Anda di halaman 1dari 25

LEARNING OBJECTIVE

SKENARIO III
GANGGUAN PADA GASTROINTESTINAL
“Ada Apa dengan Perutku ?”

NAMA : PUTRI ASWARIYAH RAMLI


STAMBUK : N 101 20 045
KELOMPOK :4

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2021/2022
Modul 3 : Gangguan pada Gastrointestinal

“Ada Apa dengan Perutku?”

Seorang Laki - laki berusia 41 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan


nyeri perut. Awalnya pasien merasakan nyeri di daerah umbilicus 1 hari
sebelumnya dengan nyeri hilang timbul. Nyeri dirasakan muncul tiba – tiba saat
tidur malam dan terbangun karena kesakitan. Pagi harinya pasien berobat ke
Puskesmas dengan keluhan nyeri perut dan mual sehingga dokter memberikan
antasida, namun keluhan tidak berkurang dan sampai menganggu aktivitas. Pasien
merasakan nyeri semakin hebat sejak 1 jam sebelum MRS. Keluhan disertai
demam, menggigil, mual, dan muntah 2 kali.

Keadaan umum pasien sangat lemah, karena nyeri perut bertambah hebat
dan nyeri tekan di seluruh abdomen. Pada pemeriksaan fisik, tanda vital tekanan
darah 140/90 mmHg, suhu 38,7 °C, nadi 101 x/menit, pernapasan 22x/menit,
Pemeriksaan abdomen, Blumberg sign (+), defens muscular (-). Rectal touche
ditemukan ampula recti kolaps dan nyeri tekan arah jam 11. Pemeriksaan lab
darah Hb 13,7 g/dl dan leukosit 22.000/mm3. Riwayat penyakit pasien selama 6
bulan terakhir sering berobat ke Puskesmas dengan keluhan mual, muntah, perut
kembung, nafsu makan berkurang dan nyeri ulu hati.

Learning Objective

1. Anatomi appendix
2. Dasar diagnosis (Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan
Penunjang)
3. Diagnosis banding dari skenario
4. Faktor resiko apendisitis akut
5. Komplikasi apendisitis akut
6. Patofisologi apendisitis akut
7. Manifestasi klinis
8. Tatalaksana (Farmakologi dan Non Farmakologi)
9. Talaksana Awal
10. Prognosis
11. Nyeri viseral dan nyeri somatik
12. Syndrome dyspepsia
1. Anatomi apendiks
Jawab :
Apendiks mempunyai panjang yang bervariasi yakni sekitar 6 hingga
9 cm. Dasarnya melekat pada sekum dan ujungnya mempunyai kemungkinan
beberapa posisi, misalnya retrosekal, pelvis, antesekal, preileal, retroileal,
atau perikolik kanan. Pada persambungan apendiks dan sekum, terdapat
pertemuan antara tiga taenia colitaenia coli yang dapat menjadi penanda.
Apendiks merupakan organ imunologik yang berperan dalam proses sekresi
IgA karena termasuk dalam komponen gut-associated lymphoid tissue
(GALT) pada waktu kecil. Akan tetapi, sistem imun tidak mendapat efek
negatif jika apendektomi dilakukan (Arifputra, 2014).
Appendix vermiformis merupakan organ sempit, berbentuk tabung
yang memiliki otot dan mengandung banyak jaringan limfoid di dalam
dindingnya. Appendix melekat pada permukaan posteromedial caecum,
sekitar 1 inci (2,5 cm) di bawah junctura ileocaecalis. Appendix vermiformis
diliputi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada mesentrium
intestinum tenue oleh mesentriumnya sendiri yang pendek disebut sebagai
mesoappendix. Mesoappendix berisi arteria dan vena appendicularis dan
nervus (Snell, 2012).
Appendix vermiformis terletak di fossa iliaca dextra, dan dalam
hubungannya dengan dinding anterior abdomen, pangkalnya terletak
sepertiga ke atas di garis yang menghubungkan spina iliaca anterior superior
dan umbilicus (titik McBurney). Di dalam abdomen, dasar appendix
vermiformis mudah dijumpai dengan mencari taenia coli caecum dan
mengikutinya sampai appendix vermiformis, di mana taenia ini bersatu
membentuk tunica muscularis longitudinalis yang lengkap (Snell, 2012).
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selektra Kedokteran. 4 th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.
Snell, R. S. 2012. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta : EGC.
2. Dasar diagnosis (Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan
Penunjang)
Jawab :
Dasar diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, yaitu sebagai berikut
(Zainuddin, 2014).
A. Anamnesis
1) Keluhan : nyeri perut kanan bawah, mula-mula daerah epigastrium
kemudian menjalar ke MC Burney. Apabila telah terjadi inflamasi (> 6
jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri karena bersifat somatik.
2) Gejala Klinis
- Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi nervus vagus.
- Anoreksia, nausea, dan vomitus yang timbul beberapa jam
sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat
permulaan.
- Disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan
vesika urinaria.
- Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita
mengalami diare, timbul biasanya pada letak apendiks perlvikal
yang merangsang daerah rektum.
- Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yakni suhu
antara 37,5C-38,5C tetapi jika suhu tinggi, diduga telah terjadi
perforasi.
- Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri
somatik yang beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang
dengan ujung yang mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah
akan mengakibatkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal
akan mengakibatkan nyeri pada supra pubik dan apendiks retroileal
dapat menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada
arteri spermatika dan ureter.
B. Pemeriksaan Fisik
1) Inpeksi
- Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang
sakit
- Kembung jika terjadi perforasi
- Penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses
2) Palpasi
- Terdapat nyeri tekan MC Burney
- Adanya rebound tenderness (nyeri lepas tekan)
- Adanya defans muscular
- Rovsing sign positif
- Psoas sign positif
- Obturator sign positif
3) Perkusi
- Nyeri ketok (+)
4) Auskulasi
- Peristaltik normal
- Peristaltik tidak ada pada ileus paralitik karena peritonitis
generalisata akibat appendisitis perforata
5) Colok Dubur
- Nyeri tekan pada jam 9-12
6) Tanda Peritonitis Umum (Perforasi)
- Nyeri seluruh abdomen
- Pekak hati hilang
- Bising usus hilang
Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering
terjadi dengan gejala-gejala sebagai berikut (Zainuddin,
2014) :
- Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam
- Demam tinggi lebih dari 38,5C
- Lekositosis (AL lebih dari 14.000)
- Dehidrasi dan asidosis
- Distensi
- Menghilangnya bising usus
- Nyeri tekan kuadran kanan bawah
- Rebound tenderness sign
- Rovsign sign
- Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal
C. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium darah perifer lengkap
- Pada apendisitis akut, 70-70% hasil laboratorium nilai leukosit dan
neutrofil akan meningkat.
- Pada anak ditemukan lekositosis 11.00-14.000/mm 3, dengan
pemeriksaan hitung jenis menunjujjkan pergeseran ke kiri hampir
75%.
- Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm 3 maka umumnya sudah
terjadi perforasi dan peritonitis.
- Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmai dan
menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri
abdomen.
- Pengukuran kadar HCG jika dicurigai kehamilan ektopik pada
wanita usia subur.
2) Foto polos abdomen
- Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak
banyak membantu.
- Pada peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus
pada bagian kanan bawah akan kolaps.
- Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada
daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara.
- Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihal lain.
- Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan mnenyebabkan
kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan.
- Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan
tampak udara bebas di bawah diafragma.
- Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang
memberi pola bercak udara dan air fluid level pada posisi
berdiri/LLD (dekubitus), kalsifikasi bercak rim-lika (melingkar)
sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendiks.
Sumber :
Zainuddin, A. A., et al. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta : Ikatan Dokter
Indonesia.

