SINDROM NEFROTIK
Disusun Oleh:
Pembimbing:
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik juga merupakan bagian dari penyakit ginjal yang umum dan
penyakit ginjal kronis yang penting pada anak-anak. Menurut kriteria International
Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) : Anak dikategorikan menderita
sindrom nefrotik apabila terdapat protein uria masif lebih dari 40 mg/m2/jam,
hipoalbuminemia kurang dari 2,5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia lebih dari 200
mg/dL. Hal ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas melalui membran basal
yang rusak di glomerulus ginjal terutama infeksi atau tromboemboli. Kelainan ini
merupakan hasil dari kelainan permeabilitas glomerulus primer yang dikaitkan
spesifik terhadap organ ginjal atau sekunder akibat dari infeksi kongenital, diabetes,
lupus eritematosus sistemik, neoplasia atau penggunaan obat-obat tertentu.2,3
DEFINISI
ETIOLOGI
Etiologi sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga yaitu kongenital, primer atau
idiopatik dan sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus
sistemik, purpura Henoch Schonlein dan lain-lain. Sementara menurut beberapa para
ahli, etiologi pasti masih belum diketahui, keberhasilan awal dalam mengendalikan
nefrosis dengan obat-obat “imunosupresif” memberi kesan bahwa penyakit ini
diperantarai oleh mekanisme imunologis, tetapi bukti adanya mekanisme jejas
imunologis yang klasik belum ada.5,6
Umumnya berdasarkan etiologinya, para ahli membagi menjadi tiga kelompok
kongenital, idiopatik, dan sekunder akibat penyakit. Kebanyakan anak sekitar 90%
anak menderita bentuk sindrom nefrotik idiopatik. Berdasarkan histopatologis yang
tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop
elektron. Churg dkk, membagi sindrom nefrotik menjadi 4 golongan yaitu: (1).
sindroma nefrotik kelainan minimal (SNKM) / minimal change diseases (MCD).
Ditemukan pada sekitar 80 % kasus sindrom nefrotik idiopatik dan lebih dari 90%
anak berespon dengan terapi kortikosteroid. Prognosis jangka panjang selama
pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4-5 % pasien menjadi gagal ginjal terminal.
(2) Glomerusklerosis fokal segmental (GSFS). Ditemukan pada 7-8 kasus sindrom
nefrotik kasus SN idiopatik, hanya 20% pasien dengan GSFS yang berespon dengan
terapi kortikosteroid, prognosis buruk. Pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal
dalam pengamatan 5 tahun dan disertai dengan penurunan fungsi ginjal. (3)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) ditemukan pada sekitar 4-6%
kasus, sekitar 50 % pasien berespon dengan terapi kortikosteroid, dengan prognosis
buruk. (4). lain-lain dengan proliferasi yang tidak khas.6
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, sindrom nefrotik pada anak sebesar 20 kasus per 1 juta
anak. Sekitar 80-90% kasus sindrom nefrotik pada dewasa merupakan sindrom
nefrotik primer atau idiopatik. Angka kejadian pada anak secara global berkisar 2-7
kasus per 100.000 anak dibawah usia 18 tahun. Laki-laki dilaporkan lebih sering
terkena sindrom nefrotik dibangikan dengan perempuan pada kelompok usia yang
lebih muda. Setelah usia remaja sudah tidak ada perbedaan signifikan antara jenis
kelamin mana yang lebih rentan mengalami sindrom nefrotik.7
Kapiler dari glomerulus dilapisi oleh endotel yang terletak di membran basal
glomerulus, yang ditutupi oleh epitel glomerulus atau podosit yang menyelubungi
kapiler dengan ekstensi seluler. Prosesnya berinterdigitasi dengan sambungan sel-sel
khusus yang disebut celah diafragma yang bersama-sama membentuk filter dari
glomerulus. Biasanya, protein yang besar (lebih dari 69 kD) dikeluarkan dari filtrasi.
Penghancuran podosit pada masa kritis juga dapat menyebabkan keruskan glomerulus
yang ireversibel. Proteinuria yang lebih dari 85% albumin adalah proteinuria selektif.
