Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

SINDROM NEFROTIK

Disusun Oleh:

Darwin Manuel 112019161

Pembimbing:

dr. Elfrieda Simatupang., Sp. A.

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER UNIVERSITAS KRISTEN


KRIDA WACANA

PERIODE 05 JULI 2021 – 07 AGUSTUS 2021


BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik adalah manifestasi klinis atau sekumpulan gejala dari


penyakit glomerulurus yang berhubungan dengan proteinuria berat. protein uria
didefinisikan sebagai proteinuria >3,5 g dalam 24 jam atau protein urin: rasio
kreatinin >2. Terdapat tiga serangkaian temuan klinis yang berhubungan dengan
sindroma nefrotik yang timbul dari kehilangan protein dalam jumlah besar melalui
urin adalah hipoalbuminemia, edema, dan hiperlipidemia. Sindrom nefrotik banyak
terjadi pada anak-anak (1-3 per 100.000 anak dibawah usia 16 tahun). Apabila anak
dengan sindrom nefrotik tidak segera diobati atau tidak ditangani dengan tepat maka
risiko kematian juga sangat tinggi. Sindrom nefrotik diyakini dapat merespon sekitar
80 % terapi dengan menggunakan kortikosteroid, meskipun terapi glukokortikoid
merupakan terapi standar untuk penyakit sindrom nefrotik.1

Sindrom nefrotik juga merupakan bagian dari penyakit ginjal yang umum dan
penyakit ginjal kronis yang penting pada anak-anak. Menurut kriteria International
Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) : Anak dikategorikan menderita
sindrom nefrotik apabila terdapat protein uria masif lebih dari 40 mg/m2/jam,
hipoalbuminemia kurang dari 2,5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia lebih dari 200
mg/dL. Hal ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas melalui membran basal
yang rusak di glomerulus ginjal terutama infeksi atau tromboemboli. Kelainan ini
merupakan hasil dari kelainan permeabilitas glomerulus primer yang dikaitkan
spesifik terhadap organ ginjal atau sekunder akibat dari infeksi kongenital, diabetes,
lupus eritematosus sistemik, neoplasia atau penggunaan obat-obat tertentu.2,3

Gangguan sindrom nefrotik ini dapat mempengaruhi semua orang-orang dari


segala kelompok usia. Pada kebanyakan anak-anak, tanda pertama dari sindrom
nefrotik ini ialah ditandai dengan pembengkakan wajah. Pada orang dewasa biasanya
pasien akan datang dengen edema dependen.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Sindrom nefrotik pada pediatrik juga dikenal sebagai nefrosis, yang


didefinisikan oleh adanya proteinuria masif, edema, hiperlipidemia, dan
hipoalbuminemia. Proteinuria pada orang dewasa ditandai dengan ekskresi protein 3,5
gram atau lebih per hari. Namun, karena ukuran tubuh yang besar pada anak-anak,
definisi protenuria rentang nefrotik jauh lebih rumit. Proteinuria pada anak adalah
ekskresi protein lebih dari 40 mg/m2/jam. Karena pengumpulan urin 24 jam
berpotensi tidak dapat diandalkan dan membebani, terutama pada anak kecil banyak
ahli nefrologi lebih menggunakan dan mengandalkan sampel urin tunggal pertama
pada pagi hari untuk mengukur ekskresi protein dengan rasio protein terhadap
kreatinin.4

Penggunaan sampel urin pertama pada pagi hari bertujuan untuk


menghilangkan kontribusi protenuria ortostatik yang berpotensi nonpatologis, dan
mungkin secara keliru meningkatkan kadar protein dalam sampel urin saat pasien
aktif pada siang hari. Nilai protein/kreatinin urin lebih dari 2-3 mg menunjukkan
proteinuria dan berkolerasi dengan hasil urin yang dikumpulkan dalam waktu 24 jam.
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan dari temuan klinis yang merupakan hasil dari
kehilangan protein yang masif di ginjal. Dengan demikian, sindrom nefrotik bukanlah
penyakit itu sendiri, tetapi bermanifestasi dari banyak penyakit glomerulus yang
berbeda. Penyakit ini dapat bersifat akut dan sementara, seperti glomerulonefritis
pasca infeksi, atau kronis dan progresif pada glomerulosklerosis segmental fokal.4

