Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

APENDISITIS

A. Definisi

Apendisitis adalah salah satu penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering ditemukan
dan membutukan pembedahan dengan segera, resiko orang menderita apendisitis sebanyak 7-8%
dengan insiden paling tertinggi pada usia 20-30 tahun. Suhu tubuh yang meningkkat dan
leukositosis menjadi bagian dalam penegakan diagnosis apendisitis ( jurnal kesehatan tadulako
2016)

Apendisitis adalah infeksi pada apendiks kerena tersumbatnya lumen oleh fekalitf (Batu
feces), hiperplasia jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab
utama ependisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi kerena parasit seperti
Entamoeba histolytica, trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis ( chang, 2010 )

Apendisitis merupakan suatu kondisi dimana infeksi terjadi diumbai cacing. Dalam kasus
ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan
penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Sebagai penyakit yang paling sering memerlukan
tindakan bedah kedaruratan, apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada
apendiks vermiformis. Apendiks vermiformis yang disebut pula umbai cacing atau lebih dikenal
dengan nama usus buntu, merupakan kantung kecil yang buntu dan melekat pada sekum.
Apendisitis dapat terjadi pada segala usia dan mengenai laki-laki serta perempuan. Akan tetapi
pada usia antara pubertas dan usia 25 tahun prefelensi apendisitis lebih tinggi pada laki-laki.
Sejak terdapat kemajuan dalam terapi antibiotik, insidensi dan angka kematian karena apendisitis
mengalami penurunan. Apabila tidak ditangani dengan benar penyakit ini hampir selalu
berakibat fatal. (Koalak, 2011).

Jadi apendisitis dari definis di atas yaitu infeksi pada apendiks kerena tersumbatnya
lumen atau umbai cacing(usus buntu) oleh fekalitf (Batu feces), hiperplasia jaringan limfoid, dan
cacing usus
Berikut ini merupakan beberapa klasifikasi dari Apendisitis :

a. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah radang pada jaringan apendiks, apendisitis akut pada dasrnya
adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
1) Hiperplasia limfonodi submukosa dinding apendiks.
2) Fekalik
3) Benda asing
4) Tumor

Adanuya obstruksi mengakibatkan mucin atau cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat
keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intraluminer sehingga menyebabkan
tekanan intra mukosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi
kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus atau
nanah pada dinding apendiks. Selain obstruksi apendisitis juga dapat disebabkan infeksi dari
organ lain sehingga menyebar secara primatogen ke apendiks.

b. Apendisitis purulenta (supurative appendicitis)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya
aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis, keadaan ini meperberat iskemia
dan edema pada apendiks. Mikro organisme yang ada di usus besar berinvasi kedalam dinding
apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapis eksudat dan
fibrin, pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen
terdapat eksudat fibrinopurulent. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri
tekan, nyeri lepas di titik McBurney, defans muskuler, dan nyeri pada gerka aktif dan pasif.
Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonirtis
umum.
c. Apendisitis Kronik

Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat: riwayat nyeri
perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan
microscopik, dan keliuhan menghilang setelah apendektomy.

Kriteria Mocroskopis apendisitis kronik adalah fibriosis menyeluruh dinding apendiks,


sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa,
dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.

d. Apendisitis rekurens

Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut
kana bawah yang mendorong dilakukan apeomy dan hasil patologi, menunjukan peradangan akut.
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun
apendisitis tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut.
Resiko untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%. Insiden apendisitis rekurens biasanya
dilakukan apendektomy yang diperiksa secara patologi.

e. Mukokel apendiks

Mukokel apndiks adalah dilatasi kistis dari apendiks yang berisi musin akibat adanya
obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jarinygan fibrosa. Jika isi lumen steril,
musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang, mukokel dapat disebabkan oleh suatu
kista denoma yang dicurigai bisa menjadi panas

Penderita sering datnag dengan keluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah.
Kadang teraba massa memanjang diregio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul
tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendektomy

f. Tumor apendiks/adenoparsinoma apendiks

penyakit ini jarang ditemukan biasa ditemukan kebetulan suatu apendektomy atas indikasi
apendisitis akut. Karna bisa metastasis kelimfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan
yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
g. Karsinoid apendiks

Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jaring di diagnosis pra bedah,
tetapi ditemukan secara kebetulan pada pmeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan
diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindom karsinoid berupa kemarahan (flushing) pada muka,
sesak napas karena spasme bronkus, dan diare yang ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor
karsinoid perut.

B. Etiologi

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus
disamping hiperplasia jaringan limfa, fekalik atau batu tinja, tumor apendiks, dan cacing asparis
dapat pula dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang dapat menyebabkan apendiks
karena parasit seperti E.histolytica. (syamsulhidayat,2005)

Faktor pencetusnya terjadi apendisitis akut juga disebabkan erosi mukosa. Konstipasi akan
menaikan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolen biasa. (Sjamsu Hidajat, 2010)
C. Anatomi & Fisiologi

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm, dan berpangkal di
sekum. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis
pada usia itu (Departemen bedah UGM, 2010).