3. Diagnosis Banding dari skenario


Jawab :
Adapun diagnosis banding dari apendisitis akut, yaitu sebagai berikut
(Zainuddin, 2014).
a. Kolesistitis akut
b. Divertikel Mackelli
c. Enteritis regional
d. Pankreatitis
e. Batu ureter
f. Cystitis
g. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
h. Salpingitis akut
Sumber :
Zainuddin, A. A., et al. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta : Ikatan Dokter
Indonesia.

4. Faktor resiko apendisitis akut


Jawab :
Apendisitis akut merupakan peradangan akut pada apendiks
vermiformis karena adanya obstruksi lumen apendiks. Apendisitis akut adalah
salah satu keadaan darutat bedah abdomen yang paling umum terjadi.
Apendisitis dapat mengenai laki-laki dan perempuan, namun 1,3-1,6 kali
lebih sering mengenai laki-laki usia 10 hingga 30 tahun. Ditemukan beberaoa
faktor risiko yang mengakibatkan apendisitis terjadi yaitu jenis kelamin, usia,
pola dietm dan konsistensi feses (Cristie, 2021).
a) Jenis Kelamin
Pada keluhan akut abdomen yang paling sering banyak terkena adalah
jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah 2,5 : 1. Pada keluhan akut
abdomen yang paling sering terjadi adalah apendisitis, dikatakan
apendisitis itu lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan,
karena perempuan lebih sering mengkonsumsi makanan berserat
dibandingkan laki-laki (Cristie, 2021).
b) Usia
Untuk usia pada penelitian di Taiwan insidensi secara bertahap meningkat
pada kelompok usia berikutnya dan memuncak pada usia 15 hingga 19
tahun untuk laki-laki dan pada 20 hingga 24 tahun untuk perempuan.
Selanjutnya insidensi menurun mencapai titik terendah pada usia 55
hingga 59 tahun pada kedua jenis kelamin. Insiden kemudian secara
bertahap meningkat lagi hingga mencapi puncak lain pada usia 75 tahun
keatas. Secara keseluruhan, kelompok usia 15 hingga 29 tahun adalah
kelompok risiko tertinggi untuk kedua jenis kelamin. Sedangkan pada
penelitian di Rumah Sakit Anutapura Palu dinyatakan bahwa pasien
dengan usia 15 hingga 25 tahun lebih mudah untuk terkena apendisitis
sebesar 4,717 kali daripada kelompok usia dibawah 15 tahun dan diatas 25
tahun (Cristie, 2021).
c) Pola Diet
Apendisitis cenderung terjadi karena kurangnya konsumsi makanan yang
berserat, bahan makanan, cara makanan itu diolah, dan waktu makan yang
tidak teratur, makanan yang dikonsumsi mengandung banyak karbohidrat.
Karena itu disarakan untuk mengonsumsi makanan yang mengandung
tinggi serat dan bergizi. Kebiasaan kurangnya konsumsi serat dapat
menyebabkan terjadi sumbatan fungsional humen, meningkatkan
pertumbuhan kuman dan kemudian terjadilah peradangan pada pendiks
(Cristie, 2021).
d) Konsistensi Feses
Kebiasaan konsumsi makanan dengan serat yang rendah dapat
mengakibatkan timbulnya sumbatan fungsional epndiks dan meningkatkan
pertumbuhan flora normal kolon sehingga terjadi peradangan pada
apendiks. Pola diet konsumsi serat berperan penting dalam membentuk
sifat feses dan fekalit. Dimana sifat feses yang keras dapat menyebabkan
konstipasi. Konstipasi dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intrasekal sehingga terjadilah sumbatan fungsional pada lumen apendiks.
Dalam hal ini pertumbuhan flora normal kolon juga mengalami
peningkatan. Proses inilah yang memudahkan terjadinya apendisitis.
(Cristie, 2021).
Sumber :
Cristie, J. O., et al, 2021. Literature Review : Analisis Faktor Risiko yang
Berhubungan dengan Kejadian Apendisitis Akut. Homeostasis.
Vol. 4 (1) : 59-68. Viewed on 22 Desember 2021. From :
ppjp.ulm.ac.id.