Albumin memiliki muatan negatif bersih dan hilangnya muatan negatif membran
glomerulus bisa menyebabkan albuminuria.3
Proteinuria
Hipoalbuminemia
Pada saat dalam keadaan normal, jumlah produksi albumin sama dengan
jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara dominan terjadi pada ekstrarenal,
sementara 10% lainnya dikatabolisme pada tubulus proksimal ginjal setelah resorpsi
albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien dengan sindom nefrotik, hipoalbuminemia
merupakan salah satu manifestasi klinis dari hilangnya protein dalam urin yang
berlebih akibat peningkatan katabolisme albumin.10
Edema
Edema adalah gejala yang paling umum terjadi pada anak-anak dengan
sindrom nefrotik, mesikipun kehadirannya universal ada ketidakpastian mengenai
mekanisme yang tepat terhadap pembentukan edema. Terdapat dua hipotesis luas
yang berkembang terkait manifestasi klinis edema pada sindrom nefrotik. Hipotesis
pertama ialah teori underfill yang mengatakan bahwa tekanan onkotik yang rendah
sebagai akibat kadar albumin serum yang rendah (hipoalbuminemia) menyebabkan
ekstravasasi air plasma ke dalam ruang interstisial serta terjadi retensi natrium dan air
di ruang ekstraseluler. Sebaliknya teori overfill menunjukkan bahwa proteinuria
menyebabkan terjadinya peningkatan natrium dengan demikian resorpsi air terjadi di
tubulus.1,11
Teori klasik edema dengan hipotesis underfill disetujui oleh para ahli sebagai
teori yang logis. Teori hipotesis underfill didasarkan pada fakta bahwa proteinuria
menyebabkan penurunan tingkat protein plasma dengan penurunan yang sesuai pada
tekanan onkotik intravaskular. Hal ini menyebabkan terjadinya kebocoran air plasma
ke interstitium, menghasilkan edema. Selain edema penurunan tekanan onkotik
plasma juga dapat menyebabkan turunnya volume intravaskular (hipovolemia).
mekanisme ini akan merangsang renin-angiotensi-aldosteon, sehingga aldosteron
dihasilkan oleh kelenjar supra renal dan menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus. Oleh karena itu, retensi natrium dan air terjadi sebagai akibat dari penurunan
volume intravaskuler.1,4
Hiperlipidemia
Tingkat lipid yang meningkat adalah gambaran umum dari sindrom nefrotik.
Setiap subtipe konsentrasi lipoprotein dapat meningkat. Kadar lipoprotein yang
mengandung apoliprotein (apo)-B meningkat termasuk very low density lipoprotein
(VLDL) intermediate density lipoprotein (IDL), low density lipoprotein (LDL), dan
lipoprotein, dengan hasil peningkatan kolesterol total dan kolesterol LDL diikuti
tingkat high-density lipoprotein (HDL) dalam kadar normal atau rendah. Peningkatan
trigliserida terjadi dengan hipoalbuminemia berat. Teori sederhana terjadinya
hiperlipidemia pada sindrom nefrotik adalah karena terjadinya peningkatan sinstesis
lipoprotein yang menyertai peningkatan sintesis albumin hati karena
hipoalbuminemia.4
MANIFESTASI KLINIS
DIAGNOSIS
TATALAKSANA
Tatalaksana Umum
Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik tanpa kontraindikasi steroid
adalah diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari sesuai dengan
anjuran ISKDC (dosis maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi untuk menginduksi
remisi. Dosis dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi
badan). Prednison dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Apabila terjadi
remisi dalam 4 minggu pertama dapat dilanjutkan 4 minggu kedua dengan dosis 40
mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgBB/hari, secara pemberian selang sehari,
1x sehari setelah makan pagi. Apabila dalam 4 minggu kedua tidak terjadi remisi,
dinyatakan sebagai pasien resisten steroid.14
Gambar 2. Terapi inisial kortikosteroid14
Tabel 1. istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan SN.6
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah
remisi dengan prednison penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgBB secara
alternating. Dosis kemudian diturunkan perlahan dan bertahap 0,2 mg/kgBB setiap 2
minggu. Penurunan dosis dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan
relaps yaitu antar 0,1 - 0,5 mg/kgBB alternating dan dosis ini disebut dosis threshold
dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, dan dapat coba dihentikan.14
Untuk relaps yang terjadi pada dosis prednison >0,5 mg/kgBB alternating,
tetapi masih <1 mg/kgBB alternatif tanpa efek samping, kombinasikan dengan
levamisol selang sehari 2,5 mg/kgBB selama 4-12 bulan, atau dapat langsung
diberikan siklofosfamid (CPA). Siklofosfamid diberikan 2-3mg/kgBB/hari selama 8-
12 minggu apabila terjadi relaps pada dosis rumatan > 1mg/kgBB alternating atau
dosis rumat <1 mg/kgBB namun disertai efek samping steroid berat, pernah relaps
dengan gejala berat antara lain hipovolemia,trombosis dan sepsis.14
2. Levamisol
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling banyak digunakan pada anak sdengan sindrom
nefrotik adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid diberikan
peroral dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal,baik secara intravena
atau puls. Dosis CPA puls diberikan 500-750 mg/m 2LPB, yang dilarutkan dalam 250
ml NaCL 0,9% selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis dengan interval 1
bulan dengan total durasi 6 bulan. Efek samping dari obat ini ialah mual muntah,
depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, serta pemakaian
jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Pantau ketat dan rutin melakukan
pemeriksaan darah tepi setiap 1-2 kali seminggu. Hentikan pemakaian obat apabila
didapatkan leukosit <3.00/uL, Hb <8g/dL, trombosit <100.000/uL.14
Toksisitas dari CPA pada gonad dan keganasan apabila dosis total sudah
mencapai >200-300 mg/kgBB. Dosis oral selama 3 bulan pada anak mempunyai dosis
total 180 mg/kgBB, dan dosis ini aman bagi anak-anak. Klorambusil diberikan
dengan dosis 0,2-0,3 mg/kgBB/hari selama 8 minggu. Namun terbatas dan jarang
diberikan karena toksisitas dan efek samping berupa kejang dan infeksi.14
4. Siklosporin (CyA)
Terapi menggunakan obat digunakan apabila pasien dengan sindrom nefrotik
idiopatik tidak responsif terhadap pengobatan steroid atau sitostatik. Dosis anjuran
diberikan 4-5 mg/kgBB/hari (100-150 mg/m2 LPB). dosis tersebut dapat
mempertahankan kadar siklolsporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada kasus
sindrom nefrotik sering relaps atau dependen steroid, CyA dapat mempertahankan
periode remisi, sehingga steroid dapat dikurangi atau dihentikan, namun apabila CyA
dihentikan, biasanya dapat relaps kembali.14
Sampai saat ini terapi terhadap resistensi steroid masih belum memuaskan.
