Anda di halaman 1dari 11

UJIAN MODUL BEDAH DIGESTIV

MUHAMMAD NUR ANAS


PENGUJI : DR. IWAN DWI CAHYONO SP. AN-FAKV

1. Jelaskan tentang appendicits Akut, Kronik eksaserbasi akut dan Perforasi


Apendisitis merupakan peradangan apendiks vermiformis. Appendicitis disebabkan
karena adanya obstruksi pada lumen appendix sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik
nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi
bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada
sekitar 20% pasien dengan appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi:
Hiperplasia folikel lymphoid Carcinoid atau tumor lainnya Benda asing. Parasit Penyebab
lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix oleh parasit
E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien appendicitis yaitu:
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob Escherichia coli Viridans streptococci
Pseudomonas aeruginosa Enterococcus Bacteroides fragilis Peptostreptococcus micros
Bilophila species Lactobacillus species
Penegakan Diagnosis
Diagnosis apendisitis akut didasari oleh riwayat, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang. Penderita apendisitis umumnya mengeluhkan nyeri pada perut kuadran kanan
bawah (perut kanan bawah). Penderita pertama kali mengeluhkan nyeri tumpul di daerah
epigastrium (perut tengah atas) atau periumbilikal lalu menyebar ke kuadran kanan bawah
abdomen1. Selain gejala diatas, penderita juga mengeluhkan mual dan muntah yang sering
terjadi beberapa jam setelah muncul nyeri, akibatnya akan mengurangi nafsu makan
sehingga menyebabkan anoreksia. Pada penderita apendisitis, juga akan didapati demam
dengan derajat ringan. Peningkatan suhu (37 ⁰C) muncul pada stadium awal apendisitis
akut, dan pada stadium lanjut demam berkembang menjadi suhu diatas 37,7 ⁰C.
Ada beberapa manuver diagnostik yang dikenal pada pemeriksaan fisik apendisitis.
Rovsing’s sign dikatakan positif jika menekan bagian perut kiri bawah (Left Lower
Quadrant) akan muncul nyeri pada bagian perut kanan bawah (Right Lower Quadrant),
hal ini menggambarkan adanya iritasi pada peritoneum. Psoas sign yaitu pasien berbaring
dengan sisi sebelah kiri sendi pangkal kanan diekstensikan, nyeri ini menggambarkan
iritasi pada otot psoas kanan serta indikasi terhadap iritasi retrosaekal dan retroperitoneal
dari abses atau phlegmon. Obturator sign dilakukan dengan cara pasien diposisikan
terlentang, lalu melakukan gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri
pada manuver ini menggambarkan peradangan pada muskulus obturatorius di rongga
pelvis. Blumberg’s sign, nyeri lepas kontralateral dimana pemeriksa menekan di Left
Lower Quadrant (LLQ) lalu dilepas dan nyeri akan muncul pada Right Lower Quadrant
(RLQ). Ini adalah salah satu tanda apendisitis akut yang paling penting pada anakanak
walupun terkadang sulit untuk menemukannya. Dunphy sign, tes batuk atau nyeri saat
batuk yang dijelaskan oleh Rostovzev sensitivitasnya hampir sempurna (95%) untuk
mendeteksi apendisitis akut.
Appendicitis Akut terjadi apabila gejala seperti yang disebutkan diatas memberat
atau berkembang cepat dan sifat yang severe biasanya terjadi dalam 24-48 jam sejak awal
timbul gejala.
Sedangkan untuk Appendicitis Kronik lebih sulit untuk di diagnosis karena pasien
menunjukan gejala yang tidak khas, pasien menunjukan gejala tidak nyaman pada perut
baik disertai nyeri perut kuadran kanan bawah ataupun tidak dan gejala tersebut hilang
timbul. Untuk kriteria waktu lebih dari 3 bulan, bahkan bisa dalam hitungan tahun.
Appendicitis Kronik mungkin terjadi dikarenakan sumbatan yang terjadi pada
appendix terjadi partial atau sebagian.
Appendicitis Kronik bisa berubah menjadi ekserbasi akut dikarenakan timbulnya
peradangan yang lebih luas dan terjadi sumbatan yang lebih besar, pasien akan
menunjukan gejala yang serupa dengan pasien appendicitis akut.
Appendicitis Perforasi ini merupakan komplikasi yang terjadi bila peradangan yang
muncul tidak dilakukan manajemen dengan baik. Maka akan timbul perforasi di appendix
dan pasien menunjukan gejala yang berat, klinis pasien menunjukan adanya peritonitis
generalisata dimana pasien mengeluh nyeri di seluruh lapang abdomen disertai Sepsis.
Gold Standar