5. Komplikasi apendisitis akut


Jawab :
Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada pasien apendisitis akut,
yaitu sebagai berikut (Zainuddin, 2014).
a. Perforasi apendiks
b. Peritonitis umum
c. Sepsis
Sumber :
Zainuddin, A. A., et al. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta : Ikatan Dokter
Indonesia.

6. Patofisologi apendisitis akut


Jawab :
Apendisitis akut biasanya diakibatkan oleh penyumbatan lumen
apendiks yang dapat disebabkan oleh fekalit/apendikolit, hiperplasia limfoid,
benda asing, parasit, neoplasma, ata struktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya. Obstruksi lumen yang terjadi mendukung
perkembangan bakteri dan sekresi mukus, sehingga mengakibatkan distensi
lumen dan peningkatan dinding lumen. Tekanan yang meningkat akan
menghambat aliran limfe sehingga menimbulkan edema, diapedesis bakteri,
dan ulserasi mukosa. Pada saat tersebut, terjadi apendisitis akut fokal yang
ditandai oleh nyeri periumbilikal (Arifputra, 2014).
Sekresi mukus yang terus berlanjut dan tekanan yang terus
meningkat mengakibatkan obstruksi vena, peningkatan edema, dan
pertumbuhan bakteri yang menimbulkan radang. Peradangan yang timbul
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga timbul nyeri di daerah
kanan bawah. Pada saat ini terjadi apendisitis supuratif akut. Jika kemudian
aliran arteri terganggu akan timbul infark dinding dan gangren. Stadium ini
disebut apendisitis gangrenosa yang jika rapuh dan pecah menjadi apendisitis
perforasi. Meskipun bervariasi, biasanya perforasi terjadi plaing sedikit 48
jam setelah awitan gejala (Arifputra, 2014).
Jika semua proses di atas berjalan dengan imunitas yang cukup baik,
omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks sebagai
mekanisme pertahanan sehingga timbul massa lokal yang disebut infiltrat
apendikularis. Peradangan yang terjadi dapat menjadi abses dan apendiks
lebih panjang dengan dinding lebih tipis sehingga mudah terjadi perforasi.
Sedangkan pada orangtua perforasi mudah terjadi karena ada gangguan
pembuluh darah (Arifputra, 2014).
Sumber:
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selektra Kedokteran. 4 th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.

7. Manifestasi klinis
Jawab :
Keluhan apendisitis diawali dari nyeri di periumbilikus dan muntah
karena rangsangan peritoneum viseral. Dalam rentang waktu 2-12 jam seiring
dengan iritasi perioneal, nyeri perut akan berpindah ke kuadran kanan bawah
yang menetap dan diperberat dengan batuk atau berjalan. Nyeri akan semakin
progresif dan pada saat pemeriksaan akan menunjukkan satu titik dengan
nyeri maksimal. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa anoreksia, malaise,
demam tak terlalu tinggi, konstipasi, diare, mual, dan muntah (Arifputra,
2014).
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selektra Kedokteran. 4 th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.

