Anda di halaman 1dari 17

LEARNING OBJECTIVE

SKENARIO IV
INFEKSI PADA SISTEM GASTROINTESTINAL
“Berak Berdarah”

NAMA : PUTRI ASWARIYAH RAMLI


STAMBUK : N 101 20 045
KELOMPOK :4

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2021/2022
Modul 4 : Infeksi Pada Sistem Gastrointestinal

“Berak Berdarah”

Seorang bayi laki-laki berusia 11 bulan di diantar oleh ibunya ke


Puskesmas dengan keluhan utama buang air besar (BAB) cair. Dalam sehari
BAB cair sebanyak 8 kali konsistensi cair lebih banyak air dari pada ampas
kurang lebih 1/4 Gelas Belimbing setiap kali BAB, warna kuning. Pasien juga
didapatkan perut kembung, mual dan Muntah 5 kali dalam sehari, tidak
menyemprot. Demam sejak 1 hari yang lalu, turun dengan obat penurun panas.
pasien selama ini makan sehari tiga kali makan besar dengan lauk bervariasi.
minum susu formula sejak usia 6 bulan saat ini minum susu sehari 3-4 kali
dalam sehari titik tidak didapatkan riwayat ganti susu.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak latergis dan


kehausan. tanda vital laju nadi 100 kali permenit laju nafas 30 kali permenit,
suhu 39 derajat Celcius. ubun-ubun kepala cekung, air mata berkurang,
pemeriksaan abdomen bising usus meningkat, turgor kulit abdomen sedikit
menurun, dan anus tampak kemerahan. Dokter mengusulkan untuk
pemeriksaan lanjutan, dan memberikan edukasi pada orang tua pasien tentang
kondisi pasien saat ini. tatalaksana yang diberikan serta menjelaskan langkah
pencegahan agar Penyakit ini tidak terulang kembali.

Learning Objective

1. Hubungan mual muntah dan kembung pada bayi di skenario


2. Dasar diagnosis (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang)
3. Tatalaksana (farmakologi dan non farmakologi) diare akut
4. Diagnosis banding diare akut
5. Patofisiologi diare akut
6. Komplikasi diare akut
7. Epidemiologi diare akut
8. Klasifikasi infeksi gastrointestinal pada anak
9. Definisi diare
10. Penyebab demam
11. Pemeriksaan lanjutan pada skenario

1. Hubungan mual muntah dan kembung pada bayi di skenario


Jawab :
Mekanisme terjadinya diare termasu juga peningkatan sekresi atau
penurunan absorbsi cairan dan elektrolit dari sel mukosa intestinal dan
eksudat yang berasal dari inflamasi mukosa intestinal. Infeksi diare akut
diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare noninflamasi
dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitoksin di
kolon dengan manifestasi sindrom disentri dengan diare disertai lendir dan
darah. Gejala klinis berupa mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah,
tetenus, serta gejala dan tanda dehidrasi (Tim Adaptasi Indonesia, 2011).
Sumber :
Tim Adaptasi Indonesia. 2011. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit,
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Tingkat Pertama di
Kabupaten/Kota. Jakarta : World Health Organization Indonesia.

2. Dasar diagnosis (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang)
Jawab :
Dasar diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, yaitu sebagai berikut
(Arifputra, 2014).
A. Anamnesis
- Pada saat melakukan anamnesis, perlu ditanyakan terkait deskripsi
diare meliputi frekuensi, lama diare berlangsung, warna, konsistensi
tinja, dan adanya lendir/darah dalam tinja.
- Adanya muntah, tanda dehidrasi meliputi rasa haus, anak rewel/lemah,
dan BAK terakhir.
- Riwayat demam, kejang, jumlah cairan masuk, riwayat makan dan
minum, penderita sekitar, pengobatan yang diterima, dan gejala
invaginasi juga perlu ditanyakan.
B. Pemeriksaan Fisik
- Periksa keadaan umum, kesadaran, tanda vital, dan berat badan.
- Selidiki tanda-tanda dehidrasi meliputi rewel, gelisah,
letargis/kesadaran berkurang, mata cekung, cubitan kulit perut
kembali lambat (turgor abdomen), haus/minum lahap, malas/tidak
dapat minum, ubun-ubun cekung, air mata berkurang/tidak ada,
keadaan mukosa mulut.
- Tanda-tanda ketidakseimbangan asam basa dan elektrolit meliputi
kembung akibat hipokalemia, kejang akibat gangguan natrium, napas
cepat, dan dalam akibat asidosis metabolik.
C. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan tinja, namun tidak rutin dilakukan, kecuali ada tanda-
tanda intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis. Dapat dilakukan
secara makroskopis, mikroskopis, maupun kimiawi.
- Dehidrasi berat meliputi pemeriksaan elektrolit serum, analisis gas
darah, nitrogen urea, dan kadar gula darah.
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selektra Kedokteran. 4 th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.