Computed Tomography (CT-Scan) adalah gold standard dalam mendiagnosis apendisitis
dengan sensitivitas dan spesifitas antara 83-98%
Selain gold Standar tersebut ada beberapa modalitas lain yaitu USG serta pemeriksaan lab
untuk menunjang penegakan diagnosa, dan terdapat tools yaitu Alvarado Score
Manajemen Appendicitis
Non-Operatif
Pasien yang telah didiagnosis mengalami apendisitis akut harus dipuasakan terlebih dahulu
dan
diberikan analgetik serta antiemetik jika diperlukan untuk mengurangi gejala. Kebanyakan
protokol pengobatan termasuk pengobatan awal antibiotik intravena selama 1-3 hari lalu
diikuti
dengan antibiotik oral selama 7 hari. Antibiotik yang diberikan yaitu kombinasi
sefalosporin dan tinidazol atau penisilin spektrum luas yang dikombinasikan dengan
penghambat betalaktam sedang19. Lamanya pemberian terapi antibiotik kemungkinan akan
lebih pendek daripada sebelumnya, yaitu penghentian terapi 1-2 hari setelah perbaikan klinis
yang signifikan. Pasien harus rawat inap dengan pemantauan ketat terhadap kondisi pasien
dan
mempersiapkan pemilihan operasi apendisitis jika gejala klinis tidak membaik. Jika kondisi
klinis membaik, pasien dipulangkan namun masih harus diberikan antibiotik yang diberikan
dirumah. Jika pengobatan non-operatif ini berhasil, dianjurkan untuk melakukan tes
kolonoskopi, USG, atau CT-Scan dalam waktu 6 bulan untuk menyingkirkan komplikasi
keganasan pada pasien dengan risiko (berusia lebih dari 40 tahun). Tatalaksana konservatif
antibiotik pada apendisitis tanpa komplikasi akan memiliki risiko apendisitis berulang
berkisar
antara 16-40% pengobatan awal dalam satu tahun6. Namun jika kondisi pasien memburuk
atau pengobatan dengan antibiotik tidak berhasil, maka dilakukan operasi apendisitis
(apendektomi).
Operatif
Apendektomi dilakukan dengan open surgery atau laparoskopi. Kedua prosedur tersebut
memiliki risiko yang sangat rendah, morbiditas dan mortalitis tergantung tingkat keparahan
apendisitisnya. Secara teknis, laparoskopi dianggap lebih unggul dari segi rendahnya infeksi
pada luka. Rasa sakit yang lebih kecil dirasakan pada hari pertama pasca operasi, dan durasi
rawat inap yang lebih pendek. Open surgery dikaitkan dengan tingkat abses intraabdominal
yang lebih rendah, waktu operasi yang sedikit lebih pendek, dan biaya yang lebih rendah24.
Waktu pembedahan apendektomi masih menjadi kontroversi, pada apendisitis yang
berkembang menjadi perforasi dan gangren, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin.
Apendektomi laparoskopi untuk apendisitis tanpa komplikasi harus dilakukan pada 24 jam
pertama setelah diagnosis. Penelitian terbaru mengatakan bahwa pada apendisitis tanpa
komplikasi penundaan selama 12-24 jam sebelum operasi tidak meningkatkan perforasi jika
antibiotik segera diberikan25. Namun penundaan 48 jam dapat menyebabkan tingkat infeksi
dan komplikasi lain yang lebih tinggi.
Pertimbangan dalam manajemen Anestesi pasien dengan Appendicitis
Pre-operasi
Pasien harus dilakukan pemeriksaan dengan tepat dan lengkap terkait kondisi pasien,
diagnosa dan status hidrasi dari pasien karena akan berkaitan dengan prognosa pasien,
tindakan anestesi yang diberikan maupun perawatan paska operasi.
Lakukan edukasi kepada keluarga pasien terakit kondisi, tindakan pembiusan yang akan
dilakukan dan prognosa pasien
Lakukan manajemen cairan pre-operasi, pastikan pasien dalam keadaan normovolemia.
Pasitkan pasien sudah cukup puasa
Pemberian antibiotik seawal mungkin setelah tegak adanya diagnosa appendicitis
Intra-Operasi
Lakukan Pembiusan bisa menggunakan Regional Anestesi ataupun General Anestesi
Komunikasikan dengan operator.
Regional anestesi dengan pemberian sedasi bisa menjadi pilihan bila operator akan
melakukan tindakan simple appendiktomi yang sebelumnya kita telah yakin akan diagnosa
tersebut dan pasien/keluarga setuju.
Berikan Analgetik dan manajemen cairan yang adekuat selama operasi berlangsung
Paska Operasi
Pada pasien appendicitis yang telah mengalami perforasi tindakan yang dilakukan adalah
laparotomi eksplorasi, oleh karena itu paska operasi kita harus awasi dengan ketat bagaimana
hemodinamik pasien, manajemen cairan dan analegtik yang diberikan untuk pasien. Jika
diperlukan paska operasi bisa dilakukan perawatan di ICU

