Anda di halaman 1dari 31

LEARNING OBJECTIVE

SKENARIO II
GANGGUAN PADA GINJAL
“Kencingku Merah”

NAMA : PUTRI ASWARIYAH RAMLI


STAMBUK : N 101 20 045
KELOMPOK :4

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2021/2022
Modul 2 : Gangguan Pada Ginjal

“Kencingku Merah”

Seorang anak laki-laki berumur 8 tahun dibawa oleh keluarganya ke IGD


RS Tadulako dengan keluhan kencing berwarna merah dan berbuih. Wajah,
tangan serta kaki anak tersebut juga tampak membengkak. Keluhan tersebut
dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Anak tersebut mudah lelah dan sampai saat ini
frekuensi buang air kecilnya mulai berkurang.

Pada pemeriksaan tanda vital menunjukkan suhu badan 36,7°C, nadi 80


x/m, frekuensi pernapasan 24x/m, dan tekanan darah 140/90 mmHg. Pada
pemeriksaan fisik, ditemukan edema pada kedua palpebra, adanya asites, dan
edema pada kedua tungkai. Pada pemeriksaan darah didapatkan hasil
hipoalbuminemia, hyperlipidemia, serta adanya proteinuria.

Dokter kemudian melakukan pemeriksaan penunjang lanjutan lainnya


untuk membantu menegakkan diagnosis. Dokter memberikan tata laksana secara
komprehensif meliputi terapi farmakologi, non farmakologi dan nutrisi yang
diperlukan pasien tersebut dan memberikan edukasi kepada pasien dan
keluarganya.

Learning Objective

1. Mampu menjelaskan anamnesa yang diperlukan dalam menangani kasus pada


skenario
2. Mampu menjelaskan dan membedakan tanda dan gejala pada gangguan
sindroma nefrotik, sindroma nefritik, dan Glomerulo Nefritis Akut Post
Streptococcus Infection (GNAPS)
3. Mampu menjelaskan epidemiologi kasus sindroma nefrotik, sindroma
nefritik, dan GNAPS
4. Mampu menjelaskan etiologi, faktor resiko, dan patofisiologi sindroma
nefrotik, sindroma nefritik, dan GNAPS
5. Mampu menjelaskan patofisiologi dari tanda dan gejala yang dialami pasien
sindroma nefrotik, sindroma nefritik, dan GNAPS
6. Menjelaskan pemeriksaan fisik pada kasus sindroma nefrotik, sindroma
nefritik, dan GNAPS
7. Menjelaskan parameter pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan gold
standar pada kasus sindroma nefrotik, sindroma nefritik, dan GNAPS
8. Mampu menjelaskan perbedaan gambaran histologi dari biopsy ginjal pada
sindroma nefrotik, sindroma nefritik, dan GNAPS
9. Mampu menjelaskan klasifikasi sindroma nefrotik
10. Mampu menjelaskan penatalaksanaan farmakologi dan nonfarmakologi pada
sindroma nefrotik, akut sindroma nefritik, dan GNAPS
11. Mampu menjelaskan pengaturan nutrisi pada diet pasien sindroma nefrotik,
sindroma nefritik, dan GNAPS
12. Mampu menjelaskan komplikasi dari sindroma nefrotik, sindroma nefritik,
dan GNAPS
1. Mampu menjelaskan anamnesa yang diperlukan dalam menangani
kasus pada skenario
Jawab :
Berdasarkan skenario di atas dapat diketahui bahwa pasien mengalami
kasus sindroma nefrotik. Adapun anamnesa dapat dilakukan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang sebagai
berikut (Garna, 2014).
a) Gambaran Klinis
Dari anamnesis akan di dapatkan bahwa pasien sindrom nefrotik datang
dengan edema yang progresif pada ekstremitas bawah, peningkatan berat
badan dan lemah, yang merupakan gejala tipikal pada sindrom nefrotik.
Selain itu juga dapat ditemukan urin berbusa. Pada kondisi yang lebih
serius, akan terjadi edema periorbital dan genital (skrotum), ascites, efusi
pleura. Jika terjadi bengkak hebat dan generalisata dapat bermanifestasi
sebagai anasarka. Kemudian dari pemeriksaan fisik akan di temukan
pretibial edema, edema periorbita, edema skrotum, edema anasarka,
ascites.
b) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan antara lain :
- Urin lengkap
- Protein kuantitatif urin
- Darah :
Darah rutin
Kadar albumin dan kolesterol plasma
Kadar ureum, kreatinin
Titer ASTO
Kadar komplemen C3, C4, ANA
Sumber :
Garna, H., Nataprawira, H. M. 2014. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. 5 th ed. Bandung : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
2. Mampu menjelaskan dan membedakan tanda dan gejala pada gangguan
sindroma nefrotik, sindroma nefritik, dan Glomerulo Nefritis Akut Post
Streptococcus Infection (GNAPS)
Jawab :
Adapun tanda dan gejala pada gangguan sindroma nefrotik, sindroma
nefritik, dan Glomerulo Nefritis Akut Post Streptococcus Infection
(GNAPS), yaitu sebagai berikut (Arifputra, 2014 ; Sanusi, 2019) :
A. Sindroma Nefrotik
1) Bengkak pada kedua kelopak mata, perut (asites), tungkai,
skrotum/labia, atau seluruh tubuh
2) Penurunan jumlah urin, kadang disertai keluhan urine keruh atau
berwarna kemerahan (hematuria)
3) Kadang ditemukan hipertensi
B. Sindroma Nefritik
1) Edema periorbital/edema di kaki
2) Hipertensi
3) Ronki basah halus (jika edema paru)
4) Peningkatan tekanan vena jugularis asites, atau efusi pleura
5) Ruam kulit
6) Pucat
7) Nyeri ketok costovertebral angle (CVA)
8) Pembengkakan sendi
C. Glomerulo Nefritis Akut Post Streptococcus Infection (GNAPS)
1) Oliguria
2) Edema
3) Hipertensi
4) Uremia dengan proteinuria, hematuria, dan ditemukan cast
5) Gejala sembab orbita dan kadang-kadang didapatkan kadang-kadang
didapatkan tanda-tanda sembab paru
6) Hematuria mikroskopik
7) Adanya infeksi Streptokokus sebelumnya
8) ASTO meningkat
9) LED meningkat
10) Leukosit meningkat
11) Ureum kreatinin meningkat
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. 4 th ed. Jakarta : Media
Aesculapius.
Sanusi, H., Umboh, A., Umboh, V. 2019. Analisis Laboratorium Anak
Glomerulus Nefrotik Akut Paska Streptokokus di Bangsal Anak
Prof. DR. R.D.Kandou Hospital. Jurnal Kedokteran Klinik. Vol. 3
(2). Viewed on 08 Februari 2022. From : ejournal.unsrat.ac.id.