Sebelum memulai terapi, sebaiknya pasien dengan resistensi steroid dilakukan biopsi
ginjal guna melihat gambaran patologi anatomi, karena gambarannya akan
menpengaruhi prognosis.14
1. Siklofosfamid (CPA)
2. Siklosporin (CyA)
CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20% dari 60 pasien
dan remisi parsial 13%. Namun, efek samping CyA seperti hipertensi, hiperkalemia,
hipertikosis, hipertrofi gingiva, dan sifatnya nefrotoksik (menimbulkan
tubulointerstisial) maka harus dilakukan pemantauan ketat terhadap kadar CyA dalam
darah (dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL), kadar kreatinin darah berkala,
biopsi ginjal setiap 2 tahun.14
3. Metilprednisolon puls
KOMPLIKASI
1. Trombosis vena
Trombosis vena merupakan salah satu komplikasi yang penting dari sindrom
nefrotik, tetapi angka kejadian dan risikonya sebenarnya juga masih sulit ditentukan
karena heterogenitas manifestasi klinis dan penyebab sindrom nefrotik. Tempat yang
paling umum dari trombosis vena adalah pada vena dalam pada tungkai bawah,
meskipun dapat juga terjadi pada vena ginjal dan menyebabkan emboli paru.17
2. Infeksi
3. Gagal Ginjal
Cedera ginjal akut dianggap sebagai komplikasi yang jarang terjadi, namun
hal ini terjadi secara bersamaan dengan sindrom nefrotik bila disebabkan oleh faktor
yang sama menyebabkan edema dan proteinuria. Meskipun cedera ginjal akut jarang
terjadi pada sindrom nefrotik, tes fungsi ginjal, kuantifikasi proteinuria, serum kimia,
dan profil lipid harus rutin diperiksa (menilai fungsi ginjaL dan hiperlipidemia).19
PROGNOSIS
Sebagian besar anak dengan sindrom nefrotik yang responsif terhadap steroid
mengalami kekambuhan berulang, namun umumnya akan menurun frekuensinya
seiring bertambahnya usia anak. Anak-anak yang merespon dengan cepat steroid dan
tidak mengalami kekambuhan selama 6 bulan pertama biasanya jarang mengalami
relaps. Penting untuk diedukasi kepada keluarga bahwa anak yang responsif terhadap
steroid tidak akan berkembang menjadi penyakit ginjal kronis, dan penyakit ini jarang
turun temurun dan bahwa anak akan tetap subur (dengan tidak adanya terapi
sikofosfamid berkepanjangan).1
Anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid, paling sering disebabkan oleh
Glomerusklerosis fokal segmental (FSGS), umumnya memiliki prognosis lebih buruk.
Anak-anak mengalami insufisiensi ginjal progresif yang pada akhirnya menyebabkan
penyakit ginjal yang berujung membutuhkan dialisis rutin bahkan tranplantasi ginjal.1
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman, Stanton, Geme St, Schor. Nelson textbook of pediatrics 20th ed.vol.1.
Philadelphia:Elsevier Saunders.2016
6. Amalia TQ. Aspek klinis, diagnosis dan tatalaksana sindroma nefrotik pada anak.
Jurnal Kedokteran Nanggroe Media.2018;1(2).
10. Prodjosudjadi, Wiguno. Sindrom nefrotik buku ajar ilmu penyakit dalam
ed.4th.Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.2016.
12. Roth S., Barbara H, and James. Nephrotic Syndrome: Pathogenesis and
Management. Pediatr Rev. 2008;23(7).
13. Alatas H, Trihono PP, Tambunan T, Pardede SO, Hidayati EL. Pengobatan terkini
sindrom nefrotik (SN) pada anak. Sari Pediatri.2015;17(2).
14. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus tata laksana sindrom
nefrotik idiopatik pada anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia.2012.
16. Albar H, Bilondatu, Daud D. Rsik factors for relapse in pediatric nephrotic
syndrome.Paediatrica Indonesiana.2018;58(5).
17. Hull RP, Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in adults. BMJ. 2008;336(7654).
18. Wu HM, Tang JL, Cao L, Sha ZH, Li Y. Interventions for preventing infection in
nephrotic syndrome. Cochrane Database Syst Rev. 2012;(4)