2. Dari Tindakan operasi digestif yang berpotensi terjadi vagal reflex apa saja, dan
penatalaksanaan vagal reflex

Semua organ yang di persyarafi oleh system parasimpatis co/ Cholelithiasis, system empedu,
system hepatica, colon, usus halus, Limfa

Penatalaksanaan Vagal Reflex

- Segera minta operator untuk menghentikan Tindakan


- Semua Agen anestesi dihentikan
- Pasien diberikan Oksigen 100%
- Pemberian infus dengan tetesan cepat
- Berikan sulfas Atropin 1mg iv jika perlu diulang setiap 3-5menit jika HR < 60x /
menit
- Berikan Efedrin 10-15mg diulang tiap 3-5 menit jika TD < 90mmHg
- Siapkan CPR dan Adrenalin

3. jelaskan kanulasi CVC pada bedah digestiv, apa tujuannya, apa manfaat secara
langsung, komplikasinya apa, dan bisa dipasang dimana saja?
Jawab:
 Kateter vena sentral atau Central Venous Catheter (CVC), adalah tabung panjang,
lunak, tipis, berongga yang ditempatkan ke dalam vena besar (pembuluh darah) yang
salah satu dipasang pada operasi besar seperti bedah digestiv yang memiliki masalah
hemodinamik
 Tujuannya untuk pemantauan tekanan vena sentral (CVP), pemberian cairan untuk
mengobati hipovolemia dan syok, infus obat kaustik dan nutrisi parenteral total,
aspirasi emboli udara, dan sebagai akses vena pada pasien dengan vena perifer yang
buruk.
 Manfaat secara langsung adalah saat durante operasi kita dapat memantau dan
mengendalikan hemodinamik pasien.
 Komplikasi yang bisa muncul dari kanulasi CVC adalah infeksi sampai sepsis,
Penumothorax, Efusi pleura, dan kilothorax
 CVC bisa dipasang di v. jugularis interna, v. Jugularis eksterna, v. Subclavia, v.
Femoralis, v. Colateral, v. Cava inferior translumbar, dan v. Hepatica

4. Jelaskan prosedur pemasangan CVC?

KATETERISASI VENA SENTRAL

Indikasi Kateterisasi vena sentral diindikasikan untuk memantau tekanan vena sentral (central
venous pressure/ CVP), pemberian cairan untuk terapi hipovolemia dan syok, infus obat yang
bersifat kaustik dan pemberian nutrisi parenteral total, aspirasi emboli udara, pemasangan
lead pacu transkutan, dan mendapatkan akses vena pada pasien dengan pembuluh darah
perifer yang buruk. Dengan kateter khusus, kateterisasi vena sentral dapat digunakan untuk
pemantauan saturasi oksigen vena sentral (SCVO2) terus-menerus. SCVO2 yang menurun
(normal >65%) mengingatkan akan kemungkinan penghantaran oksigen yang tidak adekuat
ke jaringan (misalnya, curah jantung yang rendah, rendahnya hemoglobin, saturasi oksigen
arteri rendah, peningkatan konsumsi oksigen). SCVO2 yang meningkat (>80%) mungkin
mengindikasikan shunting arteri/vena atau gangguan penggunaan oksigen seluler (misalnya,
keracunan sianida).

