fungsi gramatikal,
seperti subjek, predikat, objek, dan hubungan antara setiap fungsi itu harus nyata
dan erat. Sedangkan dalam bahasa lisan, karena pembicara berhadapan langsung
dengan pendengar, unsur (subjek-predikat-objek) kadangkala dapat diabaikan.
Maka, jika ingin menjadi orang yang cermat dalam berbahasa perlu menyadari
bahwa kalimat yang Anda tulis berlainan dengan kalimat yang Anda ujarkan
karena bahasa tulis dapat dikaji dan dibaca oleh pembaca secara berulang-ulang.
Oleh sebab itu, dalam menulis, kalimat harus lebih lengkap, ringkas, jelas, dan
elok. Jika diperlukan, tulisan perlu disunting beberapa kali agar dapat dihasilkan
tulisan yang betul-betul komunikatif bagi pembaca.
b. Dari segi intonasi
Yang membedakan bahasa lisan dan tulisan adalah berkaitan dengan
intonasi (panjang-pendek suara/tempo, tinggi-rendah suara/nada, keras-lembut
suara/tekanan) yang sulit dilambangkan dalam ejaan dan tanda baca, serta tata
tulis yang dimiliki. Jadi, kadangkala bahasa tulisan perlu dirumuskan kembali jika
ingin menyampaikan perasaan yang sama lengkapnya dengan ungkapan perasaan
dalam bahasa lisan. Walaupun ragam bahasa tulis lebih rumit namun demikian
ragam ini mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki bahasa lisan seperti
dimungkinkannya digunakan huruf kapital, huruf miring, dan tanda kutip,
paragraf atau tanda-tanda baca lainnya.
Goeller (1980) mengemukakan bahwa ada tiga krakteristik bahasa tulisan
yaitu acuracy, brevety, claryty (ABC).
(a) Acuracy (akurat) adalah segala informasi atau gagasan yang dituliskan dapat
memberi keyakinan bagi pembaca bahwa hal tersebut masuk akal atau logis.
Pertanyaan yang dapat diajukan untuk mengetahui keakuratan tulisan adalah
sebagai berikut:
A. Apakah tulisan saya tidak menyampaikan gagasan yang berlebihan?
B. Apakah saya telah memikirkan secara cermat gagasan yang ada dalam
tulisan ini?
C. Apakah saya telah mencek keseluruhan tulisan ini sehingga tidak ada
yang keliru?
(b) Brevety (ringkas) yang berarti gagasan tertulis yang disampaikan bersifat
singkat karena tidak menggunakan kata yang mubazir dan berulang, seluruh
kata yang digunakan dalam kalimat ada fungsinya

TEORI PEMEROLEHAN DAN PERKEMBANGAN


BAHASA ANAK

Hakikat Pemerolehan Bahasa Anak


Pemerolehan bahasa anak melibatkan dua keterampilan, yaitu
kemampuan untuk menghasilkan tuturan secara spontan dan kemampuan
memahami tuturan orang lain. Jika dikaitkan denga hal itu, maka yang dimaksud
dengan pemerolehan bahasa adalah proses pemilikan kemampuan berbahasa,
baik berupa pemahaman atau pun pengungkapan, secara alami, tanpa melalui
kegiatan pembelajaran formal (Tarigan dkk., 1998). Selain pendapat tersebut,
Kiparsky dalam Tarigan (1988) mengatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah
suatu proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian
hipotesis dengan ucapan orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa
yang paling baik dan paling sederhana dari bahasa bersangkutan.
Dengan demikian, proses pemerolehan adalah proses bawah sadar.
Penguasaan bahasa tidak disadari dan tidak dipengaruhi oleh pengajaran yang
secara eksplisit tentang sistem kaidah yang ada di dalam bahasa kedua. Berbeda
dengan proses pembelajaran, adalah proses yang dilakukan secara sengaja atau
secara sadar dilakukan oleh pembelajar di dalam menguasai bahasa.
Adapun karakteristik pemerolehan bahasa menurut Tarigan dkk. (1998)
adalah:
(a) berlangsung dalam situasi informal, anak-anak belajar bahasa tanpa
beban, dan di luar sekolah;
(b) pemilikan bahasa tidak melalui pembelajaran formal di lembagalembaga pendidikan seperti sekolah
atau kursus; (c) dilakukan
tanpa sadar atau secara spontan; dan
(c) dialami langsung oleh anak dan terjadi dalam konteks berbahasa
yang bermakna bagi anak.
Ragam Pemerolehan Bahasa Anak
Ragam atau jenis pemerolehan bahasa anak menurut Tarigan (1988)
dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan, antara lain:
(a) berdasarkan bentuk,
(b) berdasarkan urutan,
(c) berdasarkan jumlah,
(d) berdasarkan media,
(e) berdasarkan keaslian.
Ditinjau dari segi bentuk, dikenal ragam:
(a) pemerolehan bahasa pertama,
(b) pemerolehan bahasa kedua,
(c) pemerolehan-ulang.
Ditinjau dari segi urutan, dikenal ragam:
(a) pemerolehan bahasa pertama,
(b) pemerolehan bahasa kedua Ditinjau dari segi jumlah, dikenal ragam:
(a) pemerolehan satu bahasa,
(b) pemerolehan dua bahasa.
Ditinjau dari segi media, dikenal ragam:
(a) pemerolehan bahasa lisan,
(b) pemerolehan bahasa tulis.
Ditinjau dari segi keaslian atau keasingan, dikenal ragam:
(a) pemerolehan bahasa asli,
(b) pemerolehan bahasa asing.
Anda perlu perhatikan bahwa memang terdapat beberapa istilah
pemerolehan bahasa dari segi bentuk, urutan, dan keaslian, tetapi dalam
pengertian hampir sama. Misalnya, istilah pemerolehan bahasa pertama dengan
pemerolehan bahasa asli, dan antara pemerolehan bahasa kedua dengan
pemerolehan bahasa asing tidak ada perbedaan pengertian.
Apabila ditinjau dari segi keserentakan atau keberurutan, pada dasarnya
pemerolehan dua bahasa oleh seorang anak dapat terjadi dalam dua cara, yaitu
(a) pemerolehan bahasa secara serentak, dan
(b) pemerolehan bahasa secara berurut.
Pemerolehan serempak dua bahasa terjadi pada anak yang dibesarkan
dalam masyarakat bilingual (menggunakan dua bahasa dalam berkomunikasi)
atau dalam masyarakat multilingual (menggunakan lebih dari dua bahasa). Anak
mengenal, mempelajari, dan menguasai kedua bahasa secara bersamaan.
Sedangkan pemerolehan berurut dua bahasa terjadi bila anak menguasai dua
bahasa dalam rentang waktu yang relatif berjauhan (Tarigan, 1988 dan Tarigan
dkk., 1998).

Strategi Pemerolehan Bahasa Anak


Saudara, pasti kalian bertanya-tanya, “Bagaimana caranya seorang anak
memperoleh bahasanya?” “Apakah kemampuan berbahasa anak adalah
pembawaan atau ada faktor-faktor lain yang memungkinkannya memiliki
kemampuan tersebut?” Menurut Tarigan (1988), untuk menjawab pertanyaan
tersebut maka kita harus mempertimbangkan masalah interaksi sang anak
dengan konteksnya. Landasan atau dasar kognitif pemerolehan bahasa sangat
mudah sekali terlihat dalam tiga hal, yaitu:
(1) perkembangan semantik sang anak,
(2) perkembangan sintaksis permulaan, dan
(3) penggunaan aktif sang anak akan sejenis siasat belajar.
Kalau kita amati, anak-anak pada umumnya cenderung lebih cepat
belajar dan menguasai suatu bahasa, terutama bahasa ibunya. Sejak lahir
seorang bayi sudah memperoduksi bunyi yaitu mengeram atau menangis. Bunyibunyi itu
menggambarkan suasana kebutuhan dalam upaya merespon terhadap
lingkungan internal dan eksternalnya. Sejalan dengan pertumbuhan usia bayi
tersebut, maka bunyi-bunyi yang diproduksinya itu mulai ada kecenderungan
mempunyai kemiripan dengan bahasa (kata-kata) orang dewasa, misalanya “mama”

Perkembangan BAHASA ANAK


Hakikat Perkembangan Bahasa Anak
Saudara, kita dapat berbahasa dengan lancar seperti sekarang ini tidak
terjadi dengan tib-tiba. Ini memerlukan latihan yang intensif selama masa
perkembangan dan melalui tahapan yang berangsur-angsur sempurna. Pada
awalnya segala yang kita dengarkan dari lingkungan adalah sama. Kita dapat
mengembangkan karena bakat bawaan, karena lingkungan atau karena faktor
lain yang menunjang yaitu perkembangan fisik dan intelektual. (Masih ingat,
kan? Uraian tentang hal ini pada subunit 1). Yang sangat menakjubkan ialah,
pada masa kanak-kanak dalam waktu yang relatif singkat, kita sudah dapat
berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar kita. Bahkan sebelum bersekolah,
kita telah mampu betutur seperti orang dewasa untuk berbagai keperluan dan
dalam bermacam situasi.
Terkait dengan hal tersebut di atas, Darjowidjojo (Tarigan dkk., 1998)
mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa anak itu tidaklah tiba-tiba atau
sekaligus, tetapi bertahap. Kemajuan kemampuan berbahasa mereka berjalan
seiring dengan perkembangan fisik, mental, intelektual, dan sosialnya. Oleh
karena itu, perkembangan bahasa anak ditandai oleh keseimbangan dinamis atau
suatu rangkaian kesatuan yang bergerak dari bunyi-bunyi atau ucapan yang
sederhana menuju tuturan yang lebih kompleks. Tangisan, bunyi-bunyi atau
ucapan yang sederhana tak bermakna, dan celotehan bayi merupakan jembatan
yang mefasilitasi alur perkembangan bahasa anak menuju kemampuan
berbahasa yang lebih sempurna. Bagi anak, celoteh merupakan semacam latihan

M
Kajian Bahasa Indonesia di SD 2- 17
untuk menguasai gerak artikulatoris (alat ucap) yang lama kelamaan dikaitkan
dengan kebermaknaan bentuk bunyi yang diujarkannya.

