Anda di halaman 1dari 7

TINJAUAN TEORI

APPENDISITIS

A. DEFINISI
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering (Mansjoer, 2000). Apendiks berisi
makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena
pengosongan tidak efektif, dan lumennya kecil, apendiks cenderung menjadi
tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi (apendisitis), (Brunner and Suddart,
2001).

B. ETIOLOGI
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks
merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus di samping hiperplasi
jaringan limfoid, fekalit, tumor apendiks, dan cacing ascaris dapat juga menyebabkan
sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkkan peran makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah
timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidayat, R & Jong Win De, 1997).

C. PATOFISIOLOGI
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehungga menyebabkan
peningkatan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran
limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat
inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus berlanjut. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium setempat sehingga
menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu masa lokal yang disebut infiltrat
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi.
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah (Mansjoer, 2000).

D. MANIFESTASI KLINIS
- Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan,
mual, muntah, dan hilangnya nafsu makan.
- Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan
peritoneum lokal di titik McBurney (nyeri tekan, nyeri lepas, defans muskuler)
- Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung yaitu:
Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (tanda Rovsing)
Nyeri kanan bawah bila tekanan sebelah kiri dilepaskan (tanda
Blumberg)
Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti napas dalam,
berjalan, batuk, mengedan.
- Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5o C. Bila suhu lebih
tinggi mungkin sudah terjadi perforasi (Sjamsuhidayat, R & Jong Win De, 1997).
- Bila apendiks berada dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa
di daerah lumbar.
- Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada di dekat rectum
- Nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat
dengan kandung kemih atau ureter.
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-
tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses
penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami
ruptur apendiks. Insiden perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena
banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat
pasien-pasien yang lebih muda (Brunner and Suddart, 2001).

E. KOMPLIKASI
- Komplikasi utama adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang
menjadi peritonitis atau abses. Tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri,
spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum
atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise dan leukositosis semakin
jelas. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum
terjadi setelah 24 jam setelah awitan nyeri.
- Tromboplebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tapi merupakan
komplikasi yang letal. Tandanya demam sepsis, menggigil, hepatomegali, dan
ikterus setelah terjadi perforasi apendiks.
- Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenicus dan fokal
sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat
perlengketan (Mansjoer, 2000).
- Dapat menjadi apendicitis kronis.
- Komplikasi potensial setelah apendiktomi
Peritonitis
Intervensi keperawatan:
- Observasi terhadap nyeri tekan abdomen, demam, muntah,
kekakuan abdomen, dan takikardi.
- Lakukan penghisapan nasogastriks konstan
- Perbaiki dehidrasi sesuai program
- Berikan preparat antibiotik sesuai program
Abses pelvis atau lumbal
Intervensi keperawatan:
- Evaluasi adanya anoreksia, menggigil, demam, dan diaforesis
- Observasi adanya diare, yang dapat menunjukkan abses pelvis
- Siapkan pasien untuk pemeriksaan rektal
- Siapkan pasien untuk prosedur drainase operatif
Abses subfrenik (abses di bawah diafragma)
Intervensi keperawatan:
- Kaji pasien terhadap adanya menggigil, demam, diaforesis
- Siapkan untuk pemeriksaan sinar x
- Siapkan drainase bedah terhadap abses
Ileus
Intervensi keperawatan:
- Kaji bising usus
- Lakukan intubasi dan penghisapan nasogastrik
- Ganti cairan dan elektrolit dengan rute intervena sesuai program
- Siapkan untuk pembedahan, bila diagnosis ileus mekanis ditegakkan.
Sumber : (Brunnert & Suddart, 2001)

