NIM : 1401418262
ROMBEL : F
Pengertian Bahasa
Fungsi Bahasa
Ada yang beranggapan bahwa penguasaan bahasa khususnya bahasa
pertama tidak memerlukan usaha sama sekali. Bahasa yang dikuasai seseorang
adalah sesuatu yang wajar, bukan prestasi yang luar biasa. Akibat anggapan yang
keliru tersebut menyebabkan bahasa dianggap hal yang biasa sehingga tidak perlu
mendapat perhatian. Padahal, bahasa merupakan hal yang paling penting dalam
kehidupan kita.
Anda pasti memahami bahwa manusia telah ditakdirkan satu sama lain
memerlukan pertolongan untuk memelihara, meningkatkan, dan mempertahankan
kehidupannya. Pertolongan itu pertama-tama diperoleh dengan bantuan bahasa.
Manusia tidak pernah hidup seorang diri, melainkan selalu hidup berkelompok
karena manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, di dalam
berinteraksi, manusia membutuhkan bahasa.
Mengingat begitu vitalnya bahasa dalam kehidupan, maka tidaklah
mengherankan jika Samsuri (1994) mengatakan “Dapatkah kita kira-kirakan
bagaimana kebudayaan kita dapat kita terima dari nenek moyang kita dan kita
teruskan kepada anak-cucu tanpa memakai bahasa? Apakah ada ilmu pengetahuan
yang disampaikan dan dikembangkan tanpa penggunaan bahasa? Mungkinkah
pendidikan seluruhnya dilakukan tanpa memakai bahasa?” Pertanyaan-pertanyaan
tersebut tentu Anda dapat menjawabnya dengan mudah, bukan? Pasti Anda akan
menjawab dengan kata tidak. Dari pertanyaan-pertanyaan itu pula, akan lebih
menyadarkan kita bahwa ternyata bahasa itu memiliki fungsi yang sangat vital
dalam kehidupan ini.
Secara umum sudah jelas bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat
komunikasi. Bahasa sebagai wahana komunikasi bagi manusia, baik komunikasi
lisan maupun komunikasi tulis. Fungsi ini adalah fungsi dasar bahasa yang belum
dikaitkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Seperti yang telah disinggung
sebelumnya, dalam kehidupan sehar-hari, bahasa tidak dapat dilepaskan dari
kegiatan hidup masyarakat, yang di dalamnya sebenarnya terdapat status dan
nilai-nilai sosial. Bahasa selalu mengikuti dan mewarnai kehidupan manusia
sehari-hari, baik manusia sebagai anggota suku maupun bangsa.
Ragam pendidikan dapat dibagi atas ragam bahasa baku dan ragam
bahasa tidak baku (ragam bahasa baku dan ragam tidak baku akan diuraikan
secara khusus).
Ragam bahasa menurut sikap penutur mencakup sejumlah corak bahasa
Indonesia yang masing-masing pada asasnya tersedia bagi tiap-tiap pemakai
bahasa. Ragam ini biasa disebut langgam atau gaya. Langgam atau gaya yang
dipakai oleh penutur bergantung pada sikap penutur terhadap orang yang diajak
berbicara atau terhadap pembacanya. Sikap penutur dipengaruhi antara lain oleh
umur dan kedudukan yang disapa, pokok persoalan yang hendak disampaikannya,
dan tujuan penyampaian informasinya. Perbedaan berbagai gaya itu tercermin
dalam kosakata dan tata bahasa (Depdikbud, 1988)
(1) Memiliki sifat kemantapan dinamis. Bahasa baku harus memiliki kaidah dan
aturan yang relatif tetap dan luwes. Bahasa baku tidak dapat berubah setiap
saat.
(2) Kecendekiaan. Kecendekiaan berarti bahwa bahasa baku sanggup
mengungkapkan proses pemikiran yang rumit di pelbagai ilmu dan
teknologi, dan bahasa baku dapat mengungkapkan penalaran atau pemikiran
yang teratur, logis dan masuk akal.
