LATAR BELAKANG
TINJAUAN PUSTAKA
Salah satu komplikasi yang lebih umum dan penyebab paling penting dari
morbiditas dan mortalitas yang berlebihan adalah perforasi, baik yang terdapat dan
terlokalisasi atau tidak terbatas di dalam rongga peritoneum. Penjelasan untuk tren ini
tidak diketahui. Sekitar 20% dari semua pasien akan datang ke rumah sakit dengan
bukti perforasi, tetapi persentase risikonya jauh lebih tinggi pada pasien di bawah 5
tahun atau di atas 65 tahun.1
I.4 Patofisiologi
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan membuat kondisi hemostasis dari arteri terganggu sehingga terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
apendisitis perforasi.4
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.4
Biasanya, penyakit dimulai dengan rasa tidak nyaman pada pertengahan perut
atau periumbilikal yang diikuti dengan mual, anoreksia, dan gangguan pencernaan.
Rasa sakitnya terus menerus tetapi tidak parah, dengan kram ringan sesekali. Pasien
mungkin merasa sembelit atau mungkin muntah. Yang penting, dalam beberapa jam
setelah timbulnya gejala, nyeri berpindah ke kuadran kanan bawah, menjadi
terlokalisir dan menyebabkan ketidaknyamanan saat bergerak, berjalan, atau batuk.5
Pemeriksaan fisik menunjukkan nyeri tekan lokal pada palpasi dan mungkin
sedikit defans muskular. Nyeri rebound atau perkusi dapat terjadi di kuadran kanan
bawah. Pemeriksaan rektal dan pelvic cenderung negatif; jika positif, ini lebih sering
menunjuk ke etiologi lain. Suhu hanya sedikit meningkat tanpa adanya perforasi.5
I.6 Diagnosis
I.6.1 Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 °C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rek sampai
1°C. Pada Inspeksi pasien dapat terlihat memegang perut kesakitan. Auskultasi
menunjukkan peristaltik usus yang sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata. Pada palpasi di
daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tand peritonitis lokal yaitu: 4
a. Pemeriksaan Laboratorium
c. CT Scan
d. Laparoskopi
I.8 Epidemiologi
Peritonitis sekunder akibat dari kontaminasi bakteri yang berasal dari dalam
viscera atau dari sumber eksternal (misalnya, cidera penetrasi). Paling sering
menyebabkan gangguan organ berongga. Empedu dan urin yang terekstravasasi,
meskipun hanya sedikit mengiritasi jika steril, sangat beracun jika terinfeksi dan
memicu reaksi peritoneum yang kuat. Cairan lambung dari ulkus duodenum perforate
sebagian besar tetap steril selama beberapa jam, tetapi jika tidak diobati, hal ini
berkembang dalam waktu 6-12 jam menjadi peritonitis bakteri. Lebih jauh lagi, bila
hemoglobin terdapat dalam rongga peritoneum, E coli yang tumbuh di dalam rongga
tersebut dapat menguraikan leukotoksin yang mengurangi aktivitas efek bakterisida.
Infeksi yang terbatas dan terlokalisir dapat diberantas dengan pertahanan pejamu,
tetapi kontaminasi yang berlanjut selalu menyebabkan peritonitis umum dan akhirnya
septikemia dengan kegagalan organ multipel.4
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat
tindakan operasi sebelumnya. Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi
menjadi generalized (peritonitis) dan localized (abses intra abdomen).4
b. Stimulasi peristaltik dengan menelan makanan atau air. Peristaltik yang kuat
yang disebabkan oleh pemberian obat pencahar atau enema dapat
menyebabkan penyebaran infeksi yang meluas yang seharusnya tetap
terlokalisasi.2
d. Anak kecil memiliki omentum kecil, yang kurang efektif dalam melokalisir
infeksi.2
I.12.1 Early/Awal
1.12.2 Late/Akhir
Jika resolusi atau lokalisasi dari peritonitis umum tidak terjadi, perut akan
menjadi kaku/rigid (generalised rigidity). Distensi sering terjadi dan bising usus tidak
ada. Kegagalan sirkulasi terjadi, dengan ekstremitas dingin, lembab, mata cekung,
lidah kering, denyut nadi irregular, dan wajah tegang dan cemas (fasies hipokrates –
Gambar 1). Pasien akhirnya pingsan. Dengan diagnosis dini dan pengobatan yang
memadai, kondisi ini jarang terlihat dalam praktik bedah modern.2
I.13 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.2,9
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis generalisata. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen
usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan
dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. 2,9
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik
usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana
yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat
total atau parsial, pada ileus strangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan
akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis. 2,9
Pada appendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem,
diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi
dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general. 2,9
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ
yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi
dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan
kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling
lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan
terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat
sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena
mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam
timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum. 2,9
I.14 Diagnosis
I.14.1 Anamnesis
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis.
Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan
perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen.5
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti
dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti
demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu
tubuh biasanya sekitar 38°C sampai 40°C.5
a. Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi
dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak
menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada
awal dari perjalanan penyakit, karena dalam beberapa hari baru terdapat
tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan
eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik.6
b. Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti. Bising usus dapat bervariasi dari
yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hampir tidak
terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Mungkin akan
ditemukan suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop
bila disertai adanya ileus. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada
abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang
mengalami strangulasi.6
c. Palpasi
Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih
dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan
biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter. Nyeri tekan
lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses
ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local, atau dapat
menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat
hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang
maksimal. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti
papan.6
d. Perkusi
a. Laboratorium
b. Radiologi
I.15 Manajemen
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit,
kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.2
a. Resusitasi Cairan
b. Antibiotik
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri.
Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan
berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine).
Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada
cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage.
Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan
depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja
dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum
peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal
dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit
menghancurkan bakteri.5
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra-abdominal dan peritonitis
lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak
efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan
penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase
profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan
dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal
residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan
massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.5
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak
stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi
organ-organ vital, dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian
cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan
peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal,
penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik.
Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis.
Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan
resiko infeksi sekunder.
I.16 Komplikasi
I.17 Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan
durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan
kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan
ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit
kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Loscalzo J.
Harrison’s Principles of Internal Medicine, Twentieth Edition (Vol.1 & Vol.2).
McGraw Hill Higher Education. 2018.
2. Bailey & Love’s Short Practice of Surgery, 27th Edition. Bailey & Love’s
Short Practice of Surgery, 27th Edition. 2018.
3. Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Kao LS, Matthews JB, et al.
Schwartz’s Principle of Surgery, Eleventh Edition. McGraw-Hill Education.
2015.
6. Burnand KG, Black J, Corbett SA, Thomas WE. Browse’s Introduction to the
Symptoms & Signs of Surgical Disease. Browse’s Introduction to the
Symptoms & Signs of Surgical Disease. 2014.
7. Hsieh YP, Chang CC, Wen YK, Chiu PF, Yang Y. Predictors of peritonitis and
the impact of peritonitis on clinical outcomes of continuous ambulatory
peritoneal dialysis patients in Taiwan—10 years’ experience in a single center.
Perit Dial Int. 2014;
9. Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Loscalzo J, et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. In: Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 20th ed. McGraw-Hill Companies, Inc.; 2018.