Anda di halaman 1dari 106

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang
paling sering1. Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan di masyarakat
kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu sebenarnya adalah sekum. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa
fungsi apendiks sebenarnya. Namun demikian, organ ini sering sekali menimbulkan masalah kesehatan.
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit. Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm)
dan berpangkal di sekum. Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen
dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut, tampaknya merupakan salah satu penyebab
timbulnya appendisits. Di dalam apendiks juga terdapat immunoglobulin sekretoal yang merupakan zat pelindung efektif
terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam apendiks adalah IgA.
Namun demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah
jaringan limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain.2
Apendisitis dapat mengenai semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Namun lebih sering menyerang laki-laki
berusia 10-30 tahun.
APENDICITIS

A. Pengertian.
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup
ileosekal. Appendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya
kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi.

Appendiks merupakan peradangan pada appendiks (umbai cacing). Kira-kira 7% populasi akan mengalami appendiks pada waktu yang
bersamaan dalam hidup mereka. Pria lebih cenderung terkena appendiks dibanding wanita. Appendiks lebih sering menyerang pada usia 10
sampai 30 tahun.
Appendiks perforasi adalah merupakan komplikasi utama dari appendiks, dimana appendiks telah pecah sehingga isis appendiks keluar
menuju rongga peinium yang dapat menyebabkan peritonitis atau abses.
Appendiktomi adalah pengangkatan terhadap appendiks terimplamasi dengan prosedur atau pendekatan endoskopi.

B. Etiologi.
- Penyebab belum pasti
- Faktor yang berpengaruh :

Obstruksi : hiperplasi kelenjar getah bening (60%), fecalt (massa keras dari feses) 35%, corpus alienum (4%), striktur lumen (1%).

Infeksi : E.Coli dan steptococcus.

Tumor

C. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebaban oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut
akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis
akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum
lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.

Pathway.
Apendiks

Hiperplasi folikel
limfoid

apendiks

Benda asing

Erosi mukosa

Fekalit

Striktur

Tumor

Obstruksi

Mukosa terbendung

Apendiks teregang

Nyeri

Tekanan intraluminal

Aliran darah terganggu

Ulserasi dan invasi bakteri


Pada dinding apendiks

Apendicitis

ke peritonium

trombosis pd vena intramural

peritonitis

pembengkakan dan iskemia

perforasi
Cemas

pembedahan operasi
PK Perdarahan

luka insisi

Defisit Self
Care

Nyeri
Akut

jalan masuk kuman

Resiko infeksi

D. Manifestasi Klinik
1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
2. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.

3. Nyeri tekan lepas dijumpai.


4. Terdapat konstipasi atau diare.
5. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
6. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
7. Nyeri kemuh, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
8. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
9. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
10. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
11. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.

E. Komplikasi
Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecendrungan
menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa
tersebut.
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatkan nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonotis umum atau
abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malise, dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum aatu pembentukan abses
telah terjadi sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai
penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium (setengah duduk), pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian
penenang, pemberian antibiotik berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur, transfusi untuk
mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada.

Bila terbentukabses apendiks akan teraba massa di kuadrankanan bawah yang cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi
dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (misalnya ampisilin, gentamisin, metronidazole, atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan
segera menghilang, dan apendiktomi dapat dilakukan 6 12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase.
Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fluktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase.
Tomboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus kita curigai bila ditemukan demam
sepsis, menggigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi
dengan drainase. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga
dapat terjadi akibat perlengketan.
F. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Hb normal
Leukosit normal atau meningkat (bila lanjut umumnya leukositosis, >10,000/mm 3)
Hitung jenis : segmen lebih banyak
LED meningkat (pada appendicitis infiltrate)
b. Rotgen : appendicogram
Hasil positif berupa :
Non-filling
Partial filling
Mouse tail
Cut off
Rontgen abdomen tidak menolong kecuali telah terjadi peritonitis.

G. Penatalaksanaan
1. Sebelum operasi
a. Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis seringkali masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu
dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk
peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik. Foto abdomen
dan thoraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan denagn lokalisasi
nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
b. Intubasi bila perlu
c.

Antibiotik

2. Operasi apendiktomi
3. Pasca operasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan.
Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien
dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi
atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam selam 4-5 jam lalu
naikkan menjasi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan diberikan makanan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari
pascaoperasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selam 2x30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar
kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
4. Penatalaksanaan gawat darurat non-operasi
Bila tidak ada fasilitas bedah, berikan penatalaksanaan seperti dalam perotonitis akut. Dengan demikian, gejala apendisitis akut akan mereda,
dan kemungkinan terjadinya komplikasi akan berkurang.
H. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul

Preoperasi :
1. Cemas berhubungan dengan tindakan operasi.
Postoperasi :
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (insisi pembedahan).

LAPORAN PENDAHULUAN

A.

Pengertian

Apendiksitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering ( Mansjoer, 2000 : 307).
Appendiksitis Akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen
darurat (Smeltzer, 2001 : 80).
Appendiksitis adalah penyebab paling umum dari inflamasi akut kuadran kanan kanan bawah rongga abdomen dan penyebab paling umum dari pembedahan
abdomen darurat (Brunner and suddart, 2000).
Appendiksitis merupakan peradangan pada usus buntu /appendiks (Anonim, Appendiksitis, 2007).

Appendiksitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus yang memerlukan
laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika
umbai cacing yang terinfeksi hancur (Anonim, Appendiks, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas penulis menyimpulkan, appendiksitis adalah peradangan pada usus buntu pada kuadran kanan bawah rongga abdomen, yang dapat
sembuh tanpa perawatan pada kasus ringan dan pada kasus berat memerlukan pembedahan laparotomi.
B.

Etiologi

1. Menurut Syamsuhidayat, 2004 : 72


a.

Fekolit / massa fekal padat karena konsumsi diit rendah serat

b.

Tumor Appendiks

c.

Cacing Ascaris

d.

Erosi mukosa appendiks karena parasit E.Histolytica

e.

Hiperplasia jaringan limfe.

2. Menurut Mansjoer, 2000 : 307


a.

Hiperplasia folikel limfoid

b.

Fekolit

c.

Benda asing

d.

Striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya

e.

Neoplasma

3. Menurut Irga, 2007 :


Terjadinya appendiksitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantara
obstruksi yang terjadi pada lumen appendiks. Obstruksi pada lumen appendiks ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras dan striktur.
Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen appendiks adalah fekolit dan hiperplasia jaringan limfoid.

C.

Klasifikasi

Klasifikasi Appendiksitis menurut Syamsuhidayat 2004 : 78, terbagi atas 2 yakni :


1.

Appendiksitis Akut, dibagi atas :

a.

Appendiksitis akut fokalis/ segmentalis

Yaitu setelah sembuh akan timbul striktur local


b.

Appendiksitis purulenta difusi

Yaitu sudah bertumpuk nanah


2.

Appendiksitis kronis, dibagi atas :

a.

Appendiksitis kronis fokalis atau parsial

Yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal.


b.

Appendiksitis kronis obliteritiva

Yaitu appendik miring, biasanya ditemukan pada usia tua.

D.

Manifestasi Klinis

1.

Menurut Anonim, Appendiksitis, 2007

Appendiksitis memiliki gejala kombinasi yang khas yang terdiri dari :


Mual, muntah dan nyeri yang hebat di perut kanan bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai perut sebelah atas atau disekitar pusar, lalu timbul mual dan
muntah. Setelah beberapa jam rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri
tumpul dan jika penekanan ini dilepaskan nyeri bisa bertambah tajam. Demam bisa mencapai 37, 8 38o celcius.Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat
menyeluruh disemua bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus
buntu pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok.

2.

Menurut Betz, Cecily 2000 : 298

a.

Sakit, kram di peri umbilikus menjalar ke kuadran kanan bawah.

b.

Anorexia.

c.

Mual.

d.

Muntah (tanda yang umum, kurang umum pada anak yang lebih besar).

e.

Demam ringan di awal penyakit, dapat naik tajam pada peritonitis.

f.

Nyeri lepas.

g.

Bising usus menurun atau tidak ada sama sekali.

h.

Konstipasi.

i.

Diare.

j.

Disuria.

k.

Iritabilitas.

l.

Gejala berkembang cepat, kondisi dapat di diagnosis dalam 4 sampai 6 jam setelah munculnya gejala pertama.

3.

Manifestasi klinis menurut Mansjoer, 2000 : 310.

Keluhan apendiks biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilicus/periumbilicus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan beralih ke
kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan/batuk. Terdapat juga keluhan anorexia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi.
Biasanya juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual, muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang
menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen bawah akan semakin progesif dan dengan pemeriksaan sesama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan
nyeri maksimal. Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme biasanya juga muncul. Bila tanda
rousing, psoas dan obturatorpositif, akan semakin menyakinkan diagnosa klinis.

E.

Patofisiologi

Menurut Mansjoer, 2000 : 320


Appendiksitis biasanya disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen appendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekolit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya / neoplasma. Feses yang terperangkap dalam lumen apendiks akan menyebabkan obstruksi dan akan mengalami penyerapan air
dan terbentuklah fekolit yang akhirnya sebagai kausa sumbatan. Obstruksi yang terjadi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan, semakin lama mukus semakin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen. Tekanan tesebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapdesis bakteri, dan ulserasi mukus.
Pada saat ini terjadi appendiksitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium, sumbatan menyebabkan nyeri sekitar umbilicus dan
epigastrium, nausea, muntah. Invasi kuman E.Coli dan spesibakteroides dari lumen ke lapisan mukosa, sub mukosa lapisan muskularisa dan akhirnya ke
peritonium parietalis terjadilah peritonitis local kanan bawah. Suhu tubuh mulai naik, bila sekresi mukus terus berlanjut tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di area kanan bawah, keadaan ini yang kemudian disebut dengan appendiksitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang diikuti dengan ganggren, stadium ini disebut dengan appendiksitis
ganggrenosa. Bila dinding yang telah rapuh pecah akan menyebabkan appendiksitis perforasi. Bila proses tersebut berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infltrate appendikkularis. Peradangan appendiks tersebut akan
menyebabkan abses atau bahkan menghilang.
Pada anak anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih panjang, dinding appendiks lebih tipis. Keadaan demikian ditambah dengan daya tahan
tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh darah.
Tahapan peradangan appendiksitis :
1.