(3) Keseragaman kaidah. Keseragaman kaidah adalah keseragaman aturan atau
norma. Tetapi, keseragaman bukan berarti penyamaan ragam bahasa atau
penyeragaman variasi bahasa (Depdikbud 1988).
Proses pembakuan bahasa terjadi karena keperluan komunikasi. Dalam
proses pembakuan atau standardisasi itu salah satu variasi pemakaian bahasa
dibakukan untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu yang variasi itu disebut
bahasa baku atau bahasa standar. Namun perlu diingat, dengan adanya
pembakuan bahasa atau bahasa Indonesia yang baku, bahasa Indonesia yang tidak
baku tetap hidup dan berkembang sesuai dengan fungsinya dalam komunikasi.
Dengan demikian, pembakuan tidak bermaksud untuk mematikan variasi-variasi
bahasa tidak baku.
Saudara, pasti sudah mengetahui bahwa ragam tidak baku banyak
mengandung unsur-unsur dialek dan bahasa daerah sehingga ragam bahasa tidak
baku banyak sekali variasinya. Selain dialek, ragam bahasa tidak baku juga
bervariasi dalam hal lafal atau pengucapan, kosa kata, struktur kalimat dan
sebagainya. Untuk mengatasi keanekaragaman pemakaian bahasa yang
merupakan variasi dari bahasa tidak baku maka diperlukan bahasa bahasa baku
atau bahasa standar. Mengapa? Karena bahasa baku tidak hanya ditandai oleh
kesergaman dan ketunggalan ciri-cirinya tetapi juga ditandai oleh keseragaman
dan ketunggalan fungsi-fungsinya.
Pada situasi komunikasi bagaimanakah kita harus menggunkan bahasa
Indonesia baku? Kridalaksana (1978) mengatakan bahwa bahasa Indonesia baku
adalah ragam bahasa yang dipergunakan dalam:
(a) komunikasi resmi, yakni surat-menyurat resmi, pengumumanpengumuman yang dikeluarkan oleh
instansi resmi, penamaan dan
peristilahan resmi, perundang-undangan, dan sebagainya (ingat
kembali fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi);
(b) wacana teknis, yakni dalam laporan resmi dan karangan ilmiah;
(c) pembicaraan di depan umum yakni dalam ceramah, kuliah, khotbah;
dan
(d) pembicaraan dengan orang yang dihormati yakni orang yang lebih tua,
lebih tinggi status sosialnya dan orang yang baru dikenal
M
Kajian Bahasa Indonesia di SD 2- 17
untuk menguasai gerak artikulatoris (alat ucap) yang lama kelamaan dikaitkan
dengan kebermaknaan bentuk bunyi yang diujarkannya.
Perkembangan Morfologis
Afiksasi bahasa Indonesia merupakan salah aspek morfologi yang
kompleks. Hal ini terjadi karena satu kata dapat berubah makna karena proses
afiksasinya (prefiks, sufiks, simulfiks) berubah-ubah. Misalnya kata satu dapat
berubah menjadi: bersatu, menyatu, kesatu, satuan, satukan, disatukan,
persatuan, kesa-tuan, kebersatuan, mempersatukan, dst.
Zuhdi dan Budiasih (1997) menyatakan bahwa anak-anak mempelajari
morfem mula-mula bersifat hapalan. Hal ini kemudian diikuti dengan membuat
simpulan secara kasar tentang bentuk dan makna morfem. Akhirnya anak
membentuk kaidah. Proses yang rumit ini dimulai pada priode prasekolah dan
terus berlangsung sampai pada masa adolesen.
Berdasarkan kerumitan afiksasi tersebut, perkembangan morfologis
atau kemampuan menggunakan morfem/afiks anak SD dapat diduga sebagai
berikut:
a. Anak kelas awal SD telah dapat mengunakan kata berprefiks dan bersufiks
seperti melempar dan makanan.
b. Anak kelas menengah SD telah dapat mengunakan kata berimbuhan
simulfiks/konfiks sederhana seperti menjauhi, disatukan.
c. Anak kelas atas SD telah dapat menggunakan kata berimbuhan konfiks yang
sudah kompleks misalnya diperdengarkan dan memberlakukan dalam
bahasa lisan atau tulisan.
