Anda di halaman 1dari 11

ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN

Disusun Oleh :

Aniva Putri Febrani (1921002)

Atikah Fitria Ningsih (1921003)

Nadia Ananda Firman (1921014)


Pindia Hani Suryandari(1921015)

Priskha Anggraini (1921016)

Ria Ayu Kartika (1921017)

 
Birokratisasi dan Depersonalisai Pelayan Kesehatan

 Birokratisasi Pelayanan Kesehatan


Perilaku birokrasi pada sektor kesehatan masih perlu diperbaiki baik berupa perilaku individu dan organisasi dalam
menjalankan kegiatan perilaku birokrasi untuk mewujudkan kualitas pelayanan yang memuaskan. Pentingnya perilaku birokrasi
dalam organisasi sebagai penentu aktivitas pelayanan untuk mencapai tujuan organisasi, maka segala tindakan yang berorientasi
pada pencapaian tujuan harus sesuai dengan perilaku birokrasi.
1. Konsep dan Teori Prilaku Birokrasi

Konsep perilaku birokrasi dalam pandangan Thoha (2002) dapat dipakai bersama dengan konsep perilaku organisasi karena pada dasarnya
birokrasi maupun organisasi adalah merupakan suatu sistem yang ditopang oleh manusia yang berusaha mencapai tujuan dan selalu berperilaku.

2. Aspek-aspek Perilaku Birokrasi

Aspek perilaku birokrasi merujuk pada pandangan Berger (Heady, 1966), bahwa perilaku birokrasi pemerintah yang sangat diharapkan adalah
perilaku yang profesional dalam mewujudkan aspirasi rakyatnya yang tercermin dalam bentuk pelayanan yang baik, sehingga akan
meningkatkan kepercayaan dari masyarakat kepada para penyelenggara pemerintahan di daerah.

a. Rasionalitas dan Universal

Perilaku rasional diartikan sebagai tindakan perilaku yang dilaksanakan dan bisa diterima oleh akal sehat sesuai logika. Perilaku rasional dalam
sistem birokrasi dapat diasosiasikan sebagai sebuah sistem rasionalisasi struktur, pekerjaan, tanggung jawab dan mekanisme kerja.

b. Hirarki

Menurut Sutarto (1993:181) yang dimaksudkan dengan hirarki adalah tingkat satuan organisasi yang di dalamnya terdapat pejabat, tugas serta
wewenang tertentu menurut kedudukannya dari atas ke dalam fungsi tertentu.
c. Diskresi
Diskresi Diskresi dan kekuasaan dalam birokrasi berada pada koridor yang sama, karena pada satu sisi merupakan wujud
penggunaan diskresi selama mematuhi dan berada dalam aturan perundang-undangan atau kebijakan yang telah dibuat.

 Depersionalisasi

Gangguan depersonalisasi adalah suatu gangguan yang menyebabkan penderita kehilangan atau distorsi diri yang sifatnya
sementara atau terjadi sekali-kali. Individu yang mengalami gangguan ini merasa seolah – olah mereka bertindak secara
mekanik, seolah-olah mereka dalam mimpi, atau seolah-olah mereka keluar dari tubuh mereka dan melihat diri mereka dari
kejauhan.
Gejala Gangguan Depersonalisasi

Gejala yang umumnya dialami seseorang dengan gangguan depersonalisasi meliputi:

 Perasaan bahwa jiwanya berada di luar raganya. Ia merasa seolah-. Olah sedang bermimpi atau sedang mengontrol pikiran dan gerakannya
dari luar.

 Merasa tangan, kaki atau bagian tubuh lain mengecil dan kepalanya terbekap kain.

 Apatis terhadap lingkungan sekitar.

 Kerap bersikap datar, sulit merasa sedih, gembira atau marah.


Pengobatan Gangguan Depersonalisasi
Penanganan terhadap gangguan depersonalisasi bisa dilakukan dengan metode terapi dan penggunaan obat-obatan

 Psikoterapi

Modalitas utama pengobatan gangguan depersonalisasi adalah psikoterapi. Psikoterapi atau terapi kejiwaan bertujuan untuk
menelusuri penyebab yang mendasari munculnya gangguan. Terapi ini juga akan membantu penderita gangguan
depersonalisasi berdamai dengan masa lalunya, mengumpulkan keutuhan jiwanya, dan kembali menjalankan kehidupan
pribadi dan sosial sehari-hari.

