Anda di halaman 1dari 25

TUGAS REFERAT SEMESTER III

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN – RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN SEPSIS

DI SUSUN OLEH :

MUHAMMAD NUR ANAS

PEMBIMBING :

dr. Shila Suryani, Sp.An

MODERATOR :

dr. Adi Wibowo, Sp.An

DEPARTERMEN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNSOED/ RS. MARGONO SOEKARJO

PUWOKERTO

2023
LEMBAR PENGESAHAN

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN SEPSIS

DI SUSUN OLEH :

MUHAMMAD NUR ANAS

TELAH DISETUJUI OLEH :

Pembimbing : Moderator :

dr. Shila Suryani, Sp.An dr. Adi Wibowo, Sp.An

DEPARTERMEN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNSOED/ RS. MARGONO SOEKARJO

PUWOKERTO

2023
BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan
oleh respon host yang tidak teratur terhadap infeksi, sedangkan syok septik adalah bagian dari
sepsis dengan hipotensi persisten yang membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan
tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure/MAP) dari≥65 mmHg dan memiliki kadar
laktat serum >2 mmol/L, meskipun dilakukan resusitasi volume yang adekuat. Sepsis dan
syok septik adalah keadaan darurat medis dan penyakit yang bergantung pada waktu dengan
tingkat kematian yang tinggi dimana identifikasi dini, terapi antibiotik dini, dan kontrol
sumber awal sangat penting untuk hasil pasien.

Pasien mungkin memerlukan intervensi bedah atau prosedur invasif yang bertujuan
untuk mengontrol sumber infeksi, dan ahli anestesi memiliki peran penting dalam semua fase
manajemen pasien. Selama penilaian pra operasi, pasien harus menyadari semua
kemungkinan disfungsi organ, dan tingkat keparahan penyakit yang dikombinasikan dengan
cadangan fisiologis pasien harus dinilai dengan hati-hati. Semua upaya yang mungkin harus
dilakukan untuk mengoptimalkan kondisi sebelum operasi, terutama dari sudut pandang
hemodinamik. Agen anestesi dapat memperburuk hemodinamik pasien syok, dan ahli anestesi
harus mengetahui sifat dari masing-masing agen anestesi. Semua upaya yang mungkin harus
dilakukan untuk mempertahankan perfusi organ yang mendukung hemodinamik dengan
cairan, agen vasoaktif, dan inotropik jika diperlukan.

Bersamaan dengan resusitasi, pilar pengelolaan sepsis/syok septik adalah


pengendalian sumber infeksi. Pasien harus menjalani tes diagnostik untuk mengidentifikasi
sumber infeksi dan untuk menentukan apakah pendekatan invasif diperlukan untuk
menghilangkan sumbernya. Selain kontrol sumber, prosedur invasif juga memungkinkan
pengambilan sampel kultur mikrobiologi langsung dari sumber infeksi. Dengan demikian,
ahli anestesi mungkin menghadapi pasien yang sakit kritis, yang manajemennya mungkin
invasif. Dalam makalah ini, kami memfokuskan tindakan peri-operatif manajemen pasien
dengan sepsis/syok septik, menggambarkan masalah utama manajemen pra operasi,
intraoperatif, dan post operatif (Evans, L 2021).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sepsis

1. Definisi

Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa,


disebabkan oleh ketidakmampuan respon pejamu terhadap infeksi. Disfungsi organ
dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut sebagai konsekuensi infeksi yang
dirumuskan dalam skor sequential (sepsis-related) organ failure assessment (SOFA)
≥2. Penekanan pada disfungsi organ yang mengancam jiwa konsisten dengan
pandangan bahwa cacat seluler mendasari kelainan fisiologik dan biokimia sistem
organ spesifik. Skor SOFA ≥2 mencerminkan risiko mortalitas rata-rata 10% untuk
pasien yang dirawat di rumah sakit dengan tersangka infeksi (SSCN, 2021).

Syok septik merupakan bagian dari sepsis dengan disfungsi peredaran darah
dan selular/metabolik yang mendasari, dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian.
Pasien syok septik dapat diidentifikasi secara klinis yaitu sepsis dengan disertai
hipotensi menetap yang membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan agar
tekanan arteri rata-rata ≥65 mmHg dan konsentrasi laktat darah >2 mmol/L (>18
mg/dL) meskipun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat (SSCN, 2021).

2. Kriteria Diagnostik

Untuk diagnosis sepsis, harus terdapat paling sedikit 2 kriteria SIRS dan terda
pat atau curiga infeksi. Pada tahun 2016, SCCM/ESICM mengevaluasi kriteria identif
ikasi pasien sepsis, dengan membandingkan kriteria tradisional SIRS dengan metode l
ain, yaitu Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) scoring. Berdasarkan analisis
direkomendasikan SOFA score untuk menilai derajat disfungsi organ pada pasien seps
is (Seymour, 2017).
Lama Baru
SIRS Takikardi (>90x/menit) Tidak ada istilah SIRS
Takipnea (>20x/menit)
Temperatur (<36ºC atau
>38ºC)
Leukositosis >12.000 µL-1
atau leukopeni <4.000 µL-1
Sepsis SIRS + fokal infeksi Suspek atau dengan infeksi +
2 dari 3 tanda qSOFA
Tekanan darah sistol ≤ 100
mmHg
Laju pernapasan ≥22x/menit
Penurunan kesadaran (GCS
≤13)
Atau peningkatan skor SOFA
≥2
Sepsis Sepsis + disfungsi organ Tidak ada istilah Sepsis Berat
Berat Laktat > 2 mmol/L
Kreatinin > 2 mg/dL
Bilirubin > 2 mg/dL
Trombosit < 100.000 µL
Koagulopati (INR >1,5)
Syok Sepsis + Hipotensi Sepsis +
Sepsis Setelah mendapatkan cairan Vasopresor untuk mencapai
yang adekuat MAP >65 mmHg +
Laktat >2 mmol/L setelah
mendapatkan cairan resusitasi
adekuat
Tabel. Perbandingan kriteria diagnostik sepsis