Perkembangan Sintaksis
Brown dan Harlon (dalam Nurhadi dan Roekhan, 1990) berkesimpulan
bahwa kalimat awal anak adalah kalimat sederhana, aktif, afirmatif, dan
berorientasi berita. Setelah itu, anak baru menguasai kalimat tanya, dan ingkar.
Berikutnya kalimat anak mulai diwarnai dengan kalimat elips, baik pada kalimat
berita, tanya, maupun ingkar. Sedangkan menurut hasil pengamatan Brown dan
Bellugi terhadap percakapan anak, memberi kesimpulan bahwa ada tiga macam
cara yang biasa ditempuh dalam mengembangkan kalimat, yaitu:
pengembangan, pengurangan, dan peniruan. Kedua peneliti ini sepakat bahwa
peniruan merupakan cara pertama yang ditempuh anak, meskipun peniruan yang
dilakukan terbatas pada prinsip kalimat yang paling pokok yaitu urutan kata.
Cara yang kedua yang ditempuh anak untuk mengembangkan kalimat
mereka adalah pengulangan dan pengembangan. Anak mengulang bagian
kalimat yang memperoleh tekanan yaitu bagian kalimat kontentif, atau bagian
kalimat yang berisi pesan pokok, sedangkan bagian lain dihilangkan secara
sistematis. Karena itu, bahasa anak disebut dengan istilah tuturan telegrafis,
karena mengandung pengurangan bagian kalimat secara sistematis.
Dilihat dari segi frase, menurut Budiasih dan Zuchdi (1997) bahwa frase
verba lebih sulit dikuasai oleh anak SD dibanding dengan frase nomina dan
frase lainnya. Kesulitan ini mungkin berkaitan dengan perbedaan bentuk kata
kerja yang menyatakan arti berbeda. Misalnya ditulis, menuliskan, ditulisi, dan
seterusnya.
Dari segi pola kalimat lengkap, anak kelas awal cenderung menggunakan
struktur sederhana bila berbicara. Mereka sudah mampu memahami bentuk yang
lengkap namun belum dapat memahamai bentuk kompleks seperti kalimat pasif
(Wood dalam Crown, 1992). Menurut Emingran siswa kelas atas SD
menggunakan struktur yang lebih kompleks dalam menulis daripada dalam
berbicara (Tompkins, 1989).
Pada umumnya anak SD mengenal bentuk pasif daripada preposisi
“oleh” misalnya “Buku itu dibeli oleh Ali.” Dengan demikian kalimat pasif
yang tidak disertai kata oleh, mereka menganggapnya bukan kalimat pasif,
misalnya “Saya melempar mangga (kalimat aktif) menjadi “Mangga saya
lempar (kalimat pasif) bukan “Mangga dilempar oleh saya.” (Salah).
Anak biasanya menggunakan kalimat pasif yang subjeknya dari kata
ganti/tak dapat dibalik dan kalimat pasif yang subjeknya bukan kata
ganti/dapat dibalik secara seimbang. Namun, anak sering mengalami kesulitan
dalam membuat kalimat dan menafsirkan makna kalimat pasif yang dapat
dibalik (subjeknya bukan kata ganti). Menjelang umur 8 tahun mereka mulai
lebih banyak menggunakan kalimat pasif yang tidak dapat dibalik (subjeknya
kata ganti). Pada umur 9 tahun, anak mulai banyak menggunakan bentuk pasif
yang subjeknya dari kata ganti. Dan pada umur 11-13 tahun mereka banyak
menggunakan kalimat yang subjeknya dari kata ganti.
Penggunaan kata penghubung juga meningkat pada usia SD. Anak di
bawah umur 11 tahun sering menggunakan kata “dan” pada awal kalimat. Pada
umur 11-14 tahun, penggunaan “dan” pada awal kalimat mulai jarang muncul.