3. Tatalaksana (farmakologi dan non farmakologi) diare akut


Jawab :
Menurut WHO terdapat lima pilar tatalaksana diare, yaitu ; (1)
Rehidrasi ; (2) Dukungan nutrisi, (3) Pemberian antibiotik sesuai indikasi ;
(4) Pemberian zink, dan (5) Edukasi pada orangtua. Adapun alur tatalaksana
diare sesuai derajat dehidrasinya, yaitu sebagai berikut (Arifputra, 2014) :
1) Tatalaksana Diare Sesuai Derajat Dehidrasi
a. Diare Akut Dehidrasi Berat
- Rehidrasi intravena, 100 cc/KgBB cairan ringer laktat atau ringer
asetat (jika tidak ada, gunakan salin normal) dengan ketentuan yaitu :

Pertama, berikan 30 Selanjutnya, 70


cc/KgBB dalam : cc/KgBB dalam :
Umur < 12 bulan 1 jam 5 jam
Umur ≥ 12 bulan 30 menit 2 ½ jam

Diikuti rehidrasi oral apabila sudah dapat minum, dimulai 5


cc/KgBB/jam selama prose rehidrasi.
- Periksa kembali status hidrasi anak setiap 15-30 menit, klasifikasikan
ulang derajat dehiras setelah 3 jam (untuk anak) atau 6 jam (untuk
bayi). Tata laksana selanjutnya diberikan sesuai derajat dehirasi
tersebut :
- Apabila tidak ada fasilitas intravena, pasang pipa nasogastrik dan beri
20 cc/KgBB/jam selama 6 jam atau rujuk segera ke rumah sakit.
b. Diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang
- Paien dipantau di puskesmas/rumah sakit
- Pemberian larutan oralit dalam waktu 3 jam pertama sebanyak 75
cc/KgBB, ajarkan ibu memberi oralit sedikit-sedikit tapi sering (small
but frequent) dengan sendok teah, cangkir, mangkok, atau gelas. Jika
anak muntah tunggu 10 menit, lalu lanjutkan dengan lebih lambat.
- Lanjutkan pemberian ASI.
- Periksa kembali dan klasifikasikan ulang setelah 3 jam.
c. Diare Akut Tanpa Dehidrasi
Terapi rawat jalan dapat dilakukan dengan empat aturan perawatan di
rumah sebagai berikut (juga berlaku untuk diare dengan dehidrasi setelah
perawatan) :
- Beri cairan tambahan, seperti ASI, yang lebih sering dan lama. Jika
anak tidak memperoleh ASI eksklusif, berikan oralit, air matang atau
cairan mkanan (kuah sayur, air tajin). Pada kasus diare dengan
dehidrasi, berikan 6 bungkus oralit (200 cc), berikan 100 cc tiap kali
BAB;
- Pemberian tablet zink selama 10-14 hari, yakni ½ tablet (10 mg)/hari
untuk anak usia < 6 bulan dan 1 tablet (20 mg)/hari untuk anak usia > 6
bulan. Zink bermanfaat untuk menurunkan frekuensi BAB dan
memperbaik volumen tinja, mengurangi lama diare, serta menurunkan
kejadian diare pada bulan-bulan berikutnya.
- Pemberian makanan segera setelah anak dapat makan. Lanjutkan
pemberian makan atau ASI, dengan pola sedikit tapi sering (sekitar 6
kali/hari).
- Edukasi kapan harus kembali (jika keadaan anak memburuk, tidak
dapat/malas minum, timbul demam, timbul darah dalam tinja, tidak
membaik setelah 5 hari).
2) Terapi Lain
- Antibiotik tidak dugunakan secara rutin dan hanya bermanfaat pada
anak dengan diare berdarah (disentri), suspek kolera, dan infeksi berat
lain yang tidak berhubungan saluran pencernaan. Penggunaan
antibiotik tidak rasional akan menganggu keseimbangan flora usus
sehingga memperpanjang diare menjadi persisten, mempersulit
penyembuhan, dan meningkatkan kemungkinan penularan. Selain itu
juga menyebabkan resistensi kuman terhadap antibiotik.
- Obat antiprotozoa jarang digunakan.
- Obat-obatan antidiare tidak boleh diberikan pada anak karena tidak
mencegah dehidrasi maupun meningkatkan status gizi anak, namun
memiliki efek samping berbahaya hingga fatal.
- Probiotik dapat bemanfaat mempersingkat lama diare pada anak dan
mencegah diare pada bayi.
- Vaksin rotavirus menimbulkan imunogenitas yang baik pada anak dan
efek samping yang rendah, di berikan sebelum usia 6 bulan dalam 2-3
kali pemberian dengan interval 4-6 minggu.
3) Langkah Promotif/Preventif
- Asi tetap diberikan
- Menjaga kebersihan peroangan, cuci tangan sebelum maka
- Menjaga kebersihan lingkungan, BAB di jamban
- Imunisasi campak
- Memberikan makanan penyapihan yang benar
- Penyediaan air minum bersih
- Makanan yang selalu dimasak secara adekuat
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selektra Kedokteran. 4 th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.

