Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

APPENDICITIS

Dosen Pembimbing :
Ibu Yulia Agustina, S.Kep, M.Kep

Disusun Oleh :

Maria Kurniati Titin Jemali

( 220327027 )

DIII KEPERAWATAN TINGKAT II


STIKES ABDI NUSANTARA
TAHUN AKADEMIK 2024/2025
KONSEP DASAR

A. Definisi
Apendisitis adalah suatu proses obstruksi yang disebabkan oleh benda asing
batu feses kemudian terjadi proses infeksi dan disusul oleh peradangan dari apendiks
verivormis (Nugroho, 2011)
Apendisitis merupakan peradangan yang berbahaya jia tidak ditangani segera
bisa menyebabkan pecahnya lumen usus (Wikkiams & Wikins, 2011).
Apendisitis adalah suatu peradangan yang berbentuk cacing yang berlokasi dekat
ileosekal (Reksoprojo, 2010)
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai
cacing. Infeksi ini bisa menyebabkan peradangan akut sehingga memerlukan bedah
segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Sjamsuhidajat, 2010)
Jadi, Appendicitis atau yang juga dikenal sebagai radang usus buntu adalah
kondisi peradangan pada apendiks atau usus buntu. Apendiks adalah organ kecil yang
terletak di sisi kanan bawah perut dan menempel pada usus besar. Ketika usus buntu
tersumbat, dapat terjadi peradangan dan pertumbuhan bakteri di dalamnya.
Penyumbatan dapat disebabkan oleh tinja yang mengeras, pembengkakan kelenjar
getah bening di usus, atau infeksi parasit.

B. Etiologi
Etiologi atau penyebab appendicitis adalah peradangan pada apendiks yang
terletak di bagian kanan bawah perut. Berikut adalah beberapa faktor yang dapat
menjadi penyebab appendicitis:
1. Obstruksi Apendiks: Salah satu penyebab utama appendicitis adalah obstruksi atau
penyumbatan pada apendiks. Penyumbatan ini biasanya disebabkan oleh tinja,
benda asing, atau pembengkakan jaringan di sekitar apendiks. Akibatnya, aliran
darah ke apendiks terhambat sehingga menyebabkan infeksi dan peradangan.
2. Infeksi Bakteri: Infeksi bakteri juga dapat menyebabkan appendicitis. Bakteri
yang umumnya terlibat adalah bakteri usus normal, seperti Escherichia coli (E.
coli). Bakteri ini dapat masuk ke dalam apendiks dan menyebabkan infeksi serta
peradangan.
3. Peradangan Usus: Peradangan pada usus, seperti kolitis atau penyakit Crohn,
dapat menyebabkan peradangan yang menyebar ke apendiks. Ini dapat
menyebabkan appendicitis sekunder.
4. Hiperplasia Jaringan Limfoid: Peningkatan jumlah jaringan limfoid di sekitar
apendiks, yang disebut hiperplasia jaringan limfoid, juga dapat menjadi faktor
risiko appendicitis. Hiperplasia ini dapat menyebabkan penyumbatan pada
apendiks dan menyebabkan infeksi.
5. Trauma: Cedera atau trauma pada perut bagian kanan bawah juga dapat menjadi
faktor pemicu appendicitis. Trauma dapat menyebabkan peradangan pada
apendiks atau menyebabkan obstruksi yang kemudian menyebabkan infeksi.