Disfungsi organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut skor total SOFA (Se
quential (Sepsis-related) Organ Failure Assessment) ≥2 sebagai konsekuensi dari adanya
infeksi. Skor SOFA meliputi 6 fungsi organ, yaitu respirasi, koagulasi, hepar, kardiovask
ular, sistem saraf pusat, dan ginjal dipilih berdasarkan telaah literatur, masing-masing me
miliki nilai 0 (fungsi normal) sampai 4 (sangat abnormal) yang memberikan kemungkina
n nilai dari 0 sampai 24 (Tabel 2). Skoring SOFA tidak hanya dinilai pada satu saat saja,
namun dapat dinilai berkala dengan melihat peningkatan atau penurunan skornya. Va
riabel parameter penilaian dikatakan ideal untuk menggambarkan disfungsi atau kegagala
n organ.
No. Sistem Organ SOFA Score
0 1 2 3 4
1. Respiratory, ≥400 (53,3) <400 (53,3) <300 (40) <200 (26,7) dengan <100 (13,3)
PO2/FiO2, mmHg bantuan respirasi dengan bantuan
(kPa) respirasi
2. Koagulasi, ≥150 <150 <100 <50 <20
Platelet,
x103/mm3
3. Hepar, <1,2 <1,2 – 1,9 2,0 – 5,9 6,0 – 11,9 >12,0
Bilirubin,
mg/dL
4. Kardiovaskular MAP ≥ 70 MAP < 70 Dopamin < 5 Dopamin 5,1 – 15 Dopamin > 15 atau
mmHg mmHg atau atau Epinefrin ≤0,1 Epinefrin > 0,1
Dobutamin atau norepinefrin atau norepinefin >
(dosis ≤0,1 µg/kg/menit 0,1 µg/ kg/menit
berapapun)
5. Sistem saraf 15 13 – 14 10 – 12 6–9 <6
pusat, Glasgow
Coma Scale
(GCS)
6. Renal, kreatinin, <1,2 1,2 – 1,9 2,0 – 3,4 3,5 – 4,9 >5,0
mg/dL, urine <500 <200
output, mL/hari
Tabel 2. Sequential organ failure assessment (SOFA) score
Perubahan skor SOFA memberikan nilai prediktif yang tinggi. Pada studi prosp
ektif 352 pasien ICU, peningkatan skor SOFA 48 jam pertama perawatan memberikan
mortalitas paling sedikit 50%, sementara penurunan skor SOFA memberikan mortalitas
hanya 27%. Tujuan utama skoring kegagalan fungsi organ adalah untuk menggambarka
n urutan komplikasi, bukan untuk memprediksi mortalitas. Meskipun demikian, ada hu
bungan antara kegagalan fungsi organ dan kematian (Seymour, 2017).
Identifikasi sepsis segera tanpa menunggu hasil pemeriksaan darah dapat meng
gunakan skoring qSOFA. Sistem skoring ini merupakan modifikasi Sequential (Sepsis-r
elated) Organ Failure Assessment (SOFA). qSOFA hanya terdapat tiga komponen penil
aian yang masing-masing bernilai satu (Tabel 3). Skor qSOFA ≥2 mengindikasikan terd
apat disfungsi organ. Skor qSOFA direkomendasikan untuk identifikasi pasien berisiko
tinggi mengalami perburukan dan memprediksi lama pasien dirawat baik di ICU atau n
on-ICU.2,10 Pasien diasumsikan berisiko tinggi mengalami perburukan jika terdapat du
a atau lebih dari 3 kriteria klinis. Untuk mendeteksi kecenderungan sepsis dapat dilakuk
an uji qSOFA yang dilanjutkan dengan SOFA (Marik, 2017)

Kriteria qSOFA Poin


Laju pernapasan ≥ 1
22x/menit
Perubahan status 1
mental/kesadaran
Tekanan darah sistolik ≤ 1
100 mmHg
Tabel 3. Skor quickSOFA

3. Etiologi
Masuknya mikroba ke aliran darah bukan merupakan sesuatu yang mendasar t
erhadap timbulnya sepsis berat, karena infeksi lokal dengan penyebab bakteri yang me
nghasilkan produk patogen seperti eksotoksin, dapat juga memicu respon inflamasi
sistemik sehingga menimbulkan disfungsi organ di tempat lain dan hipotensi. Kultur
darah yang positif hanya ditemukan pada sekitar 20-40% kasus sepsis berat dan
persentasenya meningkat seiring tingkat keparahan dari sepsis, yaitu mencapai 40-
70% pada pasien dengan syok septik. Bakteri Gram negatif atau positif mencakup
sekitar 70% isolat, dan sisanya ialah jamur atau campuran mikroorganisme. Pada
pasien dengan kultur darah negatif, agen penyebab sering ditegakkan berdasarkan
kultur atau pemeriksaan mikroskopik dari bahan yang berasal dari fokus infeksi.
Sepsis berat terjadi sebagai akibat dari infeksi yang didapat dari komunitas dan
nosokomial. Pneumonia ialah penyebab paling umum, mencapai setengah dari semua
kasus, diikuti oleh infeksi intraabdominal dan infeksi saluran kemih. Staphylococcus
aureus dan Streptococcus pneumoniae ialah bakteri Gram positif paling sering,
sedangkan Escherichia coli, Klebsiella spp, dan Pseudomonas aeruginosa predominan
di antara bakteri Gram negative (SSCN, 2021).

4. Patofisiologi
Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi awal dari
respon pro-inflamasi dan anti-inflamasi tubuh. Bersamaan dengan kondisi ini, abnorm
alitas sirkular seperti penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh darah p
erifer, depresi miokardial, dan peningkatan metabolisme akan menyebabkan ketidakse
imbangan antara penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen yang akan
menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau syok. Presentasi pasien dengan syok da
pat berupa penurunan kesadaran, takikardia, penurunan kesadaran, anuria. Syok meru
pakan manifestasi awal dari keadaan patologis yang mendasari. Tingkat kewaspadaan
dan pemeriksaan klinis yang cermat dibutuhkan untuk mengidentifikasi tanda awal sy
ok dan memulai penanganan awal.
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini a
kan memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan antiinflama
si, dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang berinteraksi
dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari isi plasma se
bagai hasil dari aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini meliputi sitokin-
sitokin seperti tumor nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin,
reactive oxygen species, nitrit oksida, asam arakidonat, platelet activating factor, dan
eikosanoid. Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan i
nterleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat fibrinolisis. Sedang
kan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari rantai koagulasi
dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis dan menghambat proses trombos
is dan inflamasi (Singer, 2016).
Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses terse
but. Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling dominan terjadi dan
sebagai hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran kapiler.
Semua hal ini akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial in
i memegang peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan global.
(Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada gambar di bawah ini) (Singer, 2016).