4. Diagnosis banding diare akut


Jawab :
Diagnosis banding pada pasien dengan kasus diare akut, yaitu (Gama,
2014) yaitu sebagai berikut :
 Diare cair akut
 Kolera
 Disentri
 Diare persisten
 Diare akibat antibiotik
 Invaginasi
Sumber :
Gama, H., Nataprawira, H. M. 2014. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. 5 th ed. Bandung : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

5. Patofisiologi diare akut


Jawab :
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan
osmotik (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan
osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan
elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul
diare). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin didinding
usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian menjadi diare.
Gangguan motilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik. Akibat dari
diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang
mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik dan
hypokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia
dan gangguan sirkulasi darah (Tim Adaptasi Indonesia, 2011).
Mekanisme terjadinya diare dan termaksut juga peningkatan sekresi
atau penurunan absorbsi cairan dan elektrolit dari sel mukosa intestinal dan
eksudat yang berasal dari inflamasi mukosa intestinal. Infeksi diare akut
diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare noninflamasi
dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitoksin di
kolon dengan manifestasi sindrom disentri dengan diare disertai lendir dan
darah. Gejala klinis berupa mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah,
tetenus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin
makroskopis ditemukan lendir dan atau darah, mikoroskopis didapati sek
lukosit polimakronuklear (Tim Adaptasi Indonesia, 2011).
Diare juga dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme, yaitu
peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri
menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebakan
terjadinya diare. Pada dasarnya, 12 mekanisme diare akibat kuman
enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa
kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitoksin.
Satu jenis bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut
untuk mengatasi pertahanan mukosa usus (Tim Adaptasi Indonesia, 2011).
Selama anak diare, terjadi peningkatan hilangnya cairan dan
elektrolit (natrium, kalium, dan bikarbonat) yang terkandung dalam tinja cair
anak. Dehidrasi terjadi jika hilangnya cairan dan elektrolit ini tidak diganti
secara adekuat, sehingga timbullah kekurangan cairan dan elektrolit. Selama
diare, penurunan asupan makanan dan penyerapan nutrisi dan peningkatan
kebutuhan nutrisi, sering secara bersama-sama mengakibatkan penurunan
berat badan dan berlanjut ke gagal tumbuh. Pada gilirannya, gangguan gizi
dapat mengakibatkan diare menjadi lebih parah, lebih lama dan lebih sering
terjadi, dibandingkan dengan kejadian diare pada anak yang tidak menderita
gangguan gizi (Tim Adaptasi Indonesia, 2011).
Sumber :
Tim Adaptasi Indonesia. 2011. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit,
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Tingkat Pertama di
Kabupaten/Kota. Jakarta : World Health Organization Indonesia.