Kontraindikasi

Kontraindikasi relatif meliputi tumor, clot, atau vegetasi katup trikuspid yang dapat terlepas
atau terembolisasi selama kanulasi. Kontraindikasi lainnya berhubungan dengan titik
kanulasi. Sebagai contoh, kanulasi vena subklavia dikontraindikasikan secara relatif pada
pasien yang menerima antikoagulan (karena ketidakmampuan untuk memberikan kompresi
langsung jika terjadi tusukan arteri yang tidak disengaja). Didasarkan pada tradisi tapi bukan
pada ilmiah, beberapa klinisi menghindari kanulasi vena jugularis interna di sisi
endarterektomi karotis sebelumnya karena kekhawatiran tentang kemungkinan tusukan arteri
karotis yang tidak disengaja. Kehadiran kateter sentral lainnya atau sadapan pacu jantung
dapat mengurangi jumlah titik yang tersedia untuk penempatan jalur sentral.

Teknik & Komplikasi

Kanulasi vena sentral melibatkan pemasukan kateter ke vena sehingga ujung kateter terletak
dengan sistem vena dalam toraks. Umumnya, lokasi optimal ujung kateter adalah di superior
atau di persimpangan vena kava superior dan atrium kanan. Bila ujung kateter terletak di
dalam toraks, inspirasi akan meningkatkan atau menurunkan CVP, tergantung pada apakah
ventilasi dikendalikan atau spontan. Pengukuran CVP dibuat dengan kolom air (cmH2O),
atau yang lebih disukai, dengan transduser elektronik (mmHg). Tekanan harus diukur pada
akhir ekspirasi. Berbagai titik dapat digunakan untuk kanulasi. Semua titik kanulasi memiliki
peningkatan risiko terjadinya infeksi yang berbanding lurus dengan lama kateter terpasang.
Dibandingkan dengan titik lain, vena subklavia dikaitkan dengan risiko pneumotoraks yang
lebih besar selama insersi, namun penurunan risiko komplikasi lain selama kanulais yang
berkepanjangan (misalnya, pada pasien yang sakit kritis). Vena jugularis interna kanan
memberikan kombinasi aksesibilitas dan keamanan. Kateter vena jugularis interna kiri
memiliki peningkatan risiko efusi pleura dan kilotoraks. Vena jugularis eksternal juga dapat
digunakan sebagai tempat masuk, namun karena sudut tajam di mana mereka bergabung
dengan vena besar di dada, dikaitkan dengan kemungkinan kegagalan yang sedikit meningkat
untuk mendapatkan akses ke sirkulasi pusat daripada vena jugularis internal. Vena femoralis
juga bisa dikanulasi, namun dikaitkan dengan peningkatan risiko sepsis terkait kateterisasi.
Setidaknya ada tiga teknik kanulasi: kateter di atas jarum (mirip dengan kateterisasi perifer),
kateter melalui jarum (memerlukan large-bore needle stick), dan kateter di atas guidewire
(teknik Seldinger) . Sebagian besar akses sentral dipasang dengan menggunakan teknik
Seldinger. Skenario berikut menggambarkan penempatan akses vena jugularis interna. Pasien
ditempatkan di posisi Trendelenburg untuk mengurangi risiko emboli udara dan untuk
mendistensi vena jugularis interna (atau subklavia). Kateterisasi vena memerlukan teknik
aseptik lengkap, termasuk hand scrub, sarung tangan steril, gaun, masker, topi, preparat
bakterisidal kulit (larutan berbasis alkohol lebih disukai), dan duk steril. Dua kaput otot