ETIOLOGI

Etiologi sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga yaitu kongenital, primer atau
idiopatik dan sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus
sistemik, purpura Henoch Schonlein dan lain-lain. Sementara menurut beberapa para
ahli, etiologi pasti masih belum diketahui, keberhasilan awal dalam mengendalikan
nefrosis dengan obat-obat “imunosupresif” memberi kesan bahwa penyakit ini
diperantarai oleh mekanisme imunologis, tetapi bukti adanya mekanisme jejas
imunologis yang klasik belum ada.5,6
Umumnya berdasarkan etiologinya, para ahli membagi menjadi tiga kelompok
kongenital, idiopatik, dan sekunder akibat penyakit. Kebanyakan anak sekitar 90%
anak menderita bentuk sindrom nefrotik idiopatik. Berdasarkan histopatologis yang
tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop
elektron. Churg dkk, membagi sindrom nefrotik menjadi 4 golongan yaitu: (1).
sindroma nefrotik kelainan minimal (SNKM) / minimal change diseases (MCD).
Ditemukan pada sekitar 80 % kasus sindrom nefrotik idiopatik dan lebih dari 90%
anak berespon dengan terapi kortikosteroid. Prognosis jangka panjang selama
pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4-5 % pasien menjadi gagal ginjal terminal.
(2) Glomerusklerosis fokal segmental (GSFS). Ditemukan pada 7-8 kasus sindrom
nefrotik kasus SN idiopatik, hanya 20% pasien dengan GSFS yang berespon dengan
terapi kortikosteroid, prognosis buruk. Pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal
dalam pengamatan 5 tahun dan disertai dengan penurunan fungsi ginjal. (3)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) ditemukan pada sekitar 4-6%
kasus, sekitar 50 % pasien berespon dengan terapi kortikosteroid, dengan prognosis
buruk. (4). lain-lain dengan proliferasi yang tidak khas.6

EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, sindrom nefrotik pada anak sebesar 20 kasus per 1 juta
anak. Sekitar 80-90% kasus sindrom nefrotik pada dewasa merupakan sindrom
nefrotik primer atau idiopatik. Angka kejadian pada anak secara global berkisar 2-7
kasus per 100.000 anak dibawah usia 18 tahun. Laki-laki dilaporkan lebih sering
terkena sindrom nefrotik dibangikan dengan perempuan pada kelompok usia yang
lebih muda. Setelah usia remaja sudah tidak ada perbedaan signifikan antara jenis
kelamin mana yang lebih rentan mengalami sindrom nefrotik.7

Di Indonesia data epidemiologi sindrom nefrotik masih terbatas. Berdasarakan


hasil studi pada tahun 2011-2014, dari 64 pasien anak dengan sindrom nefrotik
idiopatik yang berkunjung ke poliklinik anak RSUP Farmawati, didapatkan rentang
usia rata-rata pasien adalah 3 tahun, dengan rasio jenis kelamin laki-laki dan
perempuan sebesar 1,4:1. Sebagian besar kasus datang dengan keluhan edema
(95,3%) dan 75% mengalami hipertensi dan 67,2 % berespon baik terhadap terapi
kortikosteroid.8
PATOFISIOLOGI

Kapiler dari glomerulus dilapisi oleh endotel yang terletak di membran basal
glomerulus, yang ditutupi oleh epitel glomerulus atau podosit yang menyelubungi
kapiler dengan ekstensi seluler. Prosesnya berinterdigitasi dengan sambungan sel-sel
khusus yang disebut celah diafragma yang bersama-sama membentuk filter dari
glomerulus. Biasanya, protein yang besar (lebih dari 69 kD) dikeluarkan dari filtrasi.
Penghancuran podosit pada masa kritis juga dapat menyebabkan keruskan glomerulus
yang ireversibel. Proteinuria yang lebih dari 85% albumin adalah proteinuria selektif.
Albumin memiliki muatan negatif bersih dan hilangnya muatan negatif membran
glomerulus bisa menyebabkan albuminuria.3

Proteinuria

Terjadinya proteinuria merupakan karakteristik dari sindrom nefrotik idiopatik


(SNI) yang dipercaya para ahli punya hubungan dengan sistem imun atau kekebalan.
Proteinuria akan menyebabkan penurunan kadar albumin yang bersirkulasi, dengan
kejadian awal proteinuria belum diketahui, namun bukti kuat menunjukkan bahwa
SNI setidaknya sebagian, memiliki patogenesis imun. Efek glukokortikoid dalam
menginduksi remisi pada SNI berimplikasi pada sistem imun, dan khususnya limfosit
T dalam patogenesis kondisi tersebut. Glukokortikoid bekerja melalui jalur transkripsi
faktor nuklear kappa B memiliki berbagai efek, termasuk menghambat produksi
sitokin dan menghambat produksi dan proliferasi sel T.4

