Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Appendisitis


1. Pengertian Appendisitis

Gambar 2.1
Appendix normal (gambar a) dan appendix yang sudah mengalami gangguan
(gambar b)

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai
cacing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (cecum). Infeksi ini bisa
mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Nurarif dan Kusuma, 2015).

Apendisitis merupakan penyebab yang paling umum dari inflamasi akut


kuadran kanan bawah abdomen dan penyebab yang paling umum dari pembedahan
abdomen darurat. Pria lebih banyak terkena daripada wanita, remaja lebih banyak
dari orang dewasa, insiden tertinggi adalah mereka yang berusia 10 sampai 30 tahun
(Baughman dan Hackley, 2016).

Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang


terpuntir, apendik merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan
multiplikasi (Chang, 2010). Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt
terjadi tanpa penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat
terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahya (Corwin, 2011).

8
2. Klasifikasi Appendisitis
Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), apendisitis diklasifikasikan menjadi 7 yaitu :
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut
pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses
infeksi dari apendiks.
1) Penyebab obstruksi dapat berupa :
2) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
3) Fekalit
4) Benda asing
5) Tumor

Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi


tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra
luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus/ nanah pada dinding
apendiks. Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran
infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.

b. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)


Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding apendik dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme
yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendik menimbulkan infeksi
serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada
apendik dan mesoapendik terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat
eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti
nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak
aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai
dengan tanda-tanda peritonitis umum.

c. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua
syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik
9
apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah
apendektomi. Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis
menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik.
Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen.

d. Apendisitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna
kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk
terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya
dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada apendiktitis
rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita datang dalam
serangan akut.

e. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin
akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan
fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun
jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa
menjadi ganas. Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak
enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka
kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut.
Pengobatannya adalah apendiktomi.

f. Tumor Apendiks
Adenokarsinoma apendiks, penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan
kebetulan sewaktu apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa
metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan
memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.

10
g. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang
didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut.
Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak
napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6%
kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang
menyebabkan gejala tersebut di atas.

Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan


residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen
patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor,
dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan.

3. Etiologi Appendisitis
Hingga dewasa ini, apendisitis dinilai diakibatkan oleh obstruksi oleh masa
fekel, striktura, ingesti barium, atau infeksi virus. Obstruksi benar-benar jarang
terjadi, tetapi pertama kali ulserasi mukosa biasanya terjadi.Meskipun penyebab yang
pasti ulserasi belum diketahui, kemungkinan hal ini mempunyai sumber penyebab
yaitu virus (Djuantoro, 2014). Apendisitis belum ada penyebab pasti, tetapi ada
factor prediposisi yaitu :
a. Factor yang tersering adalah obstruksi lumen.
Umumnya karena : Hiperplasia folikel limfoid, ini merupakan penyebab
terbanyak.Adanya faekolit dalam lumen appendiks, adanya benda asing seperti
biji-bijian, striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
b. Infeksi kuman dari colon, paling sering E. Coli dan Streptococcus
c. Laki-laki > wanita. Yang terbanyak umur 15-30 tahun (remaja dewasa). Ini
disebabkan oleh peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
d. Tergantung pada bentuk apendiks:Appendik terlalu panjang, massa appendiks
pendek, penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks, kelainan katup di
pangkal appendiks

Obstruksi di lumen intestinal karena gumpalan fekal, penyempitan,


masuknya barium, atau infeksi virus. (Williams & Wilkins, 2014). Terjadi karena
Inflamasi akut pada appendik dan edema, ulserasi pada mukosa, obstruksi pada
11
colon oleh fecalit, pemberian barium, berbagai macam penyakit cacing, tumor,
benda asing, striktur karena fibrosis pada dinding usus (Dermawan dan
Rahayuningsih, 2010).

4. Manifestasi Klinis Appendisitis


a. Awal
1) Nyeri pada kuadran kanan bawah (local : pada titik mc burney). Sifat : nyeri
tekan lepas. Nyeri abdomen yang disebabkan oleh inflamasi apendiks dan
distensi serta obstruksi usus. Rasa nyeri ini dimulai pada region epigastrium
dan kemudian beralih ke kuadran kanan bawah.
2) Anoreksia sesudah awitan nyeri
3) Mual dan muntah yang disebabkan oleh inflamasi
4) Rigiditas abdominal yang “mirip-papan”, Respirasi retraktif
5) Spasma abdominal yang semakin parah - tungkai sulit diluruskan
6) Rasa peri yang berbalik (rasa peri yang berbalik di sisi yang berlawanan dari
abdomen menunjukkan adanya iflamasi peritoneal)
7) Gejala yang minimal dan samar dan rasa perih ringan pada pasien lansia.

b. Selanjutnya
1) Konstipasi (tetapi diare juga bisa terjadi)
2) Demam. Suhu pasien 99o sampai 102o F (37,2o – 38,9o C).
3) Takikardia
4) Perforasi atau infarksi apendiks, (Williams & Wilkins, 2014).

5. Patofisiologi Appendisitis
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folokel limfoid, fekalit, benda asing, striktutur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut
akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh
nyeri epigastrium. Apabila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus

12
meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding.

Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium setempat sehingga


menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuraktif akut. Apabila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan gengren. Stadium disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat
apendikularis. Oleh karena itu tindakan yang paling tepat adalah apendiktomi, jika
tidak dilakukan tindakan segera mungkin maka peradangan apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang (Mansjoer, 2012).

Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau


tersumbat kemungkinan oleh fekolit (massa keras dari faeces) atau benda asing.
Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen
atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam terlokalisasi dalam
kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya apendiks yang terinflamasi berisi pus
(Munir, 2011).

13
6. Pathway Appendisitis

Fekalit (dalam lumen), Benda Asing (cacing, striktura), Keganasan (carcinoma karsinoid)

Hyperplasia Folikel Limfoid

Ulserasi Dinding Mukosa Obstruksi lumen

Mukus yang diproduksi mukosa terbendung

Penyumbatan pengeluaran secret mucus

Infeksi dan tersumbatnya aliran darah

Perlengketan

Abses (Kronik)

Peradangan dan Tekanan (Peritoneum Parietal Setempat)

Apendiktomi

Pra-Oprasi Post-Oprasi

Kekuranga Nyeri Akut Risiko Infeksi


Nyeri Akut Hipertermi n Volume
Cairan

(Sumber : Djuantoro, 2014)

7. Pemeriksaan Penunjang Appendisitis


Menurut Nuraruf dan Kusuma (2015), pemeriksaan penunjang apendiks meliputi :
a. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi : akan tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut dimana
dinding perut tampak mengencang (distensi).
2) Palpasi : didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) yang mana merupakan
kunci dari diagnosis apendisitis akut.
14
3) Dengan tindakan tungkai bawah kanan dan paha ditekuk kuat/tungkai di angkat
tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah (proas sign).
4) Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila
pemeriksaan dubur dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga.
5) Suhu dubur yang lebih tinggi dari suhu ketiak, lebih menunjang lagi adanya
radang usus buntu.
6) Pada apendiks terletak pada retro sekal maka uji psoas akan positif dan tanda
perangsangan peritoneum akan lebih menonjol.

b. Pemeriksaan Laboratorium
Kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga 10.000 - 18.000/mm3. Jika
peningkatan lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami
perforasi (pecah).

c. Pemeriksaan Radiologi
1) Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit.
2) Ultrasonografi (USG)
3) CT Scan
4) Kasus kronik dapat dilakukan rontgen foto abdomen, USG abdomen dan
apendikogram.