Anak sering mengalami kesulitan penggunaan kata penghubung
“karena”: dalam kalimat, seperti “Saya menghadiri pertemuan itu karena
diundang”. Anak SD bingung membedakan kata hubung karena, dan, lalu
dilihat dari segi urutan waktu kejadiannya. Yakni diundang dahulu baru pergi
ke pertemuan. Oleh karena itu kadangkala ada anak TK yang mengucapkan
“Saya sakit karena saya tidak masuk sekolah” padahal maksudnya “Saya tidak
masuk sekolah karena sakit.”. Pemahaman kata penghubung “karena“ baru
mulai berkembang pada umur 7 tahun. Pemahaman yang benar dan konsisten
baru terjadi pada umur skitar 10-11 tahun (Budiasih dan Zuchdi, 1997).
Perkembangan Semantik
Selama priode usia sekolah dan dewasa, ada dua jenis penambahan
makna kata. Secara horisontal, anak semakin mampu memahami dan dapat
menggunakan suatu kata dengan nuansa makna yang agak berbeda secara tepat.
Penambahan vertikal berupa penambahan jumlah kata yang dapat dipahami dan
digunakan dengan tepat (Owens dalam Budiasih dan Zuchdi, 1997).
Menurut Lindfors, perkembangan semantik berlangsung dengan sangat
pesat di SD. Kosa kata anak bertambah sekitar 3000 kata per tahun
(Tompkins,1989). Sedang Berger menyatakan bahwa antara 2-6 rata-rata anak
mempelajari 6 -10 kata per hari. Ini berarti bahwa rata-rata anak umur 6 tahun
mempunyai kata 8.000 - 14.000 kata. Dan pada usia 9 - 10 thn. sekitar 5000
kata baru dalam perbendaharaan kosa katanya (Woolfolk, 1990).
Merujuk apa yang tercantum dalam Kurikulum 1994, perbendaharaan
kata siswa SD diharapkan lebih kurang 6000 kata. Dengan demikian pendapat
Berger di atas sangat tinggi. Pendapat yang relatif mendekati harapan
Kurikulum 1994 adalah hasil temuan penelitian Slegers bahwa rata-rata anak
masuk kelas awal dengan pengetahuan makna sekitar 2500 kata dan meningkat
rata-rata 1000 kata per tahun di kelas awal dan menengah SD dan 2000 kata di
kelas atas sehingga perbendaharaan kosa kata siswa berjumlah 8500 di kelas VI
(Harris dan Sipay, 1980).
Kemampuan anak kelas rendah SD dalam mendefinisikan kata meningkat
dengan dua cara. Pertama, secara konseptual yakni dari definisi berdasar
pengalaman individu ke makna yang bersifat sosial atau makna yang dibentuk
bersama. Kedua, anak bergerak secara sintaksis dari definisi kata-kata lepas ke
kalimat yang menyatakan hubungan kompleks (Owens, 1992)
Pengetahuan kosa kata mempunyai hubungan dengan kemampuan
kebahasan secara umum. Anak yang menguasai banyak kosa lebih mudah
memahami wacana dengan baik. Selama priode usia SD, anak menjadi semakin
baik dalam menemukan makna kata berdasarkan konteksnya. Anak usia 5 thn.
mendefinisikan kata secara sempit sedang anak berumur 11 tahun membentuk
definisi dengan menggabungkan makna-makna yang telah diketahuinya.
Dengan demikian definisinya menjadi lebih luas, misalnya kucing ialah
binatang yang biasa dipelihara di rumah-rumah penduduk.
Menurut Budiasih dan Zuchdi (1997), anak usia SD sudah mampu
mengembangkan bahasa figuratif yang memungkinkan penggunaan bahasa
secara kreatif. Bahasa figuratif menggunakan kata secara imajinatif, tidak secara
literal atau makna sebenarnya untuk menciptakan kesan emosional. Yang
termasuk bahasa figuratif adalah (a) ungkapan misalnya kepala dingin, (b)
metafora, misalnya “Suaranya membelah bumi”., (c) kiasan, misalnya
“Wajahnya seperti bulan purnama.”, (d) pribahasa, misalnya “Menepuk air di
dulang, terpecik muka sendiri.”