Secara fisiologis apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir tersebut normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir dimuara
apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoa yang
dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue atau (GALT). Yang terdapat disepanjang
saluran cerna termasuk apendiks adalah IgA, imunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi
sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini sangat kecil jika dibandingkan dengan
jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh. (Schwartz, 2010)

D. Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau
neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang
meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedisis
bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh
nyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus terus berlanjut tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan
nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.

E. Tanda dan Gejala


a. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual, muntah,
dan hilangnya nafsu makan.
b. Nyeri tekan lokal pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
c. Nyeri tekan lepas dijempai.
d. Terdapat konstipasi atau diare.
e. Nyeri lumbal, bila apendiks melingkar dibelakang sekum.
f. Nyeri defekasi, bila apendiks berada dekat rektal.
g. Nyeri kemih, jika ujung apendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter.
h. Pemeriksaan rektal positif jika ujung apendiks berada di ujung pelvis.
i. Tanda rofsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara paradoksial
menyebabkan nyeri kuadran kanan.
j. Apabila apendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen terjadi akibat
ileus paralitik.
k. Pada pasien lansia tanda dan gejala apendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin tidak
mengalami gejala sampai terjadi ruptur apendiks.

F. Komplikasi

Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan apendisitis. Faktor keterlambatan


dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan
biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat
mrujuk rumha sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi apendisitis 10-32%,
paling sering pada anak kecil, dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak
dibawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada
anak-anak dan orang tua. 43 anak-anak memiliki dinding apendiks yang masih tipis,
omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memumdahkan terjadinya perforasi,
sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi
diantaranya:

a. abses

Abses merupakan peradangan apendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadaran
kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flagmon dan berkembang menjadi
rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila apendisitis gangren atau mikroporferasi
ditutupi oleh omentum.

b. perforasi

perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga
perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertamasejak awal sakit, tetapi meningkat tajam
sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klini s
yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5 celcius, tampak toksik, nyeri
tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonulear (PNN). Perforasi, baik berupa
porforasi bebas maupun microporforasi dapat menyebabkan peritonitis.

c. peritononitis

pritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat


terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
meyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktifitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus mergang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat,
muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosit.
G. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan
darah lengkap ditemukan jumlah leukosit anatara 10.000-18.000mm3 (leukositosis) dan
neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah
terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein.
Angka sensitifitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan computed tomography scanning ( CT
scan ). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian menunjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada apendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT scan di temukan bagian yang
menyilang dengan fekalithdan perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta
adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitifitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92% , sedangkan CT scan mempunyai tingkat akurasi 94-
100% dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
c. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran
kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
d. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati,
kandung ampedu, dan pankreas.
e. Serum beta human chorionic gonadotropin (B-HCG) untuk memeriksaan adanya
kehamilan.
f. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan barium enema
dan colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.
g. Pemeriksaan foto polos abdomentidak menunjukan tanda pasti apendisitis, tetapi
mempunyai arti penting dalam membedakan apendisitis dengan obstruksi usus halus atau
batu ureter kanan.
H. Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
a. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berupa untuk mencegah infeksi. Pada penderita apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik.
b. Operasi

Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang apendiks (appendektomi). Penundaan
apendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi.
Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nana)

c. Pencegahan tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu untuk mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra abdomen. Komplikasi utama
adalah infeksi luka dan abses itraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi
maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca apendektomi
diperlukan perewatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi
disesuaikan dengan besar infeksi intra abdomen

I. Penatalaksanaan keperawatan
 Memberikan cairan sedikit demi sedikit tetapi sering
 Bersikan lapangan oprasi dari beberapa organisme yang mungkin ada melalui
prinsip-prinsip pencukuran.
 Berikan obat pencahar sehari sebelum oprasi
 Anjurkan klien mandi dengan sempurna
 Anjurkan relaksasi tarik napas dalam
 Berikan analgetik
 Memberikan makanan sedikit namun sering
 Anjurkan kebersihan oral sebelum makan
 Mandikan klien setiap hari sampai klien mampu melaksanakan sendiri
 Atur posisi serta tempat tidur klien
J. PATOFLOWDIAGRAM