8. Komplikasi Appendisitis
Komplikasi yang terjadi pasca oprasi menurut Mansjoer (2012) :
a. Perforasi apendiks
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak
awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui
praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul dari 36 jam sejak
sakit, panas lebih dari 38,5 derajat celcius, tampak toksik, nyeri tekan seluruh
perut dan leukositosis. Perforasi dapat menyebabkan peritonitis.

b. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
15
peristaltic berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, nyeri abdomen, demam
dan leukositosis.

c. Abses
Abses merupakan peradangan apendisitis yang berisi pus. Teraba masa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Masa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi
bila apendisitis gangrene atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.

9. Penatalaksanaan Medis Appendisitis


Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.
Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgesik dapat
diberikan setelah diagnosa ditegakan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat
apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi
abdomen bawah atau dengan laparaskopi, yang merupakan metode terbaru yang
sangat efektif. Konsep asuhan keperawatan sebelum operasi dilakukan klien perlu
dipersiapkan secara fisik maupun psikis, disamping itu juga klien perlu diberikan
pengetahuan tentang peristiwa yang akan dialami setelah dioperasi dan diberiakan
latihan-latihan fisik (pernafasan dalam, relaksasi, gerakan kaki dan duduk) untuk
digunakan dalam periode post operatif. Hal ini penting oleh karena banyak klien
merasa cemas atau khawatir bila akan dioperasi dan juga terhadap penerimaan
anastesi (Brunner & Suddarth, 2014).

B. Konsep Dasar Appendiktomi


1. Pengertian Appendiktomi
Apendiktomi adalah pembedahan atau operasi pengangkatan apendiks
(Haryono, 2012). Apendiktomi merupakan pengobatan melalui prosedur tindakan
operasi hanya untuk penyakit apendisitis atau penyingkiran/pengangkatan usus buntu
yang terinfeksi. Apendiktomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko
perforasi lebih lanjut seperti peritonitis atau abses (Marijata dalam
Pristahayuningtyas, 2015).

16
Post apendiktomi merupakan peristiwa setelah dilakukannya tindakan
pembedahan pada apendik yang mengalami inflamasi. Kondisi post operasi dimulai
saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi
selanjutnya. Pasien yang telah menjalani pembedahan dipindahkan ke ruang
perawatan untuk pemulihan post pembedahan (memperoleh istirahat dan
kenyamanan) (Muttaqin, 2012).

2. Etiologi Appendiktomi
Etiologi dilakukannya tindakan pembedahan pada penderita apendiksitis
dikarenakan apendik mengalami peradangan. Apendiks yang meradang dapat
menyebabkan infeksi dan perforasi apabila tidak dilakukan tindakan pembedahan.
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks
merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus. Disamping hiperplasia
jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askariasis dapat pula
menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis
ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti E.histolytica (Sjamsuhidayat,
2011).
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks menurut
Haryono (2012) diantaranya :
a. Faktor sumbatan
Faktor sumbatan merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)
yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia
jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing,
dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.

b. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis
akut. Adanya fekolit dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi dapat
memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses
dalam lumen apendiks, pada kultur yang banyak ditemukan adalah kombinasi
antara Bacteriodes fragilis dan E.coli, Splanchius, Lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob lebih dari 10%.

17
c. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari
organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya
yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan
makan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan
terjadinya fekolit dan menyebabkan obstruksi lumen.

d. Faktor ras dan diet


Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.
Bangsa kulit putih yang dulunya mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang
pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang kejadiannya terbalik. Bangsa
kulit putih telah mengubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru
negara berkembang yang dulunya mengonsumsi tinggi serat kini beralih ke pola
makan rendah serat, kini memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi.

3. Komplikasi Appendiktomi
Komplikasi setelah pembedahan apendik menurut Muttaqin (2012) :
a. Infeksi pada luka, ditandai apabila luka mengeluarkan cairan kuning atau nanah,
kulit di sekitar luka menjadi merah, hangat, bengkak, atau terasa semakin sakit.
b. Abses (nanah), terdapat kumpulan di dalam rongga perut dengan gejala demam
dan nyeri perut.
c. Perlengketan usus, dengan gejala rasa tidak nyaman di perut, terjadi sulit buang air
besar pada tahap lanjut, dan perut terasa sangat nyeri.
d. Komplikasi yang jarang terjadi seperti ileus, gangren usus, peritonitis, dan
obstruksi usus.

4. Masalah yang timbul Post Appendiktomi


Masalah yang banyak terjadi pada penderita post apendiktomi menurut Wilkinson &
Ahern (2013) :
a. Nyeri akut
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
c. Hambatan mobilitas fisik
d. Konstipasi
e. Resiko kekurangan volume cairan
f. Ansietas
18
g. Resiko infeksi
h. Bersihan jalan napas tidak efektif
i. Defisit pengetahuan

5. Pathway Appendiktomi

Appendiks

Hiperplasi folikel Benda Erosi mukosa Fekalit Striktur Tumor


limfoid asing apendiks

Sumbatan

Mukosa terbendung

Appendiks teregang

Tekanan intraluminal

Aliran darah
terganggu

Ulserasi dan invasi bakteri pada dinding apendiks

Appendisitis

Ke peritonium Trombosis pada vena intramural

Peritonitis Pembedahan Perforasi Pembengkakan dan


iskemia

Cemas Luka insisi

Defisit perawatan diri Nyeri akut Hambatan mobilitas fisik

Sumber : Mansjoer (2012).

19
C. Konsep Teori Nyeri
1. Pengertian Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri adalah alasan utama
seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak
proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau
pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang
dibanding suatu penyakit manapun (Brunner dan Suddarth, 2014).

International Association for Study of Pain (1979) dalam Novita (2012)


mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang
tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual
maupun potensial yang dirasakan dalam kejadian dimana terjadi kerusakan.
Intensitas nyeri gambaran seberapa parah nyeri ysng dirasakan individu. Pengukuran
intensitas nyeri sangat subyektif dan individual, dan kemungkinan nyeri dalam
intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda.
Pengukuran nyeri dengan pendekatan obyektif yang paling mungkin adalah
menggunkan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2012).