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Terjadi lekositosis ringan (10.000-20.000) dengan peningkatan jumlah
netrofil. Pemeriksaan urin juga perlu dilakukan untuk membedakannya dengan
kelainan pada ginjal dan saluran kemih. Pada kasus akut tidak diperbolehkan
melakukan barium enema, sedangkan pada apendisitis kronis tindakan ini
dibenarkan. Pemeriksaan USG bila telah terjadi infiltrat apendikularis(Mansjoer,
2000).
Hb, hct normal. Differential telling bergeser ke kiri, LED meningkat pada
appendicitis infiltrate.
Rontgen
Appendicogram. Hasil positif bila berupa: non filling, partial filling, mouse tail,
cut off. Roentgen abdomen tidak menolong kecuali telah terjadi peritonitis
(Sari,D.K, dkk, 2005).
G. PENALAKSANAAN
1. Medis
a. Sebelum Operasi
Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis
seringkali masih belum jelas. Di sini observasi keta perlu dilakukan. Pasien
diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh
diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk peritonotis
lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksan darah (lekosit
dan hitung jenis) diulang secara periodik. Foto abdomen dan thoraks
dilakukan untuk mencari penyulit lain.
Intubasi bila perlu
Antibiotik
b. Operasi apendiktomi
c. Pasca operasi
Observasi tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di
dalam, syok, hipertermi, atau gangguan pernapasan. Angkat sonde
lambung bila pasien telah sadar untuk mencegah aspirasi cairan
lambung. Baringkan pasien pada posisi fowler. Pasien dikatakan baik
jika dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan.
Bila tindakan operasi lebih besar, puasa diteruskan sampai fungsi usus
kembali normal.
Kemudian berikan minum mulai 15ml/jam selama 4-5 jam lalu
naikkan menjadi 30ml/jam. Keesokharinya diberikan makanan saring,
dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di
tempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri
dan duduk di luar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien
boleh pulang.
d. Penatalaksanaan gawat darurat non-operasi
Bila tidak ada fasilitas bedah, berikan penatalaksanan seperti dalam peritonitis
akut. Dengan demikian, gejala apendisitis akut dapat mereda, dan
kemungkinan terjadinya komplikasi akan berkurang (Mansjoer, 2000).
2. Keperawatan
a) Pra operatif
Perawat menyiapkan pasien untuk pembedahan. Infus intravena digunakan
untuk meningkatkan fungsi ginjal adekuat dan menggantikan cairan yang
telah hilang. Aspirin dapat digunakan untuk mengurangi peningkatan suhu.
Terapi antibiotik dapat diberikan untuk mencegah infeksi. Apabila terdapat
bukti atau kemingkinan terjadi ileus paralitik, selang nasogastrik dapat
dipasang. Enema tidak diberikan, karena dapat menimbulkan perforasi.
b) Pasca operatif
Pasien ditempatkan pada posisi semi-Fowler. Posisi ini untuk
mengurangi tegangan pada insisi dan organ abdomen, yang membantu
mengurangi nyeri. Opioid, biasanya sulfat morfin, diberikan untuk
menghilangkan nyeri. Cairan per oral diberikan bila mereka dapat
mentoleransi. Pasien yang mengalami dehidrasi diberikan cairan secara
IV.
Apabila apendiktomi tidak mengalami komplikasi , pasien dapat
dipulangkan pada hari itu juga bila suhu dalam batas normal dan area
operatif terasa nyaman. Penyuluhan saat pulang sangat penting. Pasien
diinstruksikan untuk menemui ahli bedah yang akan mengangkat jahitan
antara hari kelima dan ketujuh. Pasien dan keluarga dapat diajarkan
untuk merawat luka dan penggantian balutan dan irigasi sesuai program.
Apabila terdapat kemungkinan peritonitis, drain dibiarkan di
tempat insisi. Pasien yang berisiko terhadap komplikasi dipertahankan di
RS selama beberapa hari dan dipantau dengan ketat terhadap tanda-
tanda obstruksi usus atau hemoragi sekunder. Abses sekunder dapat
terbentuk di pelvis, dibawah diafragma, atau di hati yang menyebabkan
peningkatan suhu dan frekuensi nadi, serta peningkatan pada jumlah
leukosit (Brunnert & Suddart, 2001).

H. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


1. Nyeri b/d agen injuri fisik (luka post apendiktomi)
2. Defisit perawatan diri (mandi, makan, berpakaian, toileting, berhias,
mobilisasi) b/d kelemahan fisik, nyeri post apendiktomi)
3. Resiko infeksi b/d prosedur invasif, luka post apendiktomi
4. Resiko kekurangan volume cairan b/d status puasa pre dan post operasi

Anda mungkin juga menyukai