B. ETIOLOGI
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor
prediposisi yaitu:
a. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi
karena:
1. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
2. Adanya faekolit dalam lumen appendiks
3. Adanya benda asing seperti biji-bijian
4. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
b. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus
c. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun
(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada
masa tersebut.
d. Tergantung pada bentuk apendiks:
1. Appendik yang terlalu Panjang
2. Massa appendiks yang pendek
3. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
4. Kelainan katup di pangkal appendiks
(Nuzulul, 2009)
C. KOMPLIKASI
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut
pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses
infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
1. Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
2. Fekalit
3. Benda asing
4. Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi
tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra
luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada
dinding apendiks. Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh
penyebaran dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke
apendiks.
b. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan thrombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme
yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan
infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam
lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum
local seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan
nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada
seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua
syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah
apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan
ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis
kronik antara 1-5 persen.
d. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna
kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk
terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya
dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik.
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering
penderita datang dalam serangan akut.
e. Mukokel Apendik
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin
akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan
fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun
jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa
menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di
perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu
saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah
apendiktomi.
f. Tumor Apendiks/Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu
apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi
regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup
yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
g. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang
didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut.
Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak
napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6%
kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang
menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa
memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal.
Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak
bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi
kanan.
D. POTOFISIOLOGI
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah
terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut
infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan
tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang
tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer,
2007)
E. MENIFESTASI KLINIS
1. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya demam ringan
2. Mual, muntah
3. Anoreksia, malaise
4. Nyeri lepas lokal pada titik Mc. Burney
5. Spasme otot
6. Konstipasi,
1) PATHWAY
APPENDISITIS
Nyeri Akut
Hipertermia
Oprasi
Defisit Anastesi
Luka Insiasi
Pintu masuk
kuman Ansieta
Kerusakan jaringan Peristaltic usus
Resiko infeksi
Ujung sayaraf terputus
Distensi Abdomen
Pelepasan prostagladin
Mual Muntah
Spinal cord
Resiko Hipovolemia
Coertex serebri Nyeri dipresepsikan
Nyeri akut
2) PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut (Wijaya & Putri, 2013) penatalaksanaan medis pada appendisitis meliputi :
a. Sebelum operasi
1) Observasi Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala
appendisitis seringkali belum jelas, dalam keadaan ini observasi ketat perlu
dilaksanakan. Klien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Pemeriksaan
abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang
secara periodik, foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari
kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan
dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya
keluhan.
2) Antibiotik Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksidan abses intra
abdominal luka operasi pada klien apendiktomi.Antibiotik diberikan sebelum, saat,
hingga 24 jam pasca operasi dan melalui cara pemberian intravena (IV) (Sulikhah,
2014).
b. Operasi
Tindakan operasi yang dapat dilakukan adalah apendiktomi. Apendiktomi
adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara membuang apendiks (Wiwik Sofiah,
2017). Indikasi dilakukannya operasi apendiktomi yaitu bila diagnosa appendisitis
telah ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Pada keadaan yang meragukan
diperlukan pemeriksan penunjang USG atau CT scan. Apendiktomi dapat dilakukan
dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi pada abdomen bawah. Anastesi
diberikan untuk memblokir sensasi rasa sakit. Efek dari anastesi yang sering terjadi
pada klien post operasi adalah termanipulasinya organ abdomen sehingga terjadi
distensi abdomen dan menurunnya peristaltik usus. Hal ini mengakibatkan belum
munculnya peristaltik usus (Mulya, 2015) .
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Kiik, 2018) dalam 4 jam pasca
operasi klien sudah boleh melakukan mobilisasi bertahap, dan dalam 8 jam pertama
setelah perlakuan mobilisasi dini pada klien pasca operasi abdomen terdapat
peningkatan peristaltik ususbahkan peristaltik usus dapat kembali normal.
Kembalinya fungsi peristaltik usus akan memungkinkan pemberian diet, membantu
pemenuhan kebutuhan eliminasi serta mempercepat proses penyembuhan.
c. Pasca operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan
di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernapasan. Klien dibaringkan dalam
posisi terlentang. Klien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan.
Puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.
3) PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Leukosit Darah
Pemeriksaan laboratorium rutin sangat membantu dalam mendiagnosis
apendisitis akut, terutama untuk mengesampingkan diagnosis lain. Pemeriksaan
laboratorium yang rutin dilakukan adalah jumlah leukosit darah. Jumlah leukosit
darah biasanya meningkat pada kasus apendisitis. Hitung jumlah leukosit darah
merupakan pemeriksaan yang mudah dilakukan dan memiliki standar pemeriksaan
terbaik. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada kasus dengan
komplikasi berupa perforasi. Penelitian yang dilakukan oleh Guraya SY menyatakan
bahwa peningkatan jumlah leukosit darah yang tinggi merupakan indikator yang
dapat menentukan derajat keparahan apendisitis. Tetapi, penyakit inflamasi pelvik
terutama pada wanita akan memberikan gambaran laboratorium yang terkadang sulit
dibedakan dengan apendisitis akut.
Terjadinya apendisitis akut dan adanya perubahan dinding apendiks
vermiformis secara signifikan berhubungan dengan meningkatnya jumlah leukosit
darah. Temuan ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah leukosit berhubungan
dengan peradangan mural dari apendiks vermiformis, yang merupakan tanda khas
pada apendisitis secara dini.
Beberapa penulis menekankan bahwa leukosit darah polimorfik merupakan
fitur penting dalam mendiagnosis apendisitis akut. Leukositosis ringan, mulai dari
10.000 - 18.000 sel/mm3 , biasanya terdapat pada pasien apendisitis akut. Namun,
peningkatan jumlah leukosit darah berbeda pada setiap pasien apendisitis. Beberapa
pustaka lain menyebutkan bahwa leukosit darah yang meningkat >12.000 sel/mm3
pada sekitar tiga-perempat dari pasien dengan apendisitis akut. Apabila jumlah
leukosit darah meningkat >18.000 sel/mm3 menyebabkan kemungkinan terjadinya
komplikasi berupa perforasi.
b. Urinalisis
Sekitar 10% pasien dengan nyeri perut memiliki penyakit saluran kemih.
Pemeriksaan laboratorium urin dapat mengkonfirmasi atau menyingkirkan penyebab
urologi yang menyebabkan nyeri perut. Meskipun proses inflamasi apendisitis akut
dapat menyebabkan piuria, hematuria, atau bakteriuria sebanyak 40% pasien, jumlah
eritrosit pada urinalisis yang melebihi 30 sel per lapangan pandang atau jumlah
leukosit yang melebihi 20 sel per lapangan pandang menunjukkan terdapatnya
gangguan saluran kemih.
2. Radiografi konvensional
Pada foto polos abdomen, meskipun sering digunakan sebagai bagian dari
pemeriksaan umum pada pasien dengan abdomen akut, jarang membantu dalam
mendiagnosis apendisitis akut. Pasien dengan apendisitis akut, sering terdapat
gambaran gas usus abnormal yang non spesifik. Pemeriksaan tambahan radiografi
lainnya yaitu pemeriksaan barium enema dan scan leukosit berlabel radioaktif. Jika
barium enema mengisi pada apendiks vermiformis, diagnosis apendisitis ditiadakan.
3. Ultrasonografi
Ultrasonografi berguna dalam memberikan diferensiasi penyebab nyeri
abdomen akut ginekologi, misalnya dalam mendeteksi massa ovarium. Ultrasonografi
juga dapat membantu dalam mendiagnosis apendisitis perforasi dengan adanya abses.
Apendisitis akut ditandai dengan (1) adanya perbedaan densitas pada lapisan apendiks
vermiformis / hilangnya lapisan normal (target sign); (2) penebalan dinding apendiks
vermiformis; (3) hilangnya kompresibilitas dari apendiks vermiformis ; (4)
peningkatan ekogenitas lemak sekitar (5) adanya penimbunan cairan . Keadaan
apendisitis dengan perforasi ditandai dengan (1) tebal dinding apendiks vermiformis
yang asimetris ; (2) cairan bebas intraperitonial, dan (3) abses tunggal atau multipel.
b. Post operasi
1. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasiappenditomi).
2. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post pembedahan).
3. Defisit self care berhubungan dengan nyeri.
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan
G. RENACA KEPERAWATAN
Pre Operasi
POST OPERASI
Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA
Intervention Project, Mosby.
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.
Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & Suddart. Edisi
8. Volume 2. Jakarta, EGC