Apendiks

Hiperplasi folikel Benda asing Erosi mukosa fekalit striktur tumor


limfoid apendiks

obstruksi

Mukosa terbendung

Apendiks teregang

Tekanan intraluminal

Aliran darah terganggu

Ulserasi dan invasi bakteri


pada dinding apendiks

apendicitis

Trombosis pada
Ke peritoneum vena intramural

Pembengkakan dan iskemia


peritonitis
perforasi

ansietas Pembedahan operasi

Nyeri akut Luka insisi Kelemahan fisik

Jalan masuk lumen Keterbatasan gerak

Resiko infeksi Gangguan mobilitas fisik


K. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian keperawatan
Wawancara untuk mendapatkan riwayat kesehatan dengan cermat khususnya
mengenai:
a. Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri disekitar epigastrium menjalar
keperut kanan bawah. Timbul keluhan nyeri perut kanan bawah mungkin
beberapa jam kemudian setelah nyeri dipusat atau epigastrium dirasakan dalam
beberapa waktu lain. Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-menerus, dapat hilang
atau timbul nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai biasanya klien
mengeluh rasa mual, muntah dan, panas.
b. Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah. Kesehatan
klien sekarang
c. Diet, kebiasaan makan makanan rendah serat
d. Kebiasaan eliminasi
e. Pemeriksaan fisik
a) Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit ringan atau sakit
berat
b) Sirkulasi: takikardia
c) Respirasi : takibnue, pernapasan dangkal
f. Aktifitas atau istirahat malaise
g. Eliminasi : konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang
h. Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus
i. Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar eoigastrium dan umbilikus, yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik mekberni, meningkat kerena berjalan,
bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah kerena posisi
ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak.
j. Demem lebih dari 36°c
k. Data psikologis klien tampak gelisah
l. Ada perubahan denyut nadi dann pernapasan
m. Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita akan merasa
nyeri pada daerah prolitotomi
n. Berat badan sebagai indikator untuk menentukan pemberian obat.

2. Diagnosa Keperawatan

Post Operasi

1. Nyeri b/d agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh inflamasi)
2. Resiko infeksi b/d tindakan infasif (insisi post pembedahan)
3. Cemas b/d tindakan operasi/pembedahan

3. Rencana Keperawatan

1. Nyeri b/d agen injuri biologi (distensi jaringan intestinal oleh inflamasi)
Intervensi :
- Kaji skala nyeri lokasi karakteristik dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat
- Monitor TTV
- Perkenankan istirahat dengan posisi semi fowler
- Dorong ambulasi dini
- Berikan aktivitas hiburan
- Kolaborasikan tim dokter dalam pemberian analgetik

Rasional :
- Berguna dalam pengawasan dan ke efisien obat, pemajuan penyembuhan, perubahan
dan karakteristik nyeri
- Deteksi dini terhadap perkembangan kesehatan pasien
- Menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi terlentang
- Meningkatkan komolisasi fungsi organ
- Meningkatkan relaksasi menghilangkan nyeri

2. Resiko infeksi b/d tindakan infasif (insisi post pembedahan)


Intervensi :
- Kaji adanya tanda-tanda infeksi pada area insisi
- Monitor TTV, perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan mental
- Lakukan teknik isolasi untuk infeksi enterik, termasuk cuci tangan efektif
- Pertahankan teknik aseptik ketat pada perawatan luka insisi atau terbuka kebersihan
dengan betadine
- Awasi atau batasi pengunjung dan siap kebutuhan
- Kolaborasi tim medis dalam pemberian antibiotik

Rasional :
- Dugaan adanya infeksi
- Dugaan adanya infeksi atau terjadinya sepsis, abses, peritonitis
- Mencegah transmisi penyakit virus ke orang lain
- Mencegah meluas dan membatasi penyebaran organisme atau infektif/kontaminatif
silang
- Menurunkan resiko terpajan
- Terapi ditunjukan pada bakteri anaerob dan hasil aerob granegatif

3. Cemas b/d tindakan operasi/pembedahan


Intervensi :
- Berikan lingkungan yang nyaman
- Catat derajat ansietas
- Libatkan keluarga dalam proses keperawatan
- Diskusikan mengenai kemungkinan kemajuan dari fungsi gerak untuk mempertahankan
harapan klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
- Berikan suport sistem (perawat, keluarga atau teman dekat dan pendekatan spiritual)
- Reinforcoment terhadap potensi dan sumber yang dimiliki berhubungan dengan
penyakit, perawatan dan tindakan

Rasional :
- Menurunkan stimulasi yang berlebihan dapat mengurangi kecemasan
- Pemahaman bahwa rasa anormal dapat membantu klien meningkatkan beberapa
perasaan kontrol emosi
- Peran serta keluarga sangat membantu dalam menentukan koping
- Menunjukan kepada klien bahwa dia dapat berkomunikasi dengan efektif tanpa
menggunakan alat khusus, sehingga dapat mengurangi rasa cemasnya
- Dukungan dari beberapa orang yang memiliki pengalaman yang sama akan sangat
membantu klien
- Agar klien menyadari sumber-sumber apa saja yang ada disekitarnya yang dapat
mendukung dia untuk berkomunikasi
DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth, J, Corwin (2009). Buku saku Patofisiologi, EGC, Jakarta

Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA
(Intervention Project, Mosby)

Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Mc Closkey, C.J., let all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second Edition IOWA
(Intervention Project, Mosby)

NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi

Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart. Edisi 8.
Volume 2. Jakarta, EGC

Anda mungkin juga menyukai