3. Mampu menjelaskan epidemiologi kasus sindroma nefrotik, sindroma


nefritik, dan GNAPS
Jawab :
Berikut epidemiologi kasus sindroma nefrotik, sindroma nefritik, dan
GNAPS, yaitu sebagai berikut.
1) Sindroma Nefrotik
Insidensi sindrom nefrotik (SN) diperkirakan mencapai 2-5 kasus/tahun
tiap 100.000 anak usia <16 tahun. Insidensi di Indonesia diperkirakan 6
kasus/tahun tiap 100.000 anak usia <14 tahun. Sebagian besar SN pada
anak sekitar 85% memberikan respons terhadap pengobatan steroid (SN
sensitif steroid). SN sensitif steroid lebih sering terjadi pada anak laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan (2:1). Secara umum SN sensitif
steroid terjadi sebelum usia 8 tahun- terutama sebelum 6 tahun dengan
puncak kejadian pada usia 4-5 tahun (Garna, 2014).
2) Sindroma Nefritik
Menurut laporan akhir oleh Pusat Statistik Kesehatan Nasional, sindrom
nefritis, bersama dengan sindrom nefrotik, adalah penyebab utama
kemtian ke-9 di AS pada tahun 2017. Jumlah kematian gabungan yang
dilaporkan karena sindrom nefrastik, sindrom nefrotik, dan penyakit
ginjal adalah 50.633 dari total 2.815.503 kematian pada tahun 2017.
Tingkat kematian meningkat seiring bertambahnya usia. Kematian akibat
sindrom nefrastik dan nefrotik lebih tinggi pada wanita, dibandingkan
dengan pria menurut laporan tersebut. Pada wanita, itu adalah penyebab
utama kesembilan yang menyumbang 18% dari total kematian, sementara
pada pria, itu tidak dalam sepuluh penyebab teratas (Hashmi, 2021).
3) GNAPS
Glomerulonefritis akut yang paling sering terjadi pada anak du negara
berkembang adalah setelah infeksi bakteri streptokokus beta hemolitikus
grup A, yaitu Glomerulonefritis Akut Pasca Infeksi Streptokokus
(GNAPS). Resiko terjadinya nefritis 5% dari infeksi kuman streptokokus
beta hemolitikus grup A yang menyerang tenggorokan sampai 25% yang
mneyerang kulit (piderma) sedangkan tanpa melihat tempat infeksi risko
terjadinya nefritis 10-15%. Rasio terjadinya GNAPS padapria dibanding
wanita adalah 2:1. Penyakit ini terutama menyerang kelompok usia
sekolah 5-15 tahun, pada anak <2 tahun kejadiannya kurang dari 5%
(Sanusi, 2019).
Sumber :
Garna, H., Nataprawira, H. M. 2014. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. 5 th ed. Bandung : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
Hashmi, M.S., Pandey, J. 2021. Nephritic Syndrome. Treasure Island :
StatPearls Publishing.
Sanusi, H., Umboh, A., Umboh, V. 2019. Analisis Laboratorium Anak
Glomerulus Nefrotik Akut Paska Streptokokus di Bangsal Anak
Prof. DR. R.D.Kandou Hospital. Jurnal Kedokteran Klinik. Vol. 3
(2). Viewed on 08 Februari 2022. From : ejournal.unsrat.ac.id.