8. Tatalaksana (Farmakologi dan Non Farmakologi)


Jawab :
a) Tatalaksana Farmakologi
Pasien yang telah didiagnosis mengalami apendisitis akut harus
dipuasakan terlebih dahulu dan diberikan analgetik serta antiemetik jika
diperlukan untuk mengurangi gejala. Kebanyakan protokol pengobatan
termasuk pengobatan awal antibiotik intravena selama 1-3 hari lalu
diikuti dengan antibiotik oral selama 7 hari . Antibiotik yang diberikan
yaitu kombinasi sefalosporin dan tinidazol atau penisilin spektrum luas
yang dikombinasikan dengan penghambat betalaktam sedang . Lamanya
pemberian terapi antibiotik kemungkinan akan lebih pendek daripada
sebelumnya, yaitu peng hentian terapi 1-2 hari setelah perbaikan klinis
yang signifikan. Pasien harus rawat inap dengan pemantauan ketat
terhadap kondisi pasien dan mempersiapkan pemilihan operasi
apendisitis jika gejala klinis tidak membaik. Jika kondisi klinis membaik,
pasien dipulangkan namun masih harus diberikan antibiotik yang
diberikan dirumah. Jika pengobatan non -operatif ini berhasil, dianjurkan
untuk melakukan tes kolonoskopi, USG, atau CT -Scan dalam waktu 6
bulan untuk menyingkirkan komplikasi keganasan pada pasien dengan
risiko (berusia lebih dari 40 tahun). Tatalaksana konservatif antibiotik
pada apendisitis tanpa komplikasi akan memiliki risiko apendisitis
berulang berkisar antara 16-40% pengobatan awal dalam satu tahun.
Namun jika kondisi pasien memburuk atau pengobatan dengan antibiotik
tidak berhasil, maka dilakukan operasi apendisitis (apendektomi)
(Finansah,2021).

b) Tatalaksana Non-Farmakologi
Apendektomi dilakukan dengan open surgery atau laparoskopi.
Kedua prosedur tersebut memiliki risiko yang sangat rendah, morbiditas
dan mortalitis te rgantung tingkat keparahan apendisitisnya. Secara
teknis, laparoskopi dianggap lebih unggul dari segi rendahnya infeksi
pada luka. Rasa sakit yang lebih kecil dirasakan pada hari pertama pasca
operasi, dan durasi rawat inap yang lebih pendek. Open surgery dikaitkan
dengan tingkat abses intraabdominal yang lebih rendah, waktu operasi
yang sedikit lebih pendek, dan biaya yang lebih rendah . Waktu
pembedahan apendektomi masih menjadi kontroversi, pada apendisitis
yang berkembang menjadi perforasi dan gangren, pembedahan harus
dilakukan secepat mungkin. Apendektomi laparoskopi untuk apendisitis
tanpa komplikasi harus dilakukan pada 24 jam pertama setelah diagnosis.
Penelitian terbaru mengatakan bahwa pada apendisitis tanpa komplikasi
penundaan selama 12-24 jam sebelum operasi tidak meningkatkan
perforasi jika antibiotik segera diberikan. Namun penundaan 48 jam
dapat menyebabkan tingkat infeksi dan komplikasi lain yang lebih tinggi
(Finansah,2021).
Sumber :
Finansah, Y. W., Prastya, A. D., Mawaddatunnadila, S. 2021. Tata Laksana
Apendisitis Akut di Era Pandemi Covid-19. Proceeding
Umsurabaya. Vol 5(2) : 15-23.Viewed on 21 December 2021.
From: scholar.google.com.

9. Talaksana Awal
Jawab :
Penatalaksanaan di pelayanan kesehatan primer sebelum dirujuk
yaitu sebagai berikut (Zainuddin, 2014) :
a) Bed rest total posisi fowler (anti Trandelenburg)
b) Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun
melalui mulut.
c) Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi.
d) Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar
mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah.
Sumber :
Zainuddin, A. A., et al. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta : Ikatan Dokter
Indonesia.

10. Prognosis
Jawab :
Prognosis pada umumnya bonam, namun tergantung tatalaksana dan
kondisi pasien (Zainuddin, 2014). Adapun terkait tingkat mortalitas dan
morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan.
Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0,2-0,8% dan diakibatkan oleh
komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Pada anak, angka ini berkisar
antara 0,1-1%, sedangkan pada pasien di atas 70 tahun angka ini meningkat di
atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosis dan terapi (Arifputra,
2014).
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selektra Kedokteran. 4 th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.
Zainuddin, A. A., et al. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta : Ikatan Dokter
Indonesia.