Gambar Ran ta
i Koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi, trombosis, dan fibri
nolisis terhadap infeksi.

Respon tubuh terhad


prokoagulan merupaka
penginfeksi dan sitokin in
α (TNF- α) dan inte
koagulasi dengan mens
monosit dan endotelium
trombin dan fibrin clot
Sitokin inflamasi dan thrombin dapat Protein C yang teraktifasi dapat mengambil peran
menganggu proses fibrinolisis dengan pada berbagai jalur pada respon sistemik
menstimulasi pelepasan plasminogen- terhadap infeksi dengan menghasilkan efek
activator inhibitor 1 (PAI-1) dari platelet dan antitrombotik melalui penghambatan faktor Va
endotelium. PAI-1 merupakan inhibitor dan VIIIa yang akan membatasi produksi dari
poten dari tissue plasminogen activator thrombin.
yang berperan untuk menghancurkan fibrin
clot.
Hasil akhir dari respon tubuh terhadap infeksi adalah terjadinya kerusakan
endotelial menyeluruh, trombosis mikrovaskular, iskemia organ, disfungsi
multiorgan, dan kematian

Akibatnya, proses inflamasi, prokoagulan, dan respon


antifibrinolitik yang diinduksi oleh trombin akan
Prokoagulan thrombin juga
Gambar Rantai Koagulasi dengan d menurun. Protein C yang teraktifasi akan
dapat menstimulasi berbagi
imulainya respon menghasilkan efek antiinflamasi dengan
macam jalur inflamasi dan
inflamasi, trombo
menekan sistem fibrinolitik menghambat produksi dari sitokin proinflamasi (TNF
sis, dan fibrinolis
endogen dengan mengaktifkan -α, interleukin-1, interleukin-6) oleh monosit dan
is terhadap infeks
thrombin-activatable fibrinolysis menghambat pengikatan monosit dan neutrofil
i.
dengan selectins.

5. Pemeriksaan Penunjang
Berikut indikator laboratorium yang dapat digunakan untuk
membantu diagnosis sepsis.

Tes laboratorium Temuan Keterangan


Hitung sel darah Leukositosis atau Endotoksemia dapat
putih leukopenia menyebabkan early
leukopenia
Hitung platelet Trombositosis atau Nilai tinggi awal
trombositopenia dapat dilihat sebagai
respon fase akut,
jumlah trombosit
yang rendah terlihat
pada DIC
Coagulation cascade Defisiensi Protein C; Kelainan dapat
defisiensi diamati sebelum
antitrombin; level D- timbulnya kegagalan
dimer meningkat; PT organ dan tanpa
(Prothrombin Time) perdarahan yang
dan PTT (Partial jelas.
Thromboplastin
Time) memanjang
Level kreatinin Meningkat Doubling-
menandakan cedera
ginjal akut
Level asam laktat Lactic acid > 4 Mengindikasikan
mmol/L (36 mg/dL) hipoksia jaringan
Level enzim hepar Level alkaline Mengindikasikan
phosphatase, AST, cedera hepatoseluler
ALT, bilirubin akut yang disebabkan
meningkat hipoperfusi
Level serum fosfat Hipofosfatemia Berkorelasi terbalik
dengan tingkat
sitokin proinflamasi
Level C-reactive Meningkat Respons fase akut
protein (CRP)

