Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LATAR BELAKANG

Apendisitis merupakan peradangan apendik vermivormis, dan merupakan


penyebab masalah abdomen yang paling sering.1 Apendisitis dapat ditemukan pada
semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang terjadi. Insidensi pada
pria dengan perbandingan 1,4 lebih banyak daripada Wanita. 1 Apendisitis ditemukan
pada semua kalangan dalam rentang usia 21-30 tahun. Komplikasi apendisitis yang
sering terjadi yaitu apendisitis perforasi yang dapat menyebabkan perforasi atau abses
sehingga diperlukan tindakan pembedahan.1 Apabila kondisi perforasi ini tetap
berlanjut maka akan dapat mengakibatkan kondisi peritonitis.2

Peritonitis merupakan Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran


serosa yang melapisi rongga abdomen dan menutupi visera abdomen) merupakan
penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. 3 Peritonitis
generalisata merupakan kondisi yang disebabkan oleh perluasan infeksi pada
peritoneum. Penatalaksanaan peritonitis meliputi manajemen preoperasi, operasi, dan
post operasi.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I.1 Definisi Appendisitis

Apendisitis merupakan peradangan pada appendix vermiformis. Peradangan


akut apendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang
umumnya berbahaya.1

I.2 Epidemiologi Appendisitis

Apendisitis lebih sering terjadi pada masyarakat barat tetapi insidennya


menurun karena alasan yang tidak pasti. Namun demikian, apendisitis akut tetap
menjadi penyakit bedah umum darurat paling sering pada daerah abdomen, dengan
insiden 100 per 100.000 orang per tahun di Eropa dan Amerika atau sekitar 11 kasus
per 10.000 orang per tahun. Sekitar 9% pria dan 7% wanita akan mengalami episode
selama hidup mereka. Apendisitis paling sering terjadi pada anak berusia 10 hingga
19 tahun.1

Salah satu komplikasi yang lebih umum dan penyebab paling penting dari
morbiditas dan mortalitas yang berlebihan adalah perforasi, baik yang terdapat dan
terlokalisasi atau tidak terbatas di dalam rongga peritoneum. Penjelasan untuk tren ini
tidak diketahui. Sekitar 20% dari semua pasien akan datang ke rumah sakit dengan
bukti perforasi, tetapi persentase risikonya jauh lebih tinggi pada pasien di bawah 5
tahun atau di atas 65 tahun.1

I.3 Etiologi Appendisitis

Etiologinya masih belum sepenuhnya dipahami. Fekalit, sisa makanan yang


tidak tercerna secara sempurna, hiperplasia limfoid, jaringan parut intraluminal,
tumor, bakteri, virus, dan penyakit radang usus semuanya telah dikaitkan dengan
radang usus buntu dan radang usus buntu.1 Nyeri apendisitis memiliki komponen
viseral dan somatik. Distensi apendiks bertanggung jawab atas nyeri perut awal yang
tidak jelas (viseral) yang sering dialami oleh pasien yang terkena. Rasa sakit biasanya
tidak terlokalisasi ke kuadran kanan bawah sampai ujungnya menjadi meradang dan
mengiritasi peritoneum parietal yang berdekatan (somatik) atau terjadi perforasi,
mengakibatkan peritonitis lokal.4

I.4 Patofisiologi

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian


proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks
yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa
mengalami   bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi
sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH2O. Manusia
merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat mengkompensasi
peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi
perforasi.4

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami


hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infek
menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemi
karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat
inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan
perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda
setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.4

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan membuat kondisi hemostasis dari arteri terganggu sehingga terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
apendisitis perforasi.4
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.4

Gambar 1. Patogenesis Appendisitis

1.5 Manifestasi Klinis

Biasanya, penyakit dimulai dengan rasa tidak nyaman pada pertengahan perut
atau periumbilikal yang diikuti dengan mual, anoreksia, dan gangguan pencernaan.
Rasa sakitnya terus menerus tetapi tidak parah, dengan kram ringan sesekali. Pasien
mungkin merasa sembelit atau mungkin muntah. Yang penting, dalam beberapa jam
setelah timbulnya gejala, nyeri berpindah ke kuadran kanan bawah, menjadi
terlokalisir dan menyebabkan ketidaknyamanan saat bergerak, berjalan, atau batuk.5

Pemeriksaan fisik menunjukkan nyeri tekan lokal pada palpasi dan mungkin
sedikit defans muskular. Nyeri rebound atau perkusi dapat terjadi di kuadran kanan
bawah. Pemeriksaan rektal dan pelvic cenderung negatif; jika positif, ini lebih sering
menunjuk ke etiologi lain. Suhu hanya sedikit meningkat tanpa adanya perforasi.5