4. Mampu menjelaskan etiologi, faktor resiko, dan patofisiologi sindroma


nefrotik, sindroma nefritik, dan GNAPS
Jawab :
1) Etiologi
a) Sindroma Nefrotik
Secara umum, berdasarkan etiologinya, para ahli membagi SN
menjadi tiga kelompok, yaitu sebagai berikut (Amalia, 2018) :
 Sindroma Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) minimal change
disease (MCD). Ditemukan pada sekitar 80% kasus SN idiopatik.
Lebih dari 90% anak dengan SNKM berespon dengan terapi
kortikosteroid. Prognosis jangka panjang SNKM selama
pengamatan 20 tahun, menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal
ginjal terminal.
 Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS). Ditemukan pada 7-
8% kasus SN idiopatik, hanya 20% pasien dengan GSFS yang
berespon dengan terapi kortikosteroid, prognosis buruk. Pada
GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal selama pengamatan 5
tahun dan pada sebagain besar lainnya disertai penurunan fungsi
ginjal.
 Glomerulonefritis memrano-proliferatif (GNMP). Ditemukan 4-
6% dari kasus SN, sekitar 50% pasien dengan lesi histologis ini
berespon dengan terapi kortikosteroid, prognosis tidak baik.
 Lain-lain : proliferasi yang tidak khas.
b) Sindroma Nefritik
Sindrom nefritik adalah presentasi umum dari sebagian besar
glomerulonefrida proliferasi (GN). Sindrom nefritik dapat diakibatkan
oleh glomerulonefritis proliferatif akut (postinfectious dan infeksi
terkait), glomerulonefritis crescentic, dan proliferasi lupus
glomerulonefritis (Hashmi, 2021).
 Pada anak-anak, penyebab paling umum dari glomerulonefritis
akut adalah glomerulonefritis pasca-streptokokus. Onset
mendadak sindrom nephritic terjadi tujuh sampai sepuluh hari
setelah tenggorokan streptokokus atau 2-3 minggu setelah infeksi
kulit (impetigo). Patogen yang paling umum yang terlibat adalah
streptokokus hemolitik grup A-beta. Hanya beberapa strain yang
nefrifikasi. Lebih dari 90% pasien menunjukkan infeksi
sebelumnya dengan tipe 12, 4, dan 1 Streptococci. Ini
diidentifikasi dengan mengetik protein M dari dinding sel bakteri
(Hashmi, 2021).
 Bentuk glomerunefritis yang sama (terkait infeksi) dapat terjadi
dalam hubungan dengan infeksi tertentu, misalnya, infeksi bakteri
(meningococcemia, endokarditis staphylococcal, dan pneumonia
pneumokokus, dll). Infeksi virus (terutama hepatitis B, hepatitis C,
gondong, infeksi HIV, varicella, dan EBV yang menyebabkan
mononukleosis menular), dan infeksi parasit (malaria dan
toksoplasmosis) (Hashmi, 2021).
 Crescentic atau glomerulonefritis progresif cepat (RPGN) ditandai
dengan sindrom nefrastik yang menyajikan gambaran klinis gagal
ginjal akut yang tiba-tiba dan parah. Namun, RPGN tidak
memiliki etiologi tertentu. Hal ini dapat terjadi karena (Hashmi,
2021) :
- Penyakit anti-GBM yang dimediasi antibodi (misalnya,
sindrom goodpasture).
- Penyakit yang disebabkan oleh deposisi kompleks kekebalan
tubuh, dengan deposit granular antibodi dan dilengkapi dengan
imunofluoresensi. Ini hasil dari komplikasi dari salah satu
nephritides kompleks kekealan tubuh dan termasuk
glomerulonefritis postinfectious, nefritis lupus, nefropati igA,
dan Henoch Schönlein purpura.
- Pauci-imunne crescentic GN dapat dikaitkan dengan vaskulitis
sistemik atau ginjal.
- Pada lupus eritematosus sistemik (SLE, pasien dengan
peradangan glomerulus proliferasi fokalkal atau umum dapat
hadir dengan sindrom nefrastik.
c) GNAPS
Glomerulonefritis akut pasca streptokokus adalah penyakit glomerular
yang dimediase kompleks imun dengan aktivasi jalur komplemen
alternatif yang diakibatkan oleh infeksi faring atau kulit oleh B-
hemolytic streptococcus grup A sebelumnya (Umboh, 2018).
2) Faktor Resiko
a) Sindrom Nefrotik
Berbagai faktor telah diteliti dan dianggap merupakan risiko untuk
terjadinya kambuh pada penderita sindrom nefrotik sensitif steroid
(SNSS), yaitu sebagai berikut (Budiman, 2017) :
 Riwayat atopi
 Jenis human leucosyte antigen (HLA) tertentu
 Usia saat serangan pertama
 Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bagian atas oleh virus
yang menyertai atau mendahului terjadinya kambuh
b) Sindrom Nefritik
Meskipun penyebab umum dari Sindrom nefritik akut adalah GNAPS,
tetapi karena penyebabnya beragam, maka perlu dipikirkan diagnosa
diferensial yang lain. Pada penderita sindrom nefritik akut yang
memiliki gambaran klinis klasik GNAPS harus dibedakan dengan
penderita yang mempunyai gambaran klinis unusual GNAPS.
Gambaran klinis unusual tersebut adalah riwayat keluarga dengan
glomerunefritis, umur < 4 tahun dan > 15 tahun, memiliki riwayat
gejalan yang sama sebelumnya, ditemukan penyakit ekstrarenal
(seperti arthritis, rash, kelainan hematologi), ditemukan bukti bukan
infeksi kuman streptokokus dan adanya gejala klinis yang mengarah
ke penyakit ginjal kronis/CKD (anemia, perawakan pendek,
osteodistrofi, ginjal yang mengecil, atau hipertrofi ventrikel kiri
(Hashmi, 2021).
c) GNAPS
Insidensi GNA meningkat dalam kelompok sosio-ekonomi rendah.
Hal ini dihubungkan dengan status kebersihan yang buruk dan jarak
jauh dari lokasi pelayanan kesehatan. Glomerulonefritis akut dapat
terjadi pada semua rentang usia, tetapi lebih sering terjadi pada anak-
anak, terutama di usia 2-6 tahun, jarang terjadi pada anak-anak berusia
kurang dari 2 tahun dan lebih dari 20 tahun. Penyakit ini juga
didapatkan terjadi dua kali lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan (Umboh, 2018).

3) Patofisiologi
a) Sindrom Nefrotik
Diawali dengan suatu kelainan primer yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein. Hal tersebut
disebabkan oleh mekanisme yang kompleks, namun biasanya akibat
kerusakan sialoprotein pada membran basal glomerulus (yang
berfungsi menghasilkan muatan negatif). Proteinuria akan terus
berlangsung hingga mengakibatkan kadar protein dalam serum,
terutama albumin, menurun. Meski demikian, aliran darah ke ginjal
dan laju filtrasi glomerulus (LFG) tidak berkurang (Arifputra, 2014).
Secara histologis, kelainan pada glomerulus tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut (Arifputra, 2014).
 Minimal charge nephrotic syndrome (MCNC). Tipe paling sering
70-80%.
 Focal segmental glomerulosclerosis (GSGS), kejadian sekitar
10%. Tipe ini sering terjadi mendahului tipe MCNC.
 Nefropati membranosa (1%). Seringkali disebabkan oleh infeksi
sistemik : hepatitis B, sifilis, malaria, dan toksoplasmosis, maupun
obat-obatan.

Sindrom nefrotik kongenital adalah sindrom nefrotik yang terjadi


hingga 3 bulan pertama kehidupan. Dapat diakibatkan oleh pengaruh
genetik (aoutosomal resesif), atau sekunder akibat infeksi (sifilis,
hepatitis B), dan lupus eritematosa sistemik. Kadar albumin yang
menurun akan mengakibatkan penurunan tekanan onkotik plasma,
sehingga terjadi perpindahan cairan dari intravaskular ke interstitial,
yang secara klinis mengakibatkan edema anasrka. Edema pun terjadi
akibat penurunan volume darah efektif dan peningkatan reabsorpsi
natrium klorida pada tubulus yang selanjutnya mengaktifkan jaras
renin-angiotensin-aldosteton. Kadar lipid serum meningkat karena
kondisi hipoproteinemia akan menstimulasi sintesis lipoprotein di
hepar, sementara metabolisme lipid berkurang (Arifputra, 2014).