Beberapa penelitian lanjut telah memberikan bukti keterlibatan peran sel T


dalam SNI. Pasien dengan SNI dalam remisi memiliki perubahan pada jalur NF-
kB(nuclear factor kappa B) dibandingkan dengan subyek kontrol yang sehat. Selain
itu, sindrom nefrotik telah dilaporkan juga menyerang pasien dengan limfoma
Hodgkin yaitu penyakit sel T. Selain sel T, laporan remisi pada SNI setelah
pengobatan dengan rituximab, antibodi monoklonal anti-CD20 yang mengakibatkan
penipisan total limfosit B, melibatkan peran sel B dalam patogenesis INS.4

Faktor sirkulasi diyakini juga berperan dalam perkembangan proteinuria pada


SNI. Peran ini dapat ditunjukkan oleh perkembangan proteinuria yang cepat dalam
kekambuhan sindrom nefrotik setelah transplantasi ginjal, peningkatan sindrom
nefrotik pada pasien tersebut setelah pengobatan plasmapheresis dan induksi
eksperimental proteinuria. Contoh lainnya juga dilaporkan berkembangnya sindrom
nefrotik pada bayi baru lahir dari ibu yang juga menderita sindrom nefrotik, terjadinya
perpindahan faktor terlarut dari ibu ke anak saat intrauterin.4

Defek glomerulus primer yang berperan dalam terjadinya protenuria pada


sindrom nefrotik. Fungsi ginjal yang paling penting ialah dengan memfiltrasi darah
oleh glomerulus, dimana menyebabkan ekskresi cairan dan produk sisa, dan
menyisakan protein di darah dan selum sel darah dalam vaskular. Proses filtrasi
dilakukan oleh barier filtrasi glomerulus yang tersusun oleh sel endotel, basal
membran glomerulus dan sel epitel glomerulus (podosit). podosit yang banyak akan
saling terhubung dan membentuk diafragma. Kerusakan filtrasi glomerulus terjadi
karena ada gangguan pada membran basal glomerulus dan cedera podosit, dalam hal
ini terjadi retraksi dan pemerataan tonjolon podosit atau disebut foot process.
Kerusakan dari proses ini menyebabkan induksi terhadap respon inflamasi yang
memicu terjadinya peningkatan permeabilitas membran filtrasi glomerulus terhadap
protein dan hilangnya muatan negatif sehinga dapat terjadinya proteinuria.4,9

Basal membran glomerulus memiliki proteoglikan heparin sulfat yang


bermuatan negatif menyebabkan molekul bermuatan negatif relatif sulit dilewati
dibandingkan molekul bermuatan positif dengan ukuran yang sama. Pada keadaan
sindrom nefrotik terjadi kehilangan muatan negatif pada basal membran basalis.
Dalam keadaan sindrom nefrotik, proteinuria terjadi karena meningkatnya filtrasi
makromolekul melewati dinding kapiler dari glomerulus karena kelainan dari podosit
glomerular. Sementara, dalam keadaan normal membran basal glomerulus
mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah terjadinya kebocoran protein,
mekanisme ini berdasarkan ukuran dari molekul yang lewat. 4,9

Hipoalbuminemia

Pada saat dalam keadaan normal, jumlah produksi albumin sama dengan
jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara dominan terjadi pada ekstrarenal,
sementara 10% lainnya dikatabolisme pada tubulus proksimal ginjal setelah resorpsi
albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien dengan sindom nefrotik, hipoalbuminemia
merupakan salah satu manifestasi klinis dari hilangnya protein dalam urin yang
berlebih akibat peningkatan katabolisme albumin.10

Hipoalbuminemia disebabkan akibat proteinuria yang masif dengan penurunan


tekanan onkotik plasma. Untuk mencegah itu dan mempertahankan tekanan onkotik,
maka organ hati akan berusaha mengkompensasi dengan meningkatkan sistesis dari
albumin. Namun, peningkatan sintesis albumin dari organ hati berujung pada
ketidakmampuan hati dalam meningkatkan sintesis albumin untuk mengkompensasi
kehilangan albumin dalam urin.10

Edema

Edema adalah gejala yang paling umum terjadi pada anak-anak dengan
sindrom nefrotik, mesikipun kehadirannya universal ada ketidakpastian mengenai
mekanisme yang tepat terhadap pembentukan edema. Terdapat dua hipotesis luas
yang berkembang terkait manifestasi klinis edema pada sindrom nefrotik. Hipotesis
pertama ialah teori underfill yang mengatakan bahwa tekanan onkotik yang rendah
sebagai akibat kadar albumin serum yang rendah (hipoalbuminemia) menyebabkan
ekstravasasi air plasma ke dalam ruang interstisial serta terjadi retensi natrium dan air
di ruang ekstraseluler. Sebaliknya teori overfill menunjukkan bahwa proteinuria
menyebabkan terjadinya peningkatan natrium dengan demikian resorpsi air terjadi di
tubulus.1,11