I.6 Diagnosis
I.6.1 Pemeriksaan Fisik

Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 °C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rek sampai
1°C. Pada Inspeksi pasien dapat terlihat memegang perut kesakitan. Auskultasi
menunjukkan peristaltik usus yang sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata. Pada palpasi di
daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tand peritonitis lokal yaitu: 4

a. Nyeri tekan di Mc. Burney


b. Nyeri lepas
c. Defans muscular lokal.
Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada
appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri
pinggang. Pemeriksaan tambahan lainnya untuk menilai rangsangan peritoneum tidak
langsung yaitu pemeriksaan Rovsing (nyeri tekan bawah pada tekanan kiri),
Blumberg sign (nyeri kanan bawa bila tekanan di sebelah kiri dilepas), dan nyeri
kanan bawah saat mengejan. Pemeriksaan untuk menilai apakah terdapat perlekatan
dari appendiks terhadap muskulus psoas maka dapat dilakukan pemeriksaan psoas
sign. Obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak
dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil.5

1.6.2 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah dapat menunjukkan leukositosis pada kebanyakan kasus


appendicitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi, C-reaktif protein
meningkat. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat.3

Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan untuk melihat adanya eritrosit,


leukosit bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih.3
b. USG

Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,


terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektop
adnecitis dan sebagainya.6

Gambar 2. USG Appendisitis6

c. CT Scan

Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat


menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.6

d. Laparoskopi

Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan ke


dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Teknik ini
dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melaku tindakan
ini didapatkan peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga dapat
langsung dilakukan pengangkatan appendiks.6

I.7 Definisi Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang melapisi


rongga abdomen dan menutupi visera abdomen) merupakan penyulit berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis.3

Peritonitis adalah peradangan peritoneum dan rongga peritoneum, biasanya


disebabkan oleh infeksi lokal atau umum. Peritonitis primer terjadi akibat infeksi
bakteri, klamidia, jamur, atau mikobakteri tanpa adanya perforasi saluran GI,
sedangkan peritonitis sekunder terjadi pada kondisi perforasi GI. Penyebab sering
peritonitis bakteri sekunder termasuk penyakit ulkus peptikum, apendisitis akut,
divertikulitis kolon, dan penyakit radang panggul.4

I.8 Epidemiologi

Tingkat peritonitis keseluruhan adalah 0,196 episode per pasien-tahun selama


periode pengamatan total 969,5 pasien-tahun. 190 episod peritonitis yang terjadi pada
124 pasien meliputi 49 episod (25,8%) disebabkan oleh organisme gram negatif dan
78 (41,1%) disebabkan oleh organisme gram positif.7

I.9 Klasifikasi berdasarkan etiologik

I.10.1 Peritonitis bakterial spontan / Primer

Peritonitis bakterial spontan (SBP) didefinisikan sebagai infeksi bakteri pada


cairan asites tanpa adanya sumber infeksi intra-abdomen, seperti perforasi viseral,
abses, pankreatitis akut, atau kolesistitis. Meskipun biasanya berhubungan dengan
sirosis, SBP juga dapat terjadi pada pasien dengan sindrom nefrotik dan, lebih jarang,
gagal jantung kongestif. Sangat jarang bagi pasien dengan cairan asites yang
mengandung konsentrasi protein tinggi untuk mengembangkan SBP, seperti mereka
dengan karsinomatosis peritoneal. Patogen yang paling umum pada orang dewasa
dengan SBP adalah flora enterik aerobik Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae.
Pada anak-anak dengan asites nefrogenik atau hepatogenik, streptokokus grup A,
Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumoniae adalah isolat yang umum.
SBP jarang diproduksi oleh mikroorganisme anaerob karena ketidakmampuannya
untuk bertranslokasi ke mukosa usus dan karena tingginya volume oksigen di dinding
usus dan di jaringan yang mengelilinginya.8

I.10.2 Peritonitis Sekunder

Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis,


perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon
sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus.4

Peritonitis sekunder akibat dari kontaminasi bakteri yang berasal dari dalam
viscera atau dari sumber eksternal (misalnya, cidera penetrasi). Paling sering
menyebabkan gangguan organ berongga. Empedu dan urin yang terekstravasasi,
meskipun hanya sedikit mengiritasi jika steril, sangat beracun jika terinfeksi dan
memicu reaksi peritoneum yang kuat. Cairan lambung dari ulkus duodenum perforate
sebagian besar tetap steril selama beberapa jam, tetapi jika tidak diobati, hal ini
berkembang dalam waktu 6-12 jam menjadi peritonitis bakteri. Lebih jauh lagi, bila
hemoglobin terdapat dalam rongga peritoneum, E coli yang tumbuh di dalam rongga
tersebut dapat menguraikan leukotoksin yang mengurangi aktivitas efek bakterisida.
Infeksi yang terbatas dan terlokalisir dapat diberantas dengan pertahanan pejamu,
tetapi kontaminasi yang berlanjut selalu menyebabkan peritonitis umum dan akhirnya
septikemia dengan kegagalan organ multipel.4