Perkembangan Pragmatik
Perkembangan pragmatik atau penggunaan bahasa merupakan hal paling
penting dibanding perkembangan aspek bahasa lainnya pada usia SD. Hal ini
pada usia prasekolah anak belum dilatih menggunakan bahasa secara akurat,
sistematis, dan menarik.
Berbicara tentang pragmatik ada 7 faktor penentu yang perlu dipahami
anak (1) kepada siapa berbicara (2) untuk tujuan apa, (3) dalam konteks apa, (4)
dalam situasi apa, (5) dengan jalur apa, (6) melalui media apa, (7) dalam
peristiwa apa (Tarigan, 1990). Ke-7 faktor penentu komunikasi tersebut
berkaitan erat dengan fungsi (penggunaan) bahasa yang dikemukakan oleh
M.A.K Halliday: instrumental, regulator, interaksional, personal, imajinatif,
heuristik, dan informatif.
Pinnel (1975) dalam penelitiannya tentang penggunaan fungsi bahasa di
SD kelas awal menemukan bahwa umumnya anak menggunakan fungsi
interaksional (untuk bekomunikasi) dan jarang menggunakan fungsi heuristik
(mengunakan bahasa untuk mencari ilmu pengetahuan saat belajar dan berbicara
dalam kelompok kecil).
Dilihat dari segi perkembangan kemampuan bercerita, anak umur 6 th
sudah dapat bercerita secara sederhana tentang acara televisi/film yang mereka
lihat. Kemampuan ini selanjutnya berkembang secara teratur dan sedikit-demi
sedikit. Mereka belajar menghubungkan kejadian tetapi bukan yang
mengandung hubungan sebab akibat. Kata penghubung yang digunakan: dan,
lalu.
Pada usia 7 tahun anak mulai dapat membuat cerita yang ang agak padu.
Mereka sudah mulai mengemukakan masalah, rencana mengatasi masalah dan
penyelesaian masalah tersebut meskipun belum jelas siapa yang melakukannya.
Pengertian Fonologi
Sebelum diuraikan mengenai fonologi, terlebih dahulu apa yang dimasud
dengan struktur. Yang dimaksud dengan struktur di sini adalah penyusunan atau
penggabungan unsur-unsur bahasa menjadi suatu bahasa yang berpola. Apakah
yang dimaksud dengan fonologi? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997)
dinyatakan bahwa fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki
bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Dengan demikian, fonologi adalah
merupakan sistem bunyi dalam bahasa Indonesia atau dapat juga dikatan bahwa
fonologi adalah ilmu tentang bunyi bahasa.
Fonologi dalam tataran ilmu bahasa dibagi dua bagian yakni
(a) fonetik dan
(b) fonemik.
Fonetik yaitu ilmu bahasa yang membahas tentang bunyi-bunyi ujaran
yang dipakai dalam tutur dan bagaimana bunyi itu dihasilkan oleh alat ucap
manusia. Sedangkan menurut Samsuri (1994), fonetik adalah studi tentang
bunyi-bunyi ujar. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997),
fonetik diartikan: bidang linguistik tentang pengucapan (penghasilan) bunyi ujar
atau fonetik adalah sistem bunyi suatu bahasa. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa fonetik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-bunyi
bahasa yang dihasilkan alat ucap manusia, serta bagaimana bunyi itu dihasilkan.
Selanjutnya, fonemik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi-bunyi
bahasa yang berfungsi sebagai pembeda makna. Terkait dengan pengertian
tersebut, fonemik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) diartikan: (1)
bidang linguistik tentang sistem fonem; (2) sistem fonem suatu bahasa; (3)
prosedur untuk menentukan fonem suatu bahasa.