6. Penatalaksanaan
A. RESUSITASI AWAL
a. Sepsis dan syok septik adalah keadaan darurat medis, dan agar pengobatan
dan resusitasi segera dimulai.
b. Untuk pasien dengan hipoperfusi atau syok septik yang disebabkan oleh
sepsis, setidaknya 30mL/kg kristaloid IV cairan harus diberikan dalam 3 jam
pertama setelah resusitasi.
c. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik, penggunaan pengukuran
dinamis untuk memandu resusitasi cairan, pemeriksaan fisik, atau parameter
statis saja.
d. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik, panduan resusitasi untuk
menurunkan serum laktat pada pasien dengan kadar laktat tinggi,
dibandingkan tidak menggunakan serum laktat.
e. Untuk orang dewasa dengan syok septik, penggunaan waktu pengisian
kapiler sebagai panduan resusitasi sebagai tambahan terhadap tindakan lain.
B. RATA-RATA TEKANAN ARTERI
a. Untuk orang dewasa dengan syok septik yang menggunakan vasopresor,
target awal tekanan arteri rata-rata (MAP) sebesar 65mmHg melebihi target
MAP yang lebih tinggi.
C. PERAWATAN INTENSIF
a. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik yang memerlukan
perawatan di ICU, agar pasien dirawat di ICU dalam waktu 6 jam.
D. TERAPI INFEKSI
a. Untuk orang dewasa dengan dugaan sepsis atau syok septik tetapi infeksinya
belum dikonfirmasi, untuk terus mengevaluasi ulang dan mencari diagnosis
alternatif dan menghentikan antimikroba empiris jika ditemukan atau diduga
kuat penyebab penyakit lainnya.
b. Untuk orang dewasa dengan kemungkinan syok septik atau kemungkinan
besar mengalami sepsis, pemberian antimikroba segera, idealnya dalam
waktu 1 jam setelah diketahui.
c. Untuk orang dewasa dengan kemungkinan sepsis tanpa syok, penilaian cepat
terhadap kemungkinan penyebab penyakit akut yang menular dan tidak
menular.
d. Untuk orang dewasa dengan kemungkinan sepsis tanpa syok, pemeriksaan
cepat dalam waktu terbatas dan jika kekhawatiran terhadap infeksi berlanjut,
pemberian antimikroba dalam waktu 3 jam sejak sepsis pertama kali
diketahui.
e. Untuk orang dewasa dengan kemungkinan infeksi rendah dan tidak
mengalami syok, untuk menunda penggunaan antimikroba sambil terus
memantau pasien secara ketat.
f. Untuk orang dewasa dengan dugaan sepsis atau syok septik, untuk tidak
menggunakan prokalsitonin ditambah evaluasi klinis untuk memutuskan
kapan memulai antimikroba, dibandingkan dengan evaluasi klinis saja.
g. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik yang berisiko tinggi
terkena MRSA, penggunaan antimikroba empiris dengan cakupan MRSA
dibandingkan menggunakan antimikroba tanpa cakupan MRSA.
h. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik yang berisiko rendah
terhadap MRSA, untuk tidak menggunakan antimikroba empiris dengan
cakupan MRSA, dibandingkan dengan menggunakan antimikroba tanpa
cakupan MRSA.
i. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik dan berisiko tinggi
terhadap organisme yang resistan terhadap beberapa obat (MDR),
penggunaan dua antimikroba dengan cakupan gram negatif untuk pengobatan
empiris terhadap satu agen gram negatif.
j. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik dan risiko rendah
terhadap organisme yang resistan terhadap beberapa obat (MDR), untuk
tidak menggunakan dua agen gram negatif untuk pengobatan empiris,
dibandingkan dengan satu agen gram negatif.
k. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik, untuk tidak
menggunakan cakupan gram negatif ganda setelah patogen penyebab dan
kerentanannya diketahui.
l. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik yang berisiko tinggi
terkena infeksi jamur, penggunaan terapi antijamur empiris dibandingkan
tanpa terapi antijamur.
m. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik yang berisiko rendah
terkena infeksi jamur, untuk tidak menggunakan terapi antijamur secara
empiris.
n. Kami tidak memberikan rekomendasi mengenai penggunaan agen antivirus.
o. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik, penggunaan infus beta-
laktam jangka Panjang untuk pemeliharaan (setelah bolus awal)
dibandingkan infus bolus konvensional.
p. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik, optimalisasi strategi
pemberian dosis antimikroba berdasarkan prinsip
farmakokinetik/farmakodinamik (PK/PD) yang diterima dan sifat obat
tertentu.
q. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik, untuk segera
mengidentifikasi atau mengecualikan diagnosis anatomi spesifik dari infeksi
yang memerlukan pengendalian sumber darurat dan menerapkan intervensi
pengendalian sumber yang diperlukan sesegera mungkin secara medis dan
logistik.
r. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik, segera melepaskan
perangkat akses intravaskular yang mungkin merupakan sumber sepsis atau
syok septik setelah akses vaskular lainnya telah terjadi.
E. VENTILASI
a. Untuk orang dewasa dengan ARDS akibat sepsis, penggunaan strategi
ventilasi volume tidal rendah (6mL/kg), dibandingkan strategi volume tidal
tinggi (> 10mL/kg).
b. Untuk orang dewasa dengan ARDS berat yang disebabkan oleh sepsis,
penggunaan target batas atas untuk tekanan dataran tinggi sebesar 30 cm
H2O, melebihi tekanan dataran tinggi yang lebih tinggi.
c. Untuk orang dewasa dengan ARDS akibat sepsis sedang hingga berat,
penggunaan PEEP yang lebih tinggi daripada PEEP yang lebih rendah.
d. Untuk orang dewasa dengan gagal napas akibat sepsis (tanpa ARDS),
penggunaan ventilasi volume tidal rendah dibandingkan dengan ventilasi
volume tidal tinggi.
e. Untuk orang dewasa dengan ARDS sedang-berat yang disebabkan oleh
sepsis, untuk menggunakan manuver perekrutan tradisional.
f. Saat menggunakan manuver rekrutmen, untuk tidak menggunakan titrasi/
strategi PEEP tambahan.
g. Untuk orang dewasa dengan ARDS sedang-berat yang disebabkan oleh
sepsis, penggunaan ventilasi rawan selama lebih dari 12 jam setiap hari.
h. Untuk orang dewasa dengan ARDS sedang dan berat yang disebabkan oleh
sepsis, penggunaan bolus NMBA intermiten, dibandingkan infus kontinu
NMBA.
i. Untuk orang dewasa dengan ARDS berat akibat sepsis, penggunaan ECMO
Veno-vena (VV) Ketika ventilasi mekanis konvensional gagal di pusat
Kesehatan berpengalaman yang memiliki infrastruktur yang mendukung
penggunaannya.
F. TERAPI TAMBAHAN
a. Untuk orang dewasa dengan syok septik dan memerlukan terapi vasopresor,
penggunaan kortikosteroid IV
b. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik penggunaan strategi
transfusi yang restriktif (bukan liberal).
c. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik untuk tidak
menggunakan imunoglobulin IV.
d. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik, dan yang memiliki
faktor risiko perdarahan gastrointestinal (GI), penggunaan profilaksis stress
maag.
e. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik, penggunaan profilaksis
tromboemboli vena farmakologis (VTE) kecuali terdapat kontraindikasi
terhadap terapi tersebut.
f. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik, penggunaan heparin
dengan berat molekul rendah dibandingkan heparin tak terfraksi untuk
profilaksis VTE
g. Pada orang dewasa dengan sepsis atau syok septik dan AKI, penggunaan
terapi pengganti ginjal terus menerus atau intermiten.
h. Pada orang dewasa dengan sepsis atau syok septik dan AKI, tanpa indikasi
pasti untuk terapi pengganti ginjal, untuk tidak menggunakan terapi
pengganti ginjal.
i. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik, memulai terapi insulin
pada tingkat glukosa≥180mg/dL (10 mmol/L).
j. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik untuk tidak
menggunakan vitamin C IV.
k. Untuk orang dewasa dengan syok septik dan acidemia laktat yang disebabkan
oleh hipoperfusi, untuk tidak menggunakan terapi natrium bikarbonat untuk
meningkatkan hemodinamik atau untuk mengurangi kebutuhan vasopresor.
l. Untuk orang dewasa dengan syok septik dan acidemia metabolik berat
(pH≤7.2) dan cedera ginjal akut (skor AKIN 2 atau 3), penggunaan terapi
natrium bikarbonat
m. Untuk pasien dewasa dengan sepsis atau syok septik yang dapat diberi makan
secara enteral, inisiasi nutrisi enteral secara dini (dalam waktu 72 jam).
G. EVALUASI JANGKA PANJANG DAN TUJUAN PERAWATAN
a. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik, untuk mendiskusikan
tujuan perawatan dan prognosis dengan pasien dan keluarga daripada tidak
melakukan diskusi seperti itu.
b. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik, prinsip-prinsip
perawatan paliatif (yang mungkin mencakup perawatan paliatif) konsultasi
berdasarkan penilaian dokter diintegrasikan ke dalam rencana pengobatan,
bila perlu, untuk mengatasi gejala dan penderitaan pasien dan keluarga.
c. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik dan keluarganya,
pemeriksaan untuk mendapatkan dukungan ekonomi dan sosial (termasuk
dukungan perumahan, nutrisi, keuangan, dan spiritual), dan membuat rujukan
jika tersedia untuk memenuhi kebutuhan ini.
d. Untuk orang dewasa dengan sepsis atau syok septik dan keluarganya, tim
klinis untuk memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan bersama dalam perencanaan pemulangan dari ICU
dan rumah sakit untuk memastikan rencana pemulangan dapat diterima dan
layak.
e. Untuk orang dewasa dengan sepsis dan syok septik, merekonsiliasi
pengobatan di ICU dan saat keluar dari rumah sakit.
f. Untuk orang dewasa yang selamat dari sepsis dan syok septik serta
keluarganya, untuk menyertakan informasi tentang rawat inap di ICU, sepsis
dan diagnosis terkait, perawatan, dan gangguan umum setelah sepsis dalam
ringkasan keluar rumah sakit secara tertulis dan lisan.
g. Bagi orang dewasa dengan sepsis atau syok septik yang mengalami gangguan
baru, rencana pulang dari rumah sakit termasuk tindak lanjut dengan dokter
yang mampu mendukung dan menangani gejala sisa baru dan jangka
panjang.
h. Bagi penyintas sepsis atau syok septik dewasa, penilaian dan tindak lanjut
masalah fisik, kognitif, dan emosional setelah keluar dari rumah sakit
(SSCN, 2021).