Teori klasik edema dengan hipotesis underfill disetujui oleh para ahli sebagai
teori yang logis. Teori hipotesis underfill didasarkan pada fakta bahwa proteinuria
menyebabkan penurunan tingkat protein plasma dengan penurunan yang sesuai pada
tekanan onkotik intravaskular. Hal ini menyebabkan terjadinya kebocoran air plasma
ke interstitium, menghasilkan edema. Selain edema penurunan tekanan onkotik
plasma juga dapat menyebabkan turunnya volume intravaskular (hipovolemia).
mekanisme ini akan merangsang renin-angiotensi-aldosteon, sehingga aldosteron
dihasilkan oleh kelenjar supra renal dan menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus. Oleh karena itu, retensi natrium dan air terjadi sebagai akibat dari penurunan
volume intravaskuler.1,4

Hipotesis lainnya yaitu teori overfill mengatakan bahwa sindrom nefrotik


berhubungan dengan retensi natrium primer, dengan ekspansi volume berikutnya dan
kebocoran kelebihan cairan ke interstitium. Terjadi karena ada defek primer pada
nefron distal dan menyebabkan ekskresi natrium menurun dan terjadi retensi natrium.1

Hiperlipidemia
Tingkat lipid yang meningkat adalah gambaran umum dari sindrom nefrotik.
Setiap subtipe konsentrasi lipoprotein dapat meningkat. Kadar lipoprotein yang
mengandung apoliprotein (apo)-B meningkat termasuk very low density lipoprotein
(VLDL) intermediate density lipoprotein (IDL), low density lipoprotein (LDL), dan
lipoprotein, dengan hasil peningkatan kolesterol total dan kolesterol LDL diikuti
tingkat high-density lipoprotein (HDL) dalam kadar normal atau rendah. Peningkatan
trigliserida terjadi dengan hipoalbuminemia berat. Teori sederhana terjadinya
hiperlipidemia pada sindrom nefrotik adalah karena terjadinya peningkatan sinstesis
lipoprotein yang menyertai peningkatan sintesis albumin hati karena
hipoalbuminemia.4

MANIFESTASI KLINIS

Edema merupakan gejala klinis yang menonjol pada anak-anak dengan


sindroma nefrotik, dilaporkan mencapai 40% daripada berat badan dan didapatkan
edema anasarka. Pada fase awal edema bersifat intermiten, awalnya hanya tampak
pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misalnya
daerah periorbita, skrotum dan labia) dan berakhir edema menyeluruh dan masif.
Edema akan berpindah seiring terjadinya perubahan posisi, misalnya pada pagi hari
sering didapatkan bengkak pada daerah wajah dan bengkak pada daerah ekstremitas
pada siang hari. Karakteristik dari bengak ini bersifat lunak, meninggalkan bekas
apabila ditekan (pitting edema). sindrom nefrotik pada awalnya mungkin dapat salah
didiagnosis sebagai gangguan alergi karena pembengkakan yang berkurang sepanjang
hari, dan sering waktu edema akan menjadi umum, diikuti anoreksia, sakit perut, dan
diare sering terjadi. Gambaran penting dari manifestasi klinis sindrom nefrotik
kelainan minimal adalah tidak adanya hipetensi dan hematuria kotor.1,6

DIAGNOSIS

Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala


proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai dengan hiperkolesterol
atau hiperlipidemia. Protein urin masif adalah kadar proteinuria didapatkan
(>40mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu >2mg/,g atau dipstik ≥ 2+), sedangkan hipoalbuminemia adalah kadar
albumin dalam darah (<2,5 g/dl). Edema penimbunan cairan dalam jaringan, terlihat
pada daerah yang mempunyai resistensi rendah, dan hiperlipidemia dengan
didapatkan kadar kolesterol dalam darah (>200mg/dL). Ureum dan kreatinin
umumnya normal kecuali didapatkan adanya penurunan fungsi ginjal. Bila terjadi
hematuria mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular.12

Untuk menunjang dan menegakkan diagnosis diperlukan beberapa


pemeriksaan penunjang antara lain: (1) urinalisis dengan biakan urin hanya dilakukan
bila didapatkan gejala klinis yang mengarah pada infeksi saluran kemih. (2) protein
urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
pertama pagi hari. (3). pemeriksaan darah, pemeriksaan darah tepi lengkap dengan
melihan (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit, dan
LED), pemeriksaan albumin dan kolesterol serum, pemeriksaan ureum dan kreatinin
serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau rumus Schwartz, dan kadar komplemen
C3 bila dicurigai lupus eritematosus sistemik dan ditambah dengan komplemen C4,
ANA (anti nuclear antibodyi) dan anti ds-DNA.13

TATALAKSANA

Pengobatan sindrom nefrotik mengalami perubahan dari masa ke masa.