6. Komplikasi diare akut


Jawab :
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan diare akut, yaitu
sebagai berikut (Arifputra, 2014) :
 Dehidrasi
 Gangguan elektrolit
 Penurunan berat badan
 Gagal tumbuh
 Diare yang lebih berat dan sering terjadi
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selektra Kedokteran. 4 th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.

7. Epidemiologi diare akut


Jawab :
Diare adalah penyakit yang berbasis lingkungan dan terjadi hampir
di seluruh daerah geografis di dunia. Diare lebih dominan menyerang balita
karena daya tahan tubuhnya yang masih kemah, sehingga sangat rentan
terhadap pemyebabaran bakteri penyebab diare. Diare yang disertai muntah
berkelanjutan akan mengakibatkan dehidrasi (kekurangan cairan) (Wibowo.
2019).
Setiap tahun diperkirakan 4 milyar kasus diare terjadi pada anak
balita di seluruh dunia. Angka mortalitas diare di dunia mencapai 11%
dengan kelompok paling berisiko adalah balita. Menurut World Health
Organization (WHO), tingginya angka mortalitas balita setiap tahunnya
diakibatkan oleh diare. Di Indonesia, setiap anak mengalami diare 2-8 kali
setiap tahunnya dengan rata-rata 3,3 kali. Data nasional Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa terdapat 100.000 balita
meninggal setiap jamnya, dan 1 balita meninggal setiap 5,5 menitnya. Pada
anak sekolah, kebiasaan mengkonsumsi jajanan secara bebas dan tidak
menerapkan etika sebelum makan yang baik seperti mencuci tangan dapat
menjadi penyebab anak terinfeksi diare (Fahira, 2021).
Berdasarkan survei morbiditas oleh Subit Diare Departemen
Kesehatan pada tahun 2000 sampai 2010, angka kejadian diare di Indonesia
cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 2000, kejadian diare terjadi
sebanyak 301/1000 penduduk, tahun 2003 meningkat menjadi 374/1000
penduduk, tahun 2006 meningkat menjadi 423/1000 penduduk, dan tahun
2010 menurun menjadi 411/1000 penduduk. Prevalensi pada anak balita
sebesar 3,5 % dan merupakan kelompok usia dengan penderita terbanyak
sebesar 10,2 % dan prevalensi diare pada anak sekolah sebanyak 52 dari 73
anak atau sebesar 71,2% (Fahira, 2021).
Sumber :
Fahira, N. N.M., Sihaloho, E. D., Siregar, A. Y. M. 202. Pengaruh Konsumsi
Air dan Keberadaan Fasilitas Sanitasi Terhadap Angka Diare
pada Anak-Anak di Indonesia. Jurnal Epidemiologi Kesehatan
Komunitas. Vol. 6 (2) : 286-292. Viewed on 15 Desember 2021.
From : ejournal2.undip.ac.id.
Wibowo, D., Hardiyanti., Subhan. 2019. Hubungan Dehidrasi dengan
Komplikasi Kejang pada Pasien Diare Usia 0-5 tahun di RSD
Idaman Banjarbaru. Dinamika Kesehatan Jurnal Kebidanan dan
Keperawatan. Vol. 10 (1) : 112-125. Viewed on 15 Desember
2021. From : ojs.dinamikakesehatan.unism.ac.id.