B. Manajemen Pra Operatif


Pasien dengan sepsis/syok septik mungkin memerlukan optimalisasi pra operasi.
Seringkali, pasien memerlukan intervensi bedah segera untuk mengontrol sumber
infeksi, dan pengkajian praoperasi harus difokuskan untuk mengidentifikasi dan
mendiagnosis disfungsi organ. Disfungsi organ dapat dinilai dengan skor SOFA, yang
mempertimbangkan Glasgow Coma Scale (GCS), PaO22/FIO2, dan MAP, dengan
mempertimbangkan kebutuhan obat vasoaktif, jumlah trombosit, kadar bilirubin, dan
output kreatinin/ urin.
Optimasi hemodinamik harus dilakukan sebelum induksi anestesi dan dilanjutkan
selama operasi. Larutan kristaloid digunakan untuk mengoreksi hipovolemia. Pedoman
saat ini menyarankan pemberian hingga 30 ml/kg dalam 3 jam pertama bahkan jika
pendekatan yang dipersonalisasi berdasarkan teknik fluid challenge dianggap tepat.
Peningkatan stroke volume (SV) menjadi >10-15% setelah infus 3 ml/kg kristaloid
selama 5 menit menunjukkan pasien responsif, dan tes dapat diulang sampai pasien
responsif. Namun, pemantauan SV mungkin tidak selalu tersedia, khususnya pada fase
awal pengkajian dan pengobatan. Peningkatan tekanan arteri sistolik dan rata-rata telah
dinilai sebagai parameter alternatif untuk dipertimbangkan untuk evaluasi respon cairan,
tetapi belum menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Peningkatan tekanan
nadi dari > 10% telah didemonstrasikan sebagai parameter yang lebih andal untuk
dipertimbangkan.
Jika pasien masih hipotensi setelah terapi cairan awal, obat vasoaktif harus
diberikan lebih awal saat volemia masih dalam optimalisasi. Norepinefrin adalah
vasokonstriktor pilihan dan mungkin awalnya diinfuskan juga di pembuluh darah perifer.
Tidak ada komplikasi mayor yang dilaporkan ketika vena antecubital telah digunakan,
hindari vena distal yang lebih kecil. Ini mungkin merupakan pendekatan yang masuk
akal sementara pertimbangkan pemasangan akses vena sentral.
Fungsi jantung harus dinilai untuk mengidentifikasi aritmia atau kardiomiopati
septik. Kardiomiopati septik, didefinisikan sebagai setiap disfungsi jantung (disfungsi
sistolik atau diastolik ventrikel kiri atau disfungsi ventrikel kanan) yang tidak
berhubungan dengan iskemia, dapat hadir dalam persentase variabel pasien, mulai dari
10 sampai 70%, dan secara signifikan dapat berkontribusi pada ketidakstabilan
hemodinamik dan hipoperfusi. Ekokardiografi memiliki peran penting untuk menilai
fungsi jantung. Biomarker seperti peningkatan troponin atau BNP sehubungan dengan
cedera jantung bahkan jika mekanisme pelepasan yang berbeda dapat diidentifikasi
selama sepsis (misalnya peradangan, tekanan dinding miokard, dan gangguan ginjal)
yang mencerminkan tingkat keparahan penyakit kritis dan disfungsi organ lain yang tidak
tergantung pada kematian sel jantung.
Mengoptimalkan pengiriman oksigen, transfusi sel darah merah (RBC) mungkin
diperlukan untuk mempertahankan kadar hemoglobin (Hb) antara 7 dan 9 g/dl. Sumber
infeksi pada paru-paru menungkinkan pasien mungkin mengalami dispnea dan hipoksia.
Peningkatan kerja pernapasan dan takipnea mungkin disebabkan oleh mekanisme
kompensasi asidosis metabolik, sementara hipoksia dapat terjadi jika sindrom gangguan
pernapasan akut (ARDS) terjadi bersamaan. Pemeriksaan fisik, SpO2, EGA, dan rontgen
atau CT scan dada sangat penting untuk mengidentifikasi cedera paru. Penilaian fungsi
ginjal yang hati-hati harus dilakukan karena sepsis/syok septik mungkin bertanggung
jawab atas cedera ginjal akut. Kadar ureum dan kreatinin harus dinilai, serta diuresis dan
elektrolit.
Pada akhirnya, koagulopati mungkin merupakan masalah penting pada pasien
dengan sepsis/syok septik. Ini dapat bermanifestasi sebagai perubahan tes koagulasi
ringan / sedang (INR dan PT) dan / atau trombositopenia hingga kondisi paling parah
dari koagulopati intravaskular diseminata (DIC). International Society on Thrombosis
and Hemostasis telah menetapkan kriteria untuk DIC dan koagulopati yang diinduksi
sepsis (SIC). Tromboelastografi rotasi (TEG) dan tromboelastometri (ROTEM) mungkin
berperan dalam mengidentifikasi perubahan koagulasi pada sepsis dan prediksi awal
DIC. Keadaan hipokoagulabilitas dapat dideteksi oleh TEG/ ROTEM juga pada pasien
dengan nilai INR/PTT normal dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas. Pada
pasien dengan DIC dan perdarahan aktif atau berisiko tinggi perdarahan (misalnya,
pasien yang menjalani prosedur invasif, plasma beku segar (FFP) (10-15 mL/kg) harus
diberikan. Untuk menghindari kelebihan cairan, konsentrat faktor seperti konsentrat
kompleks protrombin dapat dipertimbangkan sebagai alternatif. Konsentrat fibrinogen
atau kriopresipitat dapat digunakan untuk mengobati hipofibrinogenemia berat (<1 g/L).
Transfusi trombosit harus dipertimbangkan untuk pasien dengan perdarahan aktif atau
berisiko tinggi perdarahan yang memiliki jumlah trombosit <50×109/ L.
Bersamaan dengan resusitasi, antibiotik spektrum luas harus dimulai dalam waktu
1 jam dari tersangka sepsis/syok septik setelah pengambilan sampel kultur. Pilihan
antibiotik harus didasarkan pada lokasi infeksi yang dicurigai, faktor risiko
mikroorganisme yang resisten terhadap berbagai obat, tingkat keparahan penyakit, dan
epidemiologi lokal (Evans, L 2021).