Tahap-tahap Perkembangan Bahasa Anak


Ada beberapa ahli yang membagi tahap-tahap perkembangan bahasa itu
ke dalam tahap pralinguistik dan tahap linguistik. Akan tetapi ada ahli-ahli lain
yang menyanggah pembagian ini, dan mengatakan bahwa tehap pralinguistik
tidak dapat dikatakan bahasa permulaan karena bunyi-bunyi seperti: tangisan,
rengekan, dan lain sebagainya dikendalikan oleh ransangan (stimulus) semata.
Sudah diuraikan sebelumnya bahwa kemampuan berbahasa anak-anak
tidaklah diperoleh secara tiba-tiba atau sekaligus, tetapi berkembang secara
bertahap. Tahapan perkembangan bahasa anak dapat dibagi atas: (1) tahap
pralingustik, (2) tahap satu-kata, (3) tahap dua-kata, dan (4) tahap banyak-kata.
1. Tahap Pralingustik (0 – 12 bulan)
Sebelum mampu mengucapkan suatu kata, bayi mulai memperoleh
bahasa ketika berumur kurang dari satu tahun. Namun pada tahap ini, bunyibunyi bahasa yang
dihasilkan anak belumlah bermakna. Bunyi-bunyi itu berupa
vokal atau konsonan tertentu tetapi tidak mengacu pada kata atau makna
tertentu. Untuk itulah sehingga perkembangan bahasa anak pada masa ini
disebut tahap pralinguistik (Tarigan, 1988; Tarigan dkk., 1998; Ellies
dkk.,1989). Bahkan pada awalnya, bayi hanya mampu mengeluarkan suara yaitu
tangisan. Pada umumnya orang mengatakan bahwa bila bayi yang baru lahir
menangis, menandakan bahwa bayi tersebut merasa lapar, takut, atau bosan.
Sebenarnya tidak hanya itu saja terjadi. Para peneliti perkembangan mengatakan
bahwa lingkungan memberikan mereka halangan tentang apa yang dirasakan
oleh bayi, bahkan tangisan itu sudah mempunyai nilai komunikatif.
Bayi yang berusia 4 – 7 bulan biasanya sudah mulai mengahasilkan
banyak suara baru yang menyebabkan masa ini disebut masa ekspansi
(Dworetzky, 1990). Suara-suara baru itu meliputi: bisikan, menggeram, dan
memekik. Setelah memasuki usia 7 – 12 bulan, ocehan bayi meningkat pesat.
Sebagian bayi mulai mengucapkan suku kata dan menggandakan rangkaian kata
seperti “dadada” atau “mamama”. Ini dekanal dengan masa connical.
2. Tahap Satu-Kata (12 – 18 bulan)
Pada masa ini, anak sudah mulai belajar menggunakan satu kata yang
memiliki arti yang mewakili keseluruhan idenya. Satu-kata mewakili satu atau
bahkan lebih frase atau kalimat.
Contoh:
Ujaran anak Maksud
- “Juju!” (sambil memegang baju)
- “Gi!” (sambil menunjuk keluar)
- “Bum-bum” (sambil menunjuk
motor
- Mau memakai baju atau Ini
baju saya
- Mau pergi atau keluar
- Itu motor atau saya mau naik
motor
Kata-kata pertama yang lazim diucapkan berhubungan dengan objekobjek nyata atau perbuatan. Kata-
kata yang sering diucapkan orang tua sewaktu
mengajak bayinya berbicara berpotensi lebih besar menjadi kata pertama yang
diucapkan si bayi. Selain itu, kata tersebut mudah bagi dia. Misalnya kata
“papa” itu kan konsonan bilabial yang mudah diucapkan. Selain itu, kata-kata
tersebut mengandung fonem “a” yang secara artikulasi juga mudah diucapkan
(tinggal membuka mulut saja).
Memahami makna kata yang diucapkan anak pada masa ini tidaklah
mudah. Untuk menafsirkan maksud tuturan anak harus diperhatikan aktivitas
anak itu dan unsur-unsur non-linguistik lainnya seperti gerak isyarat, ekspresi,
dan benda yang ditunjuk si anak. Mengapa begitu? Menurut Tarigan dkk, (1998)
ada dua penyebab, yaitu sebagai berikut.
Pertama, bahasa anak masih terbatas sehingga belum memungkinkan
mengekspresikan ide atau perasaannya secara lengkap. Keterbatasan
berbahasanya diganti dengan ekspresi muka, gerak tubuh, atau unsur-unsur nonverbal lainnya.
Kedua, apa yang diucapkan anak adalah sesuatu yang paling menarik
perhatiannya saja. Sehingga, tampa mengerti konteks ucapan anak, kita akan
kesulitan untuk memahami maksud tuturannya.
Walaupun memahami makna kata yang diucapkan anak pada masa ini
tidaklah mudah, tetapi komunikasi aktif dengan si anak sangat penting
dilakukan. Untuk dapat berbicara, anak perlu mengetahui perbendaharaan kata
yang akan disimpan di otaknya dan ini bisa didapat ketika orang tua mengajak
bicara. Kalau anak jaran diajak berbicara, kata-kata yang dia dapat sangat
minim sehingga penguasaan kosa kata anak juga sangat minim. Selain itu, yang
perlu diperhatikan dalam menghadapi anak yang memasuki usia ini adalah
“jangan memakai bahasa bayi untuk anak-anak, melainkan dengan orang
dewasa.” Maksudnya, ucapkanlah dengan bahasa yang seharusnya didengar
sehingga si anak juga terpacu untuk berkomunikasi dengan baik.
3. Tahap dua-kata (18 – 24 bulan)
Pada masa ini, kebanyakan anak sudah mulai mencapai tahap kombinasi
dua kata. Kata-kata yang diucapkan ketika masih tahap satu kata
dikombinasikan dalam ucapan-ucapan pendek tanpa kata penunjuk, kata depan,
atau bentuk-bentuk lain yang sseharusnya digunakan. Anak mulai dapat
mengucapkan “Ma, pelgi”, maksudnya “Mama, saya mau pergi”. Pada tahap
dua kata ini anak mulai mengenal berbagai makna kata tetapi belum dapat
menggunakan bentuk bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan
waktu terjadinya peristiwa. Selain itu, anak belum dapat menggunkan
pronomina saya, aku, kamu, dia, mereka, dan sebaginya.
4. Tahap banyak-kata (3 – 5 tahun)
Pada saat anak mencapai usia 3 tahun, anak semakin kaya dengan
perbendaharaan kosakata. Mereka sudah mulai mampu membuat kalimat
pertanyaan, penyataan negatif, kalimat majemuk, dan berbagai bentuk kalimat.
Terkait dengan itu, Tompkins dan Hoskisson dalam Tarigan dkk. (1998)
menyatakan bahwa pada usia 3 – 4 tahun, tuturan anak mulai lebih panjang dan
tatabahasanya lebih teratur. Dia tidak lagi menggunakan hanya dua kata, tetapi
tiga atau lebih. Pada umur 5 – 6 tahun, bahasa anak telah menyerupai bahasa
orang dewasa. Sebagian besar aturan gramatika telah dikuasainya dan pola
bahasa serta panjang tuturannya semakin bervariasi. Anak telah mampu
menggunkan bahasa dalam berbagai cara untuk berbagai keperluan, termasuk
bercanda atau menghibur.
Selanjutnya, tidak berbeda jauh dengan tahapan perkembangan bahasa
anak seperti yang telah diurakan, Piaget (dalam Nurhadi dan Roekhan, 1990)
membagi tahap perkembangan bahasa sebagai berikut.
(1) Tahap meraban (pralinguistik) pertama pada usia 0,0 – 0,5
(2) Tahap meraban (pralinguistik) kedua: kata nonsens, pada usia 0,5 –
1,0.
(3) Tahap linguistik I: holofrastik, kalimat satu kata, pada usia 1,0 – 2,0.
(4) Tahap linguistik II: kalimat dua kata, pada usia 2,0 – 3,0.
(5) Tahap linguistik III: pengembangan tata bahasa, pada usia 3,0 – 4,0.
(6) Tahap linguistik IV: tata bahasa pradewasa, pada usia 4,0 – 5,0.
(7) Tahap lingistik V: kompetensi penuh, pada usia 5,0.

