SKENARIO III
GANGGUAN PADA GASTROINTESTINAL
“Ada Apa dengan Perutku ?”
Keadaan umum pasien sangat lemah, karena nyeri perut bertambah hebat
dan nyeri tekan di seluruh abdomen. Pada pemeriksaan fisik, tanda vital tekanan
darah 140/90 mmHg, suhu 38,7 °C, nadi 101 x/menit, pernapasan 22x/menit,
Pemeriksaan abdomen, Blumberg sign (+), defens muscular (-). Rectal touche
ditemukan ampula recti kolaps dan nyeri tekan arah jam 11. Pemeriksaan lab
darah Hb 13,7 g/dl dan leukosit 22.000/mm3. Riwayat penyakit pasien selama 6
bulan terakhir sering berobat ke Puskesmas dengan keluhan mual, muntah, perut
kembung, nafsu makan berkurang dan nyeri ulu hati.
Learning Objective
1. Anatomi appendix
2. Dasar diagnosis (Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan
Penunjang)
3. Diagnosis banding dari skenario
4. Faktor resiko apendisitis akut
5. Komplikasi apendisitis akut
6. Patofisologi apendisitis akut
7. Manifestasi klinis
8. Tatalaksana (Farmakologi dan Non Farmakologi)
9. Talaksana Awal
10. Prognosis
11. Nyeri viseral dan nyeri somatik
12. Syndrome dyspepsia
1. Anatomi apendiks
Jawab :
Apendiks mempunyai panjang yang bervariasi yakni sekitar 6 hingga
9 cm. Dasarnya melekat pada sekum dan ujungnya mempunyai kemungkinan
beberapa posisi, misalnya retrosekal, pelvis, antesekal, preileal, retroileal,
atau perikolik kanan. Pada persambungan apendiks dan sekum, terdapat
pertemuan antara tiga taenia colitaenia coli yang dapat menjadi penanda.
Apendiks merupakan organ imunologik yang berperan dalam proses sekresi
IgA karena termasuk dalam komponen gut-associated lymphoid tissue
(GALT) pada waktu kecil. Akan tetapi, sistem imun tidak mendapat efek
negatif jika apendektomi dilakukan (Arifputra, 2014).
Appendix vermiformis merupakan organ sempit, berbentuk tabung
yang memiliki otot dan mengandung banyak jaringan limfoid di dalam
dindingnya. Appendix melekat pada permukaan posteromedial caecum,
sekitar 1 inci (2,5 cm) di bawah junctura ileocaecalis. Appendix vermiformis
diliputi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada mesentrium
intestinum tenue oleh mesentriumnya sendiri yang pendek disebut sebagai
mesoappendix. Mesoappendix berisi arteria dan vena appendicularis dan
nervus (Snell, 2012).
Appendix vermiformis terletak di fossa iliaca dextra, dan dalam
hubungannya dengan dinding anterior abdomen, pangkalnya terletak
sepertiga ke atas di garis yang menghubungkan spina iliaca anterior superior
dan umbilicus (titik McBurney). Di dalam abdomen, dasar appendix
vermiformis mudah dijumpai dengan mencari taenia coli caecum dan
mengikutinya sampai appendix vermiformis, di mana taenia ini bersatu
membentuk tunica muscularis longitudinalis yang lengkap (Snell, 2012).
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selektra Kedokteran. 4 th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.
Snell, R. S. 2012. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta : EGC.
2. Dasar diagnosis (Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan
Penunjang)
Jawab :
Dasar diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, yaitu sebagai berikut
(Zainuddin, 2014).
A. Anamnesis
1) Keluhan : nyeri perut kanan bawah, mula-mula daerah epigastrium
kemudian menjalar ke MC Burney. Apabila telah terjadi inflamasi (> 6
jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri karena bersifat somatik.
2) Gejala Klinis
- Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi nervus vagus.
- Anoreksia, nausea, dan vomitus yang timbul beberapa jam
sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat
permulaan.
- Disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan
vesika urinaria.
- Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita
mengalami diare, timbul biasanya pada letak apendiks perlvikal
yang merangsang daerah rektum.
- Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yakni suhu
antara 37,5C-38,5C tetapi jika suhu tinggi, diduga telah terjadi
perforasi.
- Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri
somatik yang beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang
dengan ujung yang mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah
akan mengakibatkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal
akan mengakibatkan nyeri pada supra pubik dan apendiks retroileal
dapat menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada
arteri spermatika dan ureter.