Sebelum tahun 1965 tatalaksana dan terapi sindrom nefrotik tidak ada kesamaan dari
negara ke negaram bahkan dalam satu kota dari rumah sakit satu ke lainnya berbeda.
Dalam hal ini tidak ada kesamaan dalam skema dosis ataupun lama terapi dari
pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid. Studi grup internasional
Intenational Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) mempublikasikan dan
menemukan bahwa sindrom nefrotik pada anak dengan pengobatan kortikosteroid
jangka pendek mempunyai tingkat penyembuhan yang tinggi. Pada pemberian dosis
2 mg/kgBB selama 2 minggu, 80% pasien sudah masuk fase remisi. Rekomendasi
ISKDC adalah 4 minggu pertama diberikan prednison 60mg/m2 atau 2mg/kgBB tiap
hari dilanjutkan dengan 40mg/m2 atau 1.5 mg/kgBB secara alernating atau
intermiten.13

Tatalaksana Umum

Anak dengan manifestasi klinis sindrom nefrotik pertama kali, sebaiknya


dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengatur diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid dan edukasi
orangtua. Sebelum memulai pengobatan steroid, lakukan pemeriksaan dan
pengukuran berat badan, tinggi badan, tanda-tanda vital, pemeriksaan untuk mencari
tanda penyakit sistemik seperti lupus eritematosus sistemik, purpra Henoch-
Schonlein, mencari tanda-tanda infeksi, dan melakukan uji Mantoux.14,6

Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena


hanya akan menambah beban kerja glomerulus unutuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein dan menyebabkan sklerosis, diit rendah protein juga akan
menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Oleh sebab itu, diberikan diit protein
normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgBB/hari.
Diit rendah garam (1-2 g/hari) diperlukan selama anak menderita edema.14,6

Diuretik digunakan sebagai restriksi cairan yang dianjurkan selama terjadi


edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgBB/hari,
bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat
kalium) 2-4 mg/kgBB/hari. Untuk pemberian diureik singkirkan terlebih dahulu
kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu
pemantauan elektrolit dan natrium darah.14

Pemberian diuretik yang tidak berhasil mungkin disebabkan karena


hipovolemia atau hipoalbuminemia yang berat (≤ 1g/dL), berikan infus albumin 20-
25% dengan dosis 1g/kgBB selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan
insterstisial dan akhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. Opsional
dapat diberikan plasma 20 ml/kgBB/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit. Apabila
ditemukan adanya asistes berat hingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan
pungsi asites berulang. Skema pemberian diuretik utuk mengatasi edema lihat pada
gambar 1.14,6

Gambar 1. Algoritma pemberian diuretik15


Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan kortikosteroid > 2mg/kgBB/hari
selama lebih dari 14 hari merupakan pasien imunokompromais. Dalam hal ini 6
minggu setelah obat dihentikan pasien boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV
(inactivated polio vaccine). Setelah penghentian terapi prednison selama 6 minggu
dapat diberikan vaksin virus hidup seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua
anak dengan sindroma nefrotik sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi, terutama
infeksi pneumokokus dan varisela.14

Terapi Inisial

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik tanpa kontraindikasi steroid
adalah diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari sesuai dengan
anjuran ISKDC (dosis maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi untuk menginduksi
remisi. Dosis dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi
badan). Prednison dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Apabila terjadi
remisi dalam 4 minggu pertama dapat dilanjutkan 4 minggu kedua dengan dosis 40
mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgBB/hari, secara pemberian selang sehari,
1x sehari setelah makan pagi. Apabila dalam 4 minggu kedua tidak terjadi remisi,
dinyatakan sebagai pasien resisten steroid.14
Gambar 2. Terapi inisial kortikosteroid14
Tabel 1. istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan SN.6

Gambar 3. Skema pengobatan inisial dan relaps pada SN13

Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps


Pada kasus ini dapat diberikan prednison dosis penuh sampai remisi
(maksimal 4 minggu) dan dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu.
Pasien sindrom nefrotik remisi yang kembali mengalami proteinuria > ++ tanpa
edema, sebelum diterapi kembali, terlebih dahulu dicari penyebab atau pemicunya
yang bisa berasal dari infeksi saluran napas atas. Diagnosis relaps ditegakkan apabila
sejak awal ditemukan proteinuria > ++ disertai edema, dan dapat dimulai dengan
pemberian prednison.14