Perkembangan Morfologis
Afiksasi bahasa Indonesia merupakan salah aspek morfologi yang
kompleks. Hal ini terjadi karena satu kata dapat berubah makna karena proses
afiksasinya (prefiks, sufiks, simulfiks) berubah-ubah. Misalnya kata satu dapat
berubah menjadi: bersatu, menyatu, kesatu, satuan, satukan, disatukan,
persatuan, kesa-tuan, kebersatuan, mempersatukan, dst.
Zuhdi dan Budiasih (1997) menyatakan bahwa anak-anak mempelajari
morfem mula-mula bersifat hapalan. Hal ini kemudian diikuti dengan membuat
simpulan secara kasar tentang bentuk dan makna morfem. Akhirnya anak
membentuk kaidah. Proses yang rumit ini dimulai pada priode prasekolah dan
terus berlangsung sampai pada masa adolesen.
Berdasarkan kerumitan afiksasi tersebut, perkembangan morfologis
atau kemampuan menggunakan morfem/afiks anak SD dapat diduga sebagai
berikut:
a. Anak kelas awal SD telah dapat mengunakan kata berprefiks dan bersufiks
seperti melempar dan makanan.
b. Anak kelas menengah SD telah dapat mengunakan kata berimbuhan
simulfiks/konfiks sederhana seperti menjauhi, disatukan.
c. Anak kelas atas SD telah dapat menggunakan kata berimbuhan konfiks yang
sudah kompleks misalnya diperdengarkan dan memberlakukan dalam
bahasa lisan atau tulisan.

Perkembangan Sintaksis
Brown dan Harlon (dalam Nurhadi dan Roekhan, 1990) berkesimpulan
bahwa kalimat awal anak adalah kalimat sederhana, aktif, afirmatif, dan
berorientasi berita. Setelah itu, anak baru menguasai kalimat tanya, dan ingkar.
Berikutnya kalimat anak mulai diwarnai dengan kalimat elips, baik pada kalimat
berita, tanya, maupun ingkar. Sedangkan menurut hasil pengamatan Brown dan
Bellugi terhadap percakapan anak, memberi kesimpulan bahwa ada tiga macam
cara yang biasa ditempuh dalam mengembangkan kalimat, yaitu:
pengembangan, pengurangan, dan peniruan. Kedua peneliti ini sepakat bahwa
peniruan merupakan cara pertama yang ditempuh anak, meskipun peniruan yang
dilakukan terbatas pada prinsip kalimat yang paling pokok yaitu urutan kata.
Cara yang kedua yang ditempuh anak untuk mengembangkan kalimat
mereka adalah pengulangan dan pengembangan. Anak mengulang bagian
kalimat yang memperoleh tekanan yaitu bagian kalimat kontentif, atau bagian
kalimat yang berisi pesan pokok, sedangkan bagian lain dihilangkan secara
sistematis. Karena itu, bahasa anak disebut dengan istilah tuturan telegrafis,
karena mengandung pengurangan bagian kalimat secara sistematis.
Dilihat dari segi frase, menurut Budiasih dan Zuchdi (1997) bahwa frase
verba lebih sulit dikuasai oleh anak SD dibanding dengan frase nomina dan
frase lainnya. Kesulitan ini mungkin berkaitan dengan perbedaan bentuk kata
kerja yang menyatakan arti berbeda. Misalnya ditulis, menuliskan, ditulisi, dan
seterusnya.
Dari segi pola kalimat lengkap, anak kelas awal cenderung menggunakan
struktur sederhana bila berbicara. Mereka sudah mampu memahami bentuk yang
lengkap namun belum dapat memahamai bentuk kompleks seperti kalimat pasif
(Wood dalam Crown, 1992). Menurut Emingran siswa kelas atas SD
menggunakan struktur yang lebih kompleks dalam menulis daripada dalam
berbicara (Tompkins, 1989).
Pada umumnya anak SD mengenal bentuk pasif daripada preposisi
“oleh” misalnya “Buku itu dibeli oleh Ali.” Dengan demikian kalimat pasif
yang tidak disertai kata oleh, mereka menganggapnya bukan kalimat pasif,
misalnya “Saya melempar mangga (kalimat aktif) menjadi “Mangga saya
lempar (kalimat pasif) bukan “Mangga dilempar oleh saya.” (Salah).
Anak biasanya menggunakan kalimat pasif yang subjeknya dari kata
ganti/tak dapat dibalik dan kalimat pasif yang subjeknya bukan kata
ganti/dapat dibalik secara seimbang. Namun, anak sering mengalami kesulitan
dalam membuat kalimat dan menafsirkan makna kalimat pasif yang dapat
dibalik (subjeknya bukan kata ganti). Menjelang umur 8 tahun mereka mulai
lebih banyak menggunakan kalimat pasif yang tidak dapat dibalik (subjeknya
kata ganti). Pada umur 9 tahun, anak mulai banyak menggunakan bentuk pasif
yang subjeknya dari kata ganti. Dan pada umur 11-13 tahun mereka banyak
menggunakan kalimat yang subjeknya dari kata ganti.
Penggunaan kata penghubung juga meningkat pada usia SD. Anak di
bawah umur 11 tahun sering menggunakan kata “dan” pada awal kalimat. Pada
umur 11-14 tahun, penggunaan “dan” pada awal kalimat mulai jarang muncul.
Anak sering mengalami kesulitan penggunaan kata penghubung
“karena”: dalam kalimat, seperti “Saya menghadiri pertemuan itu karena
diundang”. Anak SD bingung membedakan kata hubung karena, dan, lalu
dilihat dari segi urutan waktu kejadiannya. Yakni diundang dahulu baru pergi
ke pertemuan. Oleh karena itu kadangkala ada anak TK yang mengucapkan
“Saya sakit karena saya tidak masuk sekolah” padahal maksudnya “Saya tidak
masuk sekolah karena sakit.”. Pemahaman kata penghubung “karena“ baru
mulai berkembang pada umur 7 tahun. Pemahaman yang benar dan konsisten
baru terjadi pada umur skitar 10-11 tahun (Budiasih dan Zuchdi, 1997).

Perkembangan Semantik
Selama priode usia sekolah dan dewasa, ada dua jenis penambahan
makna kata. Secara horisontal, anak semakin mampu memahami dan dapat
menggunakan suatu kata dengan nuansa makna yang agak berbeda secara tepat.
Penambahan vertikal berupa penambahan jumlah kata yang dapat dipahami dan
digunakan dengan tepat (Owens dalam Budiasih dan Zuchdi, 1997).
Menurut Lindfors, perkembangan semantik berlangsung dengan sangat
pesat di SD. Kosa kata anak bertambah sekitar 3000 kata per tahun
(Tompkins,1989). Sedang Berger menyatakan bahwa antara 2-6 rata-rata anak
mempelajari 6 -10 kata per hari. Ini berarti bahwa rata-rata anak umur 6 tahun
mempunyai kata 8.000 - 14.000 kata. Dan pada usia 9 - 10 thn. sekitar 5000
kata baru dalam perbendaharaan kosa katanya (Woolfolk, 1990).
Merujuk apa yang tercantum dalam Kurikulum 1994, perbendaharaan
kata siswa SD diharapkan lebih kurang 6000 kata. Dengan demikian pendapat
Berger di atas sangat tinggi. Pendapat yang relatif mendekati harapan
Kurikulum 1994 adalah hasil temuan penelitian Slegers bahwa rata-rata anak
masuk kelas awal dengan pengetahuan makna sekitar 2500 kata dan meningkat
rata-rata 1000 kata per tahun di kelas awal dan menengah SD dan 2000 kata di
kelas atas sehingga perbendaharaan kosa kata siswa berjumlah 8500 di kelas VI
(Harris dan Sipay, 1980).
Kemampuan anak kelas rendah SD dalam mendefinisikan kata meningkat
dengan dua cara. Pertama, secara konseptual yakni dari definisi berdasar
pengalaman individu ke makna yang bersifat sosial atau makna yang dibentuk
bersama. Kedua, anak bergerak secara sintaksis dari definisi kata-kata lepas ke
kalimat yang menyatakan hubungan kompleks (Owens, 1992)
Pengetahuan kosa kata mempunyai hubungan dengan kemampuan
kebahasan secara umum. Anak yang menguasai banyak kosa lebih mudah
memahami wacana dengan baik. Selama priode usia SD, anak menjadi semakin
baik dalam menemukan makna kata berdasarkan konteksnya. Anak usia 5 thn.
mendefinisikan kata secara sempit sedang anak berumur 11 tahun membentuk
definisi dengan menggabungkan makna-makna yang telah diketahuinya.
Dengan demikian definisinya menjadi lebih luas, misalnya kucing ialah
binatang yang biasa dipelihara di rumah-rumah penduduk.
Menurut Budiasih dan Zuchdi (1997), anak usia SD sudah mampu
mengembangkan bahasa figuratif yang memungkinkan penggunaan bahasa
secara kreatif. Bahasa figuratif menggunakan kata secara imajinatif, tidak secara
literal atau makna sebenarnya untuk menciptakan kesan emosional. Yang
termasuk bahasa figuratif adalah (a) ungkapan misalnya kepala dingin, (b)
metafora, misalnya “Suaranya membelah bumi”., (c) kiasan, misalnya
“Wajahnya seperti bulan purnama.”, (d) pribahasa, misalnya “Menepuk air di
dulang, terpecik muka sendiri.”
Perkembangan Pragmatik
Perkembangan pragmatik atau penggunaan bahasa merupakan hal paling
penting dibanding perkembangan aspek bahasa lainnya pada usia SD. Hal ini
pada usia prasekolah anak belum dilatih menggunakan bahasa secara akurat,
sistematis, dan menarik.
Berbicara tentang pragmatik ada 7 faktor penentu yang perlu dipahami
anak (1) kepada siapa berbicara (2) untuk tujuan apa, (3) dalam konteks apa, (4)
dalam situasi apa, (5) dengan jalur apa, (6) melalui media apa, (7) dalam
peristiwa apa (Tarigan, 1990). Ke-7 faktor penentu komunikasi tersebut
berkaitan erat dengan fungsi (penggunaan) bahasa yang dikemukakan oleh
M.A.K Halliday: instrumental, regulator, interaksional, personal, imajinatif,
heuristik, dan informatif.
Pinnel (1975) dalam penelitiannya tentang penggunaan fungsi bahasa di
SD kelas awal menemukan bahwa umumnya anak menggunakan fungsi
interaksional (untuk bekomunikasi) dan jarang menggunakan fungsi heuristik
(mengunakan bahasa untuk mencari ilmu pengetahuan saat belajar dan berbicara
dalam kelompok kecil).
Dilihat dari segi perkembangan kemampuan bercerita, anak umur 6 th
sudah dapat bercerita secara sederhana tentang acara televisi/film yang mereka
lihat. Kemampuan ini selanjutnya berkembang secara teratur dan sedikit-demi
sedikit. Mereka belajar menghubungkan kejadian tetapi bukan yang
mengandung hubungan sebab akibat. Kata penghubung yang digunakan: dan,
lalu.
Pada usia 7 tahun anak mulai dapat membuat cerita yang ang agak padu.
Mereka sudah mulai mengemukakan masalah, rencana mengatasi masalah dan
penyelesaian masalah tersebut meskipun belum jelas siapa yang melakukannya.

Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia


Saudara, Anda pasti sudah mengetahui bahwa bahasa Indonesia yang kini
dipergunakan sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia berasal dari bahasa
Melayu. Jauh sebelum diangkatnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
pada Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, perjuangan untuk menjadikan bahasa
Indonesia bahasa persatuan telah diusahakan oleh bangsa Indonesia.
Pada awalnya, menurut Suhendar dan Supinah (1997) bahwa di daerahdaerah bahasa Melayu bukan
bahasa induk pribumi, penyebaran bahasa ini
diusahakan terutama oleh para guru bahasa Melayu. Di berbagai sekolah yang
diadakan oleh pemerintah Hindia Belanda diberikan mata pelajaran bahasa
Melayu. Pada umumnya guru-guru yang mengajar bahasa Melayu berasal dari
daerah-daerah yang penduduk pribuminya berbahasa Melayu atau berbahasa
yang dekat berhubungan dengan bahasa Melayu, seperti Sumatera Barat.
Mereka tersebar di berbagai tempat di kepulauan Indonesia. Mereka mengajar di
sekolah-sekolah yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan sekolah
yang merupakan usaha swasta, seperti sekolah Muhammadiyah, Taman Siswa
dan sekolah swasta lainnya.
Dalam menyebarkan bahasa Melayu melalui pengajaran bahasa di
sekolah-sekolah dan menulis buku-buku pelajaran bahasa dengan menggunakan
bahasa Melayu, para guru berjuang berdampingan dengan wartawan. Melalui
tulisannya para wartawan menyebarkan penggunaan bahasa ini. Akhirnya,
makin banyak anggota-anggota masyarakat di kepulauan kita berkenalan dengan
bahasa Melayu yang kemudian dikenal dan berkembang sebagai bahasa
Indonesia seperti yang sekarang kita kenal dan pakai ini.
Apakah bahasa Indonesia yang kita pergunakan sekarang ini sama
dengan bahasa Melayu pada masa yang lalu? Bahasa Indonesia yang kita
pergunakan sekarang ini tidak sama lagi dengan bahasa Melayu pada masa
kerajaan Sriwijaya, masa kerajaan Malaka, masa Abdullah bin Abdul Kadir
Munsyi, masa Balai Pustaka, bahkan dengan bahasa Melayu di Malaysia kini.
Bahasa Indonesia kini jauh berbeda dari bahasa asalnya, bahasa Melayu. Bahasa
Melayu tumbuh dan berkembang menjadi bahasa Indonesia, yang karena
berbagai hal waktu, politik, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi ia pun
berkembang hingga dalam wujudnya kini (Supriyadi, dkk. 1992).
Meskipun bahasa Indonesia telah mengalami perkembangan yang pesat,
perjuangan belum berakhir. Masih banyak anggota masyarakat kita yang belum
sungguh-sungguh menguasai bahasa nasioanl kita. Masih banyak yang harus
kita usahakan; masih banyak yang harus kita perjuangkan dalam rangka
pengembangan bahasa Indonesia.
Mengapa Bahasa Melayu?
Mungkin Anda bertanya-tanaya, mengapa bahasa Melayu yang diangkat
sebagai bahasa Nasional? Mengapa bukan bahasa Jawa atau Sunda yang jumlah
penuturnya lebih banyak daraipada bahasa Melayu?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan bahasa Melayu diangkat sebagai
bahasa Nasional. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, bahasa melayu telah digunakan sebagai bahasa kebudayaan,
yaitu sebagai bahasa yang digunakan dalam buku-buku yang dapat digolongkan
sebagai hasil sastra. Selain itu, bahasa Melayu telah digunakan sebagai bahasa
resmi dalam masing-masing kerajaan nusantara yaitu sekitar abad ke 14. Selain
itu harus diingat bahwa penyebaran bahasa Melayu bukan hanya terbatas pada
daerah sekitar selat Malaka atau Sumatera saja, jauh lebih luas dari itu. Ini dapat
dibuktikan dengan terdapatnya berbagai naskah cerita yang ditulis dalam bahasa
Melayu pada belbagai tempat yang jauh dari Malaka.
Dengan datangnya orang-orang Eropa ke Indonesia, fungsi bahasa
Melayu sebagai bahasa perantara dalam perdagangan semakin intensif. Orangorang Eropa malah tidak
sadar telah ikut memperluas penyebaran bahasa
Melayu.
Jadi, sejak lama, dari masa Sriwijaya juga Malaka yang saat itu
merupakan pusat perdagangan, pusat agama, dan ilmu pengetahuan, bahasa
Melayu telah digunakan sebagai Lingua Franca atau bahasa perhubungan
dipelbagai wilayah Nusantara. Dengan bantuan para pedagang dan penyebar
agama, bahasa Melayu menyebar ke seluruh pantai di nusantara, terutama di
kota-kota pelabuhannya. Akhirnya, bahasa ini lebih dikenal oleh penduduk
Nusantara dibandingkan dengan bahasa daerah lainnya.
Telah ditemukan beberapa bukti tertulis mengenai bahasa Melayu tua
pada berbagai prasasti dan inkripsi. Bukti-bukti berupa prasasti antara lain:
prasasti Kedukan Bukit (tahun 683 M), di Talang Tuwo (dekat Palembang,
bertahun 684 M), di Kota Kapur (Bangka Barat, tahun 686 M), di Karang Brahi
(antara Jambi dan Sungai Musi, berahun 688 M). Sedangkan dalam bentuk
inskripsi diantaranya, Gandasuli di daerah Kedu, Jawa Tengah, bertahun 832 M.
Adanya berbagai dialek bahasa Melayu yang tersebar di seluruh
Nusantara adalah merupakan bukti lain dari pertumbuhan dan persebaran bahasa
Melayu. Misalnya, dialek Melayu Minangkabau, Palembang, Jakarta (Betawi),
Larantuka, Kupang, Ambon, Menado, dan sebagainya. Hasil kesusastraan
Melayu Lama dalam bentuk cerita penglipur lara, hikayat, dongeng, pantun,
syair, mantra, dan sebagainya juga merupakan bukti dari pertumbuhan dan
persebaran bahasa Melayu. Di antara karya sastra lama yang terkenal adalah
Sejarah Melayu karya Tun Muhammad Sri Lanang gelar Bendahara Paduka
Raja yang diperkirakan selesai ditulis pada tahun 1616. Selain itu juga ada
Hikayat Hang Tuah, Hikayat Sri Rama, Tajus Salatin, dan sebagainya
(Supriyadi dkk. 1992, Keraf, 1978).
Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa ketika orang-orang Barat
sampai ke Indonesia, yaitu sekitar abad XIV, mereka menemukan bahwa bahasa
Melayu telah dipergunakan sebagai bahasa resmi dalam pergaulan, dan
perdagangan. Menurut Supriyadi dkk. (1992) hal ini dikuatkan oleh kenyataan
tentang seorang Portugis, Pigafetta, setelah mengunjungi Tidore, ia menyusun
daftar kata Melayu-Italia, sekitar tahun 1522. Ini membuktikan ketersebaran
bahasa Melayu yang sebelum itu sudah sampai ke kepulauan Maluku.
Begitupun, dalam pendudukan Belanda, mereka menemukan kesulitan
ketika bermaksud menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Akhirnya, sebagaimana sudah diuraikan pada bagaian awal subunit ini, Belanda
menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah bumi putra diberikan dalam
bahasa Melayu atau bahasa daerah lainnya. Hal itu tertuang dalam keputusan
pemerintah kolonial yaitu K.B 1871 nomor 104 (Keraf, 1978).
Kedua, sistem aturan bahasa Melayu, baik kosa kata, tata bahasa, atau
cara berbahasa, mempunyai sistem yang lebih praktis dan sederhana sehingga
lebih mudah dipelajari. Sementara itu bahasa Jawa atau bahasa Sunda
mempunyai sistem bahasa yang lebih rumit. Dalam kedua bahasa itu dikenal
aturan tingkat bahasa yang cukup ketat. Ada tingkat bahasa halus, sedang, kasar,
bahkan sangat kasar, dengan kosa kata dan struktur yang berlainan.
Ketiga, kebutuhan yang sangat mendesak yang dirasakan oleh para
pemimpin dan tokoh pergerakan akan adanya bahasa pemersatu yang dapat
mengatasi perbedaan bahasa dari masyarakat Nusantara yang memiliki sejumlah
bahasa daerah. Bahasa itu harus sudah dikenal khalayak dan tidak terlalu sulit
dipelajari. Kriteria ini terpenuhi oleh bahasa Melayu sehingga akhirnya bahasa
inilah yang dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa Indonesia atau bahasa
Nasional.
Perkembangan Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Nasional
Saudara, berikut ini diuraikan sejarah pertumbuhan dan perkembangan
bahasa Melayu menjadi bahasa Nasional hingga dalam bentuknya sekarang ini.
Bahasa Indonesia Sebelum 1945
Masa permulaan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa
Indonesia adalah pada awal abad ke-20. Menurut Supriyadi dkk. (1992), banyak
faktor yang mendorong hal itu terjadi. Diantaranya, dan yang paling utama