C. Manifestasi Klinis
Gejala awal yang khas yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri
samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus.
Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, muntah dan pada umumnya nafsu
makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan
bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya,
sehingga merupakan nyeri somatik setempat, namun terkadang tidak dirasakan adanya
nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerluka nobat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan
demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius. Faktor-faktor yang
mempermudah terjadinya radang apendiks menurut Haryono (2012), diantaranya
adalah
1. Faktor sumbatan
Faktor sumbatan merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan
lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal,4% karena benda asing, dan sebab
lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.
2. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut.
Adanya fekolit dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi dapat memperburuk
dan memperberat infeksi karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks, pada kultur yang banyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragilis dan E.coli, Splanchius, Lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodessplanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob lebih dari 10%.
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang
mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makan
dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya
fekolit dan menyebabkan obstruksi lumen.
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa
kulit putih yang dulunya mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang pola
makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit
putih telah mengubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru
negara berkembang yang dulunya mengkonsumsi tinggi serat kini beralih ke pola
makan rendah serat, kini memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi.
Gejala appendicitis dapat bervariasi antara individu, tetapi ada beberapa gejala umum
yang sering terjadi. Berikut adalah beberapa manifestasi klinis yang biasanya terkait
dengan appendicitis:
1. Nyeri Perut: Nyeri perut adalah gejala utama appendicitis. Awalnya, nyeri
mungkin terasa di sekitar pusar atau perut bagian atas. Namun, seiring waktu,
nyeri akan berpindah dan berkonsentrasi di perut kanan bawah, di area apendiks.
Nyeri ini biasanya meningkat secara bertahap dan menjadi lebih intens.
2. Mual dan Muntah: Banyak orang dengan appendicitis juga mengalami mual dan
muntah. Mual biasanya terjadi bersamaan dengan nyeri perut dan dapat disertai
dengan perasaan tidak nyaman di perut.
3. Anoreksia: Anoreksia atau hilangnya nafsu makan juga dapat terjadi pada
appendicitis. Seseorang mungkin merasa tidak ingin makan atau merasa kenyang
dengan cepat.
4. Demam
Demam adalah gejala umum yang terjadi pada banyak kondisi peradangan,
termasuk appendicitis. Suhu tubuh dapat meningkat menjadi lebih dari 38 derajat
Celsius.
5. Perubahan Buang Air Besar
Beberapa orang dengan appendicitis mengalami perubahan dalam pola buang air
besar. Mereka mungkin mengalami diare atau konstipasi.
6. Perubahan Frekuensi dan Sifat Buang Air Kecil
Seseorang dengan appendicitis mungkin mengalami perubahan dalam frekuensi
dan sifat buang air kecil. Mereka mungkin merasa sering ingin buang air kecil
atau mengalami kesulitan saat buang air kecil.
7. Perubahan Sensitivitas Tekanan
Tekanan atau sentuhan ringan pada perut kanan bawah dapat menyebabkan nyeri
yang lebih intens pada seseorang dengan appendicitis.

D. Klasifikasi
Appendicitis tidak memiliki klasifikasi yang khusus. Namun, appendicitis
dapat dibagi menjadi dua tipe berdasarkan kondisi apendiks, yaitu
1. Appendicitis akut adalah jenis yang paling umum dari appendicitis. Appendicitis
akut terjadi ketika apendiks mengalami peradangan tiba-tiba dan cepat. Gejala
yang umum terjadi termasuk nyeri perut sebelah kanan bawah, mual, muntah,
demam, dan kehilangan nafsu makan. Jika tidak diobati, appendicitis akut dapat
menyebabkan apendiks pecah dan menyebabkan infeksi serius.
2. Appendicitis kronis adalah jenis yang lebih jarang dari appendicitis. Appendicitis
kronis terjadi ketika apendiks mengalami peradangan yang berlangsung dalam
jangka waktu yang lebih lama. Gejala yang mungkin muncul pada appendicitis
kronis mirip dengan appendicitis akut, tetapi tidak sehebat. Pada beberapa kasus,
appendicitis kronis dapat menyebabkan pembentukan kalsifikasi atau pengapuran
di dalam apendiks.

E. Patofisiologi dan Pathway


Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folokel limfoid, fekalit, benda asing, striktutur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut
akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh
nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium setempat sehingga
menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuraktif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gengren. Stadium disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila proses di atas
berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks
hingga timbul suatu massa lokal yang di sebut infiltrat apendikularis. Oleh karena itu
tindakan yang paling tepat adalah apendiktomi. Jika tidak dilakukan tindakan segera
mungkin maka peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang
(mansjoer, 2000, h. 307).
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau
tersumbat kemungkinan oleh fekolit (massa keras dari faeces) atau benda asing.
Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal dan menimbulkan nyeri
abdomen atas atau menyebar hebat secara progresif dalam beberapa jam terlokalisasi
dalam kuadran kanan bawah dari abdomen. Akibatnya, apendiks yang terinflamasi
berisi pus (Munir, 2011)