Selain pengertian fonetik dan fonemik, Anda perlu pula memahami apa
yang dikasud dengan fonem. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi kekeliruan
dalam penggunaan istilah “fonem” dan “huruf”. Supriyadi (1992) berpendapat
bahwa yang dimaksud fonem adalah satuan kebahasaan yang terkecil
Sintaksis
Saudara, kajian sintaksis bahasa Indonesia merupakan kelanjutan dari kajian
fonologi dan morfologi bahasa Indonesia yang telah Anda pelajari pada
subunit 1 sebelumnya. Istilah sintaksis berasal dari bahasa Belanda syntaxis.
Dalam bahasa Inggris digunakan istilah syntax. Sintaksis ialah bagian atau
cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat,
klausa, dan frase (Ramlan, 2001). Tidak berbeda dengan pendapat tersebut,
Tarigan (1984) mengemukakan bahwa sintaksis adalah salah satu cabang dari
tatabahasa yang membicarakan struktur kalimat, klausa, dan frasa, misalnya:
Saya dan Ali sedang menggambar lukisan pemandangan ketika nenek
Aminah sedang memasak nasik goreng
Contoh di atas dapat diklasifikasikan atas :
satu kalimat :
− Saya dan Ali sedang menggambar lukisan pemandangan ketika
nenek Aminah sedang memasak nasik goreng
dua klausa :
(1) Saya dan Ali sedang menggambar lukisan pemandangan;
(2) ketika nenek Aminah sedang memasak nasik goreng
enam frasa :
(1) Saya dan Ali
(2) sedang menggambar
(3) lukisan pemandangan
(4) nenek Aminah
(5) sedang memasak
(6) nasik goreng
Frase Bahasa Indonesia
Untuk memudahkan pemahaman Anda mengenai frase, perhatikan
kalimat berikut yang dicontohkan oleh Ramlan (1988).
Dua orang mahasiswa sedang membaca buku baru di perpustakaan.
Kalimat itu terdiri dari satu klausa, yaitu Dua orang mahasiswa sedang
membaca buku baru diperpustakaan. Selanjutnya, klausa terdiri dari empat
unsur yang lebih rendah tatarannya, yaitu dua orang mahasiswa, sedang
membaca, buku baru, dan di perpustakaan. Unsur-unsur itu ada yang terdiri dari
dua kata, yakni sedang membaca, buku baru, di perpustakaan, dan ada yang
terdiri dari tiga kata, yaitu dua orang mahasiswa. Di samping itu, masingmasing unsur itu menduduki
satu fungsi. Dua orang mahasiswa menduduki
fungsi S, sedang membaca menduduki fungsi P, buku baru menempati fungsi O,
dan di perpustakaan menempati fungsi KET. Demikianlah, unsur klausa yang
terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi itu merupakan
satuan gramatik yang disebut frase. Jadi, frase ialah satuan gramatik yang terdiri
dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa.
Selain contoh di atas, Supriyadi, dkk. (1992) menguraikan cara mengenal
frase bahasa Indonesia seperti berikut.
Perhatikan unsur setiap fungsi yang terdapat kalimat-kalimat berikut:
(1) Saya guru. (SP)
(2) Ayah saya guru. (SP)
(3) Adik teman saya guru bahasa Indonesia. (SP)
Unsur manakah yang mempunyai fungsi S dan yang mempunyai fungsi P
pada kalimat di atas? Selanjutnya, hitunglah jumlah kata yang terdapat pada
setiap kalimat di atas
Jenis Frase
Ramlan (1981) membagi frase berdasarkan kesetaraan distribusi
unsur unsurnya atas dua jenis, yakni frase endosentrik dan frase eksosentrik.