adalah faktor politik. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa
dengan bahasa yang beraneka pula, merasa sulit mencapai kemerdekaan jika
tidak ada pemersatu. Dan alat itu adalah suatu bahasa guna menyatakan pikiran,
perasaan, dan kehendak, yang dapat menjembatani ketergangguan serta
kesenjangan komunikasi antara suku bangsa dengan bahasanya yang berbedabeda. Itulah sebabnya,
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pada tanggal
28 Oktober 1928 para pemuda berkumpul di gedung Indonesische Club, Jalan
Kramat No. 108 Jakarta, lalu mereka mengikrarkan sumpah yang dikenal
dengan Sumpah Pemuda. Isi sumpah tersebut yaitu: Berbangsa, satu bangsa
Indonesia; bertanah air satu tanah air Indonesia; dan menjunjung bahasa
persatuan yaitu bahasa Indonesia.
Walaupun demikian, bahasa Indonesia sebelum tahun 1945 boleh
dikatakan tidak mengalami perubahan yang penting. Bahasa Indonesia masih
tetap bergerak di luar organisasi pemerintahan jajahan Hindia Belanda, dan
merupakan alat untuk mencapai kesatuan Indonesia dalam mendapatkan kembali
kemerdekaannya. Karena lapangan pemakaian bahasa Indonesia masih terbatas
kepada pemakaian bahasa yang mempunyai hubungan dengan gerakan
kebangsaan dan sebagai bahasa pers dan bahasa sastra.
Selain gerakan kebangsaan, muncul pula kelompok yang dinamakan
sebagai Angkatan 33 atau Angkatan Pujangga Baru. Kelompok ini dengan tegas
menggunanakan nama Indonesia dan bersemboyankan untuk mendapatkan atau
mewujudkan suatu “kebudayaan baru” Indonesia.
Keadaan seperti di atas berlanjut sampai datangnya Jepang. Dengan
datangnya Jepang, terbuka perspektif yang menguntungkan bagi pengembangan
bahasa Indonesia. Pelarangan pemakaian bahasa Belanda dan tidak dikenalnya
bahasa Jepang, menyebabkan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia harus
dipergunakan sebagai bahasa pengantar untuk seluruh dinas mereka pada awal
kedatangannya. Dengan demikian, bahasa Indonesia semakin dikenal di manamana.
Bahasa Indonesia Sesudah 1945
Dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, berarti adanya suatu negara yang bernama Indonesia. Tentu saja,
salah satu yang penting bagi negara pada saat itu adalah adanya bahasa yang
dapat menghubungkan pemerintah dengan rakyat, yang biasa disebut sebagai
bahasa resmi. Dengan memperhatikan faktor: (a) bahasa Indonesia telah dikenal
oleh sebagian besar penduduk Indonesia, dan (b) bahasa Indonesia dapat
diterima oleh seluruh penduduk Indonesia, sehingga sama sekali tidak akan
menimbulkan konflik-konflik yang mungkin akan mengganggu kestabilan
negara; dan faktor kesejarahan, maka ditentukanlah bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi Republik Indonesia, disamping tugasnya yang mula-mula sebagai
bahasa nasional.
Sejak diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, maka kedudukan
bahasa Indonesia lebih tinggi lagi. Jika sebelumnya hanya sebagai salah satu
alat untuk mempersatukan suku-suku bangsa Indonesia saja, maka sekarang
harus memperkokoh persatuan bangsa yang telah ada.
Berikut ini diuraikan berbagai peristiwa penting yang terkait dengan
perkembangan bahasa Indonesia.
1. Penyusunan ejaan resmi bahasa Melayu pada tahun 1901 oleh Ch. A. Van
Ophuysen yang termuat dalam Kitab Logat Melayu. Ejaan ini disebut Ejaan
Van Ophuysen.
2. Pendirian Taman Bacaan Rakyat (Commisie voor de Volkslectuur) pada
tahun 1908, untuk selanjtnya pada tahun 1917 diubah namanya menjadi
Balai Pustaka.
3. Ketetapan Ratu Belanda pada tahun 1918 yang meberikan kebebasan
kepada para anggota Dewan Rakyat (Volksraad) untuk menggunkan bahasa
Melayu dalam forum.
4. Peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, yang diantaranya
menetapkan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu sebagai
bahasa Nasional.
3 - 8 Unit 3
5. Berdirinya Angkatan Pujangga Baru atau Angkatan ’33 pada tahun 1933
yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Angkatan Pujangga Baru
yang sebenarnya nama suatu majalah sebagai wadah ekspresi budaya dan
sastra ini besar peranannya dalam membantu perkembangan bahasa
Indonesia.
6. Kongres Bahasa Indonesia I di Solo tahun 1938. Kongres ini diadakan
sebagai tindak lanjut dari Kongres Pemuda tahun 1928. Di samping itu juga
karena adanya kesan umum mengenai pemakaian bahasa Indonesia yang
cukup kacau. Jadi Kongres ini diselenggrakan untuk mencari pegangan bagi
para pemakai bahasa, mengatur bahasa serta mengusahakan agar bahasa
Indonesia tersebar lebih luas lagi (Supriyadi dkk., 1992). Beberapa
keputusan penting dalam kongres tersebut antara lain sebagai berikut
a. Sudah ada pembaharuan yang timbul karena ada cara berpikir yang baru,
sebab itu perlu diatur pembaharuan bahasa.
b. Gramatika yang sekarang tidak memuaskan lagi dan tidak menurut
wujud bahasa Indonesia, karena itu perlu disusun gramatika baru yang
menurut wujud bahasa Indonesia.
c. Para wartawan perlu berupaya memperbaiki bahasa Indonesia di dalam
persuratkabaran.
d. Mulai saat itu bahasa Indonesia diharapkan dipakai oleh semua badan
perwakilan sebagai bahasa perantaraan (vertaal). Menjadikan bahasa
Indonesia bahasa yang sah dan bahasa undang-undang negara.
e. Untuk kemajuan masyarakat Indonesia, penyelidikan bahasa dan
kesusastraan dan kemajuan kebudayaan bangsa Indonesia, perlu
didirikan Perguruan Tinggi Kesusastraan secepatnya.
7. Pendudukan Jepang di Indonesia (1942 s.d 1945). Pada masa ini bahasa
Indonesia mengalami kemajuan yang pesat. Mengapa bisa seperti itu?
Sebagaimana yang telah dikemukakan, di satu sisi pemerintah Jepang
melarang penggunaan bahasa asing seperti Belanda dan Inggris, di sisi lain
maksud mereka untuk menggunakan bahasa Jepang sebagai alat komunikasi
pun tidak memungkinkan karena memang belum dikenal oleh rakyat
Indonesia. Akhirnya, bahasa Indonesialah yang dijadikan alat perhubungan
satu-satunya. Akhirnya, berbagai karya sastra, drama, puisi, cerpen banyak
dihasilkan sehingga pertumbuhan bahasa Indonesia pun semakin cepat.
8. Penetapan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara pada tanggal 18
Agustus 1945, dan dinyatakan dalam UUD 1945 bab XV, pasal 36.
Kajian Bahasa Indonesia di SD 3- 9
9. Penetapan Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi untuk memperbaiki Ejaan
van Ophuysen, pada tanggal 19 Maret 1947.
10. Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada tahun 1954. Hasil kongres ini
diantaranya:
a. Saran pembentukan badan kompeten yang diakui oleh pemerintah untuk
(1) dalam jangka pendek menyusun tata bahasa Indonesia yang normatif
bagi SR, SLP, SLA, dsb., (2) dalam jangka panjang menyusun suatu tata
bahasa deskriptif yang lengkap.
b. Mengadakan pembetulan/penyempurnaan bahasa Indonesia di dalam
undang-undang darurat, peraturan pemerintah, dan peraturan negara
yang lain.
c. Bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu. Dasar bahasa
Indonesia ialah bahasa Melayu yang disesuaikan dengan
pertumbuhannya dengan masyarakat keilmuan sekarang.
d. Mengadakan pembetulan/penyempurnaan yang dipandang perlu dalam
bahasa Indonesia di dalam undang-undang, undang-undang darurat,
peraturan pemerintah dan peraturan negara yang lain.
e. Memeriksa bahasa rancangan undang-undang darurat, dan peraturan
negara sebelum ditetapkan dan menjaga supaya istilah-istilah hukum
bersifat tetap, terang.
f. Dianjurkan agar istilah hukum senantiasa ditulis dalam bentuk yang
sama.
g. Untuk lebih menyempurnakan bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmiah
dan kebudayaan di dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalamdalamnya, perlu diciptakan iklim dan
suasana sedemikian rupa sehingga
bahasa tersebut dapat berkembang secara mulus sempurna.
h. Dianjurkan agar dalam pergaulan sehari-hari hendaklah senantiasa
menggunakan bahasa Indonesia, oleh karena itu perlu dibentuk lembaga