8. Klasifikasi infeksi gastrointestinal pada anak


Jawab :
Adapun klasifikasi infeksi gastrointestinal pada anak, yaitu sebagai
berikut :
a. Gastroenteritis
Gastroenteritis merupakan peradangan yang terjadi pada lambung
dan usus yang memberikan gejala diare dengan frekuensi lebih banyak dari
biasanya yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan parasit yang patogen.
Gastroenteritis terbagi menjadi dua berdasarkan mula dan lamanya, yaitu
Gastroenteritis akut dan Gastroenteritis kronis. Gastroenteritis akut atau
GEA adalah diare yang gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang dari 14
hari. Gastroenteritis juga merupakan kehilangan cairan dan elektrolit
secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi satu kali atau lebih buang
air besar dengan bentuk tinja yang encer dan cair (Sulastri, 2019).
Penyakit gastroenteritis dapat ditularkan dengan cara fekal-oral
melalui makanan dan minuman yang tercemar. Peluang untuk mengalami
diare antara anak laki-laki dan perempuan hampir sama. Diare cair yang
menyebabkan dehidrasi dan jika masukan makanan berkurang, juga
mengakibatkan kurang gizi bahkan kematian yang disebabkan oleh
dehidrasi. Gastroenteritis sering menyerang balita dan anak-anak karena
daya tahan tubuhnya yang masih lemah, sehingga dapat terkena bakteri
penyebab diare serta muntah berkelanjutan akan meningkatkan dehidrasi
(kekurangan cairan). Dehidrasi yang terjadi pada anak akan cepat menjadi
parah dan akan dapat menyebabkan kematian jika tidak ditangani dengan
pertolongan yang tepat dan cepat, dehidrasi akan semakin parah jika
ditambah dengan keluhan lainnya seperti mencret dan panas karena
kehilangan cairan tubuh lewat penguapan (Sulastri, 2019).
Kematian yang diakibatkan oleh penyakit gastroenteritis
penyebab kehilangan cairan dan nutrisi yang dibutuhkan oleh anak untuk
tubuh sehingga gastroenteritis mengakibatkan dehidrasi berat, penyakit ini
banyak terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun dan penyebab terbanyak
menyebabkan kematian. Penyebab gastroenteritis terbanyak yaitu infeksi.
Beberapa bakteri yang dapat menyebabkan penyakit ini antara lain bakteri
Escherichia coli, Salmonella, Shingella, Vibrio, Clostridia perfingens, dan
Staphylococcus. Pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, obat
yang paling banyak digunakan adalah antibiotik. Selain itu, dapat
disebabkan oleh non infeksi : Immunologik, psikologis, dan gaya hidup
(keracunan makanan). Pada anak dengan gastroenteritis ini menimbulkan
dampak. Dampak ini bisa berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain
karena penyakit gastroenteritis adalah penyakit yang menular. Dampak
yang ditimbulkan terhadap diri sendiri yaitu seperti terjadinya penurunan
nafsu makan, kelemahan, mual, dan muntah pada klien dan mengakibatkan
kerusakan integritas kulit akibat dari kehilangan cairan yang aktif (Sulastri,
2019).
b. Disentri
Disentri merupakan diare yang disertai darah, terutama
disebabkan oleh Shigella sp,, dan memerlukan antibiotik untuk
pengobatan. Disentri lebih lama sembuh dari diare akut cair dan dapat
menyebabkan komplikasi serius, seperti gangguan pertumbuhan dan risiko
kematian. Penyebab non-infeksi, antara lain invaginasi (gejala dominan
lendir dan darah, kesakitan dan gelisah, massa intra-abdominal dan
muntah), alergi susu sapi, gangguan hematologi seperti defisiensi vitamin
K, dan kelainan imunologis (penyakit Crohn, kolitis ulseratif) (Arifputra,
2014).
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selektra Kedokteran. 4 th ed. Jakarta :
Media Aesculapius.
Sulastri, S. 2019. Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Diagnosa
Gastroenteritis. Jurnal Ilmiah Cerebral Medika.Vol. 1 (12) :
Viewed on 30 Desember 2021. From : jurnal.akperkesdam-
padang.ac.id.