.
Hubungan tenaga Kesehatan, pasien dan rumah sakit

Dalam kasus penentuan teatment untuk proses penyembuhan atau penyehatan kondisi seseorang, posisi dokter berada pada tingkat “superior”
khusus dalam konteks pemilihan obat yang ditunjukkan dalam bentuk “resep dokter”, seorang pasien hampir tidak pernah memiliki reaksi yang
signifikan terhadap usulan dokter. Ini merupakan sebuah ciri bahwa relasi kekuasaan antara pasien dengan dokter sangat tidak seimbang.
Hubungan dokter dengan pasien merupakan hubungan antar subjek hukum yang kedudukannya sederajat, namun secara sosiopsyhologyst
hubungan dokter denga pasien tidak seimbang.
Secara sederhana daldiyono (2007:191-197) menyebutkan ada empat teori hubungan antara dokter dengan pasien, yaitu :

1. hubungan dokter dengan pasien yang bersifat religius, misalnya dilandasi kesadaran bahwa pengobatan itu bagian dari
kegiatan agama.

2. hubungan dokter-pasien yang bersifat paternalistik, yaitu memosisikan pasien sebagai orang yang butuh bantuan.

3. hubungan dokter-pasien yang bersifat penyedia jasa dan konsumen. serta

4. hubungan pasien yang bersifat kemitraan.


Sri Praptianingsih mencatat bahwa hubungan dokter dengan pasien dapat berkembang dalam tiga
pola yaitu : engineering, paternalistik dan kontrak sosial.

1. Pola engineering yaitu pemahaman yang dilandasi kesadaran bahwa dokter adalah orang professional dan
menjalankan tugas profesinya secara objektif. Apapun keinginan pasien, seorang dokter dapat
menjalankannya, kendatipun akan bertolak belakang dengan nilai dan norma. Misalnya saja pasien ingin
melakukan tindakan aborsi terhadap kandungannya.

2. Pola partenalistik yaitu dokter dianggap sebagai orang yang memiliki tanggung jawab profesi sekaligus
tanggung jawab moral. Sedangkan dokter atau tenaga medis diposisikan sebagai orang yang mengetahui
tindakan yang terbaik untuk pasien

3. Pola kontrak sosial yaitu pola ini kerjasama antara pasien , kesepakatan atau sepemahaman antara kedua
belah pihak, termasuk hak dan kewajibannya. Dilakukan oleh keduanya ada kesepakatan (baik tertulsi
maupun tidak tertulis). Pola ini merupakan perpaduan antara pola engineeering dan partenalistik.
Hubungan Dokter Dengan Perawat

Selain hubungan antara pasien dengan dokter, hubungan dokter dengan perawatpun menjadi satu fenomenal sosial yang unik
dan menarik untuk dicermati. Kedua elit kesehatan ini merupakan salah satu elemen tenaga kesehatan yang memiliki peran
yang cukup signifikan dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Kendati demikian, ternyata pola pola
komunikasi antara dokter dengan perawat belum muncul sebagai bentuk hubungan profesi yang komunikatif atau pola
komunikasi yang setara dan seimbang.
Tanggung Jawab Hukum Pelayanan Publik Rumah Sakit

Rumah sakit adalah organisasi penyelenggara pelayanan public. Yang mempunyai tanggung public atas setiap pelayanan jasa
public kesehatan yang diselenggarakannya. Tanggung jawab public rumah sakit yaitu menyelenggarakan pelayanan kesehatan
yang bermutu dan terjangkau berdasarkan prinsip aman, menyeluruh, non diskriminatif, partisipatifdan memberikan
perlindungan bagi masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan,juga bagi penyelenggara pelayanan kesehatan demi
untuk mewujukan derajat kesehatan yang setinggitingginya

Anda mungkin juga menyukai