Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN KASUS

Sindrom Nefrotik

Disusun oleh :
Agrevonna Gracia R. N. Simanjuntak
1261050002

Pembimbing :
dr. Sigit Prastyanto, M.Sc, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD TARAKAN KALIMANTAN UTARA
PERIODE 24 JULI - 30 SEPTEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
INDONESIA
JAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis dengan gejala proteinuria masif,


hipoalbuminemia, edema dan hiperkolesterolemia. Kadang- kadang gejala disertai
dengann hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal.
Sindrom nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal pada anak yang paling
sering ditemukan. Insiden sindrom nefrotik pada anak dalan kepustakaan di
Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun,
dengan prevalensi berkisar 12-16 kasus per 100.000 anak.2 Di Indonesia dilaporkan
6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak
laki-laki dan perempuan 2:1.2
Sindrom nefrotik dapat dibedakan menjadi sindrom nefrotik kongenital, sindrom
nefrotik primer, dan sindrom nefrotik sekunder.1 Proteinuria yang masif akan
menyebabkan edema, dislipidemia, gangguan pada pembekuan darah dan
fibrinolisis, penurunan fungsi ginjal dan gangguan imunitas. Sifat khusus penyakit
ini adalah sering kambuh, sering gagalnya pengobatan dan timbul penyulit, baik
akibat penyakitnya sendiri maupun oleh karena akibat pengobatannya.2
Pada umumnya, sebagian besar (80%) sindrom nefrotik primer memberi respons
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di
antaranya akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan
pengobatan steroid.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 DEFINISI SINDROM NEFROTIK
Sindrom nefrotik adalah merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis
yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia serta
edema. Yang dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria
sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah
biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di
atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi, hematuria, bahkan kadang-
kadang azotemia.3
4.2 ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI SINDROM NEFROTIK

Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

4.2.1 Sindrom Nefrotik Primer

Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini


secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada
penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk
dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu
salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau
usia di bawah 1 tahun.

Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer


dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of
Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar
ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan,
disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan
imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi
histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan
terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney
Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971).4
Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer5
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
InNSumSumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T,
Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.p. 381-426.

4.2.2 Sindrom Nefrotik Sekunder

Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai


akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai adalah :

a. Penyakit metabolik atau kongenital: Diabetes Mellitus, Amiloidosis,


Sindrom Alport, Miksedema.
b. Infeksi : Hepatitis B, Malaria, Schistosomiasis, Lepra, Sifilis,
Streptokokus, AIDS.
c. Toksin dan alergen: Logam berat (Hg), Penisillamin, Probenesid,
racun serangga, bisa ular.
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus
Sistemik, Purpura Henoch-Schnlein, Sarkoidosis.
e. Neoplasma : Tumor paru, Penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

4.3 PATOFISIOLOGI SINDROM NEFROTIK


Penyebab proteinuria pada SN adalah kerusakan fungsi atau struktur
membran filtrasi glomerulus. Membran filtrasi glomerulus terdiri dari endotel
fenestra sebelah dalam, membran basalis dan sel epitel khusus dibagian luar
yang dikenal dengan podosit.
Podosit memiliki tonjolan tonjolan menyerupai kaki (foot processes),
diantara tonjolan tonjolan tersebut, terdapat celah diafragma, yang berperan
penting dalam pemeliharan fungsi filtrasi glomerulus.

Terdapat dua mekanisme yang berperan pada patogenesis SN, yaitu


pertama secara imunologis sel T memproduksi circulating factor, berupa
vascular permeability factor (VPF) yang merupakan asam amino identik
dengan vascular endothelial growth factor (VEGF). Hal ini menyebabkan
meningkatnya permeabilitas kapiler gromelurus sehingga terjadi kebocoran
protein. Mekanisme kedua adalah terdapatnya defek primer pada barier filtrasi
glomerulus yang mengakibatkan celah diafragma melebar.
Zat zat terlarut yang dapat melewati sawar gromelurus ditentukan oleh
besarnya molekul. Molekul > 10 kDa akan ditahan sehingga tidak dapat
melewati sawar tersebut (size selectivity barrier ). Bila ada gangguan pada
mekanisme ini menyebabkan proteinuria baik protein dengan berat molekul
besar (proteinuria nonselektif). Faktor lain yang dapat mempengaruhi adalah
adanya daya elektrostatik dari muatan negatif permukaan molekul pada epitel
foot processes yang dibentuk oleh sialoprotein kapiler, heparan sulfat membran
basalis gromelurus dan podokaliksin (charge-selectivity barrier). Gangguan
pada daya elektrostatik tersebut menyebabkan proteinuria selektif (protein
dengan berat molekul < berat molekul albumin dapat melewati membran filtrasi
gromelurus). Kerusakan struktur dan sawar elektrostatik ini menyebabkan
banyaknya protein plasma yang melewati filtrasi gromelurus. Pada penderita
SNRS diduga selain charge selectivity barrier juga berperan size selectivity
barrier yang menyebabkan proteinuria yang keluar selain berat molekul rendah
(selektif) juga protein dengan berat molekul tinggi (non-selektif). 6
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid
plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan
menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang
menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif
merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium
dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume
dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya
mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan
onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang
interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin
yang memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan
akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang,
pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill.
Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan
aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua
penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa
penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma
dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah
konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium
dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada
stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan
ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi
sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori
overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar
renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.6,7
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses
yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena
patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi
rangsangan yang lebih dari satu. 7,8