11. Nyeri viseral dan nyeri somatik


Jawab :
Nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius akibat kerukakan
jaringan, proses penyakit, maupun fungsi abnormal otot atau organ viseral.
Nyeri akut selalu bersifat nyeri nosiseptif. Nyeri nosiseptif berfungsi untuk
mendeteksi, melokalisasi, dan membatas kerusakan jaringan. Nyeri nosiseptif
berfungsi membangkitkan refleks menghindar (withdrawal reflex) guna
mencegah terjadinya kerusakan jaringan. Nyeri nosiseptif terjadi sebelum
adanya kerusakan jaringan dan bersifat protektif untuk mempertahankan
keutuhan tubuh kita. Jika telah terjadi kerusakan jaringan, maka nyeri
nosiseptif berubaha menjadi nyeri akut. Karena jarak antara nyeri nosiseptif
dan nyeri hanya beberapa detik dan mekanismenya pun sama, maka di dalam
klinik nyeri nosiseptif selalau diidentikkan dengan nyeri akut (Rehatta, 2019).
Nyeri ada nyeri yang bersifat sementara (self limited) karena akan
menghilang seirama dengan penyembuhannya yang normalnya berlangsung
beberapa hari atau minggu. Bentuk-bentuk paling umum dari nyeri akut
adalah nyeri pascatrauma, pascabedah, dan nyeri persalinan serta nyeri yang
terkait dengan penyakit medis akut, dan sebagainya. Nyeri akut selalu diikuti
dengan respons sress neuroendokrin sistemik yang sebanding dengan
intensitas nyeri. Ketika nyeri menetap setelah penyembuhan usai, nyeri akan
berubah menjadi nyeri kronik. Ada dua jenis nyeri akut, yaitu nyeri somatik
jika berasal dari jaringan soma dan nyeri viseral jika nyeri berasal dari organ
viseral (jantung, ginjal, usus, dan sebagainya) (Rehatta, 2019).
a) Nyeri Somatik
Nyeri akibat input nosiseptif pada bagian luar tubuh. Nyeri somatik
dapat berasal dari kulit, ligamentum, tendon, otot, sendi, dan tulang. Nyeri
somatik dapat dibagi lagi menjadi nyeri somatik superfisial dan dalam.
Nyeri somatik superfisial terjadi jika input nosiseptif berasal dari jaringan
kulit, subkutan, atau dinding mukosa. Gejala nyerinya sangat khas,
lokaslisasinya sangat jelas , dan digambarkan sebagai sensai yang tajam,
menusuk, atau berdenyut (Rehatta, 2019).
Nyeri somatik dalam, jika nyeri berasal dari otot, tendon, sendi,
atau tulang. Berbeda dengan nyeri somatik superfisial, di sini nyerinya
terasa tumpul, dan lokalisasinya kurang jelas. Selain itu, intensitas nyeri
serta lama perlangsungan stimulus dapat memengaruhi daerah
lokalisasinya. Sebagai contoh, nyeri akibat luka ringan pada sendi akan
terlokalisasi pada siku, tetapi luka berat atau berkepanjangan pada siku
sering menyebabkan nyeri pada sekuruh lengan (Rehatta, 2019).
b) Nyeri Viseral
Nyeri yang berasal dari organ internal mayor. Viseral adalah organ
tubuh yang terletak di dalam rongga tubuh seperti rongga abdomen dan
tongga toraks. Nyeri akut viseral disebabkan oleh proses penyakit atau
fungsi abnormal yang mengenai organ internal atau pembungkusnya
(misalnya pleuara parietal, perikardium, dan peritoneum). Hanya beberapa
organ yang dapat menimbulkan rasa nyeri yang dalam ini karena adanya
perbedaan persarafan organ. Organ visera yang memiliki nosiseptor, yaitu
saraf sensorik yang dapat mentransimisikan nyeri ke otak setelah cedera,
dapat menyebabkan nyeri visera yang dalam jika terluka. Gambaran klinis
nyeri viseral adalah (Rehatta, 2019) :
o Nyeri viseral hanya bisa ditimbulkan oleh beberapa organ viseral.
o Tidak berhubungan dengan cedera pada organ viseral.
o Merupakan nyeri rujukan dari organ lain, nyeri yang terkait dengan
proses penyakit yang melibatkan peritoneum atau pleura di sekitar
diafragma bagian tengah dirujuk ke leher dan bahu, sedangkan nyeri
dari proses penyakit yang mengenai permukaan parietal di daerah
diafragma perifer dirujuk ke dada atau dinding perut bagian atas.
o Bersifat difus dan tidak terlokalisasi, biasanya pada garis tengah (tidak
dapat ditunjuk dengan telunjuk tapi dengan telapak tangan).
o Disertai dengan refleks otonomik dan motorik yang berlebihan
sehingga pasien nampak sakit berat diserta dengan gejala mual,
muntah, berkeringat, serta perubahan tekanan darah dan nadi.
Sumber :
Rehatta, N. M., et al. 2019. Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.