2. Fisiologis Nyeri
Munculnya nyeri berkaitan erat dengan adanya reseptor dan adanya
rangsangan.Reseptor nyeri adalah nociceptor yang merupakan ujung-ujung saraf
bebas yang memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki myelin yang tersebar pada
kulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian, dinding arteri, hati dan
kantung empedu (Hidayat, 2012 : 214).
Mekanisme timbulnya nyeri secara fisiologis melibatkan limaproses sebagai
berikut :
a. Stimulus
Reseptor nyeri yaitu nociceptor dapat memberikan respons akibat adanya
stimulasi atau rangsangan.Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti
histamin, bradikinin, prostaglandin. Stimulasi lain berupa termal, listrik atau
mekanis (Hidayat, 2012 : 214). Terdapat tiga kategori reseptor nyeri, yaitu
nociseptor mekanis yang berespons terhadap kerusakan mekanis: tusukan,
benturan; nosiseptor termal berespons terhadap suhu berlebihan: panas;

20
nosiseptor polimodal berespons terhadap semua jenis rangsangan yang merusak:
iritasi zat kimia (Sherwood, 2001 dalam Andarmoyo, 2013:56).

Respons yang berupa impuls nyeri tersebut dihantarkan ke sistem saraf


pusat (SSP) melalui dua tipe serabut saraf perifer : serabut A-delta yang
bermielinasi dan cepat dan serabut C yang tidak bermielinasi dan berukuran
sangat kecil serta lambat (Potter and Perry, 2010:1504). Serabut A mengirim
sensasi yang tajam, terlokalisasi dan menghantarkan komponen suatu cedera akut
dengan segera. Serabut C menyampaikan impuls yang terlokalisasi buruk, viseral
dan terus-menerus. Stimulasi akan diubah menjadi impuls saraf pada saraf aferen
primer dan ditransmisikan pada spinal cord (SSP) ( Andarmoyo, 2013:60).

b. Transduksi
Transduksi merupakan proses ketika stimulus nyeri (noxious stimuli) diubah
menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf dan dapat
diakses oleh otak. Proses tranduksi dimulai ketika nociseptor yaitu reseptor yang
berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini
merupakan bentuk respon terhadap stimulus yang datang. Sel yang rusak akan
melepaskan mediator-mediator kimia seperti prostaglandin dari sel, bradikinin
dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit dan substansi P dari
ujung saraf nyeri memengaruhi nociseptor di luar daerah trauma sehingga
lingkaran nyeri melingkar (Andarmoyo, 2013: 58).
Selanjutnya terjadi proses sensitifikasi perifer, yaitu menurunnya nilai
ambang rangsang nociseptor karena pengaruh mediator-mediator tersebut dan
penurunan pH jaringan. Akibatnya, nyeri dapat timbul karena rangsang yang
sebelumnya tidak menimbulkan nyeri misalnya rabaan (Andarmoyo, 2013:39).

c. Transmisi
Transmisi merupakan proses penerusan impuls nyeri sebagai lanjutan proses
transduksi yang kemudian ditransmisikan serat afferent (A-delta dan C) ke
medulla spinalis. Impuls kemudian menyeberang ke atas melewati traktus
spinothalamus anterior dan lateral. Beberapa impuls yang melewati traktus
spinothalamus lateral diteruskan langsung ke thalamus tanpa singgah di formation
retikularis membawa impuls fast pain. Di bagian thalamus dan korteks serebri
inilah individu kemudian mempersepsikan nyeri (Andarmoyo, 2013: 39)
21
d. Modulasi
Modulasi adalah proses pengendalian internal oleh sistem saraf, dapat
meningkatkan atau mengurangi penerusan impuls nyeri. Hambatan terjadi melalui
sistem analgesia endogen yang melibatkan bermacam-macam neurotransmitter
antara lain endorphin yang dikeluarkan oleh sel otak dan neuron di spinalis. Pada
tahap ini, modulasi nyeri berdampak pada menurunnya jumlah impuls nyeri yang
akan dikirim ke thalamus. Hal ini dipengaruhi juga oleh hadirnya stimulus lain
yang dapat meningkatkan release dari analgesia endogen (Andarmoyo, 2013:61).

e. Persepsi
Persepsi nyeri merupakan hasil interaksi sistem saraf sensoris, informasi
kognitif (korteks serebri) dan pengalaman emosional (hipokampus dan amigdala).
Persepsi menentukan berat ringannya nyeri yang dirasakan.Setelah sampai ke
otak, nyeri dirasakan secara sadar dan menimbulkan respons berupa perilaku
seperti menghindari stimulus nyeri dan ucapan yang merespons adanya nyeri
(Andarmoyo, 2013:61).

3. Klasifikasi Nyeri
Menurut Mubarak dan Chayatin (2010) ada beberapa klasifikasi nyeri yaitu :
a. Nyeri Perifer
Nyeri ini ada tiga macam yaitu :
1) Nyeri superfisial
Nyeri superfisial adalah nyeri yang muncul akibat rangsangan pada kulit
dan mukosa. Nyeri berlangsung sebentar dan terlokalisasi. Nyeri biasanya
terasa sebagai sensasi yang tajam. Contoh penyebab nyeri superfisial adalah
jarum suntik dan luka potong kecil/ laserasi (Potter & Perry, 2010).
2) Nyeri visceral
Nyeri visceral adalah nyeri yang muncul akibat stimulus dari reseptor
nyeri di rongga abdomen, cranium dan toraks. Nyeri bersifat difus dan dapat
menyebar ke beberapa arah. Durasi bervariasi tetapi biasanya berlangsung
lebih lama daripada nyeri superfisial. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul atau
unik tergantungorgan yang terlibat (Potter & Perry, 2010).
3) Nyeri Alih (Referred)
Nyeri alih adalah nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang jauh dari
penyebab nyeri. Contoh dari penyebab nyeri alih adalah infark miokard yang
22
menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri dan bahu kiri (Potter & Perry,
2010).
2) Nyeri Sentral
Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla spinalis, batang otak dan
thalamus.
3) Nyeri Psikogenik
a) Nyeri Akut
Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau
potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa. Gejala yang
terjadi tiba – tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir
yang dapat diantisipasi atau diprediksi (NANDA, 2015).
b) Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa. Gejala yang
terjadi yaitu timbul secara tiba – tiba atau lambat dengan intensitas dari ringan
hingga berat, terjadi secara konstan atau berulang tanpa akhir yang dapat
diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung >3 bulan (NANDA, 2015).