C. Manajemen Intraoperatif
Mempertimbangkan indikasi darurat/urgensi untuk prosedur bedah pada pasien
dengan sepsis/syok septik, teknik rapid sequence induction (RSI) harus digunakan untuk
induksi anestesi umum (Morris, 2009).
Pasien dengan syok memiliki sensitivitas hemodinamik dan sistem saraf yang lebih
besar terhadap agen anestesi, dan dosis anestesi yang lebih rendah diperlukan untuk
memberikan efek yang diinginkan. Pasien dengan sepsis mungkin memiliki
hemodinamik yang tidak stabil, dan induksi anestesi mungkin menjadi penyebab
terjadinya hipotensi berat akibat vasodilatasi dan depresi miokard. Semua upaya yang
mungkin harus dilakukan untuk mengoptimalkan hemodinamik sebelum induksi. Selain
pemantauan standar, pasien dengan sepsis/ syok septik harus memiliki pemantauan arteri
invasif dan kateter vena sentral. Preload harus dioptimalkan, dan vasopresor tersedia atau
berkelanjutan untuk mencegah efek samping yang tak terhindarkan dari agen induksi
(misalnya, vasodilatasi). Pasien dengan hipovolemia dapat mengalami hipotensi berat
dengan obat anestesi apapun karena penghambatan rangsangan simpatis kompensasi.
Pengujian dosis-respon efek jantung langsung dari agen induksi dalam model jantung
tikus septik terisolasi, dan mereka menunjukkan bahwa disfungsi kerja jantung paling
tinggi untuk propofol (−50%), diikuti oleh midazolam (−38%), etomidate (− 17%), dan
ketamine (−6%). Titrasi dosis sangat penting untuk mengidentifikasi dosis efektif yang
lebih rendah dan membatasi efek hemodinamik yang merugikan (Zausiq, 2009).
Ketamine dan etomidate adalah agen pilihan karena efek hemodinamiknya yang
minimal dibandingkan dengan obat anestesi lainnya. Depresi miokard yang diinduksi
oleh ketamin diimbangi oleh stimulasinya pelepasan katekolamin, yang bagaimanapun
dapat ditumpulkan pada pasien yang sakit kritis. Bukti eksperimental menunjukkan
bahwa ketamin mungkin memiliki efek antiinflamasi yang mengurangi produksi dan
pelepasan sitokin pada endotoksemia in vitro. Ada sedikit bukti yang merupakan agen
hipnotis superior antara ketamin dan etomidate. Sebuah studi retrospektif menunjukkan
bahwa etomidate dikaitkan dengan hipotensi yang lebih rendah daripada ketamin selama
intubasi pasien septik di unit gawat darurat. Bahkan jika etomidate memiliki sifat supresi
adrenal yang mungkin bertanggung jawab atas peningkatan kejadian hipotensi dalam 24
jam pertama setelah induksi, bolus tunggal untuk induksi tidak berhubungan dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien sakit kritis, termasuk pasien dengan
sepsis. Pengurangan dosis dan pemberian adjuvant dapat dipertimbangkan untuk
mengurangi efek merugikan dari agen induksi. Menambahkan lidokain ke dosis ketamin
yang dikurangi, misalnya, dikaitkan dengan episode hipotensi yang lebih sedikit pada
pasien dengan syok septik. Opioid short-acting (misalnya, fentanil, alfentanil, dan
remifentanil) juga memungkinkan pengurangan agen hipnotis (Morris, 2009).
Propofol mungkin memiliki dampak yang lebih besar pada pasien dengan
hemodinamik tidak stabil akibat vasodilatasi dan depresi miokard. Saat digunakan, harus
dititrasi perlahan untuk menemukan dosis efektif terendah. Dengan demikian, perannya
dalam RSI pasien syok jarang dipakai. Bahkan jika uji praklinis telah menunjukkan
potensi efek antiinflamasi propofol meningkatkan respons TNF-α yang disebabkan oleh
darah manusia yang distimulasi oleh LPS in vitro dan merangsang produksi TNF-α,
interleukin-1, dan interleukin-6 di pasien bedah kritis. Dengan demikian, efek
antiinflamasi propofol pada endotoksemia masih belum jelas (Morris, 2009).
Midazolam dapat menjadi agen induksi alternatif. Midazolam memiliki efek
samping lebih sedikit terhadap hemodinamik daripada propofol, tetapi pengikatan protein
tinggi dan kinetik lambat membatasi penggunaannya untuk RSI. Tidak ada bukti untuk
teknik pilihan untuk pemeliharaan anestesi umum (anestesi volatil vs anestesi intravena).
Anestesi volatil memiliki efek imunomodulator termasuk efek penghambatan pada
fungsi neutrofil, penurunan proliferasi limfosit, dan pelepasan sitokin yang ditekan dari
sel mononuklear darah perifer. Namun, bukti efek anestesi pada sistem kekebalan
terutama berasal dariin vitro/studi hanya eksperimental. Ahli anestesi harus mengetahui
bahwa sepsis/ syok septik harus mengurangi MAC untuk anestesi volatil. Selain itu,
disfungsi paru-paru yang parah dapat membuat sulit untuk mempertahankan konsentrasi
otak yang stabil dari obat- obatan yang dihiru. Memantau kedalaman anestesi
menggunakan EEG yang diproses mungkin berguna untuk menghindari overdosis obat
serta risiko kesadaran.
Untuk penatalaksanaan hemodinamik intraoperatif yang tepat, pemantauan
