Anda di halaman 1dari 2

ANALISA KASUS

Dilaporkan pasien An. BT usia 17 tahun yang di rawat di bangsal Teratai masuk
tanggal 15 Oktober 2018.
Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh perut dirasakan sejak 1 minggu SMRS.
Awalnya nyeri perut di sisi kiri, kemudian nyeri berpindah ke kanan bawah sejak 5 hari. Hal
ini sesuai dengan teori, Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang
merupakan nyeri viseral yang awalnya di daerah epigastrium sekitar umbilikus kemudian
terlokalisir di titik McBurney, kadang disertai kram yang hilang timbul.
Keluhan nyeri disertai mual dan muntah sejak 2 hari terakhir 2x, jumlah ½ gelas, isi
makanan dan air. Demam di akui pasien dirasakan sejak 1 minggu terakhir, di ukur.
Menggigil maupun berkeringat disangkal. Pasien juga mengeluh tidak nafsu makan serta
perut terasa kembung. Secara teori, pasien dapat mengalami demam saat terjadi inflamasi
Appendiks, biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh
meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Apendisitis. Pada 75% pasien
dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah dapat
disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus.
Pasien mengaku nyeri semakin memberat dirasakan sejak 1 hari terakhir dan
dirasakan pada seluruh perut. Pada pasien ini, gejala apendisitis yang muncul sejak 1 minggu
yang lalu dapat berkembang menjadi apendisitis perforasi. Kecepatan terjadinya perforasi
tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding
apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain, mencoba
membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai
dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis. Berdasarkan pemeriksaan fisik abdomen ditemukan adanya nyeri tekan
kanan bawah dan seluruh lapang perut yang menunjukkan adanya inflamasi lokal apendiks
yang diikuti gejala peritonitis oleh apendiks perforasi yang terjadi. Defans muscular
umumnya juga dapat terjadi akibat adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada auskultasi
ditemukan adanya bising usus menurun yang dapat terjadi karena ileus paralitik yang muncul
pada peritonitis akibat apendiks yang perforasi tersebut. Terdapat beberapa maneuver
diagnostik yang biasa digunakan pada pemeriksaan apendisitis. Pada pasien ini didapatkan
tanda positif pada titik Mc. Burney, psoas sign dan obturator sign.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis yang menggambarkan
adanya infeksi. Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti foto X-ray
thoraks maupun Abdomen sebagai pemeriksaan penunjang diagnostik. Pada foto thoraks
dapat menunjukkan gambaran proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan
proses intraabdomen. Pada foto polos diafragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau
keduanya akibatnya adanya udara bebas dalam cavum peritoneum. Pada pemeriksaan foto
polos abdomen dijumpai asites, tanda-tanda obstruksi usus berupa air-udara dan kadang-
kadang udara bebas (perforasi). Biasanya lambung, usus halus dan kolon menunjukkan
dilatasi sehingga menyerupai ileus paralitik.
Pasien mendapatkan terapi awal dengan cairan dekstrose 5% serta terapi simptomatik
seperti anti emetik dan anti piretik. Setelah dikonsultasikan dengan spesialis bedah, pasien
mendapat terapi antibiotik dengan injeksi cefotaxime serta obat-obatan simptomatik. Pasien
direncanakan untuk dilakukan laparatomi eksplorasi segera. Secara teori penatalaksanaan
peritonitis secara kausal ialah eradikasi kuman yang menyebabkan radang di peritoneum.
Secara non-invasif dapat dilakukan dengan drainase abses dan endoskopi perkutan, namun
yang lebih umum dilakukan ialah laparotomi eksplorasi rongga peritoneum. Terapi
antibiotika harus diberikan sesegera setelah diagnosis peritonitis bakteri ditegakkan.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik baru kemudian dirubah sesuai hasil
kultur. Namun pada pasien tidak dilakukan kultur karena keterbatasan fasilitas dirumah sakit.
Pasien dirawat di bangsal Teratai selama 3 hari, kemudian pasien diperbolehkan pulang.

Anda mungkin juga menyukai