Appendiksitis akuta (sederhana, tanpa perforasi)

2.

Appendiksitis akuta perfrate (termasuk appendiksitis ganggrenosa, karena dinding appendiks sebenarnya sudah terjadi mikro perforasi).

G.

Pemeriksaan Penunjang

Untuk menegakkan diagnosa pada appendicitis didasarkan atas annamnesa ditambah dengan pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan
penunjang lainnya.
a.

Gejala appendicitis ditegakkan dengan anamnesa, ada 4 hal yang penting adalah :

1.

Nyeri mula mula di epeigastrium (nyeri visceral) yang beberapa waktu

2.

Muntah oleh karena nyeri visceral.

3.

Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus).

4.

Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan di perut terasa nyeri.

b.

Pemeriksaan yang lain

1.

Lokalisasi

kemudian menjalar ke perut kanan bawah.

Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh perut, tetapi paling terasa nyeri pada titik Mc Burney. Jika sudah infiltrat, infeksi juga
terjadi jika orang dapat menahan sakit, dan kita akan merasakan seperti ada tumor di titik Mc. Burney
2.

Test Rectal

Pada pemeriksaan rectal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi.
3.

Pemeriksaan Laboratorium

a. Leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang pada appendicitis akut dan
perforasi akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi.
b.

Hb (hemoglobin) nampak normal.

c.

Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan appendicitis infiltrat.

d.

Urine penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.

4.

Pemeriksaan Radiologi.

Pada foto tidak dapat menolong untuk menegakkan diagnosa appendicitis akut, kecuali bila terjadi peritonitis, tapi kadang kala dapat ditemukan
gambaran sebagai berikut :
a.

Adanya sedikit fluid level disebabkan karena adanya udara dan cairan.

b.

Kadang ada fekolit (sumbatan).

c.

Pada keadaan perforasi ditemukan adanya udara bebas dalam diafragma.

H.

Penatalaksanaan

Penatalaksaan appendiksitis menurut mansjoer, 2000 : 320


1.

Sebelum operasi

a.

Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi.

b.

Pemasangan kateter untuk control produksi urin.

c.

Rehidrasi.

d.

Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena.

e. Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti mengigil, largaktil untuk membuka pembuluh pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi
tercapai.
f.

Bila demam harus diturunkan sebelum diberi anestesi.

2.

Operasi

a.

Appendiktomi.

b.

Appendiks dibuang, jika appendiks mengalami perforasi maka abdomen dicuci dengan garam fisiologi dan antibiotik.

c. Abses appendiks diobati dengan antibiotika IV, massanya mungkin mengecil atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa
hari. Appendiktomi dilakukan bila abses, dilakukan operasi effektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan.
3.

Pasca Operasi

a.

Observasi TTV

b.

Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan dapat dicegah.

c.

Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.

d.

Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan selama pasien dipuasakan.

e.

Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi, puasa dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.

f. Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu dinaikan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan
makanan lunak.
g.

Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x30 menit.

h.

Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar kamar.

i.

Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

Komplikasi
Menurut Irga, 2007
Appendiksitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif
dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.
Tanda tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum/abses yang
terlokalisasi, ileus, demam, malaise, leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak klien
pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi, sedangkan tindakan lain sebagai penunjang
adalah tirah baring dalam posisi semi fowler mdium, pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik
berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan kultur, transfusi untuk mengatasi anemia dan penanganan syok septik secara
intensif bila ada.
Bila terbentuk abses appendiks akan teraba massa dikuadaran kanan bawah yang cenderung menggelembung ke arah rectum/vagina. Terapi ini dapat
diberikan kombinasi antibiotik (misalnya ampisilin, gentamisin, metronidazol / klindamisin). Dengn sedian ini abses akan segera menghilang dan appendiktomi
dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progesif harus segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rektum /
vagina dengan fruktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase.

Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus dicurigai bila ditemukan demam
sepsis, menggigil, hepatomegali dan ikterus setelah terjadi perforasi appendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase.
Komplikasi lain yang terjadi adalah abses subfrenikus dan fokal sepsis intra abdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengkatan.

KONSEP DASAR KEPERAWATAN


A.

Pengkajian

Pengkajian menurut wong (2003), Betz (2002), anta a lain :


1.

Wawancara

Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat khususnya mengenai :


a.

Keluhan utama klien, akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah.

b.

Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan klien sekarang ditanyakan kepada orang tua.

c.

Diet, kebiasaan makan makanan rendah serat.

d.

Kebiasaan eliminasi.

2.

Pemeriksaan fisik

a.

Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit ringan/sedang/berat.

b.

Sirkulasi :

c.

Respirasi :

d.

Aktivitas/istirahat : malaise

e.

Distensi abdomen, nyeri tekan/ nyeri lepas, kekakuan, penurunan/ tidak ada bising usus.

f.

Eliminasi :

Takikardia.
Takipnoe, pernafasan dangkal.

konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.

g. Nyeri/ketidaknyamanan : nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burneys, meningkat
karena berjalan, bersin, batuk atau nafas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan / posisi duduk tegak.
h.

Demam lebih dari 38o celcius.

i.

Data psikologis klien nampak gelisah.

j.

Ada perubahan denyut nadi dan pernafasan.

k.

Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi.

l.

Berat badan sebagai indikator untuk menentukan pemberian obat.

3.

Pemeriksaan Penunjang

a. Tanda- tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan mungkin terlihat ileal atau caecal ileus (gambaran garis permukaan cairan udara
di sekum atau ileum).
b.

Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan appendiksitis infiltrate.

c.

Urin rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.

d.

Peningkatan leukosit, neutrofilia tanpa eosinofil.

e.

Pada enema barium appendik tidak terisi

f.

Ultrasound : fekolit non klasifikasi, appendiks non perforasi, abses appendiks.

B.

Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan

Menurut Dongoes, 2000 hal 509-512 :


1.

Nyeri berhubungan dengan discontinuitas jaringan

Tujuan : Melaporakan nyeri berkurang / hilang


Intervensi :

a.

Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya(skala 1-10), selidiki dan laporkan perubahan nyeri dengan cepat

Rasional : Perubahan dalam lokasi/intensitas tidak umum tetapi dapat menunjukkan terjadinya komplikasi.
b.

Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler

Rasional : Memudahkan drainase cairan/luka karena gravitasi dan membantu meminimalkan nyeri karena karena gerakan.
c.

Dorong ambulansi dini

Rasional :
d.

meningkatkan normalisasi fungsi organ.

Berikan aktivitas hiburan.

Rasional : Fokus perhatian kembali, meningkatkan relaksasi, dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
e.

Ajarkan teknik distraksi relaksasi nafas dalam.

Rasional : Meningkatkan relaksasi dan mungkin meningkatkan kemampuan koping pasien dengan memfokuskan kembali perhatian.

f.

Berikan analgetik sesuai indikasi.

Rasional : Analgetik menekan stimulasi saraf pusat pada talamus dan korteks serebri.
2.

Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan terbukanya port de entry kuman.

Tujuan : Infeksi tidak terjadi, meningkatkan penyembuhan luka dengan benar.


Intervensi :
a.

Awasi tanda-tanda vital, perhatikan demam, menggigil, berkeringat, meningkatnya nyeri abdomen.

Rasional : Dugaan adanya infeksi/terjadinya sepsis.


b.

Lakukan pencucian tangan yang baik perawatan luka dengan teknik aseptik

Rasional : Menurunkan resiko penyebaran bakteri.

c.

Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik

Rasional : Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi.


d.

Lihat insisi dan balutan, catat adanya edema.

Rasional : Mendeteksi dini terjadinya proses infeksi.


e.

Berikan antibiotik sesuai indikasi

Rasional : Diberikan secara profilitik/menurunkan jumlah organisme(pada infeksi yang telah ada sebelumnya) untuk menurunkan penyebaran dan
pertumbuhannya pada rongga abdomen.
3.

Intoleran aktifitas berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik/nyeri

Tujuan : Pasien memperlihatkan kemajuan aktifitas


Intervensi :
a.

Kaji respon individu terhadap aktifitas

Rasional : Menetapkan kemampuan klien


b.

Meningkatkan aktifitas secara bertahap melakukan rentang gerak 2x/hari

Rasional : Melatih klien bergerak secara periodik.


c.

Ukur tanda-tanda vital

Rasional : Mengetahui keadaan umum pasien


d.

Kurangi intensitas, frekuensi / lamanya aktifitas.

Rasional : Mencegah kelelahan fisik.


4.

Gangguan keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexsia (mual, muntah).

Tujuan :
Intervensi

Kebutuhan nutrisi terpenuhi, mual, dan muntah hilang.

a.

Kaji makanan kesukaan klien

Rasional :
b.

Pantau masukan makanan

Rasional :
c.

Merangsang nafsu makan.

Anjurkan kepada keluarga untuk memberikan atau menyiapkan makanan selagi hangat.

Rasional :
5.

Membantu dalam mempertahankan masukan.

Anjurkan klien minum air hangat

Rasional :
d.

Memberikan bantuan dalam penentuan diit dengan nutrisi adekuat untuk kebutuhan nutrisi dan metabolik.

Makanan hangat dapat merangsang nafsu makan.

Resiko tinggi terhadap kekurangan volumen cairan berhubungan dengan pembatasan pasca operasi, status hipermetabolik.

Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan dibuktikan dengan turgor kulit baik, tanda-tanda vital stabil, kelembaban membran mukosa.
Intervensi :
a.

Awasi tekanan darah dan nadi

Rasional : Tanda yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume intravaskuler.


b.

Lihat membran mukosa, kaji turgor kulit dan pengisian kapiler.

Rasional : Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.


c.

Awasi masukan dan haluaran, catat warna urin/konsentasi berat jenis

Rasional : Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan berat jenis diduga dehidrasi/kebutuhan peningkatan cairan.
d.

Auskultasi bising usus, catat kelancaran flatus, gerakan usus.

Rasional : Indikator kembalinya peristaltik, kesiapan untuk pemasukan per oral.


e.

Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukan per oral dimulai dan lanjutkan dengan diit sesuai toleransi.

Rasional : Menurunkan iritasi gaster/muntah untuk meminimalkan kehilangan cairan.


f.

Kolaborasi berikan cairan IV dan elektrolit

Rasional : Peritonium bereaksi terhadap iritasi/infeksi dengan menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan volumen sirkulasi
darah, mengakibatkan hipovolemia, dehidrasi dan dapat terjadi ketidakseimbangan elektrolit.
6.

Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan komponen seluler untuk pengiriman oksigen / natrium ke sel.

Tujuan : Menunjukan perfusi jaringan perifer adekuat


Intervensi :
a.

Evaluasi adanya kualitas nadi perifer digtal terhadap cidera melalui palpasi bandingkan dengan ekstremitas yang sakit.

Rasional :
b.

Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan digtal pada abdomen

Rasional :
c.

Peningkatan lingkar ekstremitas yang cidera dapat diduga adanya pembengkakan jaringan/edema.

Selidiki tanda iskemia ekstremitas tiba-tiba contoh penurunan suhu kulit dan peningkatan arteri.

Rasional :
7.

Meningkatkan drainase vena/menurunkan edema.

Kaji seluruh panjang ekstremitas yang cidera untuk pembengkakan atau pembentukan edema

Rasional :
e.

Kembalinya warna cepat(3-5 detik), warna kulit putih menunjukkan gangguan arterial.

Pertahankan peningkatan ekstremitas yang cedera kecuali di kontra indikasikan dengan meyakinkan adanya sindrom kompartemen

Rasional :
d.

Penurunan atau tidak adanya nadi dapat menggambarkan cidera vaskuler dan perlunya evaluasi medik segera terhadap status sirkulasi,

Operasi appendiktomi dapat menyebabkan kerusakan arteri yang berdasarkan dengan akibat hilangnya aliran darah ke distal.

Kecemasan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan.

Tujuan : Pasien tidak cemas.


Intervensi :
a.

Kaji tingkat kecemasan pasien.

Rasional : Mengetahui sejauh mana tingkat ke cemasaan pasien.


b.

Beri support mental.

Rasional : Mengurangi rasa gelisah pasien


c.

Diskusikan apa yang menjadi masalah pasien.

Rasional : Memberikan pengertian kepada klien dan membantu memecahkan masalah yang dihadapi.
d.

Sediakan waktu untuk berbagi perasaan.

Rasional : Menunjukkan rasa simpatik kepada klien

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily L, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri, Edisi 3.Jakarta : EGC.

Carpenito, Linda Juall.2000.Diagnosa Keperawatan, Edisi 8.Jakarta : EGC.

Doengoes, Marylin E.2000.Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan dan Pendekumentasian Perwatan Pasien.Bandung.EGC.

Mansjoer, A, dkk.2000.Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3.Jakarta : Media Aesculapius.

Smeltzer, Suzanne C.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 2.Jakarta : EGC.

Suddart and Brunner.2000.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta : EGC.

LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS


BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi/Pengertian
a.

Peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ, dimana patogenis utamanya diduga karena obstruksi pada
lumen yang disebabkan oleh fekalit (feses keras yang terutama disebabkan oleh serat). Patofisiologi Edisi 4 hal 448.

b.

Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisits verniformis dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen
darurat Brunner & Suddart, 2008.

c.

Appendisitis adalah merupakan peradangan pada appendik periformil, yaitu saluran kecil yang mempunyai diameter sebesar pensil
dengan panjang 2-6 inci. Lokasi appendik pada daerah illiaka kanan, dibawah katup illiocaecal, tepatnya pada dinding abdomen
dibawah titik Mc burney.

B. Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :
1.

Apendisitis akut, dibagi atas:

1.

Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal.

2.

Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.

2.

Apendisitis kronis, dibagi atas:

1.

Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal.

2.

Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.

C. Penyebab/ Factor Predisposisi

Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor
pencetus diantaranya Hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa
merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks,
diantaranya :

a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan
oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya
sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa
ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan rupture.
b. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah
terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur
didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus,
Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan
aerob<10%
c.

Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak
baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama
dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.

d. Faktor ras dan diet


Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat
mempunyai resiko lebih tinggi dari Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa
kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi
serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.

e.

Faktor infeksi saluran pernapasan


Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza dan pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini
meningkat.

D. Manifestasi Klinis/tanda dan gejala


Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis antara lain :
a.

Nyeri perut.
Nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Nyeri perut yang klasik pada apendisitis
adalah nyeri yang dimulai dari ulu hati, lalu setelah 4-6 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini
nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun pada beberapa keadaan tertentu
(bentuk apendiks yang lainnya), nyeri dapat dirasakan di daerah lain (sesuai posisi apendiks). Ujung apendiks yang panjang dapat
berada pada daerah perut kiri bawah, punggung, atau di bawah pusar. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah

epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya
karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.
b.

Anoreksia (penurunan nafsu makan).

c.

Mual dan muntah


Dapat terjadi, tetapi gejala ini tidak menonjol atau berlangsung cukup lama, kebanyakan pasien hanya muntah satu atau dua kali.

d.

Keinginan BAB atau kentut.

e.

Demam
juga dapat timbul, tetapi biasanya kenaikan suhu tubuh yang terjadi tidak lebih dari 1 oC (37,8oC 38,8oC). Jika terjadi peningkatan
suhu yang melebihi 38,8oC. Maka kemungkinan besar sudah terjadi peradangan yang lebih luas di daerah perut (peritonitis).

Timbulnya gejala yang bergantung pada letak apendiks ketika meradang.


Berikut gejala yang timbul tersebut :
a.

Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh sekum),

Tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal.
Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan
mengedan.
Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
b.

Bila apendiks terletak di rongga pelvis

Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).

Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena
rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani
tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala
apendisitis tidak jelas dan tidak khas.

E. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fecolith, benda asing,
striktur akibat peradagan sebelumnya atau tumor.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang di produksi oleh mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut
makin banyak namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapendesis bakteri dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai nyeri epigastrium.
Bila sekresi mucus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan mengakibatkan obstruksi vena, udem
bertambah, dan bakteri menembus dinding. Karena obstruksi vena dapat terbentuk thrombus yang menyebabkan timbulnya iskemi
yang bercampur kuman yang mengakibatkan timbulnya pus. Peradangan ini dapat meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka akan terjadi infark dinding appendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini
diserbut appendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah raouh ini pecah maka akan terjadi appendisitis perforasi.

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah appendiks hingga timbul
suatu masa lokal yang disebut infiltrat appendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.

F. Pemeriksaan Fisik
a.

Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi
perut.

b.

Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan
perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut
kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri
pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).

f.

Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit
diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah
pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.

g.

Pemeriksaan uji psoas


Dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi
sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel
di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.

h.

Pemeriksaan uji obturator

Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang
meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.

8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap Ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Jika
terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi (pecah).

Test protein reaktif (CRP). Ditemukan jumlah serum yang meningkat.

b. Radiologi

Pemeriksaan ultrasonografi Ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Cukup membantu
dalam penegakkan diagnosis apendisitis (71 97 %)

CT-scan Ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta
adanya pelebaran sekum. Tingkat keakuratannya 93 98 %.
9.

a.

Penatalaksanaan

Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat adalah segera dilakukan apendiktomi.
Apendiktomi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu :
1. Cara terbuka
2. Cara laparoskopi.

b. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah
pemberian/terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan
anaerob.
Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan.
Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian
dilakukan apendisektomi.
Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak
menunjukkan tanda radang atau abses setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan
bedah.
c.

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan

Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan


Analgetik diberikan setelah diagnosa ditegakkan
Apendektomi

dilakukan

sesegera

mungkin

untuk

menurunkan

(Brunner & Suddart, 1997)


10. Komplikasi yang dapat terjadi
Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses apendiks
a. Tromboflebitis supuratif
b. Abses subfrenikus
c. Obstruksi intestinal

resiko

perforasi.

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

A.

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a) Identitas klien, Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa/ras, pendidikan, bahasa
yang dipakai, pekerjaan, penghasilan dan alamat. Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki - laki berusia lebih dari 50 tahun.
b) Keluhan utama
Keluhan utama nyeri bekas luka operasi.
c) Riwayat penyakit sekarang
Timbul keluhan nyeri perut, nyeri dirasakan seperti tertusuk tusuk, nyeri dirasakan pada luka bekas operasi dengan skala (0-10) dan
nyeri timbul memberat ketika bergerak.
d) Riwayat penyakit dahulu
Kebiasaan makan makanan rendah serat yang dapat menimbulkan konstipasi sehingga meningkatkan tekanan intrasekal yang
menimbulkan timbulnya sumbatan fungsi appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman folar kolon sehingga menjadi
appendisitis akut.
e) Pola pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena di rawat di rumah sakit.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang di lakukan anasthesi tidak boleh makan dan minum sebelum flatus.

3) Pola eliminasi
Setelah menjalani post operasi appendiks, pasien masih menggunakan dower chateter karena masih dalam pengaruh anastesi, dan
pasien akan dilatih untuk berkemih.
4) Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah. Namun, setelah 6 jam pasien diharapkan pasien sudah mampu
untuk bergerak miring kanan dan miring kiri dan dilanjutkan dengan duduk kemudian berjalan.
5) Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri akibat post operasi dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
6) Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak mengalami gangguan.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan post operasi appendiks.
8) Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam
keluarga tempat kerja dan masyarakat.
9) Pola reproduksi seksual
Klien tidak mengalami masalah produksi karena bekas operasi tidak ada hubungannya dengan alat reproduksi.

10) Pola penanggulangan stress

Stress

dapat

dialami

klien

karena

kurang

pengetahuan

tentang

perawatan

post

operasi.

Gali

adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien terhadap stres tersebut.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya dower chateter dan nyeri post operasi memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan ibadahnya .
2.

Diagnosa Keperawatan

Diagnosa pre-tindakan
1)

Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot polos sekunder akibat infeksi gastrointestinal.

2)

Hipertermia berhubungan dengan penyakit atau trauma.

3)

Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.

4)

Ansietas berhubungan dengan krisis situasional.


Diagnosa post-tindakan

1)

Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat operasi

2)

Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder akibat pembedahan

3)

Defisit pengetahuan (perawatan luka post operasi) berhubungan dengan kurangnya paparan informasi mengenai perawatan luka
post operasi.

3.

Rencana Tindakan
Diagnosa pre-tindakan

1.

Dx 1 : Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot polos sekunder akibat infeksi gastrointestinal.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan pasien dapat melakukan manajemen nyeri dengan kriteria
hasil :

Pasien tampak lebih tenang.


Pasien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti bermain dengan orang tua.
Pasien tidak meringis kesakitan lagi.
Intervensi :
1.

Observasi skala nyeri pasien.


R/ : Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan membandingkan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi.

2.

Beri lingkungan yang nyaman.


R/ : Lingkungan berpengaruh terhadap keadaan nyeri pasien.

3.

Lakukan tehnik distraksi.


R/ : Dengan mengalihkan perhatian pasien diharapkan perhatian pasien tidak terfokus pada nyeri sehingga pasien dapat
memanajemen nyeri.

4.

Pantau perkembangan nyeri pasien.


R/ : Untuk segera mengambil tindakan rujukan apabila nyeri yang dialami pasien sudah tidak dapat ditoleransi lagi.

2.

Dx 2 : Hipertermia berhubungan dengan penyakit atau trauma.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... x 24 jam diharapkan suhu tubuh pasien dapat turun menjadi rentang normal
(36,5 37,5o C / aksila).
Intervensi :
1.

Observasi TTV.
R/ : Untuk membandingkan TTV sebelum dan sesudah intervensi dilakukan.

2.

Beri lingkungan yang nyaman.

R/ : Keadaan lingkungan berpengaruh terhadap keadaan pasien.


3.

Lakukan kompres air hangat.


R/ : Untuk mengembalikan fungsi termostat dalam keadaan normal.

4.

Ukur TTV.
R/ : Untuk mengetahui perubahan suhu tubuh pasien.

3.

Dx 3 : Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan kebutuhan cairan pasien dapat terpenuhi dengan kriteria hasil
:
Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit normal, mukosa bibir tidak kering)
Pasien tidak merasa haus.
Pasien tampak segar.
Intervensi :
1.

Kaji tanda-tanda dehidrasi pasien.


R/ : Untuk melihat apakah pasien mengalami tanda-tanda dehidrasi agar dapat mengetahui tindakan yang harus dilakukan.

2.

Awasi cairan masuk dan cairan keluar.


R/ : Untuk menjaga keseimbangan volume cairan tubuh.

3.

Apabila pasien menunjukkan tanda-tanda dehidrasi, berikan cairan melalui intravena.


R/ : Untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien, jangan memberi cairan per oral karena pasien yang akan dilakukan tindakan
apendiktomi harus dipuasakan.

4.

Dx 4 : Ansietas berhubungan dengan krisis situasional.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x 24 jam diharapkan cemas pasien berkurang, dengan kriteria hasil :
Pasien tampak tenang.
Pasien kooperatif dengan tindakan keperawatan dan tindakan medis yang akan dilakukan..
Intervensi :
1.

Kaji keadaan emosi pasien.


R/ : Dengan mengetahui keadaan pasien saat itu, jadi kita dapat menentukan tindakan dan waktu yang tepat untuk melakukan
tindakan keperawatan.

2.

Lakukan BHSP apabila keadaan emosi pasien saat itu memungkinkan.


R/ : Sebelum melakukan tindakan keperawatan, kita harus melaksanakan pendekatan agar tindakan keperawatan yang dilakukan
lebih mudah.

3.

Eksplorasi perasaan pasien.


R/ : Untuk menggali lebih jauh apa yang dirasakan pasien.

4.

Biarkan pasien mengungkap perasaannya.


R/ : Agar emosi pasien dapat tersalurkan sehingga pasien merasa lebih tenang.

5.

Berikan feed back positif dan berikan support kepada pasien.


R/ : Agar pasien merasa nyaman dan merasa ada yang mendukungnya.
Diagnosa post-tindakan

1.

Dx 1 : Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat operasi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..x 24 jam, diharapkan nyeri yang dialami pasien berkurang dengan kriteria hasil :

Pasien tidak meringis.


Pasien tampak tenang.
Pasien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti bermain dengan orang tua.
Intervensi :
1.

Observasi skala nyeri pasien.


R/ : Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan membandingkan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi.

2.

Beri lingkungan yang nyaman.


R/ : Lingkungan berpengaruh terhadap keadaan nyeri pasien.

3.

Lakukan tehnik distraksi.


R/ : Dengan mengalihkan perhatian pasien diharapkan perhatian pasien tidak terfokus pada nyeri sehingga pasien dapat
memanajemen nyeri.

4.

Beri analgetik
R/ : Untuk mengurangi nyeri pasien.

2.

Dx 2 : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder akibat pembedahan

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan luka pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor,
dolor, lubor, tumor, perubahan fungsi)
Intervensi :
1.

Kaji tanda-tanda infeksi pada pasien.


R/ : Untuk melihat apakah ada tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor, dan perubahan fungsi), pus, jaringan nekrotik.

2.

Lakukan perawatan luka.

R/ : Ganti balutan agar luka post-op tetap kering.


3.

Jaga luka agar tetap steril.


R/ : Untuk menghindari perkembangan bakteri pada luka.

4.

Informasikan kepada keluagra pasien untuk tidak membuka balutan luka, menjaga luka agar tetap kering.
R/ : Luka yang lembab menyebabkan infeksi karena bakteri dapat berkembang.

5.

Berikan salep betadine di atas luka pasien.


R/ : Untuk mencegah infeksi pada luka.

3.

Dx 3 : defisit pengetahuan (perawatan luka post operasi) berhubungan dengan kurangnya paparan informasi mengenai
perawatan luka post operasi.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan tingkat pengetahuan orang tua pasien tentang perawatan
luka dapat meningkat.
Intervensi :
1.

Kaji tingkat pengetahuan orang tua pasien.


R/ menentukan cara penyampaian informasi kepada keluarga pasien.

2.

Lakukan BHSP.
R/ mempermudah perawat dalam melakukan tindakan keperawatan.

3.

Berikan penjelasan mengenai perawatan luka kepada orang tua pasien.


R/ memberikan penjelasan kepada orang tua pasien.

4.

Berikan kesempatan kepada orang tua pasien untuk mengungkapkan perasaannya.


R/ memberikan kesempatan kepada orang tua pasien untuk mengungkap kesulitan yang dihadapi.

5.

Evaluasi tingkat pengetahuan pasien.


R/ untuk mengetahui keberhasilan intervensi.
4.

Implementasi

Implementasi dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah dibuat.


5.

Evaluasi

Diagnosa pre-tindakan
1. Pasien dapat melakukan manajemen nyeri
2. Suhu tubuh pasien dapat turun menjadi rentang normal (36,5 37,5o C / aksila).
3. Kebutuhan cairan pasien dapat terpenuhi
4. Cemas pasien berkurang
Diagnosa post-tindakan
1. Nyeri yang dialami pasien berkurang
2. Luka pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor, perubahan fungsi)
3. Tingkat pengetahuan orang tua pasien tentang perawatan luka dapat meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2008. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall- Moyet. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10.Jakarta : EGC

Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC


Guyton & Hall. 2003. Fisiologi Tubuh Manusia. Jakarta : EGC
Mansjoer A,. dkk. 2012. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Price, A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: EGC

LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS

A. Defenisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini
mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer,
2000).

Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari
rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.
Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan
merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.
Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain :
1. Apendisitis akut
Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai peritoneum pariental setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di
abdomen kanan bawah.
2. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)
Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis ganggrenosa di tutupi pendinginan oleh omentum.

3. Apendisitis perforata

Ada fekalit didalam lumen, Umur (orang tua atau anak muda) dan keterlambatan diagnosa merupakan faktor yang berperan dalam
terjadinya perforasi apendiks.
4. Apendisitis rekuren
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan, namun apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya
karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. Resikonya untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%.
5. Apendisitis kronis
Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan
infiltrasi sel inflamasi kronik.
B. Etilogi
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi, terjadinya apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu,
terdapat banyak faktor pencetus terjadinya penyakit ini diantaranya sumbatan lumen apendiks, hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor
apendiks dan cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi
mukosa

apendiks

karena

parasit

seperti E.

histolytica.

Penelitian

epidemiologi

menunjukkan

peran

kebiasaan

makan

makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidayat, 2004).

C. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda
asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut
dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan
lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek
dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah
(Mansjoer, 2000).

D. Manifestasi Klinik
Menurut Arief Mansjoer (2002), keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang
berhubungan dengan muntah. Dalam 2 12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah yang akan menetap dan diperberat bila berjalan
atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise dan demam yang tak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadangkadang terjadi diare, mual dan muntah.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan
bawah akan semakin progresif dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal perkusi ringan
pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri.
Menurut Suzanne C Smeltzer dan Brenda G Bare (2002), apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan,
mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran kanan bawah pada
titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat
konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri tekan
terasa di daerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi
menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum. Nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung
kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan
palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur,
nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk. Pada pasien lansia, tanda dan

gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit
lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada
lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda.
Menurut Diane C. Baughman dan JiAnn C. Hackley (2000), manifestasi klinis apendisitis adalah sebagai berikut:
1. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya disertai dengan demam derajat rendah, mual, dan seringkali muntah
2. Pada titik Mc Burney terdapat nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari bagian bawah otot rektus kanan
3. Nyeri alih mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nueri tekan, spasme otot, dan konstipasi serta diare kambuhan
4. Tanda Rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah , yang menyebabkan nyeri kuadran kiri bawah)
5. Jika terjadi ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar; terjadi distensi abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi
memburuk.

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga appendicitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap
dan test protein reaktive (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar pasien biasanya ditemukan jumlah leukosit di atas 10.000

dan neutrofil diatas 75 %. Sedangkan pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai meningkat pada 6-12 jam setelah
inflamasi jaringan.
2. Pemeriksaan urine
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan
diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga appendicitis akut antara lain adalah Ultrasonografi, CT-scan.
Pada pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks. Sedang pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendicalith serta perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta
adanya pelebaran dari saekum.
4. Pemeriksaan USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses.
Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
5. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis. pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.

F. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila
diminta

untuk

membatasi

diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien

aktivitas

fisik

sampai

pembedahan

dilakukan.

Analgetik

dapat

diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk
menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara
laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli
bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa
dilakukan bila dalam observasi

masih

terdapat

keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus

meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2002).
Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis adalah sebagai berikut:
1. Tindakan medis
a. Observasi terhadap diagnosa
Dalam 8 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda apendisitis, sering tidak terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting dilakukan
observasi yang cermat. Penderita dibaringkan ditempat tidur dan tidak diberi apapun melalui mulut. Bila diperlukan maka dapat diberikan
cairan aperviteral. Hindarkan pemberian narkotik jika memungkinkan, tetapi obat sedatif seperti barbitural atau penenang tidak karena
merupakan kontra indikasi. Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah putih dan hitung jenis di ulangi secara periodik. Perlu dilakukan

foto abdomen dan thorak posisi tegak pada semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi kuadran kanan bawah
dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.
b. Intubasi
Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau toksitas yang menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat
menggangu. Pada penderita ini dilakukan aspirasi kubah lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi dengan pipa tetap
terpasang.
c. Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan toksitas yang berat dan demam yang tinggi .
2. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah terkontrol ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan
sistematik lainnya. Biasanya hanya diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang direncanakan secara dini baik mempunyai praksi
mortalitas 1 % secara primer angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini tampaknya disebabkan oleh komplikasi ganggren dan perforasi
yang terjadi akibat yang tertunda.
3. Terapi pasca operasi
Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan didalam, syok hipertermia, atau gangguan pernapasan
angket sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler.

Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya
pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam
selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan
duduk diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
G. Komplikasi
Komplikasi

utama

apendisitis

adalah

perforasi

apendiks

yang

dapat

berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan
lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi,
penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer dan Barre, 2002).
H. Pencegahan
1. Diet tinggi serat akan sangat membantu melancarkan aliran pergerakan makanan dalam saluran cerna sehingga tidak tertumpuk lama dan
mengeras.
2. Minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar juga akan membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara
keseluruhan.
I. Prognosis

Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit apendisitis sangat kecil.
Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila
apendiks tidak diangkat. Terminologi apendisitis kronis sebenarnya tidak ada (Mansjoer, 2000).

A. Diagnosa
Menurut Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern dalam Buku Saku Diagnosis Keperawatan NANDA NIC NOC (2011),
diagnosa keperawatan pre operatif pada penderita apendisitis akut adalah sebagai berikut:
1. Kekurangan volume cairan tubuh
2. Hipertermi
3. Nyeri akut
4. Hambatan mobilitas fisik
5. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
6. Ansietas

B. Intervensi
Menurut Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern dalam Buku Saku Diagnosis Keperawatan NANDA NIC NOC (2011),
intervensi yang biasa muncul pada penderita apendisitis akut pre operatif adalah sebagai berikut:
1. Kekurangan volume cairan tubuh
Batasan Karakteristik
Subjektif
Haus
Objektif
a. Perubahan status mental
b. Penurunan turgor kulit dan lidah
c. Penurunan haluaran urine
d. Kulit dan membran mukosa kering

e. Hematokrit meningkat
f. Suhu tubuh meningkat
g. Kelemahan
h. Peningkatan frekuensi nadi, penurunan tekanan darah, penurunan volume dan tekanan nadi.
Faktor yang berhubungan
a. Kehilangan volume cairan aktif
b. Asupan cairan yang tidak adekuat
Tujuan dan Kriteria Hasil NOC
a. Kekurangan volume cairan akan teratasi ditandai dengan keseimbangan cairan, keseimbanagn elektrolit dan asam basa, hidrasi yang
adekuat, dan status nutrisi: asupan makanan dan cairan adekuat.
b. Keseimbangan elektrolit dan asam basa akan dicapai dibuktikan dengan :
1) Memiliki konsentrasi urine yang normal
2) Tidak mengalami haus abnormal
3) Memiliki asupan cairan oral dan atau intravena yang adekuat

4) Memiliki keseimbangan asupan dan haluaran yang seimbang dalam 24 jam.


5) Menamilkan hidrasi yang baik (membran mukosa lembap, mampu berkeringat.
Intervensi NIC
a. Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan
b. Observasi khususnya terhadap kehilangan cairan yang tinggi elektrolit, misalnya diare
c. Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan cairan (misalnya kadar hematokrit, BUN, albumin, protein total, osmolalitas
serum, dan berat jenis urine).
d. Pantau status hidrasi misalnya kelembapan membran mukosa, keadekuatan nadi, dan tekanan darah ortostatik.
e. Kaji orientasi terhadap orang, tempat dan waktu
f. Mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mengatur keseimbangan cairan
g. Memberikan dan memantau cairan dan obat intravena
h. Membantu dan menyediakan asupan makanan dan cairan dalam diet seimbang
i. Timbang berat badan setiap hari dan pantau kecendrungannya
j. Tentukan jumlah cairan yang masuk dalm 24 jam, hitung asupan yang diinginkan sepanjang sif siang, soreh, dan malam

k. Anjurkan melakukan higiene oral secara sering


l. Kolaborasi pemberian terapi IV sesuai program.
2. Hipertermi
Batasan Karakteristik
Objektif
a. Kulit merah
b. Suhu tubuh meningkat di atas rentang normal
c. Frekuensi napas meningkat
d. Kejang atau konvulsi
e. Kulit teraba hangat
f. Takikardi
g. Takipneu
Faktor yang Berhubungan
a. Dehidrasi

b. Penyakit atau trauma


c. Ketidakmampuan atau penurunan kemampuan untuk berkeringat
d. Pakaian yang tidka tepat
e. Obat atau anastesia
f. Terpajan lingkungan yang panas (jangka panjang)
g. Aktivitas yang berlebihan
Tujuan dan Kriteria Hasil NOC
a. TTV dalam rentang normal
b. Pasien akan menunjukkan termoregulasi
c. Melaporkan tanda dan gejala dini hipertermia
d. Menjelaskan tindakan untuk mencegah atau meminimalkan peningkatan suhu tubuh.
Intervensi NIC
a. Pantau TTV
b. Pantau hidrasi (misalnya turgor kulit, kelembapan membran mukosa)

c. Kaji ketepatan jenis pakaian yang digunakan, sesuai dengan suhu lingkungan
d. Regulasi suhu NIC:
Pantau suhu minimal setiap dua jam, sesuai kebutuhan
Pantau warna kulit dan suhu
e. Anjurkan asupan cairan oral, sedikitnya 2 liter per hari
f. Ajarkan pasien/keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan mengenali secara dini hipertermia (misalnya sengatan panas, keletihan
akibat panas)
g. Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan selimut saja
h. Berikan kompres hangat untuk mengatasi demam
i. Kolaborasi pemberian obat antipiretik.
3. Nyeri akut
Batasan Karakteristik
Subjektif
Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan (nyeri) dengan isyarat

Objektif
a. Posisi untuk menghindari nyeri
b. Perubahan tonus otot (dengan rentang dari lemas, tidak bertenaga sampai kaku
c. Perubahan selera makan
d. Perilaku ekspresif (misalnya gelisah, merintih, menangis, peka terhadap rangsang, dan menghela napas panjang)
e. Wajah topeng (nyeri)
f. Perilaku menjaga atau sikap melindungi
g. Bukti nyeri yang dapat diamati
h. Berfokus pada diri sendiri
i. Gangguan tidur (mata terlihat kuyu, gerakan tidak teratur, atau tidak menentu dan menyeringai)
Tujuan dan Kriteria Hasil NOC
a. Memperlihatkan Pengendalian Nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: tidak pernah, jarang, kadang-kadang,
sering atau selalu ):
1) Mengenali awitan nyeri

2) Menggunakan tindakan pencegahan


3) Melaporkan nyeri dapat dikendalikan
b. Melaporkan Tingkat Nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: sangat berat, berat, sedang, ringan atau tidak
ada):
1) Ekspresi nyeri pada wajah
2) Gelisah atau ketegangan otot
3) Durasi episode nyeri
4) Merintih dan menangis
5) Gelisah
SKALA NYERI
Nilai

Skala Nyeri

Tidak nyeri

Seperti gatal, tersetrum / nyut-nyut

Seperti melilit atau terpukul

Seperti perih

Seperti keram

Seperti tertekan atau tergesek

Seperti terbakar atau ditusuk-tusuk

79

Sangat nyeri tetapi dapat dikontrol oleh klien dengan


aktivitas yang biasa dilakukan.

10

Keterangan :

Sangat nyeri dan tidak dapat dikontrol oleh klien.


13

(Nyeri ringan)

46

(Nyeri sedang)

79

(Nyeri berat)

10

(Sangat nyeri)

Intervensi NIC
a. Kaji tingkat nyeri dengan menggunakan skala 0-10

b. Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan terhadap nyeri dan respon pasien
c. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, imajinasi tebimbing, terapi musik, terapi bermain, distraksi, kompres hangat atau dingin sebelum,
setelah, dan jika memungkinkan , selama aktivitas yang menimbulkan nyeri, sebelum nyeri terjadi atau meningkat, dan bersama penggunaan
tindakan peredaan nyeri yang lain.
d. Lakukan perubahan posisi, massase [punggung dan relaksasi
e. Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang menyangkutn aktivitas keperawatan
f. Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas, bukan pada nyeri dan rasa tidak nyaman dengan melakukan pengalihan melalui TV,
radion, dan interaksi dengan pengunjung
g. Kolaborasi pemberian analgesik sesuai program terapi
4. Hambatan mobilitas fisik
Batasan Karakteristik
Objektif
a. Penurunan waktu reaksi
b. Kesulitan membolak-balik tubuh

c. Dispnea saat beraktivitas


d. Perubahan cara berjalan (misalnya, penurunan aktivitas dan kecepatan berjalan, kesulitan utnuk memulai berjalan, langkah kecil, berjalan
dengan menyeret kaki, pada saat berjalan badan mengayun ke samping)
e. Pergerakan menyentak
f. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik kasar
g. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik halus
h. Keterbatasan rentang pergerakan sendi
i. Tremor yang diinduksi oleh pergerakan
j. Ketidakstabilan postur tubuh (saat melakukan rutinitas aktivitas kehidupan sehari-hari)
k. Melambatnya pergerakan
l. Gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi.
Faktor yang Berhubungan
a. Perubahan metabolisme sel
b. Indeks massa tubuh di atas persentil ke-75 sesuai usia

c. Gangguan kognitif
d. Kepercayaan budaya terkait aktivitas sesuai usia
e. Penurunan kekuatan, kendali, atau massa otot
f. Keadaan alam perasaan depresi atau ansietas
g. Keterlambatan perkembangan
h. Ketidaknyamanan
i. Intoleransi aktivitas dan penuruna kekuatan dan ketahanan
j. Kaku sendi atau kontraktur
k. Defesiensi pengetahuan tentang nilai aktivitas fisik
l. Kurang dukungan lingkungan fisik atau sosial
m. Keterbatasan ketahanan kardiovaskular
n. Hilangnya integritas struktur tulang
o. Medikasi
p. Gangguan muskuloskeletal

q. Gangguan neuromuskular
r. Nyeri
s. Program pembatasan pergerakan
t. Keengganan untuk memulai pergerakan
u. Gaya hidup yang kurang gerak atau disuse atau melemah
v. Malnutrisi (umum atau selektif)
w. Gangguan sensori persepsi
Tujuan dan Kriteria Hasil NOC
Memperlihatkan mobilitas yang dibuktikan dengan indikator:
Keseimbangan
Koordinasi
Performa posisi tubuh
Pergerakan sendi dan otot
Berjalan

Bergerak dengan mudah


Aktivitas Keperawatan
Tingkat 1
a. Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan di rumah dan kebutuhan terhadap peralatan pengobatan yang tahan lama
b. Ajarkan pasien tentang dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas
c. Ajarkan dan bantu pasien dalam proses berpindah (misalnya dari tempat tidur ke kursi)
d. Rujuk ke ahli terapi fisik untuk program latihan
e. Berikan penguatan positif selama aktivitas
f. Bantu pasien untuk menggunakan alas kaki antiselip yang mendukung untuk berjalan
g. Pengaturan posisi (NIC):
1) Ajarkan pasien bagaimana menggunakan postur dan mekanika tubuh yang benar saat melakukan aktivitas
2) Pantau ketepatan pemasangan traksi
Tingkat 2
a. Kaji kebutuhan belajar pasien

b. Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan dari lembaga kesehatan di rumah dan alat kesehatan yang tahan lama
c. Ajarkan dan dukungpasien dalam latihan ROM aktif atau pasif untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot
d. Instruksikan dan dukung pasien untuk menggunakan trapeze atau pemberat untuk meningkatkan serta memperthanakan kekuatan
ekstremitas atas
e. Ajarkan teknik ambulasi dan berpindah yang aman
f. Instruksikan pasien untuk menyangga berat badannya
g. Instruksikan pasien untuk memperhatikan kesejajaran tubuh yang benar
h. Gunakan ahli terapi fisik dan okupasi sebagai suatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan atau meningkatkan
mobilitas
i. Berikan penguatan positif selama aktivitas
j. Awasi seluruh upaya mobilitas dan bantu pasien, jika diperlukan
k. Gunakan sabuk penyokong saat memberikan bantuan ambulasi atau perpindahan.
Tingkat 3dan 4
a.

Tentukan tingkat motivasi pasien untuk mempertahankan atau mengembalikan mobilitas sendi dan otot

b. Gunakan ahli terapi fisik dan okupasi sebagai sumber dalam perencanaan aktivitas perawatan pasien
c.

Dukung pasien dan keluarga untuk memandang keterbatasan dengan realistis

d. Berikan penguatan positif selama aktivitas


e.

Berikan analgesik sebelum memulai latihan fisik

f.

Susun rencana yang spesifik, seperti:

1) Tipe alat bantu


2) Posisi pasien
3) Cara memindahkan dan mengubah posisi pasien
4) Jumlah personel yang dibutuhkan untuk memobilisasi pasien
5) Peralatan eliminasi yang diperlukan (misal, pispot, urinal, dan pispot fraktur)
6) Jadwal aktivitas
g. Pengaturan posisi (NIC):
1) Pantau pemasangan alat traksi yang benar
2) Letakkan matras atau tempat tidur terapeutik dengan benar

3) Atur posisi dengan kesejajaran tubuh yang benar


4) Letakkan pada posisi terapeutik
5) Ubah posisi pasien yang imobilisasi minimal setiap dua jam berdasarkan jadwal spesifik
6) Letakkan tombol pengubah posisi tempat tidur dan lampu pemanggil dalam jangkauan pasien
7) Dukung latihan ROM aktif atau pasif, jika diperlukan.
5. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Batasan Karakteristik
Subjektif
a. Kram abdomen
b. Nyeri abdomen
c. Menolak makan
d. Persepsi ketidakmampuan untuk mencerna makanan
e. Melaporkan perubahan sensasi rasa
f. Merasa cepat kenyang setelah mengomsumsi makanan

Objektif
a. Diare atau steatore
b. Bising usus hiperaktif
c. Kurangnya minat terhadap makanan
d. Membran mukosa pucat
e. Tonus otot buruk
f. Menolak untuk makan
g. Kelemahan otot untuk menelan atau mengunyah
Faktor yang Berhubungan
a. Kesulitan mengunyah atau menelan
b. Intoleransi makanan
c. Faktor ekonomi
d. Kebutuhan metabolik tinggi
e. Kurang pengetahuan dasar tentang nutrisi

f. Hilang nafsu makan


g. Mual dan muntah
h. Pengabaian oleh orang tua
Tujuan dan Kriteria Hasil NOC
a. Selera makan: Keinginan untuk makan ketika dalam keadaan sakit atau sedang menjalani pengobatan
b. Memperlihatkan status gizi yang adekuat
c. Mengungkapkan tekad untuk mematuhi diet
d. Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
e. Melaporkan tingkat ekergi yang adekuat.
Tujuan dan Kriteria Hasil menurut Wilkinson (2007)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan ebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria hasil: asupan makanan dan
cairan adekuat, zat gizi terpenuhi, asupan cairan oral atau IV dapat terpenuhi dengan baik, serta mencapai berat badan ideal
Intervensi NIC
a. Kaji faktor pencetus mual dan muntah

b. Catat warna, jumlah, dan frekuensi muntah


c. Tentukan motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan
d. Manajemen nutrisi NIC:
1) Ketahui makanan kesukaan pasien
2) Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
3) Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan
4) Timbang pasien pada interval yang tepat
e. Ajarkan orang tua dan anak tentang makanan yang bergizi dan tidak mahal
f. Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya
g. Berikan makanan dalam porsi sedikit tetapi sering dengan makanan yang bervariasi
h. Membantu pasien untuk makan
i. Kolaborasi pemberian obat antiemetik dan atau analgesik sebelum makan atau sesuai dengan jadwal yang dianjurkan.
6. Ansietas
Batasana Karakteristik

Perilaku
a. Penurunan produktivitas
b. Mengekspresikan kekhawatiran akibat perubahan dalam peristiwa hidup
c. Gerakan yang tidak relevan (misalnya mengeret kaki, gerakan lengan)
d. Gelisah
e. Memandang sekilas
f. Insomnia
g. Kontak mata buruk
h. Resah
i. Menyelidik dan tidak waspada
Afektif
a. Gelisah
b. Kesedihan yang mendalam
c. Distres

d. Ketakutan
e. Perasaan tidak adekuat
f. Fokus pada diri sendiri
g. Peningkatan kekhawatiran
h. Iritabilitas
i. Gugup
j. Gembira berlebihan
k. Nyeri dan peningkatan ketidakberdayaan yang persisten
l. Marah
m. Menyesal
n. Perasaan takut
o. Ketidakpastian
p. Khawatir
Fisiologis

a. Wajah tegang
b. Insomnia
c. Peningkatan keringat
d. Peningkatan ketegangan
e. Terguncang
f. Gemetar atau tremor di tangan
g. Suara bergetar
Parasimpatis
a. Nyeri abdomen
b. Penurunan tekanan darah
c. Penurunan nadi
d. Diare
e. Pingsan
f. Keletihan

g. Mual
h. Gangguan tidur
i. Kesemutan pada ekstremitas
j. Sering berkemih
k. Berkemih tidak lampias
l. Urgensi berkemih
Simpatis
a. Anoreksia
b. Eksitasi kardiovaskuler
c. Diare
d. Mulut kering
e. Wajah kemerahan
f. Jantung berdebar-debar
g. Peningkatan tekanan darah

h. Peningkatan nadi
i. Peningkatan refleks
j. Peningkatan pernapasan
k. Dilatasi pupil
l. Kesulitan bernapas
m. Vasokontriksi superfisial
n. Kedutan otot
o. Kelemahan
Kognitif
a. Kesadaran terhadap gejala-gejala fisiologis
b. Blocking pikiran
c. Konfusi
d. Penurunan lapang pandang
e. Kesulitan untuk berkonsentrasi

f. Keterbatasan kemampuan untuk menyelesaikan masalah


g. Keterbatasan kemampuan untuk belajar
h. Takut terhadap konsekuensi yang tidak spesifik
i. Fokus pada diri sendiri
j. Mudah lupa
k. Gangguan perhatian
l. Tenggelam dalam dunia sendiri
m. Melamun
n. Kecendruangan untuk menyalahkan orang lain
Faktor yang Berhubungan
a. Terpajan toksin
b. Hubungan keluarga/hereditas
c. Transmisi dan penularan interpersonal
d. Krisis situasi dan maturasi

e. Stres
f. Penyalahgunaan zat
g. Ancaman kematian
h. Ancaman atau perubahan pada status peran, fungsi peran, lingkungan, status kesehatan, status ekonomi, atau pola interaksi
i. Ancaman terhadap konsep diri
j. Konflik yang tidak disadari tentang nilai dan tujuan hidup yang esensial
k. Kebutuhan yang tidak terpenuhi
Tujuan dan Kriteria Hasil NOC
a. Ansietas berkurang
b. Kemampuan untuk fokus pada stimulus tertentu
c. Memiliki TTV dalam batas normal
d. Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan meskipun mengalami kecemasan
Intervensi NIC
a. Kaji tingkat ansietas pasien

Skala Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) dalam penilaian kecemasan (ansetas) terdiri dari 14 item, meliputi:
1) Perasaan Cemas firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah tersinggung.
2) Merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu.
3) Ketakutan : takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal sendiri dan takut pada binatang besar.
4) Gangguan tidur sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak pulas dan mimpi buruk.
5) Gangguan kecerdasan : penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit konsentrasi.
6) Perasaan depresi : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hoby, sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.
7) Gejala somatik : nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara tidak stabil dan kedutan otot.
8) Gejala sensorik : perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka merah dan pucat serta merasa lemah.
9) Gejala kardiovaskuler : takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras dan detak jantung hilang sekejap.
10) Gejala pernapasan : rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering menarik napas panjang dan merasa napas pendek.
11) Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun, mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan,
perasaan panas di perut.
12) Gejala urogenital : sering keneing, tidak dapat menahan keneing, aminorea, ereksi lemah atau impotensi.

13) Gejala vegetatif : mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu roma berdiri, pusing atau sakit kepala.
14) Perilaku sewaktu wawancara : gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas
pendek dan cepat.
Cara Penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan kategori:
0 = tidak ada gejala sama sekali
1 = Ringan / Satu dari gejala yang ada
2 = Sedang / separuh dari gejala yang ada
3 = berat / lebih dari gejala yang ada
4 = sangat berat / semua gejala ada
Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan item 1-14 dengan hasil:
1)

Skor < 14 = tidak ada kecemasan.

2)

Skor 14 - 20 = kecemasan ringan.

3)

Skor 21 27 = kecemasan sedang.

4)

Skor 28 41 = kecemasan berat.

5)

Skor 42 56 = panik.

b. Gali bersama pasien tentang teknik yang berhasil dan tidak berhasil menurunkan ansietas di masa lalu
c. Berikan informasi tentnag gejala ansietas
d. Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran dan aperasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas
e. Yakinakan kembali pasien melalui sentuhan, dan sikap empatik secara verbal dan nonverbal secara bergantian
f. Dorong pasien untuk mengekspresikan kemarahan dan iritasi serta izinkan pasien untuk menangis
g. Bermain dengan anak atau bawa anak ke tempat bermain anak di rumah sakit dan libatkan anak dalam permainan
h. Kolaborasi pemberian obat untuk menurunkan ansietas.

DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C dan Hackley, JiAnn C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
_____________2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.

Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2, Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC,

LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS


A. DEFINISI

Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah
katup ileosekal. Appendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena
pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi.
(Brunner dan Sudarth, 2002).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki
berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).
Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan
limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks
dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, danEnterobius vermikularis (Ovedolf, 2006).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal
bagi bakteri untuk berkumpul dan multiplikasi (Chang, 2010)
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh
feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahya (Corwin, 2009).

APENDISITIS

B. ETIOLOGI
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor prediposisi yaitu:

1.
a.
b.
c.
d.
2.
3.

Factor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena:
Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
Adanya faekolit dalam lumen appendiks
Adanya benda asing seperti biji-bijian
Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus
Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena
peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
4. Tergantung pada bentuk apendiks:
a. Appendik yang terlalu panjang
b. Massa appendiks yang pendek
c. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
d. Kelainan katup di pangkal appendiks
(Nuzulul, 2009)
C. KLASIFIKASI
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang
selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
a. Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
b. Fekalit
c. Benda asing
d. Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin
meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.

Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang
menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks.
Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara
hematogen ke apendiks.
2. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding
appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena
dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat
eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans
muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan
tanda-tanda peritonitis umum.
3. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih
dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara
1-5 persen.
4. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong
dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut pertama
kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut.
Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang
diperiksa secara patologik.
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut.
5. Mukokel Apendiks

Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat adanya obstruksi kronik pangkal
apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun
jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa
memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah
apendiktomi.
6. Tumor Apendiks
Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa
metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik
dibanding hanya apendektomi.
7. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara
kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid
berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan
pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan adanya metastasis sehingga
diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan
operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan

APENDISITIS

D. ANATOMI DAN FISIOLOGI


1. ANATOMI
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm dan berpangkal pada sekum.
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung
dari protuberans sekum. Pada saatantenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi
appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab
rendahnya insidens Apendisitis pada usia tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar
pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk
mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik Apendisitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks
adalahretrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal (di
depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%, seperti terlihat pada gambar dibawah ini.

Appendiks pada saluran pencernaan

Anatomi appendiks

Posisi Appendiks

2. FISIOLOGI
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya
mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis Apendisitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang
saluran cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen
intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit
sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.

E. PATOFISIOLOGI
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda
asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus
tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan
tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena,
edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini
disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks
hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses
atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis.

Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007) .
Pathway

Pathway APENDISITIS

F.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

MANIFESTASI KLINIK
Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
Nyeri tekan lepas dijumpai.
Terdapat konstipasi atau diare.
Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran
kanan.
10. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
11. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi
ruptur appendiks.
Nama pemeriksaan
Rovsings sign

Tanda dan gejala


Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan
pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada
sisi kanan.
Psoas sign atau Obraztsovas Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian
sign
dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif
jika timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator sign
Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan
dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif
jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina.
Dunphys sign
Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah
dengan batuk
Ten Horn sign
Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut
pada korda spermatic kanan

Kocher (Kosher)s sign


Sitkovskiy (Rosenstein)s sign
Aure-Rozanovas sign

Blumberg sign

Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium


atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke
kuadran kanan bawah.
Nyeri yang semakin bertambah pada perut
kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan
pada sisi kiri
Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
triangle kanan
(akan
positif
ShchetkinBloombergs sign)
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada
kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan
tiba-tiba
APENDISITIS

G. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor keterlambatan dapat berasal dari
penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi
kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan.
Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling
sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang
tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang
masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada
orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
1. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah
pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila
Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
2. Perforasi

Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi
dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif
pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak
toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutamapolymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum.
Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri
abdomen, demam, dan leukositosis.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan
jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan
jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah
terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas
CRP yaitu 80% dan 90%.
2. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning(CT-scan). Pada pemeriksaan USG
ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CTscan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta
adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%,
sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100%
dan 96-97%.

3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri
perut bawah.
4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan
pankreas.
5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.
6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan
pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.
7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi mempunyai arti penting dalam
membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.
APENDISITIS

I. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah
berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik
2. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang
appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan
perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intraabdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka
abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan intensif dan
pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.

ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
WawancaraDapatkan riwayat kesehatan dengan cermat khususnya mengenai:

Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah. Timbul keluhan
Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam
beberapa waktu lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang lama.
Keluhan yang menyertai biasanya klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.

Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah. kesehatan klien sekarang.

Diet,kebiasaan makan makanan rendah serat.

Kebiasaan eliminasi.
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit ringan/sedang/berat.

Sirkulasi : Takikardia.

Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.

Aktivitas/istirahat : Malaise.

Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.

Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising usus.

Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik
Mc. Burney, meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi
ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.

Demam lebih dari 38oC.

Data psikologis klien nampak gelisah.

Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.

Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi.

Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.

APENDISITIS

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh inflamasi)
2. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan peritaltik.
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
4. Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
Post operasi
1. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi appenditomi).
2. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan).
3. Defisit self care berhubungan dengan nyeri.
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurang informasi.

C. RENCANA KEPERAWATAN
PRE OPERASI
NO
1.

DIAGNOSA
KEPERAWATAN
Nyeri akut berhubungan
dengan agen injuri biologi
(distensi jaringan intestinal
oleh inflamasi)

NOC

NIC

RASIONAL

Setelah dilakukan asuhan


1. Kaji tingkat nyeri, lokasi dan Untuk mengetahui sejauh mana
keperawatan,
diharapkan karasteristik nyeri.
tingkat nyeri dan merupakan
nyeri klien berkurang dengan
indiaktor secara dini untuk
kriteria hasil:
dapat memberikan tindakan
Klien mampu mengontrol
selanjutnya

nyeri (tahu penyebab nyeri,


2.
mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi
untuk
mengurangi nyeri, mencari
bantuan)
Melaporkan bahwa nyeri
3.
berkurang
dengan
menggunakan manajemen
nyeri
Tanda vital dalam rentang
normal
4.
TD (systole 110-130mmHg,
diastole
70-90mmHg),
HR(60-100x/menit), RR (165.
24x/menit),
suhu
(36,537,50C)
Klien tampak rileks mampu
6.
tidur/istirahat

Jelaskan pada pasien tentang informasi yang tepat dapat


penyebab nyeri
menurunkan
tingkat
kecemasan
pasien
dan
menambah
pengetahuan
pasien tentang nyeri.
Ajarkan
tehnik
untuk napas dalam dapat menghirup
pernafasan diafragmatik lambat O2 secara adequate sehingga
/ napas dalam
otot-otot menjadi relaksasi
sehingga dapat mengurangi
rasa nyeri.
meningkatkan relaksasi dan
Berikan
aktivitas
hiburan
dapat
meningkatkan
(ngobrol
dengan
anggota
kemampuan kooping.
keluarga)
deteksi
dini
terhadap
Observasi tanda-tanda vital
perkembangan
kesehatan
pasien.
sebagai profilaksis untuk dapat
Kolaborasi dengan tim medis menghilangkan rasa nyeri.
dalam pemberian analgetik

Perubahan pola eliminasi Setelah dilakukan asuhan


1.
(konstipasi)
berhubungan keperawatan,
diharapkan
dengan
penurunan konstipasi
klien
teratasi
peritaltik.
dengan kriteria hasil:
2.
BAB 1-2 kali/hari
Feses lunak
Bising usus 5-30 kali/menit
3.