12. Syndrome dyspepsia


Jawab :
A. Epidemiologi
Diperkirakan sekitar 15-40% populasi di dunia memiliki leuhan
dispepsia kronis atau berulang, sepertinya merupakan dispepsia organik
(struktural) (Purnamasari, 2017). Studi-studi di Amerika dan Eropa
menunjukkan prevelensi dispepsia pada orang dewada per tahun berkisar
antara 25-40% dengan insidens antara 1-9%. Hanya setengahnya yang
mencari pertolongan edis, sebagian lain tidak diobati atau berusaha
diobati sendiri dengan bantuan apoteker (Arifputra, 2014).
B. Definisi
Kata ‘dispepsia’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘dys’ (poor)
dan ‘pepse’ (digestion) yang berarti gangguan percernaan. Awalnya
gangguan ini dianggap sebagai bagian dari gangguan cemas, hipokondria,
dan histeria. British Society of Gastroenterology (BSG) menyatakan
bahwa istilah ‘dispepsia’ bukan diagnosis, melainkan kumpulan gejala
yang mengarah pada penyakit/gangguan saluran pencernaan atas. Definisi
dispepsia adalah kumpulan gejala saluran pencernaan atas meliputi rasa
nyeri atau tidak nyaman di area gastro-duodenum (epigastrium/uluhati),
rasa terbakar, penuh, cepat kenyang, mual atau muntah (Purnamasari,
2017).
C. Klasifikasi
Dispepsia diklasifikasikan menjadi dua, yaitu organik (struktural)
dan fungsional (non-organik). Pada dispepsia organik terdapat penyebab
yang mendasari, seperti penyakit ulkus peptikum (Peptic Ulcer
Disease/PUD), GERD (GastroEsophageal Reflux Disease), kanker,
penggunaan alkohol atau obat kronis. Non-organik (fungsional) ditandai
dengan nyeri atau tidak nyaman perut bagian atas yang kronis atau
berulang, tanpa abnormalitas pada pemeriksaan fisik dan endoskopi
(Purnamasari, 2017).
D. Etiologi
Adapun etiologi dari sindrok dispepsia, yaitu sebagai berikut
(Arifputra, 2014).
1) Kelainan struktural pada saluran cerna
2) Ulkus peptikum, ulkus duodenum, esofagitis refluks, gastritis kronis,
gastritis OAINS, penggunaan obat-obatan seperti teofilin, digitalis,
dan antibiotik, atau adekarsinoma lambung dan esofagus.
3) Penyakit hepatobilier
4) Kolesistis kronik, pankreatitis kronik, hepatitis, hepatoma,
steatohepatitis, keganasan.
5) Penyakit sistemik
6) Diabetes mellitus, hiperkalsemia, keracunan logam berat, penyakit
tiroid, dan gagal ginjal.
7) Non-organik atau fungsional.
8) Lebih dari 50% pasien yang datang dengann keluhan dispepsia
menderita dispepsia fungsional.
E. Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia fungsional masih belum jelas, diduga
kombinasi hipersensitivitas viseral, disfungsi motilitas lambung, dan
faktor psikologis. Dispepsia fungsional berkaitan dengan depresi. Studi di
Pakistan pada 101 pasien dispepsia fungsional (setelah endoskopi) dengan
rerata usia 35,81±14,81 tahun didapatkan 100 pasien memiliki depresi
(evaluasi depresi dengan Hamilton depression rating scale): depresi
ringan 23 (22,8%), sedang 34 (33,7%), berat 32 (31,7%), dan sangat berat
11 (10,9%). Dispepsia berkaitan juga dengan tidur. Hubungan antara
gangguan tidur dan gejala dispepsia fungsional cukup kompleks. Gejala
dispepsia dapat mengganggu tidur baik saat akan tidur maupun kelanjutan
tidur. Sebaliknya, kurang tidur juga berpotensi meningkatkan gejala
pasien dispepsia fungsional (Purnamasari, 2017).
F. Faktor Risiko
Faktor diet (makanan dibakar, cepat saji, berlemak, pedas, kopi,
teh) dan pola hidup (merokok, alkohol, obat NSAID/aspirin, kurang
olahraga) diyakini berkontribusi pada dispepsia. Rokok dianggap
menurunkan efek perlindungan mukosa lambung, sedangkan alkohol dan
obat antiinflamasi berperan meningkatkan produksi asam lambung. Studi
di India pada penderita dispepsia rerata usia 20,43±1,05 tahun, secara
signifikan terkait dengan faktor gaya hidup seperti konsumsi makanan
berlemak, rokok, NSAID, dan aktivitas fisik yang rendah. Studi di Arab
menganalisis hubungan pola hidup dan diet pada dispepsia. Sekitar 77
(43,8%) dari 176 pelajar rerata usia 20,67±2,57 tahun menderita
dispepsia, dan terdapat korelasi bermakna dispepsia dengan merokok,
kurang tidur, stres, faktor akademis (p < 0,05), sementara alkohol, obat
antinyeri, faktor diet (makanan cepat saji, asin, pedas, kopi, buah, sayur,
air) dan tingkat aktivitas fisik tidak memiliki hubungan bermakna dengan
dispepsia. Studi di Thailand mendapatkan bahwa dispepsia pada 283
(24%) dari total 1.181 pelajar rerata usia 14,7±1,8 tahun, dengan
prevalensi lebih tinggi pada perempuan, riwayat keluarga ulkus peptikum,
riwayat penggunaan obat, alkohol, dan stres berat (p< 0,05), sedangkan