b) Sindrom Nefritik
Patofisiologi tergantung pada penyebab sindrom nefrastik. Pada
sindrom nefritik, ada gangguan struktural pada membran ruang bawah
tanah glomerulus. Glomerular filtration barrier (GFB) dibentuk oleh
meshwork laminin, proteoglycanc, dan kolagen tipe IV. Ini
memungkinkan penyaringan air dan zat terlarut kecil dan menengah.
Tiga lapisan penghalang filtrasi glomerulus adalah endotelium,
membran basement glomerulus (GBM), dan podosit. Podosit adalah
bagian dari lapisan visceral kapsul bowman, lapisan sel epitel
cuboidal yang mengubah dan membentuk ekstensi sitoplasma yang
membungkus membran ruang bawah tanah kapiler. Ini memiliki tubuh
sel, proses primer dan sekunder. Proses ini membentuk diafragma
seperti celah yang selektif untuk ukuran dan muatan zat yang
disaringnya. Pada sindrom nefritik, GFB dapat rusak oleh berbagai
mekanisme (Hashmi, 2021).
 Kerusakan langsung pada lapisan sel endotel
 Deposisi kompleks kekebalan tubuh diruang subendotel,
subepithelial, dan mesangial
 Gangguan membran basement glomerulus oleh penyakit sistemik
ginjal atau sekunder primer
 Kerusakan pada lapisan seluler podosit
Glomerulonefritis poststreptococcal terjadi setelah sakit tenggorokan
atau kulit impetigo oleh strain nefhritogenic dari strptokokus grup A.
Antibodi diproduksi terhadap antigen nefhritogenic dari streptokokus
grup A. kompleks kekebalan tubuh membentuk endapan di dalam atau
di sekitar membran ruang bawah tanah glomerulus. Ini mengaktifkan
kaskade komplemen yang menghasilkan perekrutan sel kekebalan
seperti sel T, sel plasma, dan makrofag. Kaskase koagulasi juga
diaktifkan, menghasilkan trombosis mikro (Hashmi, 2021).

Pasien RPGN memiliki prevalensi tinggi alel HLA tertentu, misalnya


HLA-DR 14 dan HLA-DR 4, menunjukkan kecenderungan genetik
untuk autoimunitas. Pada sindrom goodpasture, autoantibodi melawan
membran basement glomerulus (GBM) peptida dalam bagian
nonkolagen dari rantai a3 kolagen tipe IV. Mekanisme yang tepat
yang memicu pembentukan autoantibodi ini tidak jelas. Namun,
paparan virus atau pelarut hidrokarbon tertentu dalam cat pada
beberapa pasien. Beberapa obat juga dapat menyebabkan
autoantibodi. Selain itu, keganasa tertentu juga terlibat (Hashmi,
2021).

Henoch-Schönlein purpura (HSP) sering mengikuti infeksi saluran


pernapasan atas. Grup A streptococcus, virus parainfluenza, dan
parvovirus B19 umumnya terlibat dalam patogenesisnya.
Pengendapan IgA yang mengandung kompleks kekebalan di
mesangium memainkan peran sentral dalam patogenesis HSP. Ini
menginduksi proliferasi sel, perekrutan sel darah putih, dan pelepasan
sejumlah besar sitokin dan kemokin. Reaksi inflamasi menyebabkan
kerusakan endotel dan podosit (Hashmi, 2021).

Pada glomerulonefritis pauci-imun, sebagian besar pasien memiliki


antibodi sitoplasma anti-neutrofil (ANCA) yang menghasilkan pola
pewarnaan sitoplasma (c-ANCA) atau perinuklear (p-ANCA).
Mungkin ada komponen vaskulitida sistemik seperti granulomatosis
dengan polyangiitis (sebelumnya dikenal sebagai Wegener
granulomatosis) atau poliangiitis mikroskopis. Dalam banyak kasus,
vaskulitis terbatas pada ginjal (idiopatik), dan sekitar 90% pasien
idiopatik memiliki c-ANFA (khusus untuk protein protein butiran
neutrofil proteinase-3) atau p-ANFA (anti-neutrofil myeloperoxidase)
dalam serum. Potensi patogen antibodi ANCA telah ditetapkan baru-
baru ini dengan penelitian pada tikus di mana mentransfer antibodi
terhadap myeloperoxidase (antigen target dari sebagian besar p-
ANCA) menginduksi bentuk RPGN (Hashmi, 2021).