Tabel 2.1
Perbandingan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis
Karakteristik Nyeri akut Nyeri Kronis
Tujuan/keuntungan Memperingatkan adanya cedera atau Tidak ada
masalah
Awitan Mendadak Terus menerus dan
intermiten
Intensitas Ringan sampai berat Ringan sampai berat
Durasi Durasi singkat (dari beberapa detik Durasi lama (6 bulan atau
sampai 6 bulan) lebih)
Respons otonom  Konsisten dengan respons stress Tidak ada respons otonom
simpatis
 Frekuensi jantung meningkat
 Volume sekuncup meningkat
 Tekanan darah meningkat
 Dilatasi pupil meningkat
 Tegangan otot meningkat
 Motilitas gastrointestinal menurun
 Aliran saliva menurun (mulut kering)
Komponen psikologis Ansietas  Depresi
 Mudah marah
 Menarik diri dari minat dunia
luar
 Menarik diri dari
23
Karakteristik Nyeri akut Nyeri Kronis
persahabatan
Respons jenis lainnya  Menangis/mengerang  Tidur terganggu
 Waspada  Libido menurun
 Mengerutkan kening  Nafsu makan menurun
 Menyeriangi
 Mengeluh nyeri
Contoh Nyeri bedah, trauma Nyeri kanker, artritis,
neuralgia trigeminal

Sumber: Brunner & Suddarth, 2014:213).

4. Teori Nyeri
Menurut Barbara C. Long (1989) dalam Hidayat A. A. (2014) terdapat
beberapa teori tentang terjadinya rangsangan nyeri, di antaranya :
a. Teori Pemisahan (Specificity Theory)
Menurut teori ini, rangsangan sakit masuk ke medulla spinalis (spinalis
cord) melalui kornu dorsalis yang bersinaps di daerah posterior, kemudian naik ke
tractus lissur dan menyilang di garis median ke sisi lainnya, dan berakhir di
korteks sensoris tempat rangsangan nyeri tersebut diteruskan.

b. Teori Pola (Patten Theory)


Rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal ke medulla spinalis
dan merangsang aktivitas sel T. Hal ini mengakibatkan suatu respons yang
merangsang kebagian yang lebih tinggi, yaitu korteks serebri, serta kontraksi
menimbulkan persepsi dan otor berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri.
Persepsi dipengaruhi oleh modalitas respons dari reaksi sel T.

c. Teori pengendalian Gerbang (Gate Control Theory)


Menurut teori ini, nyeri tergantung dari kerja saraf besar dan kecil yang
keduanya berada dalam akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat saraf besar
akan meningkatkan aktivitas substansia gelatinosa yang mengakibatkankan
tertutupnya pintu mekanisme sehingga sel T terhambbat dan menyebabkan
hantaran rangsangan ikut terhambat. Rangsangan serat besar dapat langsung
merangsang korteks serebri. Hasil persepsi ini akan dikembalikan ke dalam
medulla medulla spinalis melalui serat eferen dan reaksinya memengaruhi
aktivitas sel T. Rangsangan pada serat kecil akan menghambat aktivitas

24
substansia gelatinosa dan membuka pintu mekanisme, sehingga merangsang
aktivitas sel T yang selanjutya akan menghantarkan rangsangan nyeri.
d. Teori Transmisi dan Inhibisi
Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi implus-implus saraf,
sehingga transmisi implus nyeri menjadi efektif oleh neurotrasmiter yang spesifik.
Kemudian, inhibisi implus nyeri menjadi efektif oleh implus-implus pada serabut-
serabut besar yang memblok implus-implus pada serabut lamban dan endogen
opiate sistem supresif.

5. Mekanisme Neurologik Terhadap Nyeri


Struktur spesifik dalam sistem syaraf terlibat dalam mengubah stimulus
menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri
disebut sebagai sistem noniseptik. Sensivitas dari komponen sistem noniseptik dapat
dipengaruhi oleh sejumlah faktor dan berbeda diantara individu. Tidak semua orang
yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri yang sama.
Sensasi yang sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa bagi orang
lain. Lebih jauh lagi, suatu stimulus dapat mengakibatkan nyeri pada suatu waktu
tetapi tidak pada waktu lain. Sebagai contoh, nyeri akibat artritis kronis dan nyeri
pascaoperatif sering terasa lebih parah pada malam hari (Smeltzer, 2012).

Salah satu neuromodulator nyeri adalah endorfin (morfin endogen), merupakan


substansi sejenis morfin yang disuplai oleh tubuh yang terdapat pada otak, spinal dan
traktus gastrointestinal yang memberi efek analgesik, pada saat neuron nyeri perifer
mengirimkan sinyal ke sinaps, terjadi sinapsis antara nyeri perifer dan neuron yang
menuju ke otak tempat seharusnya untuk substansi nyeri, pada saat tersebut endorfin
akan memblokir lepasnya substansi nyeri tersebut (Tamsuri Anas, 2012).

6. Respon Tubuh Terhadap Nyeri


Reaksi terhadap nyeri merupakan respons fisiologis dan perilaku yang terjadi
setelah mempersepsikan nyeri.Respons nyeri pada masing-masing individu
mempunyai karakteristik yang berbeda-beda (Potter & Perry, 2010:1508).
a. Respons Fisiologis
Perubahan fisiologis involuter dianggap sebagai indikator nyeri yang lebih
akurat dibanding laporan verbal pasien.Respons fisiologik harus digunakan
sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada pasien tidak sadar
25
(Brunner & Suddarth, 2002:219).Respons fisiologis terhadap nyeri dapat sangat
membahayakan individu (Potter & Perry, 2010:1508).
Pada saat implus nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan
hipotalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagiandari respons
stres. Stimulasi cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan respons
fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus, berat, dalam, dan melibatkan
suatu aksi (Andarmoyo,2013:68).

Tabel 2.2
Reaksi Fisiologis Terhadap Nyeri
Respons Penyebab atau Efek
STIMULASI SIMPATIK*
Dilatasi saluran bronkiolus dan Menyebabkan peningkatan asupan oksigen
peningkatan frekuensi pernapasan
Peningkatan frekuensi denyut jantung Menyebabkan peningkatan transport oksigen
Vasokontriksi perifer (pucat, peningkatan Meningkatkan tekanan darah disertai perpindahan suplai
tekanan darah) darah dari perifer dan visera ke otot-otot skelet dan otak
Peningkatan kadar glukosa darah Menghasilkan energi tambahan
Diaforesis Mengontrol temperatur tubuh selama stress
Peningkatan ketegangan otot Mempersiapkan otot untuk melakukan aksi
Dilatasi pupil Memungkinkan penglihatan yang lebih baik
Penurunan motilitas saluran cerna Membebaskan energi untuk melakukan aktivitas dengan
lebih cepat
STIMULASI PARASIMPATIK**
Pucat Menyebabkan suplai darah berpindah dari perifer
Ketegangan otot Akibat keletihan
Penurunan denyut jantung dan tekanan Akibat stimulasi vagal
darah
Pernapasan yang cepat dan tidak teratur Menyebabkan pertahanan tubuh gagal akibat stress nyeri
yang terlalu lama
Mual dan muntah Mengembalikan fungsi saluran cerna
Kelemahan atau kelelahan Akibat pengeluaran energi fisik