diet (makanan cepat saji, berlemak, pedas, produk susu, kafein, minuman
bersoda, konsumsi buah dan sayur) tidak berkorelasi dengan gejala
dispepsia pada penelitian tersebut (Purnamasari, 2017).
Faktor risiko dispepsia organik antara lain usia >50 tahun, riwayat
keluarga kanker lambung, riwayat ulkus peptikum, kegagalan terapi,
riwayat perdarahan saluran cerna, anemia, penurunan berat badan, muntah
persisten, perubahan kebiasaan buang air besar, penggunaan NSAID dosis
tinggi atau jangka panjang, alkohol kronis, dll. Studi di Taiwan pada
2.062 penderita dispepsia etnis Cina mendapatkan hasil endoskopi normal
sebanyak 1174 (56,9%), gastritis sebanyak 215 (10,4%), ulkus lambung
sebanyak 254 (12,3%), ulkus duodenum sebanyak 194 (9,4%), refluks
esofagitis sebanyak 182 (8,8%), dan kanker esofagus/lambung sebanyak
43 (2,1%). Pasien dispepsia organik pada studi tersebut cenderung
ditemukan pada usia lebih tua, lebih mungkin terinfeksi H. pylori, dan
pengguna obat (aspirin, NSAID) dibandingkan dispepsia fungsional.
Dominasi laki-laki terutama pada dispepsia organik (pria/wanita:
56,8%/43,2%) dan dominasi perempuan pada dispepsia fungsional (pria/
wanita: 40,3%/59,7%) (Purnamasari, 2017).
G. Gejala dan Tanda
Karakteristik dispepsia secara umum terdiri dari rasa penuh
pasca-makna, cepat kenyang, rasa terbakar di ulu hati (berhubungan
dengan GERD), nyeri epigastrium, nyeri dada non-jantung, dan gejala
kurang spesifik seperti mual, muntah, kembung, bersendawa, distensi
abdomen. Pasien dispepsia fungsional biasanya mengalami gejala
intermiten dalam jangka panjang diselingi periode remisi. Membedakan
dispepsia organik dengan fungsional memerlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang akurat. Pemeriksaan penunjang seperti tes darah,
endoskopi, dan radiologi diperlukan pada kasus tertentu. (Purnamasari,
2017).
1) Gejala dan Tanda alarma (red flags)
o Usia > 55 tahun
o Perdarahan saluran cerna
o Anemia
o Cepat kenyang/penuh
o Disfagia (sulit menelan) atau odinodagia (nyeri menelan)
o Penurunan berat badan (> 10% berat normal)
o Muntah berulang
o Limfadenopati
o Riwayat keluarga kanker lambung/esofagus
o Teraba massa abdominal
2) Kriteria dispepsia fungsional
o Rasa penuh pasca-makan yang menganggu
o Cepat kenyang
o Nyeri epigastrium
o Rasa terbakar di ulu hati
o Tidak ada bukti peyakit struktural (dari endoskopi) yang mungkin
menjelaskan gejala
3) Kriteria dispepsia fungsional tipe nyeri epiastrium
o Nyeri/terbakar di epigastrium, minimal intensitas sedang,
setidaknya sekali seminggu.
o Nyeri tidak boleh generalisasi ke daerah perut atau dada, atau di
daerah perut lainnya.
o Nyeri tidak hilang dengan buang air besar atau flatus.
o Nyeri tidak memenuhi kriteria nyeri kandung empedu atau sfingter
Oddi. Kriteria terpenuhi 3 bulan terakhir dengan onset minimal 6
bulan sebelum diagnosis.
o Nyeri dapat terbakar, tapi tanpa retrosternal.
o Nyeri biasanya diinduksi atau reda oleh konsumsi makna.
o Gejala tipe distress postprandial dapat terjadi bersama.
4) Kriteria dispepsia fungsional tipe distress postprandial
o Rasa penuh pasca-makan dalam prosi biasa, beberapa kali
seminggu.
o Cepat kenyang sehingga berkurang porsi makan biasa, beberapa
kali seminggu.
o Kriteria terpenuhi 3 bulan terakhir, dengan onset minimal 6 bulan
sebelum diagnosis.
o Sensasi perut kembung atau mual pasca-makan.
o Gejala tipe nyeri epigastrium dapat terjadi bersama.
H. Diagnosis Banding
Gambaran klinis dispepsia terkadang tumpang tindin dengan
penyakit saluran cerna lain ataupun penyakit non-saluran cerna
(Purnamasari, 2017).
a) Penyakit saluran cerna lain
- Saluran cerna atas (GERD, functional heartburn, mual idiopatik)
- Saluran cerna bawah (irritable bowel syndrome)
b) Penyakit non-saluran cerna
- Penyakit jantung seperti iskemiam atrial fibrilasi
- Sindrom nyeri somatik (fibromalgia, chronic fatigue syndrome,
interstitial systitis/bladder pain syndrome, dan overactive bladder)
I. Tatalaksana
Terapi dispepsia fungsional perlu dibedakan untuk subtipe nyeri
atau distres postprandial. Pada tipe nyeri epigastrium, lini pertama terapi
bertujuan menekan asam lambung (H2-blocker, PPI). Pada tipe distres
postprandial, lini pertama dengan prokinetik, seperti
metoklopramid/domperidon (antagonis dopamin), acotiamide (inhibitor
asetilkolinesterase), cisapride (antagonis serotonin tipe 3 /5HT3),
tegaserod (agonis 5HT4), buspiron (agonis 5HT1a).12,16 Bila lini
pertama gagal, PPI dapat digunakan untuk tipe distres postprandial dan