hemodinamik lanjut dapat memberikan informasi dan panduan penting untuk terapi dan
harus diterapkan jika belum diterapkan untuk penatalaksanaan fase pra operasi. Sistem
hemodinamik mini-invasif berdasarkan analisis kontur nadi untuk estimasi curah jantung
(CO) harus digunakan. Tekanan vena sentral (CVP) memiliki peran terbatas untuk
memandu pemberian cairan. Indeks dinamis dari respons cairan (variasi tekanan nadi
[PPV] dan variasi volume sekuncup [SVV]) harus dipertimbangkan untuk
mengantisipasi respons pasien terhadap bolus cairan. Namun, batas penerapannya harus
diketahui, termasuk aritmia, volume tidal lebih rendah dari 8 ml/kg, resistensi paru yang
rendah, hipertensi intraabdomen, dan disfungsi ventrikel kanan. Seringkali, volume tidal
rendah 6 ml/kg diterapkan sebagai strategi pelindung ventilasi paru, dan uji volume tidal
dapat dilakukan sementara dengan meningkatkan Vt menjadi 8 ml/kg untuk beberapa
napas yang bertujuan untuk menilai uji dinamis respons cairan. Peningkatan PPV atau
SVV masing-masing 3,5 dan 2,5%, setelah peningkatan volume tidal dari 6 menjadi 8
ml/kg menunjukkan adanya respons cairan. Alternatifnya, uji oklusi pernapasan akhir
dapat dilakukan selama 15-20 detik, menunjukkan respons cairan jika CO2 meningkat
setidaknya 5%. Ketika sejumlah besar cairan diperlukan untuk optimalisasi preload,
albumin harus dipertimbangkan. Jenis koloid lain (misalnya, gelatin dan pati hidroksietil)
saat ini dikontraindikasikan. Dalam kasus hipotensi refrakter meskipun resusitasi cairan
dan norepinefrin dosis tinggi, vasopresin dapat ditambahkan. Hidrokortison dosis rendah
(200mg/hari iv) juga harus dipertimbangkan pada pasien dengan syok septik dan
membutuhkan vasopressor. CO rendah terkait dengan hipoperfusi meskipun resusitasi
cairan dan optimalisasi afterload yang memadai dapat menunjukkan perlunya agen
inotropik. Dobutamin adalah obat pilihan. Kateter vena sentral adalah wajib ketika obat
vasoaktif diperlukan, dan saturasi oksigen vena sentral (ScvO2) adalah juga merupakan
parameter yang berguna untuk menilai kecukupan perfusi jaringan, dengan laktat arteri
dan Pv-aCO2. Laktat > 2 mmol/ l, ScvO2 6 mmHg adalah tanda-tanda hipoperfusi
jaringan. Posisi pasien dan teknik bedah juga dapat berdampak pada hemodinamik.
Preload dan CO dapat sangat berkurang pada pasien dengan hipovolemia yang menjalani
operasi laparoskopi dengan pneumoperitoneum (untuk kompresi vena cava) dan/atau
posisi anti-Trendelenburg (untuk darah yang terkumpul di vena kapasitansi panggul dan
kaki). Selama operasi, perdarahan mungkin bertanggung jawab atas gangguan
hemodinamik lebih lanjut. Transfusi mungkin diperlukan untuk mempertahankan target
Hb (Evans, L 2021).
Strategi ventilasi pelindung harus diterapkan selama ventilasi mekanis. Volume
tidal rendah (perkiraan 6-8 ml/kg berat badan) direkomendasikan, dan FIO serendah
mungkin untuk mencapai SpO2 ≥ 94% harus digunakan. Pasien dengan hipoksemia
dapat memperoleh manfaat dari tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP) yang sesuai.
Namun, efek hemodinamiknya signifikan pada pasien dengan hipovolemia, dan hipotensi
berat dapat terjadi. Jika diperlukan, preload harus dinilai dan dioptimalkan sebelumnya.
Pasien obesitas dan pneumoperitoneum menurunkan kepatuhan perut/dada dan nilai
PEEP yang lebih tinggi mungkin diperlukan untuk menghindari atelektasis. Untuk alasan
yang sama, tekanan dataran tinggi (Pplat) yang lebih tinggi mungkin dapat ditoleransi.
Level PEEP harus dititrasi untuk mendapatkan nilai tekanan penggerak terendah (Pplat-
PEEP) untuk volume tidal yang diinginkan. Bergantung pada durasi prosedur, dosis
berulang antibiotik mungkin diperlukan selama operasi. Perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik harus dipertimbangkan, karena pasien dengan sepsis biasanya memiliki
volume distribusi yang lebih besar untuk obat hidrofilik dan perubahan fungsi organ.
Dengan demikian, dosis obat hidrofilik yang lebih tinggi mungkin diperlukan (Evans, L
2021).
Ada banyak perangkat yang tersedia untuk memantau perubahan curah jantung
secara terus menerus (kateter arteri pulmonal, Doppler esofagus, plethysmografi
impedansi) atau pada interval waktu tertentu (ekokardiografi trans-toraks atau trans-
esofagus, atau pengukuran serial saturasi O2 vena campuran). Sepanjang prosedur
pembedahan, parameter kardiovaskular (denyut jantung, tekanan pengisian jantung,
keadaan inotropik, tekanan arteri sistemik) dapat disesuaikan untuk mengoptimalkan
pengiriman oksigen ke jaringan daripada untuk mencapai nilai curah jantung atau
tekanan arteri yang ditetapkan. Kecukupan pengiriman oksigen global dapat dinilai
dengan laktat serum <2 mmol liter−1 dan saturasi O2 vena campuran >70% (Eissa,
2015).