Sumber: (Potter & Perry, 2006:1508).

b. Respons Perilaku
Respons periaku yang ditunjukkan oleh pasien sangat beragam mencakup
pernyataan verbal, perilaku vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik
26
dengan orang lain atau perubahan respons terhadap lingkungan (Brunner and
Suddarth,2014: 219). Respons perilaku dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut ini :

Tabel 2.3
Respons Perilaku Nyeri pada Klien
Respons Perilaku Nyeri pada Klien
Vokalisasi  Mengaduh
 Menangis
 Sesak napas
 Mendengkur
Ekspresi Wajah  Meringis
 Menggeletukkan gigi
 Mengernyitkan dahi
 Menutup mata atau mulut dengan rapat atau membuka
mata atau mulut dengan lebar
 Menggigit bibir
Gerakan tubuh  Gelisah
 Imobilisasi
 Ketegangan otot
 Peningkatan gerakan jari dan tangan
 Aktivitas melangkah yang tanggal ketika berlari atau
berjalan
 Gerakan ritmik atau gerakan menggosok
 Gerakan melindungi bagian tubuh
Interaksi social  Menghindari percakapan
 Fokus hanya pada aktivitas untuk menghilangkan nyeri
 Menghindari kontak sosial
 Penurunan rentang perhatian

Sumber: Potter & Perry, 2010:1509).

7. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri


Nyeri merupakan sesuatu yang kompleks dan banyak faktor yang
memengaruhi pengalaman nyeri individu. Menurut Perry & Potter (2010:1511)
faktor-faktor yang memengaruhi respons nyeri adalah sebagai berikut :
a. Usia
Usia merupakan variabel penting yang memengaruhi nyeri, khususnya pada
anak-anak dan lansia. Anak kecil mempunyai kesulitan memahami nyeri,
27
kesulitan untuk mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri. Pada
lansia, perawat harus melakukan pengkajian lebih rinci ketika seorang lansia
mengalami nyeri.Pada kondisi lansia seringkali memiliki sumber nyeri yang lebih
dari satu. Kemampuan klien lansia untuk menginterpretasikan nyeri dapat
mengalami komplikasi dengan keberadaan berbagai penyakit disertai gejala
samar-samar yang mungkin mengenai tubuh yang sama. Ketika lansia mengalami
bingung, maka iaakan mengalami kesulitan untuk mengingat pengalaman nyeri
dan memberi penjelasan yang rinci.

b. Jenis Kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda bermakna dalam berespons
terhadap nyeri. Beberapa kebudayaan yang memengaruhi jenis kelamin, dalam
menangani nyeri (misal: menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani
dan tidak boleh menangis, sedangkan perempuan boleh menangis dalam situasi
yang sama.

c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya memengaruhi cara individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh
kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Calvillo
dan Flaskerud, 1991 dalam Potter & Perry, 2010:1512). Budaya dan etnisitas
berpengaruh pada bagaimana seseorang merespons terhadap nyeri. Sejak dini
pada masa kanak-kanak, individu belajar dari sekitar mereka respons nyeri yang
bagaiman yang dapat diterima atau tidak diterima. Sebagai contoh: anak dapat
belajar bahwa cedera akibat olahraga tidak diperkirakan akan terlalu menyakitkan
dibandingkan dengan cedera akibat kecelakaan motor. Sementara yang lain
mengajak anak stimuli apa yang diperkirakan akan menimbulkan nyeri dan
respons perilaku apa yang diterima (Smeltzer & Bare, 2014:220).

d. Makna Nyeri
Makna seseorang dikaitkan dengan nyeri memengaruhi pengalaman nyeri
dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini dikaitkan dengan latar
belakang budaya individu tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan
cara yang berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberikan kesan ancaman, suatu
kehilangan, hukuman, dan tantangan. Misalnya, seorang wanita yang sedang
28
bersalin akan mempersepsikan nyeri berbeda dengan seorang wanita yang
mengalami nyeri akibat cedera ksrena pukulan pasangannya. Derajat dan kualitas
nyeri yang dipersepsikan klien berhubungan dengan makna nyeri.

e. Perhatian
Tingkat individu memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat memengaruhi
persepsi nyeri.Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat, sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respons
nyeri yang menurun (Gill, 1990 dalam Potter & Perry, 2010:1514).Konsep ini
diterapkan dalam keperawatan di berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri
seperti relaksasi, guided imagery dan massase.

f. Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan ansietas.Stimulus nyeri mengaktifkan bagian limbik untuk
mengendalikan emosi (ansietas).Sistem limbik dapat memproses reaksi emosi
terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri.

g. Keletihan
Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan
menurunkan kemampuan koping. Apabila keletihan disertai kesulitan tidur, maka
persepsi nyeri akan semakin berat. Nyeri seringkali lebih berkurang setelah
individu mengalami suatu periode tidur yang lelap.

h. Pengalaman Sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Apabila individu mengalami
nyeri yang sama berulang-ulang dan nyeri tersebut berhasil dihilangkan maka
akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk menginterpretasikan sensasi nyeri.
Akibatnya, klien lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan
untuk menghilangkan nyeri.Apabila seorang klien tidak pernah merasakan nyeri,
maka persepsi pertama nyeri dapat menganggu koping terhadap nyeri.

i. Gaya Koping
Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan diri mereka
sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir
29
suatu peristiwa, sepeti nyeri (Gill, 1990 dalam Potter & Perry,
2010:1515).Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal,
mempersepsikan faktor-faktor lain di dalam lingkungan mereka, seperti perawat,
sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap hasil akhir suatu peristiwa.
Individu yang memiliki lokus kendali internal melaporkan mengalami nyeri yang
tidak terlalu berat daripada individu yang memiliki lokus kendali eksternal
(Schultheis, 1987 dalam Potter & Perry, 2010).

j. Dukungan Keluarga dan Sosial


Kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka terhadap
klien dapat memengaruhi respons nyeri.Individu yang mengalami nyeri seringkali
bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh
dukungan, bantuan atau perlindungan.Walaupun nyeri tetap terasa, kehadiran
orang yang dicintai akan meminimalkan kesepian dan ketakutan.

k. Anestesi
Anestesi umum adalah anestesi yang dilakukan untuk memblok pusat
kesadaran otak dengan menghilangkan kesadaran dan menimbulkan relaksasi
serta hilangnya rasa. Pada umumnya, metode pemberianya adalah dengan inhalasi
dan intravena (Hidayat, 2014). Anastesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri
secara sentral disertai hilangya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible).
Komponen anestesia yang ideal terdiri : (1). Hipnotik, (2). Analgesia, (3).
Relaksasi otot. (Latief, 2013).

l. Teknik Pembedahan
Teknik pembedahan mengakibatkan rasa nyeri. Nyeri yang paling lazim
adalah nyeri insisi. Nyeri terjadi akibat luka, penarikan, manipulasi jaringan serta
organ. Nyeri pasca operasi hebat dirasakan pada pembedahan intratoraksi, intra-
abdomen, dan pembedahan orthopedik mayor. Nyeri juga dapat terjadi akibat
stimulasi ujung saraf saraf oleh zat-zat kimia yang dikeluarkan saat pembedahan
atau iskemia jaringan karena terganggunyabsuplai darah. Suplai darah terganggu
karena ada penekanan, spase otot, atau edema. Trauma pada serabut kulit
mengakibatkan nyeri yang tajam dan terlokalisasi (Bradeo dkk, 2012).