bahasa yang dapat memberikan bimbingan nyata pada pertumbuhan dan
perkembangan bahasa Indonesia.
i. Untuk menjamin pemakaian bahasa Indonesia yang baik di sekolahsekolah, mesti ada penelitian dan
pengawasan yang seksama oleh
Lembaga Bahasa Indonesia dan Pemerintah.
j. Bahasa pers dan radio sedapat mungkin adalah bahasa yang resmi yaitu
bahasa Indonesia.
11. Penetapan pemakaian ejaan baru yaitu yang dikenal dengan nama Ejaan
Yang Disempurnakan (EYD) oleh Presiden Suharto pada tanggal 16
Agustus 1972.
12. Pengubahan nama Lembaga Bahasa Nasional yang selama itu menangani
pelbagai hal yang berkaitan dengan bahasa dan sastra Indonesia/daerah,
menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa pada tanggal 1
Februari 1975.
13. Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta tahun 1978. Keputusan penting
dalam kongres tersebut adalah perlunya upaya-upaya dalam:
a. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya
dengan kebijaksanaan kebudayaan, keagamaan, sosial, politik, dan
ketahanan nasional.
b. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya
dengan bidang pendidikan.
c. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya
dengan bidang komunikasi.
d. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam bidang kesenian.
e. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya
dengan bidang lingustik.
f. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam kaitannya
dengan bidang ilmu dan teknologi.
14. Penetapan Bulan Bahasa pada tanggal 28 Oktober 1980. Peristiwa ini
dilaksanakan setiap tahun selama satu bulan yaitu pada bulan Oktober.
15. Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta pada tahun 1982. Keputusan
penting dalam kongres ini adalah:
a. Bidang bahasa. Bahasa Indonesia telah mengalami perubahan dan
kemajuan yang sangat pesat dan fungsinya semakin mantap tidak hanya
sebagai alat komunikasi sosial dan administrasi, tetapi juga sebagai alat
komunikasi ilmu dan agama. Sebagai alat pengungkapan rasa dan ilmu
yang tumbuh dan terus berkembang, bahasa Indonesia tentu saja tidak
terhindar dari sentuhan dan pengaruh masyarakat yang memahaminya,
baik berupa perubahan nilai dan struktur maupun berupa tingkah laku
sosial lainnya. Di satu sisi, hal ini akan menambah kekayaan linguistik
bahasa Indonesia. Tetapi, di sisi lain persentuhan ini akan
menimbulakan keanekaragaman. Oleh karena itu, tampa pembinaan
yang hati-hati dan seksama, tidak mustahil sebagian ragam-ragam itu
menyimpang terlalu jauh dari poros antik bahasa kita. Selaras dengan
ragam yang menyimpang itu, terdapatlah cukup banyak pemakai bahasa
Indonesia yang belum dapat mempergunakan bahasa itu dengan baik dan
benar. Termasuk di antara mereka adalah para mahasiswa dan pengajar
di perguruan tinggi, para cendekiawan, dan para pemimpin yang
menduduki jabatan yang berpengaruh.
b. Pengajaran Bahasa. Tujuan utama pendidikan dan pengajaran bahasa
Indonesia di lembaga-lembaga pendidikan adalah memantapkan
kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia. Namun, keadaan kebahasaan di
Indonesia yang sangat majemuk dengan adanya bahasa-bahasa daerah
yang banyak, yang tersebar di seluruh tanah air, belum dimanfaatkan
dalam pendidikan dan pengajaran. Begitu pula, dalam pengajaran bahasa
Indonesia belum diperhatikan sifat komunikatif bahasa dengan
memanfaatkan berbagai komponen komunikasi, baik sebagai bahasa
yang dipakai dalam proses pengajaran maupun sebagai hasil pengajaran
itu sendiri. Sedangkan pengajaran sastra di sekolah sebagai bagian yang
tak terpisahkan dari pengajaran bahasa belum mempunyai tujuan yang
sesuai dengan fungsinya sebagai pengembang wawasan nilai kehidupan
dan kebudayaan.
c. Pembinaan Bahasa. Pemakaian bahasa Indonesia di di dalam masyarakat
khususnya di lembaga-lembaga, badan-badan, dan organisasi-organisasi
yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan bangsa dan negara
belum menggembirakan. Bahasa Indonesia yang digunakan dalam ilmu,
seperti ilmu hukum dan ilmu administrasi, banyak yang menyimpang
dari kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Selain itu, pemakain bahasa
Indonesia melalui media massa, baik secara tertulis maupun secara lisan,
masih memiliki kelemahan. Kelemahan tersebut diantaranya
kecenderungan menghilangkan kata-kata dalam media cetak, atau masih
ada pemakaian unsur-unsur bahasa daerah atau bahasa asing yang tidak
perlu. Begitu pula, kemampuan masyarakat dalam berkomunikasi seharihari dengan menggunkan
bahasa Indonesia yang baik dan benar masih
perlu mendapat perhatian para pendidik dan pemakai bahasa Indonesia.
16. Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta tahun 1988. Pada kongres ini
diperkenalkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memuat 62.100 butir
masukan termasuk ungkapan dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia yang
disusun di bawah koordinasi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Beberapa simpulan penting dalam kongres tersebut diantaranya sebagai
berikut.
a. Bahasa. Kedudukan bahasa Indonesia kini semakin mantap sebagai
wahana komunikasi, baik dalam hubungan sosial maupun dalam
hubungan formal. Namun masih banyak pemakai bahasa Nasional kita
yang belum mempergunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar,
sesuai dengan konteks pemakaiannya. Karena itu pendidikan dan
pengajaran bahasa Indonesia perlu terus ditingkatkan. Demikian pula
penelitian bahasa Indonesia perlu digalakkan sehingga pengembangan
bahasa Nasional akan terus berlandaskan penemuan penelitian yang
terarah dan terpadu.
b. Sastra. Sastra, jika ditinjau dari fungsinya, dapat memberikan kepuasan
dan pendidikan bagi pembacanya. Sastra juga dapat mengembangkan
imajinasi. Karena itu, sastra selain dapat dijadikan wahana
pengembangan dan penyebaran bahasa Indonesia yang kreatif dan
dinamis, dapat pula meningkatkan kecerdasan dan memanusiakan
manusia. Sastra dapat juga dimanfaatkan dalam pendidikan bangsa. Jadi
mutu karya sastra Indonesia perlu ditingkatkan. Penelitian dalam bidang
sastra perlu digalakkan agar perkembangan, mutu, bahkan variasi sastra
dapat tetap dipantau demi pembinaan dan pengembangan sastra pada
umumnya.
c. Pengajaran Bahasa. Tujuan pendidikan bahasa Indonesia adalah
membina keterampilan peserta didik berbahasa Indonesia dengan baik
dan benar dalam upaya meningkatkan mutu manusia Indonesia sebagai
bekal menghadapi kehidupan masa kini dan mendatang. Tujuan
pendidikan bahasa Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dengan tujuan pendidikan nasional. Dalam mencapai tujuan pendidikan
bahasa Indonesia, kurikulum bahasa, buku pelajaran bahasa, metode
belajar mengajar bahasa, guru, lingkungan keluarga serta masyarakat
dan perpustakaan sekolah memegang peranan penting. Bahasa daerah di
wilayah tertentu dapat dijadikan mata pelajaran tanpa mengganggu
pendidikan bahsa Indonesia. Karena itu, kurikulum, buku pelajaran,
metode pengajaran, dan sarana lain pendidikan bahasa daerah prlu
dikembangkan.
d. Pengajaran Sastra. Diperlukan kesempatan yang lebih luas untuk
mendorong kreativitas guru dan peserta didik di dalam pelaksanaan
pengajaran sastra agar fungsi kurikulum pengajaran bahasa Indonesia
sebagai pedoman pengajaran tidak menjadi kendali yang terlalu ketat
yang menghilangkan ruang gerak dan inisiatif guru dan peserta didik.
Tujuan pengajaran sastra adalah menumbuhkan dan mengembangkan
akal budi peserta didik melalui kegiatan pengalaman sastra. Bahan
pengajaran sastra selaykanya mencapai hasil sastra berupa cerita rekaan,
puisi, dan drama yang telah terpilih dari segi kualitas. Dalam pengajaran
sastra diperlukan proses belajar-mengajar yang sekaligus melibatkan
pengalaman, pengetahuan dan penilaian peserta didik terhadap sastra
secara langsung, sehingga terjadi interaksi antara peserta didik, hasil
sastra dan guru.