(1) Frase endosentrik
Frase endosentrik yang distribusi unsur-unsurnya setara dalam
kalimat. Frase endosentrik terbagi atas tiga jenis:
(a) frase endosentrik koordinatif yakni frase yang unsur-unsurnya setara,
dapat dihubungkan dengan kata dan, atau, misalnya :
- rumah pekarangan
- kakek nenek
- suami isteri
(b) frase endosentrik atributif, yakni frase yang unsur-unsurnya tidak
setara sehingga tak dapat disisipkan kata penghubung dan, atau,
misalnya:
- buku baru
- sedang belajar
- belum mengajar
(c) Frase endosentrik apositif, yakni frase yang unsurnya bisa saling
menggantikan dalam kalimat tapi tak dapat dihubungan dengan kata
dan dan atau
Mmisalnya:
- Almin, anak Pak Darto sedang membaca
- - ,anak Pak Darto sedang belajar
- Ahmad, - sedang belajar
(2) Frase eksosentrik adalah frase yang tidak mempunyai distribusi yang sama
dengan semua unsurnya, misalnya:
- di pasar
- ke sekolah
- dari kampung
Frase ditinjau dari segi persamaan distribusi dengan golongan atau
kategori kata, frase terdiri atas: frase nominal, frase verbal, frase ajektival,
frase, pronomina, frase numeralia. (Depdikbud, 1988).
(1) Frase verbal adalah satuan bahasa yang terbentuk dari dua kata atau lebih
dengan verba sebagai intinya dan tidak merupakan klausa.
Misalnya:
- Kapal lauat itu sudah belabuh
- Bapak saya belum pergi.
- Ibu saya sedang mencuci
(2) Frase nominal adalah dua buah kata atau lebih yang intinya dari dari
nominal atau benda dan satuan itu tidak membentuk klausa.
Misalnya:
- Kakek membeli tiga buah layang-layang.
- Amiruddin makan beberapa butir telur itik.
- Syarifuddin menjual tigapuluh kodi kayu besi
(3) Frase ajektival adalah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih
sedang intinya adalah ajektival (sifat) dan satuan itu tidak membentuk
klausa, misalnya:
- Ibu bapakku sangat gembira
- Baju itu sangat indah
- Mobil ferozamu baru sekali
(4) Frase pronomina adalah dua kata atau lebih yang intinya pronomina dan
hanya menduduki satu fungsi dalam kalimat.
Misalnya :
- Saya sendiri akan pergi ke pasar
- Kami sekalian akan bekunjung ke Tator
- Kamu semua akan pergi studi wisata di Tator
(5) Frase numeralia adalah dua kata atau lebih yang hanya menduduki satu
fungsi dalam kalimat namun satuan gramatik itu intinya pada numeralia.
Misalnya:
- Tiga buah rumah sedang terbakar
Kajian Bahasa Indonesia di SD 5- 7
- Lima ekor ayam sedang terbang
- Sepuluh bungkus kue akan dibeli
Klausa Bahasa Indonesia
Suatu ujaran yang terdiri atas subjek, predikat, objek, dan keterangan,
misalnya Saya sedang makan kue di rumah merupakan sebuah klausa sekaligus
sebuah kalimat, yakni kalimat tunggal. Akan tetapi, ujaran Ibu sedang mencuci
piring ketika Ayah pulang dari pasar bukan sebuah klausa tetapi kalimat,
yakni kalimat majemuk. Hal tersebut berdasar pada definisi yang dikemukakan
oleh Kridalaksana (1982:85) bahwa “klausa adalah satuan gramatikal berupa
kelompok kata yang sekurang-kurangnya tediri dari subjek dan predikat dan
mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.” Pengertian yang sama
dikemukakan oleh Ramlan (1981:62) sebagai berikut
“Klausa dijelaskan sebagai satuan gramatik yang terdiri atas dari P,
baik disertai S, O, PEL, dan KET atau tidak. Dengan ringkas klausa
ialah (S) P (O), (PEL) (KET). Tanda kurung menandakan bahwa
apa yang terletak dalam kurung itu bersifat manasuka, artinya boleh
ada, boleh juga tidak ada.”
Berdasarkan pengertian di atas, klausa adalah satuan gramatik yang
unsur-usurnya minimal terdiri atas Subjek-Predikat dan maksimal unsurnya
terdiri atas Subjek-Predikat-Objek-Pelengkap-Keterangan
Misalnya:
- Saya makan
- Saya sedang makan nasi
- Saya sedang makan nasi kemarin
- Saya sedang memasakkan nasi kakakku
Jenis Klausa
Klausa dilihat dari segi kategori kata atau frasa yang menduduki fungsi
Predikat terdiri atas klausa: nominal, klausa verbal, klausa bilangan, dan
klausa depan. ( Ramlan,1981).