30
8. Pengkajian Nyeri
Pengkajian pada masalah nyeri yang dapat dilakukan adalah riwayat nyeri:
keluhan nyeri seperti lokasi, kualitas, dan waktu serangan. Pengkajian dapat
dilakukan dengan cara (PQRST) yang akan membantu pasien mengungkapkan
keluhannya secara lengkap yaitu sebagai berikut :
P (pemacu), yaitu faktor yang memengaruhi gawat atau ringanya nyeri
Q (quality), dari nyeri, seperti apakah rasa tajam, tumpul, atau masyarakat
R (region), yaitu daerah perjalanan nyeri
S (severity), adalah keparahan atau intensitas nyeri
Time (time), adalah lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.

9. Pengukuran Respon Intensitas Nyeri


Intesitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual serta
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu
sendiri.Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan
gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007 dalam Andarmoyo,
2013:75).
Penilaian intensitas nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran
skala nyeri, yaitu sebagai berikut :
a. Skala Deskriptif Verbal/ Verbal Description Scale (VDS)
Merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif.
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Description Scale, VDS)merupakan sebuah
garis yang terdiri dari tiga samai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan
jarak yang sama di sepanjanga garis. Pendeskripsian ini diranking dari “tidak
terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien
skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia
rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan
dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini
memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri
(Potter & Perry, 2010 dalam Suistyo, 2013:76).

31
Gambar 2.2 Verbal Description Scale (VDS)
Sumber: Andarmoyo, 2013.

b. Skala Penilaian Numerik/ Numeric Rating Scale (NRS)


Digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata.Pasien diminta menilai
nyeri dengan skala 0-10.Skala ini efektif digunakan untuk mengkaji intensitas
sebelum dan sesudah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai
nyeri, maka direkomendasikan patokan 10cm (ACHR, 1992 dalam Andarmoyo,
2016:77)

Gambar 2.3 Numeric Rating Scale (NRS)


Sumber: Andarmoyo, 2013.

c. Skala Analog Visual/ Visual Analog Scale (VAS)


Skala VAS adalah suatu garis lurus/horizontal sepanjang 10 cm, yang
mewakili intensitas nyeri yang terus-menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap
ujungnya.Pasien diminta untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukkan letak
nyeri terjadi sepanjang garis tersebut (Andarmoyo, 2013:77).

Untuk mengukur skala intensitas pada anak-anak, dikembangkan alat yang


dinamakan Oucher.Seorang anak biasanya menunjuk ke sejumlah pilihan gambar
yang mendeskripsikan nyeri.Cara ini lebih sederhana untuk mendeskripsikan
nyeri.Versi etnik baru pada alat telah dikembangkan oleh Wong dan Baker (1998),
Potter & Perry (2010) dalam Andarmoyo, 2013:78) untuk mendeskripsikan nyeri
pada anak-anak.

32
Skala tersebut terdiri dari yang terdiri dari enam wajah profil kartun yang
menggambarkan wajah dari wajah yang sedang tersenyum (“tidak merasa nyeri”)
kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang bahagia, wajah yang
sangat sedih, sampai wajah yang sangat ketakuran (“nyeri yang sangat”).Anak-
anak berusia tiga tahun dapat menggunakan skala tersebut (Potter & Perry, 2010
dalam Andarmoyo, 2013).

Gambar 2.4 Visual Analog Scale (VAS)


Sumber : Wong DL, Baker CM, 1998, dikutip dari Potter & Perry, 2010
dalam Andarmoyo 2016.

10.Penatalaksanaan Nyeri
Strategi penatalaksanaan nyeri atau manajemen nyeri adalah suatu tindakan
untuk mengurangi nyeri. Secara umum, penatalaksanaan nyeri dikelompokkan
menjadi dua, yaitu penatalaksanaan nyeri secara farmakologis dan non-farmakologis.
Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan pasien secara
individu ( Brunner & Suddarth, 2014:223).
a. Tindakan Farmakologis
Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologi
dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberian perawatan utama
lainnya. Obat-obatan tertentu untuk penatalaksanaan nyeri mungkin diresepkan
atau kateter epidural mungkin dipasang, sehingga perawat harus memerhatikan
analgesia, mengkaji keefektifanya, dan melporkan jika intervensi tersebut tidak
efektif atau menimbulkan efek samping (Smeltzer & Bare, 2014:224).

Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologi


dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberian perawatan utama
lainnya (Smeltzer & Bare, 2014).Menurut Andarmoyo (2013:96) Analgesik
merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi nyeri. Menurut Sulistyo
(2013:95), ada tiga jenis analgetik, yakni 1) non-narkotik dan obat antiinflamasi

33
nonsteroid (NSAID), 2) analgesik narkotik atau opiat, dan 3) obat tambahan
(adjuvan) sebagaimana tertera pada tabel berikut.

Tabel 2.4
Analgesik dan Indikasi Terapi
Kategori Obat Indikasi
Analgesik non-narkotik
Asetaminofen (Tylenol) Nyeri pasca operasi ringan
Asam Asetilsalisifat Demam
NSAID
Ibuprofen (Motrin, Nuprin)  Disminore
Naproksesn (Naprosyn)  Nyeri kepala vaskuler
Indometosin (Indocin)  Artitis rheumatoid
Tolmetin ( Tolectin)  Cedera atletik jaringan lunak
Piroksikam (Feldene)  Gout
Ketorolak (Toradol)  Nyeri pasca-operasi
 Nyeri traumatic berat
Analgesik Narkotik
Memperidin (Domorol)  Nyeri kanker kecuali (memparidin)
Metimorfin (Kodoin)  Infark Miokard
Morfin Sulfat
Fentanil (Sublimaze)
Butotanol (Stadol)
Hidromorfon HCL (Dilaudid)
Adjuvan
Amitriptilin (Elval) Cemas
Hidroksin (Vistaril) Depresi
Klorpromazin (Thorazine) Mual
Diazepam (Valium) Muntah

Sumber : Potter & Perry, 2010 dalam Sulistyo 2013:95

1) Analgesik non-narkotik dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)


NSAID Non-narkotik umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri
sedang, seperti nyei yang terkait dengan artritis reumatoid, prosedur
pengobatan gigi, dan prosedur bedah minor, episiotomi, dan masalah pada
punggung bagian bawah (McKenry dan Salerno, 1995, Potter & Perry, 2010
dalam Andarmoyo, 2013:96).