Struktur Fonologi Bahasa Indonesia


alau kita perhatikan dengan baik, dalam kehidupan sehari-hari masih
banyak masyarakat kita yang memakai bahasa Indonesia tetapi
tuturan/ucapan daerahnya terbawa ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Tidak
sedikit seseorang yang berbicara dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan lafal
atau intonasi Jawa, Batak, Bugis, Sunda dan lain sebagainya. Hal ini
dimungkinkan karena sebagian besar bangsa Indonesia memposisikan bahasa
Indonesia sebagai bahasa kedua. Sedangkan bahasa pertamanya adalah bahasa
daerah masing-masing. Bahasa Indonesia hanya digunakan dalam komunikasi
tertentu, seperti dalam kegiatan-kegiatan resmi.
Selain itu, dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya di Sekolah
Dasar, istilah yang dikenal dan lazim digunakan guru adalah istilah “huruf”
walaupun yang dimaksud adalah “fonem”. Mengingat keduanya merupakan
istilah yang berbeda, untuk efektifnya pembelajaran, tentu perlu diadakan
penyesuaian dalam segi penerapannya.
Oleh karena itu, untuk mencapai suatu ukuran lafal/fonem baku dalam
bahasa Indonesia, sudah seharusnya lafal-lafal atau intonasi khas daerah itu
dikurangi jika mungkin diusahakan dihilangkan; begitu pula pemakaian istilah
“huruf dan fonem” perlu dibedakan, lebih-lebih bagi Anda karena akan
memberikan pengaruh kepada siswa. Ingat, Anda adalah model dalam berbahasa
bagi siswa.

Pengertian Fonologi
Sebelum diuraikan mengenai fonologi, terlebih dahulu apa yang dimasud
dengan struktur. Yang dimaksud dengan struktur di sini adalah penyusunan atau
penggabungan unsur-unsur bahasa menjadi suatu bahasa yang berpola. Apakah
yang dimaksud dengan fonologi? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997)
dinyatakan bahwa fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki
bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Dengan demikian, fonologi adalah
merupakan sistem bunyi dalam bahasa Indonesia atau dapat juga dikatan bahwa
fonologi adalah ilmu tentang bunyi bahasa.
Fonologi dalam tataran ilmu bahasa dibagi dua bagian yakni
(a) fonetik dan
(b) fonemik.
Fonetik yaitu ilmu bahasa yang membahas tentang bunyi-bunyi ujaran
yang dipakai dalam tutur dan bagaimana bunyi itu dihasilkan oleh alat ucap
manusia. Sedangkan menurut Samsuri (1994), fonetik adalah studi tentang
bunyi-bunyi ujar. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997),
fonetik diartikan: bidang linguistik tentang pengucapan (penghasilan) bunyi ujar
atau fonetik adalah sistem bunyi suatu bahasa. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa fonetik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-bunyi
bahasa yang dihasilkan alat ucap manusia, serta bagaimana bunyi itu dihasilkan.
Selanjutnya, fonemik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-bunyi
bahasa yang berfungsi sebagai pembeda makna. Terkait dengan pengertian
tersebut, fonemik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) diartikan: (1)
bidang linguistik tentang sistem fonem; (2) sistem fonem suatu bahasa; (3)
prosedur untuk menentukan fonem suatu bahasa.
Selain pengertian fonetik dan fonemik, Anda perlu pula memahami apa
yang dikasud dengan fonem. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi kekeliruan
dalam penggunaan istilah “fonem” dan “huruf”. Supriyadi (1992) berpendapat
bahwa yang dimaksud fonem adalah satuan kebahasaan yang terkecil

Morfologi Bahasa Indonesia


Morfem Bebas dan Morfem Terikat
Menurut Santoso (2004), morfem bebas adalah morfem yang mempunyai
potensi untuk berdiri sendiri sebagai kata dan dapat langsung membentuk
kalimat. Dengan demikian, morfem bebas merupakan morfem yang diucapkan
tersendiri; seperti: gelas, meja, pergi dan sebagainya.
Morfem bebas sudah termasuk kata. Tetapi ingat, konsep kata tidak
hanya morfem bebas, kata juga meliputi semua bentuk gabungan antara morfem
terikat dengan morfem bebas, morfem dasar dengan morfem dasar. Jadi dapat
dikatakan bahwa morfem bebas itu kata dasar.
Morfem terikat merupakan morfem yang belum mengandung arti, maka
morfem ini belum mempunyai potensi sebagai kata. Untuk membentuk kata,
morfem ini harus digabung dengan morfem bebas. Menurut Samsuri (1994),
morfem terikat tidak pernah di dalam bahasa yang wajar diucapkan tersendiri.
Morfem-morfem ini, selain contoh yang telah diuraikan pada bagian awal,
umpanya: ter-, per-, -i, -an. Di samping itu ada juga bentuk-bentuk seperti –
juang, -gurau, -tawa, yang tidak pernah juga diucapkan tersendiri, melainkan
selalu dengan salah satu imbuhan atau lebih. Tetapi sebagai morfem terikat,
4 - 20 Unit 4
yang berbeda dengan imbuhan, bisa mengadakan bentukan atau konstruksi
dengan morfem terikat yang lain.
Morfem terikat dalam bahasa Indonesia menurut Santoso (2004) ada dua
macam, yakni morfem terikat morfologis dan morfem terikat sintaksis. Morfem
terikat morfologis yakni morfem yang terikat pada sebuah morfem dasar, adalah
sebagai berikut:
(a) prefiks (awalan): per-, me-, ter-, di-, ber- dan lain-lain
(b) infiks (sisipan): -el-, -em, -er-
(c) sufiks (akhiran): -an, kan, -i
(d) konfiks (imbuhan gabungan senyawa) mempunyai fungsi macammacam sebagai berikut.
(a) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata kerja, yaitu: me-, ber-,
per-, -kan, -i, dan ber-an.
(b) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata benda, yaitu: pe-, ke-,
-an, ke-an, per-an, -man, -wan, -wati.
(c) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata sifat: ter-, -i, -wi, -iah.
(d) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata bilangan: ke-, se-.
(e) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata tugas: se-, dan se-nya.
Dari contoh di atas menunjukkan bahwa setiap kata berimbuhan akan
tergolong dalam satu jenis kata tertentu, tetapi hanya imbuhan yang merupakan
unsur langsung yang dapat diidentifikasi fungsinya sebagai pembentuk jenis
kata.

Sintaksis
Saudara, kajian sintaksis bahasa Indonesia merupakan kelanjutan dari kajian
fonologi dan morfologi bahasa Indonesia yang telah Anda pelajari pada
subunit 1 sebelumnya. Istilah sintaksis berasal dari bahasa Belanda syntaxis.
Dalam bahasa Inggris digunakan istilah syntax. Sintaksis ialah bagian atau
cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat,
klausa, dan frase (Ramlan, 2001). Tidak berbeda dengan pendapat tersebut,
Tarigan (1984) mengemukakan bahwa sintaksis adalah salah satu cabang dari
tatabahasa yang membicarakan struktur kalimat, klausa, dan frasa, misalnya:
Saya dan Ali sedang menggambar lukisan pemandangan ketika nenek
Aminah sedang memasak nasik goreng
Contoh di atas dapat diklasifikasikan atas :
satu kalimat :
− Saya dan Ali sedang menggambar lukisan pemandangan ketika
nenek Aminah sedang memasak nasik goreng
dua klausa :
(1) Saya dan Ali sedang menggambar lukisan pemandangan;
(2) ketika nenek Aminah sedang memasak nasik goreng
enam frasa :
(1) Saya dan Ali
(2) sedang menggambar
(3) lukisan pemandangan
(4) nenek Aminah
(5) sedang memasak
(6) nasik goreng
Frase Bahasa Indonesia
Untuk memudahkan pemahaman Anda mengenai frase, perhatikan
kalimat berikut yang dicontohkan oleh Ramlan (1988).
Dua orang mahasiswa sedang membaca buku baru di perpustakaan.
Kalimat itu terdiri dari satu klausa, yaitu Dua orang mahasiswa sedang
membaca buku baru diperpustakaan. Selanjutnya, klausa terdiri dari empat
unsur yang lebih rendah tatarannya, yaitu dua orang mahasiswa, sedang
membaca, buku baru, dan di perpustakaan. Unsur-unsur itu ada yang terdiri dari
dua kata, yakni sedang membaca, buku baru, di perpustakaan, dan ada yang
terdiri dari tiga kata, yaitu dua orang mahasiswa. Di samping itu, masingmasing unsur itu menduduki
satu fungsi. Dua orang mahasiswa menduduki
fungsi S, sedang membaca menduduki fungsi P, buku baru menempati fungsi O,
dan di perpustakaan menempati fungsi KET. Demikianlah, unsur klausa yang
terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi itu merupakan
satuan gramatik yang disebut frase. Jadi, frase ialah satuan gramatik yang terdiri
dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa.
Selain contoh di atas, Supriyadi, dkk. (1992) menguraikan cara mengenal
frase bahasa Indonesia seperti berikut.
Perhatikan unsur setiap fungsi yang terdapat kalimat-kalimat berikut:
(1) Saya guru. (SP)
(2) Ayah saya guru. (SP)
(3) Adik teman saya guru bahasa Indonesia. (SP)
Unsur manakah yang mempunyai fungsi S dan yang mempunyai fungsi P
pada kalimat di atas? Selanjutnya, hitunglah jumlah kata yang terdapat pada
setiap kalimat di atas