Pathways
Hyperplasia Striktutur Neoplasma
Fekalit Benda asing
folikel limfoid karena fibrosis (tumor)
akibat
peradangan
sebelumnya

Sumbatan

Mukus mukosa terbendung

Apendiks terenggang

Peningkatan tekanan intralumen

Aliran darah terganggu

Edema, ulserasi mukosa, invasi bakteri


pada dinding apendiks

Apendisitis

Mengeluh nyeri Nyeri viseral Operasi/ pembedahan


epigastrum,
tampak meringis,
Daerah Luka insisi
bersikap protektif
epigastrum
disekitar
Nyeri Akut umbilikus
Pintu masuk Kerusakan Nyeri
kuman jaringan
Mual, muntah
Pelepasan ROM
Peningkatan prostaglandin menurun,
Gangguan
Risiko paparan Integritas nyeri saat
Hipovolemia organisme Kulit/ bergerak
pathogen Nyeri
Jaringan
Akut

Risiko Infeksi Gangguan


Mobilitas
Fisik
F. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendisitis.Adapun
jenis komplikasi menurut (Sulekale, 2016) adalah
1. Abses
Abses merupakan peradangan apendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mulamula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi apabila
appendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum. Operasi
appendektomi untuk kondisi abses apendiks dapat dilakukan secara dini
(appendektomi dini) maupun tertunda (appendektomi interval). Appendektomi
dini merupakan appendektomi yang dilakukan segera atau beberapa hari setelah
kedatangan klien di rumah sakit. Sedangkan appendektomi interval merupakan
appendektomi yang dilakukan setelah terapi konservatif awal, berupa pemberian
antibiotika intravena selama beberapa minggu.
2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak
awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 2 jam.Perforasi dapat diketahui
praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam
sejak sakit, panas lebih dari 38,5° C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan
leukositosis terutama Polymorphonuclear (PMN). Perforasi baik berupa perforasi
bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan terjadinya peritonitis.
Perforasi memerlukan pertolongan medis segera untuk membatasi pergerakan
lebih lanjut atau kebocoran dari isi lambung ke rongga perut. Mengatasi peritonitis
dapat dilakukan oprasi untuk memperbaiki perforasi, mengatasi sumber infeksi,
atau dalam beberapa kasus mengangkat bagian dari organ yang terpengaruh
3. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum dapat menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktifitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit yang mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan
oliguria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri
abdomen, demam, dan leukositosis. Penderita peritonitis akan disarankan untuk
menjalani rawat inap di rumah sakit.
Beberapa penanganan bagi penderita peritonitis adalah
a. Pemberian obat-obatan.
Penderita akan diberikan antibiotik suntik atau obat antijamur bila dicurigai
penyebabnya adalah infeksi jamur, untuk mengobati serta mencegah infeksi
menyebar ke seluruh tubuh. Jangka waktu pengobatan akan disesuaikan
dengan tingkat keparahan yang dialami klien.
b. Pembedahan.
Tindakan pembedahan dilakukan untuk membuang jaringan yang terinfeksi
atau menutup robekan yang terjadi pada organ dalam.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan
appendicitis akut. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar
antara12.000 - 18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrophil
(shifttotheleft) dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis
appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan
appendicitis.
2. Pemeriksaan Urinalisis
Membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu
ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika

inflamasi appendiks terjadi didekat ureter.


3. UltrasonografiAbdomen(USG)
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari
90%.
Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah
appendix dengan diameter anteroposterior 7mm atau lebih, didapatkan suatu
appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix. False positif dapat muncul
dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil dari salphingitis atau
inflammatory bowel disease. False negative juga dapat muncul karena letak
appendix yang retro caecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang
menghalangi appendiks.
4. CT Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas. Sensitifitas dan spesifisitasnya
kira-kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan
curiga adanya abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test
diagnostik. Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix
dilatasi lebih dari 5-7mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang
terinfeksi akan mengecil.

H. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan post operasi apendiktomi dibagi menjadi tiga (Brunner
& Suddarth, 2010),yaitu:
1. Sebelum operasi
a. Observasi
Dalam 8-12 jam setelah munculnya keluhan perlu diobservasi ketat karena
tanda dan gejala apendisitis belum jelas. Pasien diminta tirah baring dan
dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis.
Diagnosis ditegakkan dengan lokasi nyeri pada kuadran kanan bawah setelah
timbulnya keluhan.
b. Antibiotik
Apendisitis ganggrenosa atau apenditis perforasi memerlukan antibiotik,
kecuali apendiksitis tanpa komplikasi tidak memerlukan antibiotik. Penundaan
tindakan bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
preforasi.
2. Operasi
Operasi / pembedahan untuk mengangkat apendiks yaitu apendiktomi.
Apendiktomi harus segera dilakukan untuk menurunkan resiko perforasi.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum dengan pembedahan
abdomen bawah atau dengan laparoskopi. Laparoskopi merupakan metode terbaru
yang sangat efektif (Brunner & Suddarth, 2010).Apendiktomi dapat dilakukan
dengan menggunakan dua metode pembedahan, yaitu secara teknik terbuka
(pembedahan konvensional laparatomi) atau dengan teknik laparoskopi yang
merupakan teknik pembedahan minimal invasive dengan metode terbaru yang
sangat efektif (Brunner & Suddarth, 2010).
a. Laparatomi
Laparatomi adalah prosedur vertical pada dinding perut ke dalam rongga
perut. Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan merasakan organ dalam
untuk membuat diagnose apa yang salah. Adanya teknik diagnosa yang tidak
invasif, laparatomi semakin kurang digunakan dibanding terdahulu. Prosedur
ini hanya dilakukan jika semua prosedur lainnya yang tidak membutuhkan
operasi, seperti laparoskopi yang seminimal mungkin tingkat invasifnya juga
membuat laparatomi tidak sesering terdahulu. Bila laparatomi dilakukan,
begitu organ-organ dalam dapat dilihat dalam masalah teridentifikasi,
pengobatan bedah harus segera dilakukan.
Laparatomi dibutuhkan ketika ada kedaruratan perut. Operasi laparatomi
dilakukan bila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area abdomen,
misalnya trauma abdomen. Bila klien mengeluh nyeri hebat dan gejala-gejala
lain dari masalah internal yang serius dan kemungkinan penyebabnya tidak
terlihat seperti usus buntu, tukak peptikyang berlubang, atau kondisi
ginekologi maka dilakukan operasi untuk menemukan dan mengoreksinya
sebelum terjadi keparahan lebih. Laparatomi dapat berkembang menjadi
pembedahan besar diikuti oleh transfusi darah dan perawatan intensif (David
dkk, 2009).
b. Laparoskopi
Laparaskopi berasal dari kata lapara yaitu bagian dari tubuh mulai dari iga
paling bawah samapi dengan panggul. Teknologi laparoskopi ini bisa
digunakan untuk melakukan pengobatan dan juga mengetahui penyakit yang
belum diketahui diagnosanya dengan jelas. Keuntungan bedah laparoskopi:
 Pada laparoskopi, penglihatan diperbesar 20 kali, memudahkan dokter
dalam pembedahan.
 Secara estetika bekas luka berbeda dibanding dengan luka operasi pasca
bedah konvensional. Luka bedah laparoskopi berukuran 3 sampai 10 mm
akan hilang kecuali klien mempunyai riwayat keloid.
 Rasa nyeri setelah pembedahan minimal sehingga penggunaan obat-
obatan dapat diminimalkan, masa pulih setelah pembedahan lebih cepat
sehingga klien dapat beraktivitas normal lebih cepat.
3. Setelah operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di
dalam, hipertermia, syok atau gangguan pernafasan. Baringkan klien dalam posisi
semi fowler. Klien dikatakan baik apabila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan,
selama itu klien dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal. Satu hari setelah
dilakukan operasi klien dianjurkan duduk tegak di temmpat tidur selama 2 x 30
menit. Hari kedua dapat dianjurkan untuk duduk di luar kamar. Hari ke tujuh
dapat diangkat dan dibolehkan pulang (Mansjoer, 2010).

Anda mungkin juga menyukai