34
Kebanyakan NSAID bekerja pada reseptor saraf perifer untuk
mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri. Tidak seperti opiat, NSAID
tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernapasan juga tidak mengganggu
fungsi berkemih atau defekasi (AHCPR, 1992, Potter & Perry, 2010 dalam
Andarmoyo, 2013:96).

2) Analgesik narkotik atau opiat


Analgesik narkotik atau opiat umumnya diresepkan dan digunakan untuk
nyeri sedang sampai berat, seperti pascaoperasi dan nyeri maligna. Analgesik
ini bekerja pada sistem saraf pusat untuk menghasilkan kombinasi efek
mendepresi dan menstimulasi.

3) Obat tambahan (Adjuvan)


Analgesik adjuvans seperti sedatif, anticemas, dan relaksasi otot
meningkatkan kontrol nyeri atau menghilangkan gejala lain seperti mual dan
muntah. Obat-obatan ini dapat menimbulkan rasa kantuk dan kerusakan
koordinasi, keputusasaan, dan kewaspadaan mental.

b. Tindakan Non-Farmakologis
Manajemen nyeri non-farmakologis merupakan tindakan menurunkan
respons nyeri tanpa menggunakan agen farmakologi dan merupakan tindakan
independen perawat dalam mengatasi respons nyeri pasien. Metode pereda nyeri
non-farmakologis biasanya mempunyai resiko yang sangat rendah (Brunner &
Suddarth, 2014:232). Menurut Brunner & Suddarth 2014, berikut beberapa
tindakan-tindakan tersebut adalah:
1) Stimulasi dan Massase Kutaneus
Teori gate control nyeri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
bertujuan menstimulasi serabut-serabut yang mentrasmisikan sensasi tidak
nyeri memblok atau menurunkantrasmisi impuls nyeri. Beberapa strategi
penghilang nyeri non-farmakologis, termasuk menggosok kulit dan
menggunakan panas dingin, adalah berdasarkan mekanisme ini(Smeltzer &
Bare, 2014:232).
Massase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan
pada punggung dan bahu. Massase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor
tidak nyeri pada bagian reseptor yang sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat
35
mempunyai dampak melalui sistem kontrol desenden(Smeltzer & Bare,
2014:232).

2) Terapi Es dan Panas/Kompres Panas dan Dingin


Pemakaian kompres panas biasanya dilakukan hanya setempat saja pada
bagian tubuh tertentu. Dengan pemberian panas, pembuluh-pembuluh darah
akan melebar sehingga memperbaiki peredaran darah di dalam jaringan
tersebut. Dengan cara ini penyaluran zat asam dan bahan makanan ke sel-sel
diperbesar dan pembuangan dari zat-zat yang dibuang akan diperbaiki.
Aktivitas sel yang meningkat akan mengurangi rasa sakit/nyeri dan akan
menunjang proses penyembuhan luka dan proses peradangan(Smeltzer & Bare,
2014:232).

Terapi es dapat menurunkan prostagladin yang memperkuat sensitivitas


reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat
proses inflamasi. Agar efektif, es dapat diletakkan pada tempat cedera segera
setelah terjadi. Sementara terapi panas mempunyai keuntungan meningkatkan
aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat menurunkan nyeri dengan
mempercepat penyembuhan(Smeltzer & Bare, 2014:232).

3) Stimulasi Saraf Elektris Teanskutan/TENS (Transcutaneous Elektrical Nerve


Stimuation)
TENS adalah suatu alat yang menggunakan aliran listrik, baik dengan
frekuensi renddah maupun tinggi, yang dihubungkan dengan beberapa
elektroda pada kulit untuk menghasillakn sensasi kesemuta, menggetar, atau
mendengung pada area nyeri. TENS adalah prosedur non-invasif dan
merupakan metode yang aman untuk mengurangi nyeri, baik akut maupun
kronis(Smeltzer & Bare, 2014:2232).

4) Distraksi
Distraksi yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu
selain pada nyeri.Seseorang yang kurang menyadari adanya nyeri atau
memberikan sedikit perhatian pada nyeri akan sedikit terganggu oleh nyeri dan
lebih toleransi terhadap nyeri (Smeltzer & Bare, 2014:233).

36
5) Relaksasi
Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental danfisik dari
ketegangan dan stress sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri.
Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi
lambat, berirama, relaksasi benson (Smeltzer & Bare, 2014:233).

6) Imajinasi Terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah mengggunakan imajinasi seseorang dalam
suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu.
Sebagai contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri
dapat terdiri atas menggabungkan napas berirama lambat dengan suatu
bayangan mental relaksasi dan kenyamanan (Smeltzer & Bare, 2014:234).

7) Hipnosis
Teknik ini mungkin membantu dalam memberikan peredaan nyeri
terutama dalam situasi sulit. Keefektifan hipnosis tergatung pada kemudahan
hipnotik individu (Smeltzer & Bare, 2014:234).

D. Relaksasi Benson
1. Pengertian Relaksasi Benson
Relaksasi Benson adalah teknik relaksasi yang diciptakan oleh Herbert Benson.
Relaksasi Benson merupakan relaksasi yang mengabungkan antara teknik respons
relaksasi dan sistem keyakinan individu/ faith factor ( difokuskan pada ungkapan
tertentu berupa nama-nama Tuhan, atau kata yang memiliki makna yang menenagka
bagi pasien itu sendiri) yang diucapkan berulang-ulang dengan ritme teratur disertai
sikap pasrah (Benson& Protocor, 2011 dalam Solehati 2015:177).

Relaksasi Benson merupakan intervensi perilaku kognitif dengan teknik


relaksasi pasif dengan tidak menggunakan tegangan otot sehingga sangat tepat untuk
mengurangi nyeri paska operasi, karena tegangan otot akan meningkatkan rasa nyeri.
Relaksasi Benson merupakan pengembangan metode respon relaksasi dengan
melibatkan faktor keyakinan pasien, yang dapat menciptakan suatu lingkungan
internal sehingga dapat membantu pasien mencapai kondisi kesehatan dan
kesejahteraan lebih tinggi (Benson & Proctor, 2011).