sternokleidomastoideus dan klavikula membentuk tiga sisi segitiga. Jarum berukuran 25
digunakan untuk menginfiltrasi apeks dari segitiga dengan anestesi lokal. Lokasi vena
jugularis interna dapat ditemukan dengan menggunakan ultrasound, dan kami sangat
menyarankan agar hal ini digunakan bila memungkinkan. Banyak institusi yang mewajibkan
penggunaan ultrasound kapanpun dilakukan kanulasi vena jugularis interna. Sebagai
alternatif lain, lokasi vena dapat ditentukan dengan jarum berukuran 25 - atau jarum
berukuran 23 pada pasien yang lebih berat - di sepanjang batas medial caput
sternokleidomastoideus lateral, ke arah puting susu ipsilateral, pada sudut 30o terhadap kulit.
Aspirasi darah vena mengkonfirmasi lokasi vena. Penting untuk memastikan bahwa vena
(dan bukan arteri) yang dikanulasi. Kanulasi arteri karotis dapat menyebabkan hematoma,
stroke, gangguan jalan napas, dan kemungkinan kematian. Jarum dinding tipis nomor 18 atau
kateter nomor 18 di atas jarum dimajukan di sepanjang jalur yang sama dengan jarum pencari
lokasi, dan, dengan aparatus yang terakhir, jarum dikeluarkan dari kateter setelah kateter telah
maju ke dalam vena. Ketika aliran darah bebas tercapai kami biasanya mengonfirmasi
tekanan vena sentral versus arteri (menggunakan tabung intravena ekstensi) sebelum
memasukan guidewire. Kami merekomendasikan bahwa penempatan yang tepat dari
guidewire dikonfirmasi menggunakan ultrasound. Jarum (atau kateter) dilepas, dan dilator
dipasang di atas kawat. Kateter disiapkan untuk insersi dengan membilas semua lubang
dengan larutan garam, dan seluruh lubang distal diberi “tutup (capped)” atau diklem, kecuali
satu lubang tempat kawat akan masuk. Selanjutnya, dilator dilepaskan, dan kateter akhir
dilewatkan di atas kawat. Guidewire dilepas, dengan ibu jari ditempatkan di atas hub kateter
untuk mencegah aspirasi udara sampai tabung kateter intravena terhubung dengannya.
Kateter ini kemudian diamankan, dan dressing steril diaplikasikan. Lokasi yang benar
dikonfirmasi dengan radiografi dada. Ujung kateter tidak boleh berpindah ke ruang jantung.
Peralatan pemberian cairan harus sering diganti, sesuai dengan protokol pusat medis
setempat. Seperti yang telah disebutkan, kemungkinan penempatan dilator vena atau kateter
ke dalam arteri karotis secara tidak disengaja dapat dikurangi dengan mentransmisikan
bentuk gelombang tekanan pembuluh darah dari jarum (atau kateter, jika kateter di atas jarum
telah digunakan) sebelum memasukkan kawat (paling sederhana dilakukan dengan
menggunakan tabung intravena ekstensi steril sebagai manometer). Sebagai alternatif,
seseorang dapat membandingkan warna atau PaO2 darah dengan sampel arteri. Warna darah
dan pulsatilitas bisa menyesatkan atau inkonklusif, dan lebih dari satu metode konfirmasi
harus digunakan. Dalam kasus di mana ekokardiografi transesofagus (transesophageal
echocardiography/ TEE) digunakan, guidewire dapat dilihat di vena jugularis atau atrium
kanan, yang mengonfirmasikan masuknya ke vena.