prokinetik untuk tipe nyeri. Kombinasi obat penekan asam lambung dan
prokinetik bermanfaat pada beberapa pasien Tidak ada terapi yang efektif
untuk semua pasien; berbagai terapi dapat digunakan secara berurutan
ataupun kombinasi (Purnamasari, 2017).
Pada kasus yang tidak berespons terhadap obat-obat tersebut,
digunakan antidepresan. Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50 mg/hari,
nortriptilin 10 mg/ hari, imipramin 50 mg/hari) selama 8-12 minggu
cukup efektif untuk terapi dispepsia fungsional, SSRI atau SNRI tidak
lebih efektif dari plasebo. Meskipun masih kontroversial, dapat dilakukan
tes H. pylori pada kasus dispepsia fungsional mengingat infeksi tersebut
umumnya asimptomatik. Terapi kondisi psikologis seperti cemas atau
depresi dapat membantu pada kasus dispepsia sulit/ resisten. Terapi
psikologis, akupunktur, suplemen herbal, probiotik psikologis pada
dispepsia fungsional masih belum terbukti. Edukasi pasien penting untuk
menghindari faktor pencetus seperti mengurangi stres/ kecemasan,
memulai pola makan teratur porsi lebih sedikit dan menghindari makanan
pemicu (Purnamasari, 2017).
Terapi GERD bertujuan untuk mengurangi jumlah asam lambung
yang memasuki esofagus distal dengan cara menetralkan asam lambung,
mengurangi produksi, dan meningkatkan pengosongan lambung ke
duodenum, serta menghilangkan ketidaknyamanan akibat rasa terbakar,
Terapi pilihan, yaitu PPI atau H2-blocker, 6 dapat didukung dengan
pemberian antasida, agonis 5-HT4, atau analog prostaglandin (sukralfat,
misoprostol). Edukasi pasien untuk mengurangi makanan/minuman
pemicu gejala dispepsia (pedas, berlemak, asam, kopi, dan alkohol),
membiasakan makan porsi sedikit frekuensi sering, tidak langsung
berbaring setelah makan, elevasi tubuh bagian atas saat tidur dan
menurunkan berat badan direkomendasikan (Purnamasari, 2017).
Terapi ulkus H. pylori bertujuan eradikasi kuman dan
menyembuhkan ulkus, melalui 3 regimen, yaitu: PPI (co. omeprazole
2x20- 40 mg) atau H2-blocker (co. ranitidine 2x150 mg atau 300 mg
sebelum tidur), ditambah dua antibiotik berikut: klaritomisin 2x500 mg,
amoksisilin 2x1 g, atau metronidazol 2x400- 500 mg selama 7-14 hari.
Jika alergi terhadap penisilin, diberikan 4 macam terapi, yaitu: PPI (co.
omeprazole 2x20-40 mg), bismuth 4x120 mg, metronidazol 4x250 mg,
dan tetrasiklin 4x500 mg selama 10-14 hari. Eradikasi H. pylori perlu
diverifikasi dengan tes non-invasif (uji napas urea, tes antigen tinja) 4
minggu setelah selesai terapi (Purnamasari, 2017).
Terapi ulkus peptikum terkait NSAID adalah dengan
menghentikan penggunaan NSAID atau mengganti dengan antinyeri
inhibitor COX-2 selektif. Terapi dengan PPI cukup efektif pada ulkus
terkait NSAID (lebih superior dibandingkan H2-blocker). Infus kontinu
PPI selama 72 jam direkomendasikan pada kasus perdarahan ulkus
peptikum berat, untuk mempertahankan pH lambung >6 (Purnamasari,
2017).
Patogenesis dispepsia fungsional multifaktorial. Beberapa terapi
farmakologis yang direkomendasikan sesuai patogenesis, yaitu: (1)
penekan asam lambung mengontrol hipersentivitas lambung, (2)
prokinetik memperbaiki gangguan motilitas lambung, (3) antidepresan
mengatasi gangguan psikologis, mempercepat pengosongan lambung dan
memanipulasi persepsi nyeri. Efikasi obat penekan asam (H2-blocker,
PPI) pada dispepsia fungsional adalah sedang. Antasida, bismuth, dan
sukralfat tidak efektif pada dispepsia fungsional. Prokinetik lebih efektif
dibandingkan plasebo (Purnamasari, 2017).
J. Prognosis
Sebagian besar penderita dispepsia fungsional kronis dan
kambuhan, dengan periode asimptomatik diikuti episode relaps.
Berdasarkan studi populasi pasien dispepsia fungsional, 15-20%
mengalami gejala persisten, 50% mengalami perbaikan gejala, dan 30-
35% mengalami gejala fluktuatif. Pada studi di Cina, prognosis dispepsia
fungsional mungkin dipengaruhi beberapa hal; kurang tidur dan status
pernikahan buruk memiliki prognosis negatif, sedangkan personalitas
ekstrovert memiliki prognosis positif. Meskipun dispepsia fungsional
berlangsung kronis dan mempengaruhi kualitas hidup, tetapi tak terbukti
menurunkan harapan hidup (Purnamasari, 2017).
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selektra Kedokteran. 4 th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.
Purnamasari, L. 2017. Faktor Risiko, Klasifikasi, dan Terapi Sindrom
Dispepsia. Cermin Dunia Kedokteran. Vol. 44 (12) : 870-873.
Viewed on 22 Desember 2021. From : cdkjournal.com.

Anda mungkin juga menyukai