Gambar 3. Pengobatan sindrom nefrotik relaps

Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering atau Dependen Steroid

Terdapat 4 opsi pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen


steroid diberikan pemberian steroid jangka panjang, levamisol, sitostatik, dan
siklosporin atau mikofenolat mofetil sebagai opsi terakhir. Selain itu, perlu dicari
fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang telinga tengah, atau
kecacingan. Sebuah penelitian juga menemukan bahwa pasien dengan status gizi yang
buruk akan lebih sering mengalami kekambuhan, juga tingkat protein dan albumin
serum yang rendah menjadi faktor risiko sering terjadinya kekambuhan.14,16

1. Pemberian Steroid Jangka Panjang

Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah
remisi dengan prednison penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgBB secara
alternating. Dosis kemudian diturunkan perlahan dan bertahap 0,2 mg/kgBB setiap 2
minggu. Penurunan dosis dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan
relaps yaitu antar 0,1 - 0,5 mg/kgBB alternating dan dosis ini disebut dosis threshold
dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, dan dapat coba dihentikan.14

Bila relaps terjadi terjadi pada dosis prednison antara 0,1-0,5mg/kgBB


alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgBB dalam dosis
terbagi selama setiap hari sampai terjadi remisi. Apabila terjadi remisi prednison
diturunkan menjadi 0,8 mg/kgBB secara alternating, kemudian diturunkan 0,2
mg/kgBB setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgBB) saat terjadi relaps yang
sebelumnya atau yang terakhir.14

Untuk relaps yang terjadi pada dosis prednison >0,5 mg/kgBB alternating,
tetapi masih <1 mg/kgBB alternatif tanpa efek samping, kombinasikan dengan
levamisol selang sehari 2,5 mg/kgBB selama 4-12 bulan, atau dapat langsung
diberikan siklofosfamid (CPA). Siklofosfamid diberikan 2-3mg/kgBB/hari selama 8-
12 minggu apabila terjadi relaps pada dosis rumatan > 1mg/kgBB alternating atau
dosis rumat <1 mg/kgBB namun disertai efek samping steroid berat, pernah relaps
dengan gejala berat antara lain hipovolemia,trombosis dan sepsis.14

2. Levamisol

Levamisol efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol diberikan 2,5


mg/kgBB dosis tunggal, selang sehari selama 4-12 bulan. Efek samping dari obat ini
ialah mual muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.14

3. Sitostatika

Obat sitostatika yang paling banyak digunakan pada anak sdengan sindrom
nefrotik adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid diberikan
peroral dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal,baik secara intravena
atau puls. Dosis CPA puls diberikan 500-750 mg/m 2LPB, yang dilarutkan dalam 250
ml NaCL 0,9% selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis dengan interval 1
bulan dengan total durasi 6 bulan. Efek samping dari obat ini ialah mual muntah,
depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, serta pemakaian
jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Pantau ketat dan rutin melakukan
pemeriksaan darah tepi setiap 1-2 kali seminggu. Hentikan pemakaian obat apabila
didapatkan leukosit <3.00/uL, Hb <8g/dL, trombosit <100.000/uL.14

Toksisitas dari CPA pada gonad dan keganasan apabila dosis total sudah
mencapai >200-300 mg/kgBB. Dosis oral selama 3 bulan pada anak mempunyai dosis
total 180 mg/kgBB, dan dosis ini aman bagi anak-anak. Klorambusil diberikan
dengan dosis 0,2-0,3 mg/kgBB/hari selama 8 minggu. Namun terbatas dan jarang
diberikan karena toksisitas dan efek samping berupa kejang dan infeksi.14

4. Siklosporin (CyA)
Terapi menggunakan obat digunakan apabila pasien dengan sindrom nefrotik
idiopatik tidak responsif terhadap pengobatan steroid atau sitostatik. Dosis anjuran
diberikan 4-5 mg/kgBB/hari (100-150 mg/m2 LPB). dosis tersebut dapat
mempertahankan kadar siklolsporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada kasus
sindrom nefrotik sering relaps atau dependen steroid, CyA dapat mempertahankan
periode remisi, sehingga steroid dapat dikurangi atau dihentikan, namun apabila CyA
dihentikan, biasanya dapat relaps kembali.14