Gangguan penghalang filtrasi glomerulus pada sindrom nefhritic


memungkinkan sel darah merah, albumin, dan molekul besar untuk
disaring dalam urin yang mengakibatkan sindrom nefrastik. Sel darah
merah dismorfik - fitur hematuria glomerulus, astrosit, dan gips RBC
adalah patonomik glomerulonefritis. Rbc casts terbentuk ketika cacat,
dan terdistorsi sel darah merah dan sel darah putih terbungkus oleh
protein Tamm-Horsfall (THP). THP disekresikan oleh sel tubular
ginjal dan diekskresikan dalam urin secara normal (Hashmi, 2021).
c) GNAPS
Glomerulonefritis akut pasca streptokokus terdiri atas tiga fase yaitu
fase laten, fase akut, dan fase penyembuhan. Fase laten adalah fase
antara terjadinya infeksi streptokokus sampai munculnya gejala klinis.
Manifestasi klinis biasanya muncul 7-14 hari setelah infeksi saluran
napas atas atau 3-6 minggu setelah pioderma. Fase akut merupakan
fase dimana penderita mulai memperhatikan gejala sindrom nefritik
berupa proteinuria, hematuria, azotemia, oliguria, dan hipertensi. Fase
penyembuhan ditandai dengan perbaikan gejala klinis dan
laboratorium. Glomerulonefritis merupakan suatu istilah umum yang
dipakai untuk menjelaskan berbagai macam penyakit ginjal yang
mengalami proliferasi dan inflamasi di glomerulus akibat suatu proses
imunologis (Umboh, 2018). Istilah glomerulonefritis akut pasca
infeksi termasuk grup yang besar dari glomerulonefritis akut sebagai
akibat dari bermacam-macam agen infeksi. Pada glomerulonefritis
pasca infeksi, proses inflamasi terjadi dalam glomerulus yang dipicu
oleh adanya reaksi antigen antibodi, selanjutnya menyebabkan aktifasi
lokal dari sistem komplemen dan kaskade koagulasi. Kompleks imun
dapat terjadi dalam sirkulasi atau in situ pada membran basalis
glomerulus (Sanusia, 2019).
Sumber :
Amalia, T.Q. 2018. Aspek Klinis, Diagnosis, dan Tatalaksana Sindroma
Nefrotik pada Anak. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika. Vol. 1
(2). Viewed on 09 Februari 2022. From : jknamed.com.
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. 4 th ed. Jakarta : Media
Aesculapius.
Budiman, A., Hilmanto, D., Garna, H. 2017. Musim Hujan Sebagai Faktor
Risiko Kambuh pada Anak Penderita Sindrom Nefrotik Sensitif
Steroid. Majalah Kedokteran Bandung. Vol. 43 (3) : 112-116.
Viewed on 09 Februari 2022. From : unpad.ac.id.
Hashmi, M.S., Pandey, J. 2021. Nephritic Syndrome. Treasure Island :
StatPearls Publishing.
Sanusi, H., Umboh, A., Umboh, V. 2019. Analisis Laboratorium Anak
Glomerulus Nefrotik Akut Paska Streptokokus di Bangsal Anak
Prof. DR. R.D.Kandou Hospital. Jurnal Kedokteran Klinik. Vol. 3
(2). Viewed on 08 Februari 2022. From : ejournal.unsrat.ac.id.
Umboh, V., Umboh, A. 2018. Gambaran Klinis Glomerulonefritis AKut pada
Anak di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal Biomedik.
Vol. 10 (3) : 185-189. Viewed on 09 Februari 2022. From :
ejournal.unsrat.ac.id.
5. Mampu menjelaskan patofisiologi dari tanda dan gejala yang dialami
pasien sindroma nefrotik, sindroma nefritik, dan GNAPS
Jawab :
a) Hipertensi
Hipertensi tidak menjadi keluhan utama pasien untuk datang berobat
tetapi hipertensi biasanya nanti bisa dideteksi pada saat pasien yang
bersangkutan menjalani perawatan lanjutan di Rumah Sakit atau Fasilitas
Kesehatan. Hipertensi pada Sindrom Nefrotik bersifat multifaktorial
dengan mekanisme yang kompleks dimana faktor faktor yang terkait
meliputi faktor Intrarenal seperti: Albuminuria, Retensi Natrium, Aktivasi
RAAS (Renin Angiotensin Aldosteron System) dan Penurunan LFG (Laju
Filtrasi Glomerulus). Kortikosteroid juga melalui beberapa mekanisme
mempengaruhi tekanan darah pada anak dengan Sindrom Nefrotik.
Mekanisme tersebut yaitu: meningkatkan aktivitas Plasma Renin, dan
Meningkatkan responsivitas otot halus pembuluh darah terhadap
Angiotensinogen II (Suwontopo, 2020).
b) Proteinuria
Ada tiga jenis proteinuria yaitu glomerular, tubular dan overflow.
Kehilangan protein pada sindrom nefrotik termasuk dalam proteinuria
glomerular. Proteinuria pada penyakit glomerular disebabkan oleh
meningkatnya filtrasi makromolekul melewati dinding kapiler
glomerulus. Hal ini sering diakibatkan oleh kelainan pada podosit
glomerular. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus
mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein.
Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul dan yang
kedua berdasarkan muatan listriknya. Pada sindrom nefrotik kedua
mekanisme tersebut terganggu.proteinuria dibedakan menjadi selektif dan
non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin.
Protein selktif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil
mialnya albumin, sedangkan yang non-selektif apabila protein yang
keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin (Setiati,2017).
c) Hipoalbuminemia
Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-
200 mg/kg) dan jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang
dikatabolisme. Katabolisme secara dominan terjadi pada ekstrarenal,
sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus proksimal ginjal setelah
resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik,
hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam
urin yang berlebihan dan peningkatan katabolisme albumin. Hilangnya
albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada kejadian
hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan
satu-satunya penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju sintesis
albumin dapat meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu
dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui urin (Setiati, 2017).
d) Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada
sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang
pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan
oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan
merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler
glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria
dan hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi
vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi
hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati
dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian
timbul edema (Setiati, 2017).
e) Oliguria
Patofisiologi oliguria dapat melibatkan proses prerenal, renal, dan post
renal. Penyebab prerenal tersering adalah penurunan aliran darah ke
ginjal, misalnya akibat dehidrasi atau gagal jantung. Penyebab renal
oliguria akan mencetuskan cedera tubular, misalnya pada kasus
glomerulonefritis. Sementara itu, pada penyebab post renal, produksi
urine normal namun terdapat obstruksi dari jalur pengeluaran urine
(Setiati, 2017).
f) Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan
penjelasan antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang
merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein.
Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar
lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak
dari plasma. Beberapa peningkatan serum lipoprotein yang di filtrasi di
glomerulus akan mencetuskan terjadinya lipiduria sehingga adanya
temuan khas oval fat bodies dan fatty cast pada sedimen urin (Setiati,
2017).
g) Hematuria
Kerusakan pada dinding kapiler gromelurus mengakibatkan
hematuria/kencing berwarna merah daging dan albuminuria (Setiati,
2017).
Sumber :
Setiati, S. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 th ed. Jakarta : Interna
Publishing.