B. Pemeriksaan Fisik
1) Inpeksi
- Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang
sakit
- Kembung jika terjadi perforasi
- Penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses
2) Palpasi
- Terdapat nyeri tekan MC Burney
- Adanya rebound tenderness (nyeri lepas tekan)
- Adanya defans muscular
- Rovsing sign positif
- Psoas sign positif
- Obturator sign positif
3) Perkusi
- Nyeri ketok (+)
4) Auskulasi
- Peristaltik normal
- Peristaltik tidak ada pada ileus paralitik karena peritonitis
generalisata akibat appendisitis perforata
5) Colok Dubur
- Nyeri tekan pada jam 9-12
6) Tanda Peritonitis Umum (Perforasi)
- Nyeri seluruh abdomen
- Pekak hati hilang
- Bising usus hilang
Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering
terjadi dengan gejala-gejala sebagai berikut (Zainuddin,
2014) :
- Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam
- Demam tinggi lebih dari 38,5C
- Lekositosis (AL lebih dari 14.000)
- Dehidrasi dan asidosis
- Distensi
- Menghilangnya bising usus
- Nyeri tekan kuadran kanan bawah
- Rebound tenderness sign
- Rovsign sign
- Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal
C. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium darah perifer lengkap
- Pada apendisitis akut, 70-70% hasil laboratorium nilai leukosit dan
neutrofil akan meningkat.
- Pada anak ditemukan lekositosis 11.00-14.000/mm 3, dengan
pemeriksaan hitung jenis menunjujjkan pergeseran ke kiri hampir
75%.
- Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm 3 maka umumnya sudah
terjadi perforasi dan peritonitis.
- Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmai dan
menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri
abdomen.
- Pengukuran kadar HCG jika dicurigai kehamilan ektopik pada
wanita usia subur.
2) Foto polos abdomen
- Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak
banyak membantu.
- Pada peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus
pada bagian kanan bawah akan kolaps.
- Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada
daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara.
- Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihal lain.
- Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan mnenyebabkan
kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan.
- Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan
tampak udara bebas di bawah diafragma.
- Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang
memberi pola bercak udara dan air fluid level pada posisi
berdiri/LLD (dekubitus), kalsifikasi bercak rim-lika (melingkar)
sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendiks.
Sumber :
Zainuddin, A. A., et al. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta : Ikatan Dokter
Indonesia.
7. Manifestasi klinis
Jawab :
Keluhan apendisitis diawali dari nyeri di periumbilikus dan muntah
karena rangsangan peritoneum viseral. Dalam rentang waktu 2-12 jam seiring
dengan iritasi perioneal, nyeri perut akan berpindah ke kuadran kanan bawah
yang menetap dan diperberat dengan batuk atau berjalan. Nyeri akan semakin
progresif dan pada saat pemeriksaan akan menunjukkan satu titik dengan
nyeri maksimal. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa anoreksia, malaise,
demam tak terlalu tinggi, konstipasi, diare, mual, dan muntah (Arifputra,
2014).
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selektra Kedokteran. 4 th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.
b) Tatalaksana Non-Farmakologi
Apendektomi dilakukan dengan open surgery atau laparoskopi.
Kedua prosedur tersebut memiliki risiko yang sangat rendah, morbiditas
dan mortalitis te rgantung tingkat keparahan apendisitisnya. Secara
teknis, laparoskopi dianggap lebih unggul dari segi rendahnya infeksi
pada luka. Rasa sakit yang lebih kecil dirasakan pada hari pertama pasca
operasi, dan durasi rawat inap yang lebih pendek. Open surgery dikaitkan
dengan tingkat abses intraabdominal yang lebih rendah, waktu operasi
yang sedikit lebih pendek, dan biaya yang lebih rendah . Waktu
pembedahan apendektomi masih menjadi kontroversi, pada apendisitis
yang berkembang menjadi perforasi dan gangren, pembedahan harus
dilakukan secepat mungkin. Apendektomi laparoskopi untuk apendisitis
tanpa komplikasi harus dilakukan pada 24 jam pertama setelah diagnosis.
Penelitian terbaru mengatakan bahwa pada apendisitis tanpa komplikasi
penundaan selama 12-24 jam sebelum operasi tidak meningkatkan
perforasi jika antibiotik segera diberikan. Namun penundaan 48 jam
dapat menyebabkan tingkat infeksi dan komplikasi lain yang lebih tinggi
(Finansah,2021).
Sumber :
Finansah, Y. W., Prastya, A. D., Mawaddatunnadila, S. 2021. Tata Laksana
Apendisitis Akut di Era Pandemi Covid-19. Proceeding
Umsurabaya. Vol 5(2) : 15-23.Viewed on 21 December 2021.
From: scholar.google.com.
9. Talaksana Awal
Jawab :
Penatalaksanaan di pelayanan kesehatan primer sebelum dirujuk
yaitu sebagai berikut (Zainuddin, 2014) :
a) Bed rest total posisi fowler (anti Trandelenburg)
b) Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun
melalui mulut.
c) Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi.
d) Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar
mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah.
Sumber :
Zainuddin, A. A., et al. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta : Ikatan Dokter
Indonesia.
10. Prognosis
Jawab :
Prognosis pada umumnya bonam, namun tergantung tatalaksana dan
kondisi pasien (Zainuddin, 2014). Adapun terkait tingkat mortalitas dan
morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan.
Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0,2-0,8% dan diakibatkan oleh
komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Pada anak, angka ini berkisar
antara 0,1-1%, sedangkan pada pasien di atas 70 tahun angka ini meningkat di
atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosis dan terapi (Arifputra,
2014).
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selektra Kedokteran. 4 th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.
Zainuddin, A. A., et al. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta : Ikatan Dokter
Indonesia.