Pertimbangan Klinis

Fungsi jantung normal memerlukan pengisian ventrikel yang cukup memadai. CVP
memperkirakan tekanan atrium kanan. Volume ventrikel berhubungan dengan tekanan
melalui komplians. Ventrikel dengan komplians yang sangat baik mengakomodasi volume
dengan sedikit perubahan pada tekanan. Sistem nonkomplians memiliki perubahan tekanan
yang lebih besar dengan sedikit perubahan volume. Akibatnya, pengukuran CVP individu
hanya akan mengungkapkan informasi terbatas tentang volume dan pengisian ventrikel.
Meskipun CVP yang sangat rendah dapat mengindikasikan pasien dengan volume sedikit,
bacaan tekanan yang sedang sampai tinggi mungkin mencerminkan kelebihan volume,
komplians ventrikel yang buruk, atau keduanya. Perubahan pada CVP yang terkait dengan
pemberian volume ditambah dengan pengukuran kinerja hemodinamik lainnya (misalnya,
volume sekuncup, curah jantung, tekanan darah, denyut jantung, keluaran urin) mungkin
merupakan indikator yang lebih baik untuk responsivitas volume pasien.
5. a. Jelaskan Teknik anestesi dari perioperative sampai post operasi pada kasus
tumor pancreas
Preoperasi :
 Pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan laborat (darah rutin, masa perdarahan dan
masa pembekuan, pemeriksaan khusus fungsi hati, fungsi ginjal, analisis gas darah,
elektrolit, hematologi dan faal hemostasis lengkap, sesuai dengan indikasi.
 Dilakukan juga pemeriksaan radiologi foto toraks antero-posterior dan leteral,
pemeriksaan enzim amilase, pemeriksaan gula darah.
 Pasien diberikan premedikasi dengan obat-obatan seperti Ondansentron untuk
mencegah PONV, Sulfas atropine 0,25 mg untuk antikolinergik, Midazolam 0.04-0.1
mg/kg sebagai antianxietas
Intraoperatif :
 Pasien disiapkan dengan GA ETT
 Pasien dipersiapkan
 Pasang alat-alat monitor
 Siapkan alat-alat dan obat resusitasi
 Siapkan mesin anestesi dengan system sirkuit dan gasnya
 Induksi dengan penthotal / propofol
 Berikan obat pelumpuh otot suksinil kolin/atrakurium untuk fasilitas intubasi
 Berikan nafas buatan melalui sungkup muka dengan oksigen 100%
 Lakukan laringoskopi, pasang ETT
 Fiksasi dan hubungkan dengan mesin
 Berikan inhalasi N2O +O2 dan narkotik(analgetik sedative) ditambah obat
sedative/hipnotik serta pelumpuh otot non depolarisasi intravena
 Dosis ulangan atau pemeliharaan diberikan intravena intermitten atau tetes ulang
konyinyu
 Kendalikan nafas pasien secara manual atau mekanin dengan volume dan frekuensi
yag sesuai
 Pantau tanda vital
 Pantau kadar gula darah secara periodic, bila perlu menggunkan infus maintenance
dengan dextrose apabila ada potensi hipoglikemia durante operasi
 Monitoring tanda – tanda perdarahan bila perlu persiapan transfuse darah dan pasang
infus 2 jalur dengan iv cath ukuran besar
Post Operatif :
 Pasien dirawat di ruang pulih, sesuai dengan tata laksana pasca anesthesia (ICU bila
perlu)
 Pada pasien yang akan diantisipasi akan mengalami depresi nafas, langsung dikirim
ke ruang terapi intensif
 Masalah pasca bedah, khususnya kasus bedah digestif adalah nyeri abdomen dan
nutrisi
 Nyeri pasca laparotomy tinggi akan mengganggu mekanisme batuk dan menurunkan
kapasitas vital paru diatasi dengan cara: Pada pasien tanpa problem pernapasan
praoperatif, berikan analgesia epidural dengan morfin atau dengan analgesia balans
melalui infus tetes kontinyu Pada kasus dengan problem pernapasan praoperatif,
diberikan ventilasi mekanik disertai obat sedative dan analgetik yang adekuat
b. Jelaskan tentang enzyme amilase
Amilase adalah enzim yang memecah pati, mengubahnya menjadi gula.
Terdapat dua jenis utama, yaitu alpha dan beta. Alpha-amilase ditemukan dalam air
liur manusia, di mana ia memulai proses
kimia dalam pencernaan dengan hidrolisis pati. Alpha-amilase juga ditemukan
dalam pankreas. Beta-amilase ditemukan dalam biji beberapa tanaman,
serta bakteri, ragi, dan jamur.
Kadar enzim amilase meningkat pada kasus pankreatitis akut, abses pancreas,
kanker pancreas, kolesisititis dan menurun pada kasus pankreatitis kronis, penyakit
ginjal, dan fibrosis kistik
c. Jelaskan tentang pengelolaan nyeri pada kanker pancreas
Pedoman terapi pada kanker pancreas merekomendasikan morfin sebagai obat
pilihan dalam manajemen nyeri. Pemberian parenteral atau transdermal pada pasien
gangguan menelan atau gangguan saluran cerna dapat dipertimbangkan. Pada pasien
dengan toleransi opioid yang jelek, maka disarankan blokade celiacoplexus

Anda mungkin juga menyukai