(1) Klausa nominal adalah klausa yang predikatnya terdiri dari kata atau frasa
golongan nomina.
Misalnya:
- Ia guru IPA
- Yang dibeli pedagang itu kayu
5 - 8 Unit 5
(2) Klausa verbal adalah klausa yang predikatnya terdiri dari kata atau frasa
kategori verbal, dan klausa vebal terbagi atas empat jenis, yakni:
(a) Klausa verbal yang ajektif adalah klausa yang predikatnya dari kata
golongan verbal yang termasuk kategori sifat sebagai pusatnya.
Misalnya:
- Rumahnya sangat luas
- Motornya sangat mahal
- Rumahnya indah sekali
(b) Klausa verbal intransitif adalah klausa yang predikatnya dari kata
golongan kata kerja intransitif sebagai unsur intinya.
Misalnya:
- Burung merpati sedang terbang di angkasa
- Adikku sedang bermain-main di lapangan
- Pesawat Lion Air belum mendarat di Lanud Hasanuddin
(c) Klausa verbal yang aktif adalah klausa yang predikatnya dari kata
golongan verbal yang transitif sebagai unsur intinya.
Misalnya:
- Ibuku sedang mencuci piring
- Pamanku sedang mengajarkan IPS
- Guru-guruku sedang mengikuti pelatihan PIPS
(d) Klausa verbal yang reflektif adalah klausa yang predikatnya dari kata
verbal yang tergolong kata kerja reflektif.
Misalnya:
- Mereka sedang mendinginkan diri
- Anak-anak itu sedang menyelamatkan diri
- Kakek Ady telah mengobati peenyaakinya
(e) Klausa verbal yang resiprok adalah klausa yang predikatnya dari kata
golongan verbal yang termasuk kata keja resiprok.
Misalnya:
- Mereka saling melempar batu karang.
- Mereka tolong menolong di sungai
- Anak-anak itu ejek-mengejek di sekolah
(3) Klausa bilangan adalah klausa yang predikatnya dari kata atau frasa
golongan bilangan.
Misalnya:
- Kaki meja itu empat buah
- Mobil itu delapan rodanya.
- Rumah panggung itu duapuluh tiangnya
(4) Klausa depan adalah klausa yang predikatnya dari kata atau frasa depan
yang diawali kata depan sebagai penanda.
Misalnya:
- Baju dinas itu untuk pegawai pemda.
- Mobil itu dari Amerika.
- Makanan lezat itu buat adik-adikmu.
Kalimat Bahasa Indonesia
Ahli tatabahasa tradisional menyatakan bahwa kalimat adalah satuan
kumpulan kata yang terkecil yang mengandung pikiran yang lengkap.
Misalnya, “Saya makan nasi.” Defenisi tersebut tidak universal karena
kadangkala ada kalimat yang terdiri atas satu kata tetapi maknanya dapat
dipahami secara lengkap, misalnya Pergi! (pergi dari sini sekarang juga).
Keraf (1984:156) mendefinisikan kalimat sebagai satu bagian dari
ujaran yang didahului dan diikuti oleh kesenyapan*), sedang intonasinya
menunjukkan bagian ujaran itu sudah lengkap. Pengertian tersebut sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Kridalaksana (1982:72) bahwa “kalimat adalah
satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final
dan secara aktual dan potensial terdiri dari klausa. Misalnya:
- Diam!
- Amin membeli kue di pasar.
Selain pendapat tersebut, dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia
(1988) dinyatakan bahwa kalimat adalah bagian terkecil ujaran atau teks
(wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara kebahasaan. Dalam
wujud lisan, kalimat diiringi oleh alunan titinada, disela oleh jeda, diakhiri oleh
intonasi selesai, dan diikuti oleh kesenyapan yang memustahilkan adanya
perpaduan atau asimilasi bunyi. Dalam wujud tulisan, kalimat dimulai dengan
huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru.