Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS

OLEH :

EKA WAHYU RIFANI MEILIADEWI


P07120320004
PROFESI NERS

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi/Pengertian
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (94
inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi makanan
dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak
efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan
terhadap infeksi. (Smeltzer, 2002).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur
baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia
antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).
Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh
fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen
merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat
terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris
trichiura, danEnterobius vermikularis (Ovedolf, 2006).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang
terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan
multiplikasi (Chang, 2010)
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa penyebab
yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau
pembuluh darahya (Corwin, 2009).

2. Penyebab/Faktor Predisposisi
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor
prediposisi yaitu:
a. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi
karena:
1) Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
2) Adanya faekolit dalam lumen appendiks
3) Adanya benda asing seperti biji-bijian
4) Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
b. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus
c. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja
dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa
tersebut.
d. Tergantung pada bentuk apendiks:
1) Appendik yang terlalu panjang
2) Massa appendiks yang pendek
3) Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
4) Kelainan katup di pangkal appendiks
(Nuzulul, 2009)

3. Klasifikasi
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut
pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses
infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
1) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
2) Fekalit
3) Benda asing
4) Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak
dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer
sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding
apendiks.Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran
infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.

b. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)


Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks
dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan
pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan
tanda-tanda peritonitis umum.
c. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua
syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah
apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan
ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik
antara 1-5 persen.
d. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis
akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke
bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya
serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan
apendektomi yang diperiksa secara patologik.
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering
penderita datang dalam serangan akut.
e. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin
akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan
fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun
jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa
menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut
kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat
bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah
apendiktomi.
f. Tumor Apendiks/Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu
apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi
regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang
jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
g. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang
didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi
atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom
karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena
spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor
karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala
tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan
residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen
patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor,
dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan

4. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah
terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007) .
Pathway

5. Manifestasi Klinik
a. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan.
b. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
c. Nyeri tekan lepas dijumpai.
d. Terdapat konstipasi atau diare.
e. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
f. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
g. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
h. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
i. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
j. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen terjadi
akibat ileus paralitik.
Nama pemeriksaan Tanda dan gejala
Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada
kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi
kanan.
Psoas sign atau Obraztsova’s Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian
sign dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif jika
timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan
dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif jika
timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah
dengan batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut
pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau
sekitar pusat, kemudian berpindah ke kuadran
kanan bawah.
Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign Nyeri yang semakin bertambah pada perut
kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan
pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
triangle kanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada
kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-
tiba

6. Komplikasi
a. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila
Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal
sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif
pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit,
panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis
terutamapolymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
c. Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah
serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang
akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui
proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu
80% dan 90%.
b. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada
tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-
scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari
appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat
akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%,
sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
c. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi
saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
d. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan
hati, kandung empedu, dan pankreas.
e. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya
kemungkinan kehamilan.
f. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium
enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan
karsinoma colon.
g. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi
mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus
halus atau batu ureter kanan.
8. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
a. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik
b. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan
perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).

c. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang
lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka
dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan
intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar
infeksi intra-abdomen.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian Keperawatan
Wawancara untuk mendapatkan riwayat kesehatan dengan cermat khususnya
mengenai:
a. Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke
perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa
jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa
waktu lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang atau timbul
nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai biasanya klien mengeluh
rasa mual dan muntah, panas.
b. Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah. kesehatan
klien sekarang.
c. Diet,kebiasaan makan makanan rendah serat.
d. Kebiasaan eliminasi.
e. Pemeriksaan Fisik
i. Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit ringan/sedang/berat.
ii. Sirkulasi : Takikardia.
iii. Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.
f. Aktivitas/istirahat : Malaise.
g. Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.
h. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus.
i. Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilicus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney, meningkat karena berjalan,
bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi
ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
j. Demam lebih dari 38 oC.
k. Data psikologis klien nampak gelisah.
l. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.
m. Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri
pada daerah prolitotomi.
n. Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.

2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


a. Pre operasi
1) Nyeri akut
2) Perubahan pola eliminasi (konstipasi)
3) Kekurangan volume cairan
4) Cemas
b. Post operasi
1) Nyeri akut
2) Resiko infeksi
3) Gangguan mobilitas fisik
4) Gangguan integritas kulit / jaringan
3. Rencana Keperawatan

DIAGNOSA TUJUAN DAN


INTERVENSI
NO KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
(SIKI)
(SDKI) (SLKI)
1 Nyeri akut (D.0077) Setelah diberikan asuhan Manajemen Nyeri (I.08238)
b.d keperawatan selama Observasi
 Agen pencedera ………...... jam diharapkan  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
fisiologis (mis. frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
inflamasi, iskemia, Tingkat Nyeri (L.08066)
menurun dengan kriteria hasil:
 Identifikasi skala nyeri
neoplasma)
 Agen pencedera  Keluhan nyeri menurun  Identifikasi respons nyeri non verbal
kimiawi (mis. Meringis menurun  Identifikasi faktor yang memperberat dan
terbakar, bahan  Sikap protektif menurun memperingan nyeri
kimia iritan)  Gelisah menurun  Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
 Agen pencedera  Kesulitan tidur menurun tentang nyeri
fisik (mis. abses,  Menarik diri menurun  Identifikasi pengaruh budaya terhadap
amputasi, terbakar,  Berfokus pada diri sendiri respons nyeri
terpotong, menurun  Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
mengangkat berat,  Diaphoresis menurun hidup
prosedur operasi,  Mual menurun
trauma, latihan fisik  Monitor keberhasilan terapi
 Muntah menurun komplementer yang sudah diberikan
berlebihan)
 Frekuensi nadi membaik
 Monitor efek samping penggunaan
 Pola napas membaik
d.d analgetik
Gejala dan Tanda  Tekanan darah membaik Terapeutik
 Prose berpikir membaik
Mayor
 Focus membaik
 Berikan teknik nonfarmakologis untuk
 Mengeluh nyeri mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
 Tampak meringis  Fungsi berkemih membaik
hypnosis, akupresur, terapi music,
 Bersikap protektif  Perilaku membaik biofeedback, terapi pijat, aromaterapi
(mis. waspada,  Nafsu makan membaik
teknik imajinasi terbimbing, kompres
posisi menghindari  Pola tidur membaik
nyeri)  Kemampuan menuntaskan hangat/ dingin, terapi bermain)
 Gelisah aktivitas meningkat  Kontrol lingkungan yang memperberat
 Frekuensi nadi rasa nyeri (mis. suhu ruangan,
meningkat Kontrol Nyeri (L.08063) pencahayaan, kebisingan)
 Sulit tidur meningkat dengan kriteria  Fasilitas istirahat dan tidur
hasil :  Pertimbangan jenis dan sumber nyeri
 Melaporkan nyeri dalam pemilihan strategi meredakan
Gejala dan Tanda terkontrol meningkat
nyeri
Minor  Kemampuan mengenali
Edukasi
 Tekanan darah onset nyeri meningkat
meningkat  Kemampuan mengenali  Jelaskan penyebab, periodde, dan pemicu
nyeri
 Pola napas berubah penyebab nyeri meningkat

makan  Kemampuan
Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Nafsu
berubah menggunakan teknik non-  Anjurkan memonitor nyeri secara
 Proses berpikir farmakologis meningkat mandiri
terganggu  Keluhan nyeri menurun  Anjurkan menggunakan analgetik secara
 Menarik diri  Penggunaan analgesic tepat
 Berfokus pada diri menurun  Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
sendiri mengurangi rasa nyeri
 Diaphoresis Penyembuhan Luka
Kolaboratif
(L.14130)
Meningkat dengan kriteria  Kolaborasi pemberian analgetik, jika
hasil : perlu
 Penyatuan kulit meningkat Pemberian Analgesik (I.08243)
 Penyatuan tepi luka Observasi
meningkat
 Jaringan granulasi
meningkat
 Pembentukan jaringan  Identifikasi karakteristik nyeri (mis,
parut meningkat pencetus, pereda, kualitas, lokasi,
 Edema pada sisi luka
intensitas, frekuensi, durasi)
menurun
 Peradangan luka menurun  Identifikasi riwayat alergi obat
 Nyeri menurun  Identifikasi kesesuaian analgesic (mis.
 Drainase purulent narkotika, non-narkotik, atau NSAID)
menurun
dengan tingkat keparahan nyeri
 Drainase serosa menurun
 Drainase sanguinis  Monitor tanda-tanda vital sebelum dan
menurun sesudah pemberian analgesic
 Drainase serosanguinis  Monitor efektifitas analgesic
menurun
Terapeutik
 Eritema pada kulit sekitar
menurun  Diskusikan jenis analgesic yang disukai
 Peningkatan suhu kulit untuk mencapai analgesic optimal, jika
menurun perlu
 Bau tidak sedap pada luka  Pertimbangkan penggunaan infus
menurun
kontinu, atau bolus opioid untuk
 Nekrosis menurun
 Infeksi menurun mempertahankan kadar dalam serum
 Tetapkan target efektifitas analgesic
untuk mengoptimalkan respons pasien
 Dokumentasikan respon terhadap efek
analgesic untuk mengoptimalkan respons
pasien
 Dokumentasikan respons terhadap efek
analgesic dan efek yang tidak diinginkan
Edukasi
 Jelaskan efek terapi dan efek samping
obat
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian dosis dan jenis
analgesic, sesuai indikasi
TUJUAN DAN
DIAGNOSA INTERVENSI
NO KRITERIA
KEPERAWATAN (SDKI) (SIKI)
HASIL(SLKI)
2 Gangguan mobilitas fisik Setelah diberikan asuhan Dukungan Ambulansi (I.06171)
(D.0054) keperawatan selama Observasi
b.d ………...... jam  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
 Kerusakan integritas diharapkan fisik lainnya
struktur tulang  Identifikasi toleransi fisik melakukan
 Perubahan metabolisme Mobilitas ambulansi
 Ketidakbugaran fisik Fisik(L.05042)meningk  Monitor frekwensi jantung dan tekanan
 Penurununan kendali otot at dengan kriteria hasil : darah sebelum memulai ambulansi
 Penurunan massa otot  Pergerakan Terapeutik
 Penurunan kekuatan otot ekstremitas  Fasilitasi aktivitas ambulansi dengan alat
 Keterlambatan meningkat bantu (mis. tongkat, kruk)
perkembangan  Kekuatan otot  Fasilitasi melakukan mobilitas fisik, jika
 Kekakuan sendi meningkat perlu
 Kontratur  Rentang gerak  Libatkan keluarga untuk membantu pasien
(ROM) meningkat
 Malnutrisi dalam meningkatkan ambulansi
 Gangguan  Nyeri menurun Edukasi
muskuloskeeletal  Kecemasan menurun  Jelaskan tujuan dan prosedur ambulansi
 Indeks massa tubuh diatas  Kaku sendi menurun  Anjurkan melakukan ambulansi dini
persentil ke-75 sesuai usia  Gerakan tidak  Ajarkan ambulansi sederhana yang harus
 Program pembatasan gerak terkoordinasi dilakukan (mis. berjalan dari tempat tidur
 Nyeri menurun ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke
 Gerakan terbatas kamar mandi, berjalan sesuai toleransi)
 Kurang terpapar informasi
menurun
tentang aktivitas fisik
 Kecemasan  Kelemahan fisik Dukungan Mobilisasi (I.05173)
menurun Observasi
 Gangguan kognitif
 Keengganan melakukan  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
pergerakan fisik lainnya
 Gangguan sensori persepsi  Identifikasi toleransi fisik melakukan
pergerakan
d.d  Monitor frekwensi jantung dan tekanan
Tanda dan Gejala Mayor darah sebelum memulai mobilisasi
 Mengeluh sulit Terapeutik
menggerakkan aktivitas  Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat
 Kekuatan otot menurun bantu (mis. pagar tempat tidur)
 Rentang gerak (ROM)  Fasilitasi melakukan pergerakan, jika
menurun perlu
 Libatkan keluarga untuk membantu pasien
Tanda dan Gejala Mayor dalam meningkatkan pergerakan
 Nyeri saat bergerak Edukasi
 Enggan melakukan  Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
pergerakan  Anjurkan melakukan mobilisasi dini
 Merasa cemas saat bergerak  Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
 Sendi kaku dilakukan (mis. duduk di tempat tidur,
 Gerakan tidak terkoordinasi duduk di didi tempat tidur, pindah dari
 Gerakan terbatas tempat tidur ke kursi)
 Fisik lemah
TUJUAN DAN
DIAGNOSA INTERVENSI
NO KRITERIA HASIL
KEPERAWATAN (SDKI) (SIKI)
(SLKI)
3 Risiko Infeksi (D.0142) Setelah diberikan asuhan Pencegahan Infeksi
keperawatan selamaObservasi
Faktor Risiko: ………...... jam diharapkan □ Monitor tanda dan gejala infeksi
□ Penyakit Kronis (mis. Tingkat Infeksi (L.14137) local dan sistemik
Diabetes mellitus) menurun dengan kriteria Terapeutik
□ Efek prosedur invasif hasil: □ Batasi jumlah pengunjung
□ Malnutrisi □ Kebersihan tangan □ Berikan perawatan kulit pada
□ Peningkatan paparan meningkat
organisme pathogen □ Kebersihan badan area edema
lingkungan meningkat □ Cuci tangan sebelum dan
□ Ketidakadekuatan □ Demam menurun(normal sesudah kontak dengan pasien
o
pertahanan tubuh 36.5-37 C) dan lingkungan pasien
primer: □ Kemerahan menurun □ Pertahanakan teknik aseptic
□ Nyeri menurun pada pasien berisiko tinggi
□ Gangguan
□ Vesikel menurun Edukasi
peristaltic □ Cairan berbau busuk
□ Kerusakan □ Jelaskan tanda dan gejala infeksi
menurun
integritas kulit □ Ajarkan cara mencuci tangan
□ Sputum berwarna hijau
□ Perubahan sekresi menurun dengan benar
Ph □ Drainase purulent □ Ajarkan etika batuk
□ Penurunan kerja menurun □ Ajarkan cara memeriksa kondisi
siliaris □ Piuria menurun luka atau luka operasi
□ Ketuban pecah lama □ Periode malaise menurun □ Anjurkan meningkatkan asupan
□ Ketuban pecah □ Periode menggigil nutrisi
sebelumnya menurun □ Anjurkan meningkatkan asupan
□ Letargi menurun cairan
□ Merokok
□ Gangguan kognitif Kolaborasi
□ Statis cairan tubuh menurun
□ Ketidakadekuatan □ Kolaborasi pemberian antibiotik
□ Kadar sel darah putih
pertahanan tubuh □ Kolaborasi pemberian imunisasi
membaik (normal 9000-
sekunder 30000 sel/mm) jika perlu
□ Penurunan □ Kultur darah membaik
hemoglobin □ Kultur urine membaik
□ Imununosupresi □ Kultur sputum membaik
□ Leukopenia □ Kultur area luka
□ Supresi respon membaik
inflamasi □ Kultur feses membaik
□ Nafsu makan membaik
□ Vaksinasi tidak
adekuat
DIAGNOSA TUJUAN DAN
INTERVENSI
NO KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
(SIKI)
(SDKI) (SLKI)
4 Gangguan Integritas Setelah diberikan asuhan Perawatan integritas kulit (L.11353)
Kulit/Jaringan (D.0129) keperawatan selama Observasi
b.d ………...... jam diharapkan  Identifikasi penyebab gangguan
 Perubahan sirkualsi integritas kulit (mis. perubahan
Integritas Kulit dan Jaringan
 Perubahan status (L.14125)meningkat dengan
sirkualsi, perubahan status nutrisi,
nutrisi (kelebihan atau kriteria hasil : penurunan kelembaban, suhu
kekurangan)  elastisitas meningkat lingkunagn ekstrim, penurunan
 Kekurangan /  hidrasi meningkat
mobilitas)
kelebihan volume Terapiutik
 perfusi jaringan
cairan  Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah
meningkat
 Penurunan mobilitas  kerusakan jaringan
baring
 Bahan kimia iriatif  Lakukan pemijatan pada are
menurun
 Suhu lungkungan  kerusakan lapisan kulit
penonjolan tulang, jika perlu
yang ekstrim  Bersihkan perineal dengan air
menurun
 Faktor mekanis (mis.  nyeri menurun
hangat, terutama selama periode
penekanan pada diare
 perdarahan menurun
tonjolan tulang,  Gunakan produk berbahan
 kemerahan menurun petroleum atau minyak pada kulit
gesekan ) atau faktor
 hematoma menurun kering
elektris ( mis.
elektrodiatermi,  pigmentasi abnormal  Gunakan produk berhbahan ringan/
energy listrik menurun alami dan hipoalergik pada kulit
bertegangan tinggi)  jaringan parut menurun sensitive
 Efek samping terapi  nekrosis menurun  Hindari produk berbahan dasar
radia  abrasi kornea menurun alkohol pada kulit keringnanjurkan
 Kelembaban  suhu kulit membaik menggunakan pelembab
 Proses penuaan  sensai membaik (mis.lotion, serum)
 Neuropati  tekstur membaik Edukasi
 Kurang terpapar  pertembuhan rambut  Anjurkan minum air yang cukup
informasi tentang membaik  Anjurkan meningkatkan asupan
upaya nutrisi
mempertahankan/ Pemulihan Pascabedah  Anjurkan meningkatkan asupan
melidungi intergitas (L.14129) meningkat buah dan sayur
kulit) dengan kriteria hasil :  Anjurkan menghindari terpapar
Gejala dan tanda  kenyamanan meningkat suhu ekstrim
mayor  selera makan meningkat  Anjurkan mengguanakn SFP
Subjekti  mobilitas meningkat minimal 30 saat berada di luar
 -  kemampuan melanjutkan ruangan
Objektif pekerjaan meningkat  Anjurkan mandi dan
 Kerusaka integritas  kemampuan bekerja mengguanakan sabun secukupya
jaringan dan/atau meningkat Perawatan Luka (L.14564)
lapisan kulit  kemampuan perawatan Observasi
Gejala dan tanda diri meningkat  Monitor karakteristik luka
minor  waktu penyembuhan (mis.drainase, warna, ukuran, bau)
Subjektif menurun  Monitor tanda-tanda infeksi
 -  area luka operasi
Objektif membaik
 Nyeri  Terapiutik
 Perdarahan Penyembuhan Luka  Lepaskan balutan dan plester secara
 Kemerahan (L.14130) meningat dengan berlahan
 hematoma kriteria hasil :  Cukur rambut di sekitar daerah
 penyatuan kulit luka, jika perlu
meningkat
 penyauan tepi luka  Bersihkan dengan cairan NaCl atau
meningkat pembersih nontoksik, sesuai
 jaringan granulasi kebutuhan
meningkat  Bersihkan jaringan nekrotik
 pembentukan ajringan  Berikan salep sesuai jenis luka
parut meningkat prtahankan teknik steril saat
 edema pada sisi luka melakukan perawatan luka
menurun  Ganti balutan sesuai eksudat dan
 peradangan luka drainasi
menurun  Jadwalkan perubahan posisi setiap 2
 nyeri menurun jam atau sesuai kondisi pasien
 drainase menurun  Berikan diet dengan kalori 30-35
porulen menurun kkal/kgBB/hari dan protein 1,25-
 drainase sorosa menurun 1,5 g/kgBB/hari
 drainase sanguinis  Berikan suplemen vitamin dan
menurun mineral (mis. vitamin A, vitamin C,
 drainase serosanguinis Zinc, asam amino), sesuai indikasi
menurun  Berikan terapi TENS (stimulasi
 entema pada kulit sekitas saraf transkytancus), jika perlu
menurun Edukasi
 peningkatan suhu kulit  Jelaskan tanda dan gejala infeksi
menurun  Anjurkan mengkonsumsi makanan
 bau tidak sedap pada luka tinggi kalori dan protein
menurun  Ajarkan prosedur perawatan luka
 nekrosis menurun secara mandiri
 infeksi menurun Kolaborasi
 Kolaborasi prosedur debridement
(mis. enzimatik, biologis, mekanis,
autolitik), jika perlu
 Kolaborasi pemberian antiboti jika
perlu
DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth, J, Corwin. (2009). Biku saku Fatofisiologi, EGC, Jakarta.

Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.

Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius


FKUI

Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second
Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.

Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &
Suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta, EGC

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Sandar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta : Dewan Pengurus PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2017. Sandar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta : Dewan Pengurus PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2017. Sandar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta : Dewan Pengurus PPNI
……………………….. 2019

Pembimbing / CI Mahasiswa

….…………………………….. ……………………………………..
NIP. NIM.

Pembimbing / CT

…………………………………
NIP.

Anda mungkin juga menyukai