Jenis Frase
Ramlan (1981) membagi frase berdasarkan kesetaraan distribusi
unsur unsurnya atas dua jenis, yakni frase endosentrik dan frase eksosentrik.
(1) Frase endosentrik
Frase endosentrik yang distribusi unsur-unsurnya setara dalam
kalimat. Frase endosentrik terbagi atas tiga jenis:
(a) frase endosentrik koordinatif yakni frase yang unsur-unsurnya setara,
dapat dihubungkan dengan kata dan, atau, misalnya :
- rumah pekarangan
- kakek nenek
- suami isteri
(b) frase endosentrik atributif, yakni frase yang unsur-unsurnya tidak
setara sehingga tak dapat disisipkan kata penghubung dan, atau,
misalnya:
- buku baru
- sedang belajar
- belum mengajar
(c) Frase endosentrik apositif, yakni frase yang unsurnya bisa saling
menggantikan dalam kalimat tapi tak dapat dihubungan dengan kata
dan dan atau
Mmisalnya:
- Almin, anak Pak Darto sedang membaca
- - ,anak Pak Darto sedang belajar
- Ahmad, - sedang belajar
(2) Frase eksosentrik adalah frase yang tidak mempunyai distribusi yang sama
dengan semua unsurnya, misalnya:
- di pasar
- ke sekolah
- dari kampung
Frase ditinjau dari segi persamaan distribusi dengan golongan atau
kategori kata, frase terdiri atas: frase nominal, frase verbal, frase ajektival,
frase, pronomina, frase numeralia. (Depdikbud, 1988).
(1) Frase verbal adalah satuan bahasa yang terbentuk dari dua kata atau lebih
dengan verba sebagai intinya dan tidak merupakan klausa.
Misalnya:
- Kapal lauat itu sudah belabuh
- Bapak saya belum pergi.
- Ibu saya sedang mencuci
(2) Frase nominal adalah dua buah kata atau lebih yang intinya dari dari
nominal atau benda dan satuan itu tidak membentuk klausa.
Misalnya:
- Kakek membeli tiga buah layang-layang.
- Amiruddin makan beberapa butir telur itik.
- Syarifuddin menjual tigapuluh kodi kayu besi
(3) Frase ajektival adalah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih
sedang intinya adalah ajektival (sifat) dan satuan itu tidak membentuk
klausa, misalnya:
- Ibu bapakku sangat gembira
- Baju itu sangat indah
- Mobil ferozamu baru sekali
(4) Frase pronomina adalah dua kata atau lebih yang intinya pronomina dan
hanya menduduki satu fungsi dalam kalimat.
Misalnya :
- Saya sendiri akan pergi ke pasar
- Kami sekalian akan bekunjung ke Tator
- Kamu semua akan pergi studi wisata di Tator
(5) Frase numeralia adalah dua kata atau lebih yang hanya menduduki satu
fungsi dalam kalimat namun satuan gramatik itu intinya pada numeralia.
Misalnya:
- Tiga buah rumah sedang terbakar
Kajian Bahasa Indonesia di SD 5- 7
- Lima ekor ayam sedang terbang
- Sepuluh bungkus kue akan dibeli
Klausa Bahasa Indonesia
Suatu ujaran yang terdiri atas subjek, predikat, objek, dan keterangan,
misalnya Saya sedang makan kue di rumah merupakan sebuah klausa sekaligus
sebuah kalimat, yakni kalimat tunggal. Akan tetapi, ujaran Ibu sedang mencuci
piring ketika Ayah pulang dari pasar bukan sebuah klausa tetapi kalimat,
yakni kalimat majemuk. Hal tersebut berdasar pada definisi yang dikemukakan
oleh Kridalaksana (1982:85) bahwa “klausa adalah satuan gramatikal berupa
kelompok kata yang sekurang-kurangnya tediri dari subjek dan predikat dan
mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.” Pengertian yang sama
dikemukakan oleh Ramlan (1981:62) sebagai berikut
“Klausa dijelaskan sebagai satuan gramatik yang terdiri atas dari P,
baik disertai S, O, PEL, dan KET atau tidak. Dengan ringkas klausa
ialah (S) P (O), (PEL) (KET). Tanda kurung menandakan bahwa
apa yang terletak dalam kurung itu bersifat manasuka, artinya boleh
ada, boleh juga tidak ada.”
Berdasarkan pengertian di atas, klausa adalah satuan gramatik yang
unsur-usurnya minimal terdiri atas Subjek-Predikat dan maksimal unsurnya
terdiri atas Subjek-Predikat-Objek-Pelengkap-Keterangan
Misalnya:
- Saya makan
- Saya sedang makan nasi
- Saya sedang makan nasi kemarin
- Saya sedang memasakkan nasi kakakku
Jenis Klausa
Klausa dilihat dari segi kategori kata atau frasa yang menduduki fungsi
Predikat terdiri atas klausa: nominal, klausa verbal, klausa bilangan, dan
klausa depan. ( Ramlan,1981).
(1) Klausa nominal adalah klausa yang predikatnya terdiri dari kata atau frasa
golongan nomina.
Misalnya:
- Ia guru IPA
- Yang dibeli pedagang itu kayu
5 - 8 Unit 5
(2) Klausa verbal adalah klausa yang predikatnya terdiri dari kata atau frasa
kategori verbal, dan klausa vebal terbagi atas empat jenis, yakni:
(a) Klausa verbal yang ajektif adalah klausa yang predikatnya dari kata
golongan verbal yang termasuk kategori sifat sebagai pusatnya.
Misalnya:
- Rumahnya sangat luas
- Motornya sangat mahal
- Rumahnya indah sekali
(b) Klausa verbal intransitif adalah klausa yang predikatnya dari kata
golongan kata kerja intransitif sebagai unsur intinya.
Misalnya:
- Burung merpati sedang terbang di angkasa
- Adikku sedang bermain-main di lapangan
- Pesawat Lion Air belum mendarat di Lanud Hasanuddin
(c) Klausa verbal yang aktif adalah klausa yang predikatnya dari kata
golongan verbal yang transitif sebagai unsur intinya.
Misalnya:
- Ibuku sedang mencuci piring
- Pamanku sedang mengajarkan IPS
- Guru-guruku sedang mengikuti pelatihan PIPS
(d) Klausa verbal yang reflektif adalah klausa yang predikatnya dari kata
verbal yang tergolong kata kerja reflektif.
Misalnya:
- Mereka sedang mendinginkan diri
- Anak-anak itu sedang menyelamatkan diri
- Kakek Ady telah mengobati peenyaakinya
(e) Klausa verbal yang resiprok adalah klausa yang predikatnya dari kata
golongan verbal yang termasuk kata keja resiprok.
Misalnya:
- Mereka saling melempar batu karang.
- Mereka tolong menolong di sungai
- Anak-anak itu ejek-mengejek di sekolah
(3) Klausa bilangan adalah klausa yang predikatnya dari kata atau frasa
golongan bilangan.
Misalnya:
- Kaki meja itu empat buah
- Mobil itu delapan rodanya.
- Rumah panggung itu duapuluh tiangnya
(4) Klausa depan adalah klausa yang predikatnya dari kata atau frasa depan
yang diawali kata depan sebagai penanda.
Misalnya:
- Baju dinas itu untuk pegawai pemda.
- Mobil itu dari Amerika.
- Makanan lezat itu buat adik-adikmu.
Kalimat Bahasa Indonesia
Ahli tatabahasa tradisional menyatakan bahwa kalimat adalah satuan
kumpulan kata yang terkecil yang mengandung pikiran yang lengkap.
Misalnya, “Saya makan nasi.” Defenisi tersebut tidak universal karena
kadangkala ada kalimat yang terdiri atas satu kata tetapi maknanya dapat
dipahami secara lengkap, misalnya Pergi! (pergi dari sini sekarang juga).
Keraf (1984:156) mendefinisikan kalimat sebagai satu bagian dari
ujaran yang didahului dan diikuti oleh kesenyapan*), sedang intonasinya
menunjukkan bagian ujaran itu sudah lengkap. Pengertian tersebut sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Kridalaksana (1982:72) bahwa “kalimat adalah
satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final
dan secara aktual dan potensial terdiri dari klausa. Misalnya:
- Diam!
- Amin membeli kue di pasar.
Selain pendapat tersebut, dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia
(1988) dinyatakan bahwa kalimat adalah bagian terkecil ujaran atau teks
(wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara kebahasaan. Dalam
wujud lisan, kalimat diiringi oleh alunan titinada, disela oleh jeda, diakhiri oleh
intonasi selesai, dan diikuti oleh kesenyapan yang memustahilkan adanya
perpaduan atau asimilasi bunyi. Dalam wujud tulisan, kalimat dimulai dengan
huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru.

Anda mungkin juga menyukai