Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN PENDAHULUAN

APENDISITIS PERFORASI
A.  Definisi
               Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm
(94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi
makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena
pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi
tersumbat dan rentan terhadap infeksi.
               Appendiks merupakan peradangan pada appendiks (umbai cacing). Kira-kira
7% populasi akan mengalami appendiks  pada waktu yang bersamaan dalam
hidup mereka. Pria lebih cenderung terkena appendiks dibanding wanita.
Appendiks lebih sering menyerang pada usia 10 sampai 30 tahun.
               Appendiks perforasi adalah merupakan komplikasi utama dari appendiks,
dimana appendiks telah pecah sehingga isis appendiks keluar menuju rongga
peinium yang dapat menyebabkan peritonitis atau abses.
               Appendiktomi adalah pengangkatan terhadap appendiks terimplamasi
dengan prosedur atau pendekatan endoskopi.
B.  Etiologi.
1 Penyebab belum pasti
2 Faktor yang berpengaruh :
 Obstruksi : hiperplasi kelenjar getah bening (60%), fecalt (massa keras dari
feses) 35%, corpus alienum (4%), striktur lumen (1%).
 Infeksi : E.Coli dan steptococcus.
 Tumor
C.  Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebaban oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah
terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang
disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses
atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks
lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah.
D. Manifestasi Klinik
1.    Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan,
mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
2.    Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
3.    Nyeri tekan lepas dijumpai.
4.    Terdapat konstipasi atau diare.
5.    Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
6.    Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
7.    Nyeri kemuh, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau
ureter.
8.    Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
9.    Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
10.  Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.
11.  Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien
mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.
E.  Komplikasi
Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi
penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecendrungan menjadi
progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam
pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatkan nyeri, spasme otot dinding
perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonotis umum atau abses yang
terlokalisasi, ileus, demam, malise, dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi
dengan peritonitis umum aatu pembentukan abses telah terjadi sejak pasien
pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi
untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah
baring dalam posisi fowler medium (setengah duduk), pemasangan NGT, puasa,
koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik
berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan
hasil kultur, transfusi untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara
intensif, bila ada.
Bila terbentukabses apendiks akan teraba massa di kuadrankanan bawah
yang cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi dini dapat
diberikan kombinasi antibiotik (misalnya ampisilin, gentamisin, metronidazole,
atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan
apendiktomi dapat dilakukan 6 – 12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap
progresif harus segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke
arah rektum atau vagina dengan fluktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase.
Tomboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan
komplikasi yang letal. Hal ini harus kita curigai bila ditemukan demam sepsis,
menggigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada
keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis
intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.
F.  Pemeriksaan Penunjang
1 Laboratorium
- Hb normal
- Leukosit normal atau meningkat (bila lanjut umumnya leukositosis,
>10,000/mm3)
- Hitung jenis : segmen lebih banyak
- LED meningkat (pada appendicitis infiltrate)
2 Rotgen : appendicogram
Hasil positif berupa :
- Non-filling
- Partial filling
- Mouse tail
- Cut off
3 Rontgen abdomen tidak menolong kecuali telah terjadi peritonitis.
G.  Penatalaksanaan
1 Sebelum operasi
- Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala
apendisitis seringkali masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat
perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan.
Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun
bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta
pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik. Foto
abdomen dan thoraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya
penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan denagn
lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya
keluhan.
- Intubasi bila perlu
- Antibiotik
2 Operasi apendiktomi
3 Pasca operasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan di dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan. Angkat
sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat
dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila
dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila
tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum,
puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan
minum mulai 15 ml/jam selam 4-5 jam lalu naikkan menjasi 30 ml/jam.
Keesokan harinya diberikan diberikan makanan saring, dan hari berikutnya
diberikan makanan lunak. Satu hari pascaoperasi pasien dianjurkan untuk
duduk tegak di tempat tidur selam 2x30 menit. Pada hari kedua pasien dapat
berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan
pasien diperbolehkan pulang.
4 Penatalaksanaan gawat darurat non-operasi
Bila tidak ada fasilitas bedah, berikan penatalaksanaan seperti dalam
perotonitis akut. Dengan demikian, gejala apendisitis akut akan mereda, dan
kemungkinan terjadinya komplikasi akan berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan.Edisi 3. Jakarta.
EGC
Price, SA, Wilson,LM. (1994). Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Buku
Pertama. Edisi 4. Jakarta. EGC
Smeltzer, Bare (1997). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &
suddart.  Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC
Swearingen. (1996). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 2. K\Jakarta. EG

Anda mungkin juga menyukai