I.10.3 Peritonitis Tersier

Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat
tindakan operasi sebelumnya. Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi
menjadi generalized (peritonitis) dan localized (abses intra abdomen).4

I.11 Peritonitis Difusa/Generalisata

I.11.1 Faktor yang memengaruhi perkembangan peritonitis generalisata


a. Kecepatan kontaminasi peritoneum merupakan faktor utama. Jika apendiks
yang meradang atau viskus berongga lainnya mengalami perforasi sebelum
terjadi lokalisasi, akan terjadi aliran keluar isi ke dalam rongga peritoneum,
yang dapat menyebar ke area yang luas hampir seketika. Perforasi proksimal
dari obstruksi atau dari pemisahan anastomosis tiba-tiba, sering dikaitkan
dengan peritonitis generalisata yang parah dan angka kematian yang tinggi.2

b. Stimulasi peristaltik dengan menelan makanan atau air. Peristaltik yang kuat
yang disebabkan oleh pemberian obat pencahar atau enema dapat
menyebabkan penyebaran infeksi yang meluas yang seharusnya tetap
terlokalisasi.2

c. Virulensi organisme yang menginfeksi mungkin begitu besar sehingga


membuat lokalisasi infeksi sulit atau tidak mungkin.2

d. Anak kecil memiliki omentum kecil, yang kurang efektif dalam melokalisir
infeksi.2

e. Kondisi immunodefisient dapat terjadi akibat penggunaan obat-obatan


(misalnya steroid), penyakit [mis. Acquired Immune Deficiency Syndrome
(AIDS)] atau usia tua.2

I.12 Gambaran Klinis

I.12.1 Early/Awal

Nyeri abdomen hebat diperparah dengan bergerak atau bernapas. Keluhan


pertama kali dialami di lokasi lesi asli dan menyebar keluar dari titik ini. Pasien
biasanya berbaring diam. Pada palpasi ditemukan nyeri tekan dan defens abdomen,
ketika peritonitis mengenai dinding abdomen anterior. Bising usus yang jarang
mungkin masih terdengar selama beberapa jam tetapi mereka berhenti dengan
timbulnya ileus paralitik. Nadi dan suhu meningkat sesuai dengan derajat inflamasi
dan infeksi.2

1.12.2 Late/Akhir
Jika resolusi atau lokalisasi dari peritonitis umum tidak terjadi, perut akan
menjadi kaku/rigid (generalised rigidity). Distensi sering terjadi dan bising usus tidak
ada. Kegagalan sirkulasi terjadi, dengan ekstremitas dingin, lembab, mata cekung,
lidah kering, denyut nadi irregular, dan wajah tegang dan cemas (fasies hipokrates –
Gambar 1). Pasien akhirnya pingsan. Dengan diagnosis dini dan pengobatan yang
memadai, kondisi ini jarang terlihat dalam praktik bedah modern.2

Gambar 3. hippocratic facies pada pasien terminal peritonitis generalisata

I.13 Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.2,9

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran


mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon inflamasi, sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi
ini segera gagal begitu terjadi hypovolemia. 2,9

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen


mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meningkat. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan
lumen- lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding
abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia
bertambah dengan adanya kenaikan suhu, intake yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan menjadi sulit dan menimbulkan
penurunan perfusi. 2,9

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis generalisata. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen
usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan
dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. 2,9

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik
usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana
yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat
total atau parsial, pada ileus strangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan
akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis. 2,9
Pada appendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem,
diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi
dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general. 2,9

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ
yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi
dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan
kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling
lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan
terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat
sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena
mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam
timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum. 2,9

I.14 Diagnosis

I.14.1 Anamnesis

Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis.
Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan
perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen.5

Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada


henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri
biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum.
Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari
proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan
perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis.5

Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti
dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti
demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu
tubuh biasanya sekitar 38°C sampai 40°C.5

1.14.2 Pemeriksaan Fisik Abdomen

a. Inspeksi

Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi
dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak
menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada
awal dari perjalanan penyakit, karena dalam beberapa hari baru terdapat
tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan
eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik.6

b. Auskultasi

Auskultasi harus dilakukan dengan teliti. Bising usus dapat bervariasi dari
yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hampir tidak
terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Mungkin akan
ditemukan suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop
bila disertai adanya ileus. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada
abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang
mengalami strangulasi.6

c. Palpasi

Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih
dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan
biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter. Nyeri tekan
lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses
ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local, atau dapat
menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat
hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang
maksimal. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti
papan.6

d. Perkusi

Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa.


Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal
ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal
dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal
dari peritonitis.