9. Definisi diare
Jawab :
Diare merupakan frekuensi pengeluaran dan kekentalan feses yang
tidak normal. Adapun menurut WHO diare yakni buang air besar yang lunak
atau cair dengan frekuensi 3 kali lebih atau lebih per hari. Biasanya
merupakan gejala pada gastrointestinal yang dapat disebabkan oleh berbagai
agen infeksi seperti bakteri, virus, dan parasite. Infeksi dapat menular dari
makanan yang terkontaminasi dan hygiene hygiene yang kurang (Arsurya,
2017).
Sumber :
Arsurya, Y., Rini, E. A., Abdiana. 2017. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu
tentang Penanganan Diare dengan Kejadian Diare pada Balita di
Keluruhan Korong Gadang Kecematan Kuranji Kota Padang.
Jurnal Kesehatan Andalas. Vol. 6 (2) : 452-456. Viewed on 28
Desember 2021. From : jurnal.fk.unand.ac.id.

10. Penyebab demam


Jawab :
Pirogen yang menyebabkan terjadinya demam. Demam bergantung
pada substansi pirogen maupun anti-pirogen dari berbagai substansi eksogen
(dari luar) dan endogen (dari dalam). Pirogen adalah substansi yang
mengakibatkan demam, baik dari bakteri/virus/jamr (eksogen) atau protein
yang dihasilkan oleh sel darah putih (endogen). Biasanya pirogen endogen
terstimulus dengan adanya pirogen eksogen. Jika pirogen tadi secara langsung
dan tidak langsung memicu terjadinya demam, maka kriogen mencegah
kenaikan suhu yang berlebihan. Ini adalah proses keseimbangan antara
pirogen dan kriogen yang berakibat pada respon tinggi dan durasi demam
sebagi rekasi dari pertahanan tubuh (Kapti, 2019).
Berdasarkan mekanismenya, pirogen akan memicu regulasi suhu
melalui dua jalur yaitu jalur humoral dan jalur persarafan. Jalur humoral yang
merupakan salah satu pertahanan tubuh, terjadi dengan melibatkan mediasi
antibodi, protein komplemen, dan peptida anti-mikroba yang berada di cairan
ekstrasel. Sedangkan jalur persarafan terjadi dengan melibatkan serangkaian
saraf yang saling terhubung bersamaan dengan adanya impuls listrik yang
terdapat diseluruh tubuh (Kapti, 2019).
- Jalur Humoral
Pada jalur ini, sinyal demam dibawa oleh komponen produk
mikroba (umunya dikenal dengan pathogen associated molecular oatterns
(PAMPS)) atau oleh sitokin pirogen. PAMPS yang bersirkulasi akan
berikatan dengan salah satu reseptor toll like receptors 4 (TLR-4) di
berbagai sel yang berperan dalam pertahanan tubuh dan akan mengaktifasi
TLR-4 yang terletak pada kapiler yang berhubungan dengan organ
ventrikel di sawar darah otak, lebih lanjut akan mengeluarkan
prostaglandin E2 (PEG2) dari jalur asam arakidonat yang terletak dalam
membran sitoplasma sel. Prostaglandin E2 sendiri merupakan molekul
kecil yang mudah berdifusi melewati sawar darah otak pada area preoptik
sehingga lebih lanjut mengaktifasi neuron termal pada hipotalamus
anterior/depan untuk meningkatkan set point suhu. Namun masih belum
jelas apakah benar produk mikroba memicu peningkatan suhu melalui
akses langsung ke otak atau masih melalui akses lain (Kapti, 2019).
Jalur humoral kedua berhubungan dengan sitokin pirogen yang
bersirkulasi. Sitokin ini akan mengirim sinyal demam menuju aliran
termoregulasi dengan melalui jalur langsung dan tidak langsung. Pada
jalur tidak langsung, sitokin pirogen bertindak diluar otak dengan
mengikat dan mengaktivasi reseptor sitokin yang terdapat di kapiler yang
berhubungan dengan organ yang memicu pengeluaran PGE2. Sedangkan
pada jalur langsung, sitokin yang bersirkulasi mampu menggangu sawar
darah otak yang ingin mendapatkan akses langsung menuju reseptor
sitokin yang berlokasi di pembuluh darha, struktur saraf dan glia (sel yang
mendukung dan melindungi saraf di sistem saraf pusat dan tepi) ti otak.
Hal ini membuat sintesis PGE2 lebih lanjut dan juga sintesis sitokin lebih
banyak oleh otak. Sitokin berasal dari kata sito (sel) dan kinos
(pergerakan) dan memiliki definisi molekul yang memberikan sinyal
kepada sel untuk membantu sel dalam berkomunikasi dalam respon
pertahanan tubuh dan menstimulasi pergerakan sel menuju tempat
peradangan, infeksi, dan otak. Sedangka priogenik sitokin adalah sitokin
yang menstimulus terjadinya peningkatan suhu tubuh, misalnya interleukin
1 (IL-1), interleukin 6 (IL-6), dan tumor necrosis factor-aplha. Walaupun
PGE2 masih menjadi dasar yang menyebabkan respon demam, beberapa
sitokin dan mediator inflamasi kemunginan mengaktifasi demam dan
mereka berdiri sendiri (tanpa OGE2 tetap mampu mengaktifasi kenaikan
suhu). Aktifasi sitokin dan mediator inflamasi yang berdiri sendiri ini
secara langsung mampu mengaktifasi saraf termal dan betanggungjawab
terhadap timbulnya hipertermia (Kapti, 2019).