5. Mikofenolat mofetil (MMF)

Pada sindrom nefrotik sensitif steroid tidak memberikan respons dengan


levamisol atau sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800-
1200 mg/m2LPB atau 25-30 mg/kgBB bersamaan dengan penurunan dosis steroid
selama 12 - 24 bulan.14

Pengobatan Sindrom Nefrotik dengan Kontraindikasi Steroid

Apabila didapatkan tanda dan gejala kontraindikasi steroid, misalnya tekanan


darah tinggi, peningkatan ureum kreatinin, infeksi berat, maka dapat diberikan
sitostatik CPA oral atau puls. CPA dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3
mg/kg/BB/hari dengan dosis tunggal, mau secara intravena atau puls CPA oral
diberikan selama 8 minggu. Dosis CPA puls 500-750 mg/m 2 LPB yang dilarutkan
dalam 250ml NaCL 0,9%, selama 2 jam. CPA diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan (total durasi CPA puls selama 6 bulan).14

Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid

Sampai saat ini terapi terhadap resistensi steroid masih belum memuaskan.
Sebelum memulai terapi, sebaiknya pasien dengan resistensi steroid dilakukan biopsi
ginjal guna melihat gambaran patologi anatomi, karena gambarannya akan
menpengaruhi prognosis.14

1. Siklofosfamid (CPA)

Beberapa laporan menyebutkan pemberian CPA secara oral pada resistensi


steroid dapat menimbulkan remisi. Namun apabila terjadi relaps dapat dicoba
pemberian prednison lagi karena dilaporkan dapat menjadi sensitif kembali. Namun,
apabila pada steroid dosis penuh tidak terjadi remisi atau masih resisten terhadap
steroid, dapat diberikan siklosporin.(lihat gambar 4).13,14

2. Siklosporin (CyA)

CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20% dari 60 pasien
dan remisi parsial 13%. Namun, efek samping CyA seperti hipertensi, hiperkalemia,
hipertikosis, hipertrofi gingiva, dan sifatnya nefrotoksik (menimbulkan
tubulointerstisial) maka harus dilakukan pemantauan ketat terhadap kadar CyA dalam
darah (dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL), kadar kreatinin darah berkala,
biopsi ginjal setiap 2 tahun.14

Gambar 4.Tatalaksana sindrom nefrotik resisten steroid14

3. Metilprednisolon puls

Pada tahun 1990, Medoza dkk. melaporkan bahwa pengobatan sindrom


nefrotik resisten steroid dengan metilprednisolon puls selama 82 minggu + prednison
oral atau siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Dosis metilprednisolon 30
mg/kgBB (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 ml glukosa 5%, selama 2-4
jam.14

4. Obat Imunosupresif lain

Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada sindrom


nefrotik resisten steroid adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil.
Karena dalam laporan dalam literatur obat ini masih sporadik, maka obat ini belum
direkomendasikan di Indonesia.14

KOMPLIKASI

Berbagai komplikasi sistemik umumnya terkait dengan sindrom nefrotik, hal


ini dianggap karena akibat dari kelebihan produksi protein hati dan hilangnya protein
dengan berat molekul rendah dalam urin. Berikut adalah beberapa komplikasi yang
dapat terjadi pada sindroma nefrotik.9

1. Trombosis vena

Trombosis vena merupakan salah satu komplikasi yang penting dari sindrom
nefrotik, tetapi angka kejadian dan risikonya sebenarnya juga masih sulit ditentukan
karena heterogenitas manifestasi klinis dan penyebab sindrom nefrotik. Tempat yang
paling umum dari trombosis vena adalah pada vena dalam pada tungkai bawah,
meskipun dapat juga terjadi pada vena ginjal dan menyebabkan emboli paru.17

2. Infeksi

Infeksi bakteri, terutama selulitis, adalah komplikasi potensial dari sindrom


nefrotik. Saat ini tidak ada data yang mendukung kejadian infeksi sebagai komplikasi
dan belum ada pedoman mengenai terapi antibiotik profilaksis pada orang dewasa
atau anak dengan sindrom nefrotik.18

3. Gagal Ginjal

Cedera ginjal akut dianggap sebagai komplikasi yang jarang terjadi, namun
hal ini terjadi secara bersamaan dengan sindrom nefrotik bila disebabkan oleh faktor
yang sama menyebabkan edema dan proteinuria. Meskipun cedera ginjal akut jarang
terjadi pada sindrom nefrotik, tes fungsi ginjal, kuantifikasi proteinuria, serum kimia,
dan profil lipid harus rutin diperiksa (menilai fungsi ginjaL dan hiperlipidemia).19