37
2. Konsep Relaksasi Benson
Menurut Benson (2011) dalam Solehati 2015:178, formula-formula tertentu
yang dibaca berulang-ulang dengan melibatkan unsur keyakinan, keimanan terhadap
agama, dan kepada Tuhan yang disembah akan menimbulkan respon relaksasi yang
lebih kuat dibadingkan dengan relaksasi tanpa melibatkan unsur keyakinan terhadap
hal-hal tersebut. Selain itu, efek penyembuhan dari formula-formula seperti itu tidak
terbatas pada penyembuhan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung, ataupun
kecemasan saja, tetapi pada tingkat mampu menghilanglan rasa nyeri.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Wallace, Benson, dan Wilsaon (2011)
diperoleh hasil, bahwa dengan meditasi dan relaksasi terjadi penurunan konsumsi
oksigen, output CO2, ventilasi selular, frekuensi napas, dan kadar laktat sebagai
indikasi penurunan tingakt stress, selain itu ditemukan bahwa PO2 atau konsentrasi
oksigen dalam darah tetap konstan, bahkan meningkat sedikit.

Benson (2011) dalam Solehati 2015:178 mengatakan, bahwa jika individu


mulai merasa cemas, makan akan merangsang saraf simpatis sehingga akan
memperburuk gejala fisik suatu penyakit dan emosi sehingga akan memperburuk
gejala-gejala kecemasan sebelumnya. Kemudian, daur kecemasan dan nyeri dimulai
lagi dengan dampak negatif semakin besar terhadap pikiran dan tubuh (Benson&
Proctor, 2011).

3. Empat Elemen Dasar dalam Relaksasi Benson


Agar teknik Relaksasi Benson berhasil, diperlukan 4 elemen dasar, yaitu sebagai
berikut :
a. Lingkungan yang tenang.
b. Secara sadar, pasien dapat mengendurkan otot-otot tubuhnya.
c. Pasien dapat memusatkan diri selama 10-15 menit pada ungkapan yang telah
dipilih.
4) Pasien bersikap pasif terhadap pikiran-pikiran yang menganggu (Benson&
Proctor 2011, dalam Solehati 2015:179).

Untuk keberhasilan Relaksasi Benson, maka perawat/tim kesehatan harus dapat


memodifikasi lingkungan yang digunakan untuk relaksasi agar tenang. Perawat/tim
kesehatan harus dapat membuat pasien mengendurkan otot-otot tubuhnya (jangan
38
tegang) dan menganjurkan pasien untuk mengabaikan pikiran-pikiran tentang sesuatu
yang tidak menyenangkan yang dapat menganggu keberhasilan relaksasi ini.

4. Langkah Latihan Relaksasi Benson


Pada intinya, langkah-langkah dalam Relaksasi Benson (Benson dan Proctor
2011, dalam Solehati 2015:191) adalah sebagai berikut :
a. Langkah Pertama
Pemilihan satu kata atau ungkapan singkat yang mencermikan keyakinan
pasien. Kata atau ungkapan singkat singkat tersebut harus berdasarkan keinginan
pasien. Jadi, bukan tim kesehatan yang akan melakukan pelatihan tentang
Relaksasi Benson yang memberikan kata atau ugkapan singkat tersebut kepada
pasien.
b. Langkah Kedua
Atur posisi pasien dengan nyaman. Posisi nyaman ditawarkan kepada pasien
apakah akan dilakukan dengan berbaring atau duduk. Hal ini dilakukan agar
pasien merasa nyaman dan tidak tegang.
c. Langkah Ketiga
Pejamkan mata dengan wajar dan tidak mengeluarkan banyak tenaga.
Hindarkan pasien untuk memejamkan mata terlalu kuat karena akan menimbulkan
ketegangan dan membuat pasien menjadi pusing pada saat membuka mata setelah
latihan Relaksasi Benson.
d. Langkah Keempat
Lemaskan semua otot tubuh secara bertahap. Hal ini dilakukan agar pasien
tidak merasa tegang.
e. Langkah Kelima
Tarik nafas melalui hidung. Pusatkan kesadaran klien pada pengembangan
perut, lalu keluarkan napas melalui mulut secara perlahan sambil mengucapkan
ungkapan yang telah dipilih klien dan diulang-ulang dalam hati selama
mengeluarkan napas tersebut. Hal ini harus dijelaskan pada pasien jangan sampai
mereka salah pengertian dalam melakukanya. Kerapkali pasien mengeluarkan
napas dari mulutnya tanpa mengungkapkan kata-kata atau ungkapan yang telah
mereka pilih.
f. Langkah Keenam
Pertahankan sikap pasif. Sikap pasif dan pasrah merupakan penunjang untuk
menghindari ketengangan. Pasien dianjurkan untuk lebih fokus pada kata-kata
39
atau ungkapan yang telah mereka pilih dalam melakukan relaksai ini. Pasien
dianjurkan untuk menghindari suara-suara yang datang dari luar, serta dianjurkan
untuk tidak terlalu banyak pikiran.
g. Langkah Ketujuh
Teknik ini dilakukan selama 10 menit. Teknik Relaksasi Benson sebenarnya
dapat dilakukan anatar 10-20 menit, bergantung pada keinginan pasien dan
kesibukan tim kesehatan.
h. Langkah Kedelapan
Lakukan teknik ini dengan frekuensi dua kali sehari. Waktu untuk
melakukan Relaksasi Benson biasanya setiap pagi dan sore hari. Hal ini dilakukan
agar tidak menganggu aktivitas pasien, seperti tidur.

5. Efektivitas Terapi
Hormon endorphin dan enfikelin ini adalah zat kimiawi endogen yang
berstruktur seperti opioid, yang mana endorphin dan enfikelin dapat menghambat
imfuls nyeri dengan memblok transmisi impuls didalam otak dan medulla spinalis
(Smaltzer and Bare, 2014), dan dengan mengulang kata atau kalimat yang sesuai
dengan keyakinan responden dapat menghambat impuls noxius pada system kontrol
descending (gate control theory) dan meningkatkan kontrol terhadap rata-rata skor
nyeri. Relaksasi benson lebih efektif menurunkan nyeri pasca bedah (Datak, 2018),
hal ini dikarenakan relaksasi benson menghambat aktifitas saraf simpatik yang
megakibatkan penurunan terhadap konsumsi oksigen oleh tubuh dan selanjutnya
otot-otot tubuh menjadi rileks sehingga menimbulkan perasaan tenang dan nyaman.
Keuntungan dari relaksasi Benson selain mendapatkan manfaat dari relaksasi juga
mendapatkan kemanfaatan dari penggunaan keyakinan seperti menambah keimanan
dan kemungkinan akan mendapatkan pengalaman transendensi. Individu yang
mengalami ketegangan dan kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf simpatis,
sedangkan pada waktu relaksasi yang bekerja adalah sistem saraf parasimpatis,
dengan demikian relaksasi dapat menekan rasa tegang, cemas, insomnia, dan nyeri.

40

Anda mungkin juga menyukai