Pastikan
kebiasaan membantu dalam pembentukan
defekasi klien dan gaya hidup jadwal irigasi efektif
sebelumnya.
Auskultasi bising usus
kembalinya
fungsi
gastriintestinal
mungkin
terlambat oleh inflamasi intra
peritonial
Tinjau ulang pola diet dan masukan adekuat dan serat,

2.

jumlah / tipe masukan cairan.

makanan kasar memberikan


bentuk dan cairan adalah faktor
penting dalam menentukan
konsistensi feses.
makanan yang tinggi serat
4. Berikan makanan tinggi serat.
dapat
memperlancar
pencernaan sehingga tidak
terjadi konstipasi.
obat pelunak feses dapat
5. Berikan obat sesuai indikasi, melunakkan feses sehingga
contoh : pelunak feses
tidak terjadi konstipasi.
3.

Kekurangan volume cairan Setelah dilakukan asuhan


1.
berhubungan dengan mual keperawatan
diharapkan
muntah.
keseimbangan cairan dapat
dipertahankan
dengan
2.
kriteria hasil:
kelembaban
membrane
mukosa
3.
turgor kulit baik
Haluaran urin adekuat: 1
cc/kg BB/jam
Tanda-tanda vital dalam
4.
batas normal
TD (systole 110-130mmHg,
diastole
70-90mmHg),
5.

Tanda
yang
membantu
mengidentifikasikan
fluktuasi
volume intravaskuler.
Kaji membrane mukosa, kaji Indicator keadekuatan sirkulasi
tugor kulit dan pengisian perifer dan hidrasi seluler.
kapiler.
Awasi masukan dan haluaran, Penurunan haluaran urin pekat
catat warna urine/konsentrasi, dengan peningkatan berat jenis
berat jenis.
diduga
dehidrasi/kebutuhan
peningkatan cairan.
Auskultasi bising usus, catat Indicator kembalinya peristaltic,
kelancaran flatus, gerakan kesiapan untuk pemasukan per
usus.
oral.
Berikan perawatan mulut sering Dehidrasi mengakibatkan bibir
Monitor tanda-tanda vital

HR(60-100x/menit), RR (16- dengan perhatian khusus pada dan mulut kering dan pecah24x/menit),
suhu
(36,5- perlindungan bibir.
pecah
0
37,5 C)
6. Pertahankan
penghisapan
gaster/usus.
Selang
NG
biasanya
dimasukkan pada praoperasi
dan dipertahankan pada fase
segera pascaoperasi untuk
dekompresi
usus,
meningkatkan istirahat usus,
7. Kolaborasi pemberiancairan IV mencegah mentah.
dan elektrolit
Peritoneum bereaksi terhadap
iritasi/infeksi
dengan
menghasilkan sejumlah besar
cairan yang dapat menurunkan
volume
sirkulasi
darah,
mengakibatkan
hipovolemia.
Dehidrasi
dapat
terjadi
ketidakseimbangan elektrolit
4.

Cemas
berhubungan Setelah dilakukan asuhan
1.
dengan akan dilaksanakan keperawatan,
diharapkan
operasi.
kecemasab klien berkurang
dengan kriteria hasil:
Melaporkan
ansietas
2.
menurun sampai tingkat
teratasi
Tampak rileks

Evaluasi tingkat ansietas, catat ketakutan dapat terjadi karena


verbal dan non verbal pasien.
nyeri hebat, penting pada
prosedur
diagnostik
dan
pembedahan.
Jelaskan dan persiapkan untuk dapat meringankan ansietas
tindakan prosedur sebelum terutama ketika pemeriksaan
dilakukan
tersebut
melibatkan
pembedahan.

3. Jadwalkan istirahat adekuat membatasi


kelemahan,
dan periode menghentikan menghemat
energi
dan
tidur.
meningkatkan
kemampuan
koping.
4. Anjurkan
keluarga
untuk Mengurangi kecemasan klien
menemani disamping klien

POST OPERASI
NO
1.

DIAGNOSA
KEPERAWATAN

NOC

Nyeri berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan


1.
agen injuri fisik (luka insisi keperawatan,
diharapkan
post operasi appenditomi).
nyeri berkurang dengan
kriteria hasil:
Melaporkan nyeri berkurang2.
Klien tampak rileks
Dapat tidur dengan tepat
3.
Tanda-tanda vital dalam
batas normal
TD (systole 110-130mmHg,
4.
diastole
70-90mmHg),
HR(60-100x/menit), RR (1624x/menit),
suhu
(36,55.
0
37,5 C)
6.

NIC

RASIONAL

Kaji
skala
nyeri
lokasi, Berguna dalam pengawasan
karakteristik
dan
laporkan dan
keefesien
obat,
perubahan nyeri dengan tepat. kemajuan
penyembuhan,perubahan
Monitor tanda-tanda vital
dan karakteristik nyeri.
deteksi
dini
terhadap
perkembangan
kesehatan
Pertahankan istirahat dengan pasien.
posisi semi powler.
Menghilangkan
tegangan
abdomen yang bertambah
Dorong ambulasi dini.
dengan posisi terlentang.
Meningkatkan
kormolisasi
fungsi organ.
Berikan aktivitas hiburan.
meningkatkan relaksasi.
Kolborasi tim dokter dalam
Menghilangkan nyeri.
pemberian analgetika.

Kaji adanya tanda-tanda infeksi Dugaan adanya infeksi


pada area insisi
Monitor tanda-tanda vital.
Dugaan adanya
Perhatikan demam, menggigil, infeksi/terjadinya sepsis,
berkeringat, perubahan mental abses, peritonitis
Lakukan teknik isolasi untuk mencegah transmisi penyakit
infeksi enterik, termasuk cuci virus ke orang lain.
tangan efektif.
Pertahankan teknik aseptik mencegah meluas dan
ketat pada perawatan luka membatasi penyebaran
insisi / terbuka, bersihkan organisme infektif /
dengan betadine.
kontaminasi silang.
5. Awasi / batasi pengunjung dan menurunkan resiko terpajan.
siap kebutuhan.
6. Kolaborasi tim medis dalam terapi ditunjukkan pada bakteri
pemberian antibiotik
anaerob dan hasil aerob gra
negatif.

2.

Resiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan asuhan


1.
dengan tindakan invasif keperawatan
diharapkan
(insisi post pembedahan).
infeksi dapat diatasi dengan
2.
kriteria hasil:
Klien bebas dari tandatanda infeksi
3.
Menunjukkan kemampuan
untuk mencegah timbulnya
infeksi
4.
Nilai leukosit (4,5-11ribu/ul)

3.

Defisit
self
care Setelah dilakukan asuhan
1.
berhubungan dengan nyeri. keperawatan
diharapkan
kebersihan
klien
dapt
dipertahankan
dengan
kriteria hasil:
klien bebas dari bau badan 2.
klien tampak bersih
ADLs klien dapat mandiri

Mandikan pasien setiap hari Agar badan menjadi segar,


sampai
klien
mampu melancarkan
peredaran
melaksanakan sendiri serta darah dan meningkatkan
cuci rambut dan potong kuku kesehatan.
klien.
Ganti pakaian yang kotor
dengan yang bersih.
Untuk melindungi klien dari
kuman dan meningkatkan

atau dengan bantuan

4.

Kurang
pengetahuan
tentang kondisi prognosis
dan kebutuhan pengobatan
b.d kurang informasi.

3. Berikan Hynege Edukasipada rasa nyaman


klien dan keluarganya tentang Agar klien dan keluarga dapat
pentingnya kebersihan diri.
termotivasi untuk menjaga
4. Berikan pujian pada klien personal hygiene.
tentang kebersihannya.
Agar klien merasa tersanjung
dan lebih kooperatif dalam
5. Bimbing
keluarga
klien kebersihan
memandikan / menyeka pasien Agar
keterampilan
dapat
6. Bersihkan dan atur posisi serta diterapkan
tempat tidur klien.
Klien merasa nyaman dengan
tenun yang bersih serta
mencegah terjadinya infeksi.

Setelah dilakukan asuhan


1.
keperawatan
diharapkan
pengetahuan
bertambah
dengan kriteria hasil:
menyatakan
pemahaman
2.
proses penyakit, pengobatan
dan
berpartisipasi
dalam
3.
program pengobatan

Kaji ulang pembatasan aktivitas


Memberikan informasi pada
pascaoperasi
pasien untuk merencanakan
kembali rutinitas biasa tanpa
menimbulkan masalah.
Anjuran
menggunakan Membantu kembali ke fungsi
laksatif/pelembek feses ringan usus semula mencegah
bila perlu dan hindari enema
ngejan saat defekasi
Diskusikan perawatan insisi,
termasuk mengamati balutan, Pemahaman meningkatkan
pembatasan
mandi,
dan kerja sama dengan terapi,
kembali ke dokter untuk meningkatkan penyembuhan
mengangkat jahitan/pengikat

4. Identifikasi
gejala
yang
memerlukan evaluasi medic, Upaya intervensi menurunkan
contoh
peningkatan
nyeri resiko komplikasi lambatnya
edema/eritema luka, adanya penyembuhan peritonitis.
drainase, demam

DAFTAR PUSTAKA
Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.
Fatma. (2010). Askep Appendicitis. Diakses http://fatmazdnrs.blogspot.com/2010/08/askep-appendicitis.html pada tanggal 09
Mei 2012.
Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.
Nuzulul. (2009). Askep Appendicitis. Diakseshttp://nuzulul.fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35840-Kep%20Pencernaan
Askep%20Apendisitis.html tanggal 09 Mei 2012.
Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC

Anda mungkin juga menyukai