- Jalur Persarafan
Sinyal demam didaerah perifer/tepi mampu melakukan komunikasi
dengan sistem saraf pusat (SSP) melalui saraf tepi seperti sensori kutenues
(di daerah kulit) dan saraf vagus yang merupakan saraf terbesar didalam
tubuh. Aktifasi jalur ini merupakan mekanisme terjadinya demam secara
cepat. Pembentukan PGE2 secara lokal pada tempat peradangan
berkontribusi terjadinya demam dengan cara mengaktifasi saraf kutaneus
yang sensitif terhadap dingin (cold-sensitive cutaneous nerves) yang mana
lebih lanjut akan mengirim sinyal demam menuju bagian otak yang
bertanggun jawab terhadap produksi termal. Sedangkan pengiriman dari
sinyal demam melalui saraf vagus lebih kompleks. Pirogen yang
bersirkulasi akan mengaktifasi komplemen dan produk komplemen
sehingga menstimulasi komplemen dan produk komplemen sehingga
menstimulasi sel Kupffer di hati dan memproduksi mediator endogen
termasuk sitokin pirogenik. Sitokin ini lebih lanjut akan mengaktifasi saraf
vagus dari percabangan organ hati dan lebih lanjut menstransmisi sinyal
demam menuju area sentra di saraf vagus didalam nucleus of tractus
solitarius (NST) yang terdapat di batang otak. Dari NST, sinyal berproses
menuju daerah preoptik dan hipotalamus melalui berkas noradrenergik
ventral yang menyebabkan pengeluaran norepinefrin (Kapti, 2019).
Sumber :
Kapti, R. E., Azizah, N. 2019. Perawatan Anak Sakit di Rumah. Malang : UB
Press.

11. Pemeriksaan lanjutan pada skenario


Jawab :
Pemeriksaan lanjutan pada pasien dengan kasus diare akut, yaitu
sebagai berikut (Gama, 2014) :
- Pemeriksaan feses rtuin
- Pemeriksaan makroskopik (warna, konsistensi, darah, lendir, nanah)
- Pemeriksaan mikroskopik (eritrosit, leukosit, telur cacing, ameba, lemak)
- Pada dehidrasi berat, perlu pemeriksaan laboratorium lebih lengkap seperti
darah rutin, elektrolit, dan analisis gas darah
Sumber :
Gama, H., Nataprawira, H. M. 2014. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. 5 th ed. Bandung : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

Anda mungkin juga menyukai