1.14.3 Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Pada pemeriksaan darah lengkap umumnya dijumpai leukositosis dan


peningkatan hematokrit. Dapat juga dengan melihat hasil pemeriksaan cairan
asites yang menunjukkan jumlah sel darah putih lebih besar dari 500/μL dan
lebih dari 25% leukosit polimorfonuklear. Gradien albumin cairan darah asites
lebih besar dari 1,1 g/dL, peningkatan kadar asam laktat serum, atau
penurunan pH cairan asites (<7,31) mendukung diagnosis.

b. Radiologi

Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu :terlihat kekaburan pada cavum


abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara
bebas subdiafragma atau intra peritoneal.
Gambar 4. Foto BNO pada peritonitis

I.15 Manajemen

Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit,
kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.2

I.15.1 Manajemen Preoperatif

a. Resusitasi Cairan

Pasien sering mengalami hipovolemik dengan gangguan elektrolit. Volume


plasma harus dipulihkan dan konsentrasi elektrolit dikoreksi. Keseimbangan
cairan harus dipantau dan kehilangan yang sudah terjadi sebelumnya dan yang
sedang berlangsung dikoreksi. Pertimbangan khusus mungkin diperlukan
untuk organ seperti jantung, paru dan ginjal, terutama jika ada syok septik
termasuk pemantauan tekanan vena sentral pada pasien dengan penyakit
konkuren.2

b. Antibiotik

Pemberian antibiotik harus dimulai setelah diagnosis dibuat. Antibiotik harus


ditujukan terhadap sumber yang paling mungkin dan mencakup organisme
aerobik dan anaerobik yang biasa ditemui pada perforasi usus. Antibiotik
intravena adalah lini pertama untuk memastikan kadar serum terapeutik pada
awal pengobatan yang diberikan seperti ileus dan penyerapan oral yang tidak
dapat diandalkan. Antibiotik spektrum luas, seperti sefalosporin generasi
ketiga, dimulai segera pada pasien yang diduga mengalami infeksi cairan
asites. Agen ini mencakup sekitar 95% flora yang paling sering dikaitkan
dengan SBP dan merupakan antibiotik pilihan untuk pasien yang diduga
memiliki SBP.2

I.15.1 Manajemen Operatif

Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya


dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini
berupa penutupan perforasi usus atau reseksi usus dengan anstomosis primer.
Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi
berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin,
feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi
ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.

Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri.
Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan
berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine).
Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada
cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage.
Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan
depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja
dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum
peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal
dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit
menghancurkan bakteri.5
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra-abdominal dan peritonitis
lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak
efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan
penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase
profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan
dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal
residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan
massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.5

I.15.1 Manajemen Postoperatif

Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak
stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi
organ-organ vital, dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian
cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan
peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal,
penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik.
Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis.
Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan
resiko infeksi sekunder.

I.16 Komplikasi

Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi


komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis
intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama
postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan distensi
abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya infeksi abdomen
residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen.
Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel yaitu
organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun.5

I.17 Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan
durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan
kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan
ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit
kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal.5
DAFTAR PUSTAKA

1. Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Loscalzo J.
Harrison’s Principles of Internal Medicine, Twentieth Edition (Vol.1 & Vol.2).
McGraw Hill Higher Education. 2018.

2. Bailey & Love’s Short Practice of Surgery, 27th Edition. Bailey & Love’s
Short Practice of Surgery, 27th Edition. 2018.

3. Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Kao LS, Matthews JB, et al.
Schwartz’s Principle of Surgery, Eleventh Edition. McGraw-Hill Education.
2015.

4. Townsend C, Beauchamp R, Evers B, Mattox K. Sabiston Textbook of


Surgery, 20th edition. Elsevier. 2017.

5. Doherty GM. Current Diagnosis & Treatment: Surgery. McGraw-Hill


Education Lange. 2015.

6. Burnand KG, Black J, Corbett SA, Thomas WE. Browse’s Introduction to the
Symptoms & Signs of Surgical Disease. Browse’s Introduction to the
Symptoms & Signs of Surgical Disease. 2014.

7. Hsieh YP, Chang CC, Wen YK, Chiu PF, Yang Y. Predictors of peritonitis and
the impact of peritonitis on clinical outcomes of continuous ambulatory
peritoneal dialysis patients in Taiwan—10 years’ experience in a single center.
Perit Dial Int. 2014;

8. Lu Y, Hajifathalian K, Ezzati M, Woodward M, Rimm EB, Danaei G, et al.


Metabolic mediators of the effects of body-mass index, overweight, and
obesity on coronary heart disease and stroke: A pooled analysis of 97
prospective cohorts with 1·8 million participants. Lancet.
2014;383(9921):970–83.

9. Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Loscalzo J, et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. In: Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 20th ed. McGraw-Hill Companies, Inc.; 2018.

Anda mungkin juga menyukai