D. Manajemen post operatif


Pengawasan di unit perawatan intensif sering diperlukan setelah kontrol sumber
untuk pasien dengan sepsis/syok septik. Pasien mungkin masih mengalami hipoperfusi
dan hemodinamik tidak stabil, sehingga membutuhkan dukungan alat. Selain itu,
intervensi lebih lanjut mungkin diperlukan selanjutnya, misalnya dalam kasus infeksi
perut yang ditangani dengan perut terbuka yang memerlukan revisi atau nekrosektomi
harian untuk menghadapi necrotizing fasciitis. Dukungan organ seperti ventilasi mekanis
dan terapi penggantian ginjal mungkin diperlukan pasca operasi.

BAB III
PENUTUP

Sepsis dan syok septik adalah keadaan darurat medis dan penyakit yang tergantung
waktu dimana identifikasi dini, terapi antibiotik dini, dan kontrol sumber awal sangat penting
untuk hasil pasien. Pasien mungkin memerlukan intervensi bedah atau prosedur invasif yang
bertujuan untuk mengontrol sumber infeksi, dan ahli anestesi memiliki peran penting dalam
semua fase manajemen pasien. Selama penilaian pra operasi, ahli anestesi harus menyadari
semua kemungkinan disfungsi organ, dan tingkat keparahan penyakit yang dikombinasikan
dengan cadangan fisiologis pasien harus dinilai dengan hati-hati. Waktu untuk penilaian dan
pengoptimalan pra operasi biasanya terbatas karena prosedurnya seringkali mendesak/
darurat. Namun demikian, semua upaya yang mungkin harus dilakukan untuk
mengoptimalkan kondisi sebelum operasi, terutama dari sudut pandang hemodinamik. Agen
anestesi dapat memperburuk hemodinamik pasien dengan syok, dan ahli anestesi harus
mengetahui sifat dari masing-masing agen anestesi. Semua upaya yang mungkin harus
dilakukan untuk mempertahankan perfusi organ yang mendukung hemodinamik dengan
cairan, agen vasoaktif, dan inotropik jika diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Backer D, Dorman T. Surviving sepsis guidelines: a continuous move toward better care of p

atients with sepsis. JAMA. 2017; 317(8): 807-8.


Bone, R.C. et al. (1992) “Definitions for Sepsis and Organ Failure and Guidelines for the Use

of Innovative Therapies in Sepsis,” Chest, 101(6), pp. 1644–1655. Available at: https:

//doi.org/10.1378/chest.101.6.1644.

Cruz FF, Rocco PRM, Pelosi P. Anti-inflammatory properties of anesthetic agents. Crit Care.

(2017) 21:1–7. doi: 10.1186/s13054-017-1645-x

Dellinger, R.P. et al. (2013) “Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Mana

gement of Severe Sepsis and Septic Shock, 2012,” Intensive Care Medicine, 39(2), pp

165–228. Available at: https://doi.org/10.1007/s00134-012-2769-8.

Dries JD, editors. Fundamental Critical Care Support. 5nd ed. Mount Prospect: Third Printing

2014.

Eissa, et al. (2015) Anaesthetic management of patients with severe sepsis. British Journal of

Anaesthesia. doi:10.1093/bja/aeq305. 2015

Evans L, Rhodes A, Alhazzani W, Antonelli M, Coopersmith CM, French C, et al. Surviving

sepsis campaign: international guidelines for management of sepsis and septic shock 2

021. Intensive Care Med. (2021) 47:1181–247. doi: 10.1007/s00134-021-06506-y

Gill R, Martin C, McKinnon T, Lam C, Cunningham D, Sibbald WJ. Sepsis reduces

isoflurane MAC in a normotensive animal model of sepsis. Can J Anaesth. (1995)

42:631–5. doi: 10.1007/BF03011885

Lee YM, Song BC, Yeum KJ. Impact of Volatile Anesthetics on Oxidative Stress and

Inflammation. Biomed Res Int. (2015) 2015:242709. doi: 10.1155/2015/242709

Marik PE, Taeb AM. SIRS, qSOFA and new sepsis definition. J Thorac Dis. 2017;9(4):943-

5. doi: 10.21037/jtd.2017.03.125

Plevin, R., & Callcut, R. (2017). Update in sepsis guidelines: what is really new?. Trauma su

rgery & acute care open, 2(1), e000088. https://doi.org/10.1136/tsaco-2017-000088

responses. J Anesth. (2008) 22:263–77. doi: 10.1007/s00540-008-0626-2


Seymour CW, Liu VX, Iwashyana TJ, Brunkhorst FM, Rea TD, Scherag A, et al. Assessment

of clinical kriteria for sepsis: For the third internasional consensus definitions for

sepsis and septic shock (Sepsis-3). JAMA. 2016; 315:762-74

Singer, M. et al. (2016) “The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic

Shock (Sepsis-3),” JAMA, 315(8), p. 801. Available at: https://doi.org/10.1001/jama.2

016.0287.

Surviving sepsis campaign 2021

Anda mungkin juga menyukai