6. Menjelaskan pemeriksaan fisik pada kasus sindroma nefrotik, sindroma


nefritik, dan GNAPS
Jawab :
Berikut merupakan pemeriksaan fisik pada kasus sindroma nefrotik,
sindroma nefritik, dan GNAPS (Amalia, 2018; Ariputra, 2014 ; Umboh,
2018 ;
1) Sindroma Nefrotik
Ditemukan edema yakni penimbungan cairan dalam jaringan, terlihat
pada daerah yang memiliki resistensi rendah, seperti kelopak mata, tibia,
dan skrotum.
2) Sindroma Nefritik
- Tanda-tanda kelebihan cairan: edema periorbital/ edema di kaki.
hipertensi, ronki basah halus ijika ada edema paru), peningkatan
tekanan vena jugularis. asites, atau efusi pleura.
- Cari tanda-tanda seperti ruam kulit, pucat, nyeri ketok costovertebral
angle (CVA), pembengkakan sendi.
- Pemeriksaan neurologis yang tidak normal, gangguan kesadaran.
3) GNAPS
Secara klinis diagnosis GNAPS dapat ditegakkan jika dijumpai edema
pada daerah periorbital, wajah, ektremitas, bahkan seluruh tubuh.
Biasanya edema terjadi secara mendadak dan terlihat pertama kali pada
daerah orbital terutama saat bangun di pagi hati dan menghilang di sore
hari setelah penderita melakukan aktivitas.
Sumber :
Amalia, T.Q. 2018. Aspek Klinis, Diagnosis, dan Tatalaksana Sindroma
Nefrotik pada Anak. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika. Vol. 1
(2). Viewed on 09 Februari 2022. From : jknamed.com.
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. 4 th ed. Jakarta : Media
Aesculapius.
Suwontopo, M.l., Umboh, A., Wilar, R. 2020. Analisis Hubungan Angka
Kejadian, Gambaran Klinik, dan Laboratorium Anak dengan
Sindrom Nefrotik Resisten Steroid di RSUP Prof.Dr.R.D. Kandou
Manado. Jurnal Kedokteran Klinik. Vol 4(1). Viewed on 09
Februari 2022. From: ejournal.unsrat.ac.id.
Umboh, V., Umboh, A. 2018. Gambaran Klinis Glomerulonefritis AKut pada
Anak di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal Biomedik.
Vol. 10 (3) : 185-189. Viewed on 09 Februari 2022. From :
ejournal.unsrat.ac.id.
7. Menjelaskan parameter pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
gold standar pada kasus sindroma nefrotik, sindroma nefritik, dan
GNAPS
Jawab :
Berikut merupakan pemeriksaan penunjang pada sindrom nefrotik,
sindroma nefritik, dan GNAPS (Aripfutra, 2014 ; Garna, 2014).
a) Sindroma Nefrotik
- Pemeriksaan proteinuria : dipstik (≥ 2)), urinalisis, serta urine
tampung 24 jam. Dianjurkan untuk mengambil sampel urine pagi hari
untuk pengukuran protein total dan kreatinin. Sugestif sindrom
nefrotik apabila rasio protein terhadap kreatinin > 0,5.
- Pemeriksaan kadar elektrolit serum, BUN, kreatinin, protein total,
albumin, dan kolesterol.
- Pengukuran steroptozyma, C3, C4`, dan ANA jika dicurigai sindrom
nefrotik sekunder.
b) Sindroma Nefritik
- Darah perifer lengkap, hipoalbuminemia, fungsi hati, profil lipid,
elektrolit, gula darah, hemostasis.
- Urinalisis (proteinuria, albuminuria, hematuria, sedimen urin), urin
dipstick.
- Protein urin kuantitatif 24 jam.
- Pemeriksaan titer ANA, AntidsDNA, C3, C4, HbSAg, Anti HCV,
Anti HIV.
- Elektroforesis protein apabila dicurigai meloma multipel
- Biopsi ginjal untuk diagnosis pasti
c) GNAPS
Untuk menunjang diagnosis klinis, dilakukan pemeriksaan laboratorium
berupa ASTO meningkat, dan C2 menurun, dan pemeriksaan lain yang
menunjukkan terdapat eritrosit cast, hematuria dan proteinuria. Diagnosis
pasti ditegakkan jika biakan (+) untuk streptokokus B hemolitikus grup A.
Sumber :
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. 4 th ed. Jakarta : Media
Aesculapius.
Garna, H., Nataprawira, H. M. 2014. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. 5 th ed. Bandung : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

8. Mampu menjelaskan perbedaan gambaran histologi dari biopsy ginjal


pada sindroma nefrotik, sindroma nefritik, dan GNAPS
Jawab :
a) Sindroma Nefrotik
Terjadi penurunan volume plasma dan atau sepsis menyebabkan nekrosis
tubulur akut. Terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan kompresi
tubulus ginjal. Terjadinya mekanisme glomerulosklerosis dan fibrosis
tubulointerstisium (Setiati, 2017).
b) Sindroma Nefritik
 Glomerulonefritis poststreptococcal: Gambar mikroskop cahaya
menunjukkan bahwa glomeruli membesar secarafus dengan
proliferasi endocapillary dan infiltrasi neutrofil. Mikroskop
imunofluoresensi menunjukkan "pola langit yang jalak" karena
deposisi granular "kental" subepithelial igg dan C3. Mikroskop
elektron akan menunjukkan deposit kekebalan subepithelial "kental".
Deposito mesangial juga dapat dilihat pada beberapa pasien
(Hashmi, 2021).
 Glomerulonefritis Staphylococcal: Mayoritas pasien memiliki
glomerulonefritis endokapillary fokal dengan oklusi kapiler perifer
karena proliferasi sel endotel dan infiltrasi neutrofil. Jumbai kapiler
dapat menunjukkan nekrosis. Deposit kekebalan subepithelial
"kental" terlihat. Beberapa pasien, glomerulonefritis proliferasi
mesangial (juga disebut glomerulonefritis membranoproliferative
atau MPGN) dapat dilihat dengan proliferasi mesangial yang
ditandai dan endapan kekebalan granular dalam membran bawah
tanah (Hashmi, 2021).
 Glomerulonefritis Sabit: Bulan sabit dibentuk oleh proliferasi sel
epitel di lapisan parietal kapsul Bowman. Makrofag, eksudat fibrin,
fibroblas, produk pelengkap dapat dilihat terperangkap dalam
mesangium dan ruang kapsul Bowman. Selain itu, fitur lain dari lesi
spesifik gangguan dapat dilihat pada penyakit yang berbeda
(Hashmi, 2021).
- Sindrom Goodpasture, ada deposisi linear antibodi IgG dan C3
di sepanjang GBM.
- Nefritis lupus memiliki "pola rumah penuh" dengan IgG, IgM,
IgA, deposit kekebalan C3 hadir secarafus di mesangium, sub
epitel, dan sub-endotelium.
- Antibodi anti-GBM atau kompleks kekebalan tubuh tidak
terdeteksi oleh imunofluoresensi dan mikroskop elektron dalam
glomerulonefritis sabit pauci-imun. Vaskulitis dapat dilihat pada
biopsi ginjal.
c) GNAPS
Kelainan ginjal pada GN akut disebabkan oleh pembentukan kompleks
imun yang terdeposisi di glomerulus. Selain pada glomerulonefritis pasca
infeksi streptokokus, pencetus pasti pembentukan kompleks imun
belumlah diketahui dengan jelas (Arifputra, 2014).
- Pada kelainan glomerulus primer, sel mesangial dan sel epitel
glomerulus mengekspresikan epitop yang menyerupai protein
imunogenik yang dibuat di tempat lain dalam tubuh.
- Pada GN infeksi, bakteri, virus, atau parasit dapat secara langsung
menginfeksi ginjal dengan menciptakan antigen sendiri.
- Pada penyakit inflamasi sistemik, proses inflamasi meluas ke ginjal
menyebabkan jejas glomerulus sekunder. Pada sindrom Goodpasture,
target dari antigen adalah kolagen.
Pada glomerulonefritis akut terjadi perubahan struktural dan fungsional.
Perubahan struktural yang terjadi dapat bersifat fokal atau global serta
difus atau segmental (Arifputra, 2014).