4. Gangguan Metabolisme Kalsium dan Tulang


Vitamin D yang terikat pada protein akan dieksresikan bersama melalui urin
sehingga terjadi penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25 (OH)2D plasma
juga ikut menurun, sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan.9

PROGNOSIS

Sebagian besar anak dengan sindrom nefrotik yang responsif terhadap steroid
mengalami kekambuhan berulang, namun umumnya akan menurun frekuensinya
seiring bertambahnya usia anak. Anak-anak yang merespon dengan cepat steroid dan
tidak mengalami kekambuhan selama 6 bulan pertama biasanya jarang mengalami
relaps. Penting untuk diedukasi kepada keluarga bahwa anak yang responsif terhadap
steroid tidak akan berkembang menjadi penyakit ginjal kronis, dan penyakit ini jarang
turun temurun dan bahwa anak akan tetap subur (dengan tidak adanya terapi
sikofosfamid berkepanjangan).1

Anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid, paling sering disebabkan oleh
Glomerusklerosis fokal segmental (FSGS), umumnya memiliki prognosis lebih buruk.
Anak-anak mengalami insufisiensi ginjal progresif yang pada akhirnya menyebabkan
penyakit ginjal yang berujung membutuhkan dialisis rutin bahkan tranplantasi ginjal.1

BAB III

PENUTUP

Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit


glomerular yang ditandai dengan proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan
hiperlipidemia. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengakkan
diagnosa sindroma nefrotim adalah urinalisa dan pemeriksaan darah. Terapi dan
tatalaksana sindroma pada anak meliputi pengaturan diet, pemberian diuretik, dan
immunosupresan seperti steroid yang bertujuan untuk menginduksi remisi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kliegman, Stanton, Geme St, Schor. Nelson textbook of pediatrics 20th ed.vol.1.
Philadelphia:Elsevier Saunders.2016

2. Albar H, Bilondatu F. Profile of pediatric nephrotic syndrome in Wahidin


Sudirohusodo Hospital, Makassar, Indonesia. CDK-274.2019;46(3).

3. Tapia C, Bashir K. Nephrotic syndrome. United States:Stat Pearls.2020.

4. Lane JC. Pediatric nephrotic syndrome.2020. Diunduh dari


https://emedicine.medscape.com/article/982920-overview#a2. 09-07-2021

5. Prabowo AY. Nephrotic syndrome in children. Medula.2014;2(4).

6. Amalia TQ. Aspek klinis, diagnosis dan tatalaksana sindroma nefrotik pada anak.
Jurnal Kedokteran Nanggroe Media.2018;1(2).

7. Kerlin BA, Ayoob A, Smoyer WE. Epidemiology and Pathophysiology of


Nephrotic Syndrome Associated Thromboembolic Disease. Clin J Am Soc Nephrol.
2012; 7(3)

8. Raharja I. Profil Sindrom Nefrotik di Poliklinik Anak RSUP Fatmawati Tahun


2011-2014.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.2014

9. Kodner C. Diagnosis and Management of Nephrotic Syndrome in Adults.


American Academy of Family Physician.2016;93(6).

10. Prodjosudjadi, Wiguno. Sindrom nefrotik buku ajar ilmu penyakit dalam
ed.4th.Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.2016.

11. Ware T. Nephrotic syndrome.InnovAiT.2020;13(3).

12. Roth S., Barbara H, and James. Nephrotic Syndrome: Pathogenesis and
Management. Pediatr Rev. 2008;23(7).

13. Alatas H, Trihono PP, Tambunan T, Pardede SO, Hidayati EL. Pengobatan terkini
sindrom nefrotik (SN) pada anak. Sari Pediatri.2015;17(2).
14. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus tata laksana sindrom
nefrotik idiopatik pada anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia.2012.

15. Indian Pediatric Nephrology Group, Indian Academy of Pediatrics. Management


of steroid sensitive nephrotic syndrome: revised guidelines. Indian Pediatric
2008;45(203).

16. Albar H, Bilondatu, Daud D. Rsik factors for relapse in pediatric nephrotic
syndrome.Paediatrica Indonesiana.2018;58(5).

17. Hull RP, Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in adults. BMJ. 2008;336(7654).

18. Wu HM, Tang JL, Cao L, Sha ZH, Li Y. Interventions for preventing infection in
nephrotic syndrome. Cochrane Database Syst Rev. 2012;(4)

19. Floege J. Introduction to glomerular disease: clinical presentations.


Comprehensive Clinical Nephrology. 5th ed. Philadelphia, Pa.: Elsevier Saunders;
2015.

Anda mungkin juga menyukai