 Proliferasi sel (endotel, mesangial, dan sel epitel). Proliferasi dapat


terjadi endokapiler (dalam kapiler glomerulus) atau ekstrakapiler
(dalam ruang Bowman).
 Proliferasi leukosit, ditandai dengan adanya neutrofil dan monosit
dalam lumen glomerulus.
 Penebalan membran basal glomerulus.
 Hialinisasi atau sklerosis, menandakan jejas sudah ireversibel.
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. 4 th ed. Jakarta : Media
Aesculapius.
Garna, H., Nataprawira, H. M. 2014. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. 5 th ed. Bandung : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
Hashmi, M.S., Pandey, J. 2021. Nephritic Syndrome. Treasure Island :
StatPearls Publishing.
Setiati. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 th ed. Jakarta : Interna
Pubslihing.

9. Mampu menjelaskan klasifikasi sindroma nefrotik


Jawab :
Berdasarkan histologi sindroma nefrotik dapat diklasifikasikan, sebagai
berikut (Garna, 2014) :
a. Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
b. Sindrom nefrotik kelainan nonminimal (SNKNM), seperti :
 Glumerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
 Glumerulonefritis proliferatid mesangial (GNPM)
 Glomerulonefritis membrano proliferatif (GNMP)
 Glomerulopati membranosa (GM)
Sumber :
Garna, H., Nataprawira, H. M. 2014. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. 5 th ed. Bandung : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

10. Mampu menjelaskan penatalaksanaan farmakologi dan nonfarmakologi


pada sindroma nefrotik, akut sindroma nefritik, dan GNAPS
Jawab :
Berikut tatalaksana farmakologi dan non farmakologi pada sindroma
nefrotik, akut sindroma nefritik, dan GNAPS (Arifputra, 2014 ; Garna,
2014 ; Hashmi, 2021).
A. Sindroma Nefrotik
1) Tatalaksana Farmakologi
 Kombinasi diuretik : lopp diuretic dan tiazid. Biasanya diberikan 2
kali sehari.
 Penghambat ACE atau ARB sebagai antiproteinuria.
 Statin untuk hiperlipidemia.
2) Tatalaksana Non Farmakologi
 Diet
 Asupan protein0,8 g/KgBB/hari ditambah dengan eksresi protein
dalam urin selama 24 jam. Jika fungsi ginjal menurun, asupan
protein diturunkan menjadi 0,6 g/KgBb/hari ditambah dengan
ekskresi protein dalam urin selama 24 jam.
 Restriksi cairan untuk membantu mengurangi edema.
 Hindari obat-obatan yang nefrotoksik (OAINS, antibiotik
golongan aminoglikosida, dan sebagainya.

B. Akut Sindroma Nefritik


1) Tatalaksana Farmakologi
 Antihipertensi : Anti-hipertensi diberikan pada pasien dengan
tekanan darah tinggi, pembatasan cairan, dan diuretik loop. Dalam
kasus yang parah, hipertensi diobati dengan inhibitor ACE, ARB,
dan nifedipine.
 Diuretik : Diuretik loop dapat diberikan untuk mengeluarkan
kelebihan natrium dan air yang disimpan dalam tubuh.
Berkurangnya beban cairan pada ginjal membantu mempercepat
proses penyembuhan.
 Kortikosteroid : Membantu meringankan peradangan di ginjal dan
meningkatkan penyembuhan.
 Imonomodulator : Obat imunosupresif mengurangi dan memblokir
efek antigenik dari agen penginduksi. Hal ini paling berguna untuk
glomerulonefritis progresif cepat. Penggunaan kortikosteroid dan
imunomodulator kontroversial dalam penyebab tertentu dari
sindrom nefhritik, termasuk endokarditis staphylococcal. Hal ini
dapat memperburuk sepsis dan mengakibatkan peningkatan
mortalitas.
 Antibiotik : Pasien pasca streptokokus GN dengan bukti infeksi
streptokokus diberikan penisilin. Eritromisin lebih disukai untuk
pasien yang alergi terhadap penisilin. Pengobatan dini infeksi
streptokokus dengan antibiotik mengurangi keparahan dan
kejadian glomerulonefritis.
 Dialisis : Dalam beberapa kasus, penyakit ini memiliki
fulminating yang menyebabkan gagal ginjal. Dalam kasus seperti
itu, terapi penggantian ginjal dengan dialisis dilakukan.
2) Tatalaksana Non Farmakologi
 Pembatasan diet : Pasien harus memiliki diat rendah sodium dan
kalium. Berkurangnya asupan natrium dan kalium membantu
mengurangi retensi air.
 Pembatasan cairan : Untuk meringankan edema yang ada dan
meminimalkan risiko mengembangkan edema, pembatasan cairan
disarankan.
 Istirahat : Pasien disarankan untuk mengurangi aktivitas fisik
bersama dengan proses perawatan.

C. GNAPS
1) Tatalaksana Farmakologi
 Antibiotik
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering
dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik jika biakan
hapusa tenggorokan atau kulit (+) untuk streptokokus, sedangkan
pihak lain memberikannya secara rutin dengan alasan biakan (-)
belum dapat menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan (-) dapat
terjadi oelh karena telah mendapat antibiotik sebelum masuk
rumah sakit atau akibat periode laten yang terlalu lama (> 3 mgg).
Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan untuk
eradikasi kuman, yakni amoksisilin 50 mg/khBb dibagi dalam 3
dosis selama 10 hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan
penisilin, dapat diberi eritromisisn dosis 30 mg/kgBB/hr.
 Simtomatik
- Bendungan sirkulasi
Hal yang paling penting dalam menangani sirkulasi adalah
pembatasan cairan, dengan kata lain asupan harus sesuai
dengan keluaran.
- Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada

hipertensi ringan dengan istirahat cukup dan pembatasan

cairan yang baik, tekanan darah dapat kembali normal dalam

waktu 1 mgg. Pada hipertensi sedang atau berat tanpa tanda-


tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3–2 mg/kgBB/hr) atau

furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat tersebut

di atas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi

nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25–0,5 mg/kgBB/hr

yang dapat diulangi setiap 30–60 mnt bila diperlukan. Pada

hipertensi berat atau hipertensi dengan gejala serebral

(ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002–0,006

mg/kgBB) yang dapat diulangi hingga 3× atau diazoksid 5

mg/kgBB/hr secara i.v. Kedua obat tersebut dapat digabung

dengan furosemid (1–3 mg/kgBB).

- Gangguan ginjal akut (GgGA)


Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan
dan pemberian kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat.
Bila terjadi asidosis harus diberi natrium bikarbonat dan bila
terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau kayeksalat
untuk mengikat kalium.
2) Tatalaksana Non Farmakologi
 Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai penyuliy yang
biasanya timbul dalam mgg pertama perjalanan penyakit GNAPS.
 Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Jika edema
berat, diberikan makanan tanpa garam, sedangkan jika edema
ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hr. protein
dibatasi jika kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5 -1
g/kgBB/hr. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik,
terutama pada penderita oliguria atau anuria, yakni jumlah cairan
yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan
cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25 ml/kgBB/hr) +
jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal
(10 ml/kgBB/hr). Setiap kenaikan suhu tubuh 1 ditambah 12%.
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. 4 th ed. Jakarta : Media
Aesculapius.
Garna, H., Nataprawira, H. M. 2014. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. 5 th ed. Bandung : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
Hashmi, M.S., Pandey, J. 2021. Nephritic Syndrome. Treasure Island :
StatPearls Publishing.

11. Mampu menjelaskan pengaturan nutrisi pada diet pasien sindroma


nefrotik, sindroma nefritik, dan GNAPS
Jawab :
a) Sindroma Nefrotik
Karena adanya mekanisme retensi natrium pada sindrom nefrotik, maka
beberapa literatur merekomendasikan diet natrium yang dibatasi agar
kurang dari 3 gram/hari dan diet cairan < 1500 ml/hari. Diet rendah garam
diberikan untuk menurunkan derajat edema dan sebaiknya kurang dari
35% kalori berasal dari lemak untuk mencegah obesitas selama terapi
steroid dan mengurangi hiperkolesterolemia. Pasien disarankan untuk
istirahat, retriksi asupan protein dengan diet protein 0,8 gram/kgBB/hari
serta ekskresi protein urin/24 jam dan jika fungsi ginjal menurun maka
diet disesuaikan hingga 0,6 gram/kgBB/hari disertai ekskresi protein
dalam urin/24 jam kemudian diet rendah kolesterol (Amalia, 2018).
b) Sindrome Nefritik
Pasien harus memiliki diat rendah sodium dan kalium. Berkurangnya
asupan natrium dan kalium membantu mengurangi retensi air (Hashmi,
2021).
c) GNAPS
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Jika edema berat,
diberikan makanan tanpa garam, sedangkan jika edema ringan, pemberian
garam dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hr. protein dibatasi jika kadar ureum
meninggi, yaitu sebanyak 0,5 -1 g/kgBB/hr. Asupan cairan harus
diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita oliguria atau anuria,
yakni jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran,
berarti asupan cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25
ml/kgBB/hr) + jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari
normal (10 ml/kgBB/hr). Setiap kenaikan suhu tubuh 1  ditambah 12%
(Garna, 2014).
Sumber :
Amalia, T.Q. 2018. Aspek Klinis, Diagnosis, dan Tatalaksana Sindroma
Nefrotik pada Anak. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika. Vol. 1
(2). Viewed on 09 Februari 2022. From : jknamed.com.
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. 4 th ed. Jakarta : Media
Aesculapius.
Garna, H., Nataprawira, H. M. 2014. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. 5 th ed. Bandung : Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
Hashmi, M.S., Pandey, J. 2021. Nephritic Syndrome. Treasure Island :
StatPearls Publishing.

12. Mampu menjelaskan komplikasi dari sindroma nefrotik, sindroma


nefritik, dan GNAPS
Jawab :
Berikut merupakan komplikasi dari sindroma nefrotik, sindroma
nefritik, dan GNAPS (Arifputra, 2014 ; Hashmi, 2021; Umboh, 2018) :
1) Sindroma Nefrotik
c. Infeksi termasuk selulitis, peritonitis bakterialis sponta (2-6%)
d. Tromboemboli (1,8 – 5%)
e. Gagal ginjal
f. Pada kasus SN jangka panjang, telah dilaporkan komplikasi
kardiovaskular pada anak.
2) Sindroma Nefritik
a. Gagal ginjal akut
b. Perkembangan ke RPGN
c. Hipertensi yang tidak terkontrol
d. Azotemia
e. Hiperkalemia
f. Hiperfosfatemia
g. Hipokalsemia
h. Gagal jantung
i. Ensefalopati hipertensi muncul sebagai kejang dan kesadaran yang
berubah
3) GNAPS
a. Hipertensi ensefalopati
b. Edema paru
c. Posterios leukoencephalopathy syndrome
d. Gangguan ginjal akut
Sumber :
Arifputra, A., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. 4 th ed. Jakarta : Media
Aesculapius.
Hashmi, M.S., Pandey, J. 2021. Nephritic Syndrome. Treasure Island :
StatPearls Publishing.
Umboh, V., Umboh, A. 2018. Gambaran Klinis Glomerulonefritis AKut pada
Anak di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal Biomedik.
Vol. 10 (3) : 185-189. Viewed on 09 Februari 2022. From :
ejournal.unsrat.ac.id.

Anda mungkin juga menyukai