Teori Underfilled Teori Overfilled


Kelainan Kelainan
Glomerolus Glomerolus

Albuminuria Retensi Na renal


primer

Hipoalbuminemia
Volume Plasma >>>

Tek.Onkotik koloid
plasma <<<

Volume Plasma >>> Edema

Retensi Na renal
sekunder >>>

4.4 MANIFESTASI KLINIS SINDROM


Edema NEFROTIK
Manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95%
anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat
sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab
sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang
mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum
atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).3,7,9
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai
sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi
bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak,
meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan
sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab
biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien
GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan
hipoalbuminemia lebih hebat pada pasien SNKM. 3,7,9
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit
sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang
disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin
yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut
yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang
kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan
menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan
malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites
berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani. 3,7,9
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau
tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi
gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.
3,7,9

Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada


penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap
anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa
bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun
juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang
terlalu sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi
terganggu. 3,5,12 Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai adalah sembab,
didapatkan pada 95% penderita. Sembab paling parah biasanya dijumpai pada
sindrom nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab biasanya
terbatas pada daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal
daerah periorbita, skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan
pitting. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak
dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa
takipnea. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih pucat.
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30%
pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th
persentil umur.6
Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40
mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per
hari. Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari
pasien-pasien dengan tipe yang lain. 3,5,12
Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum
< 2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan
umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol
LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar
lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik,
namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom
nefrotik. 3,5,10
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal
penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin
serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan
SNKM.
Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom
nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi
pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan
secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat
gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang
dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal
4.5 KOMPLIKASI SINDROM NEFROTIK
Komplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya
sendiri atau sebagai akibat pengobatan.8
1. Kelainan koagulasi dan timbulnya thrombosis
Kelainan ini timbul dari dua mekanisme yang berbeda :
a. Peningkatan permeabilitas glomerolus mengakibatkan :
Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin
seperti antirombin III, protein S bebas, plasminogen dan alfa
antiplasmin.
Hipoalbuminemia, menimbulkan aktivasi trombosit melalui
tromboksan A2, meningkatnya sintesis protein pro-koagulan karena
hiporikia dan tertekannya fibrinolisis.
b. Aktivasi sistem homeostatis di dalam ginjal dirangsang oleh faktor
jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotelial pada kapiler
glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan
agregasi trombosit.
2. Perubahan hormon dan mineral
Kelainan ini timbul karena protein pengikat hormon hilang dalam urin.
Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien
SN dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya
proteinuria.
3. Hipertensi
Merupakan salah satu komplikasi dari SN yang dapat ditemukan baik pada
awitan penyakit ataupun dalam perjalanan penyakit akibat toksisitas steroid.
Pemberian steroid jangka panjang sendiri dapat menimbulkan efek samping
yang signifikan terhadap penderita. Dengan demikian edukasi terhadap
penderita dan orang tuanya menjadi sangat penting. Pengobatan hipertensi
diawali dengan inhibitor ACE-i (Angiotensin Converting Enzyme
inhibitors), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), CCB (Calcium Channel
Blockers), atau antagonis adrenergik, hingga tekanan darah anak di bawah
persentil 90. Pada semua pasien rawat jalan SN dengan pengobatan steroid,
maka harus dilakukan pemantauan tekanan darah setiap 6 bulan sekali.10

4. Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:

- Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan 1.


osteoporosis dan osteopenia
- Kebocoran metabolit vitamin D2.
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka
lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-
500 mg/hari dan vitamin D (125-250 IU). Bila telah terjadi tetani, diobati
dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena.
5. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat
terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin,
dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl
fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan
disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat
10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria,
diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.
6. Pertumbuhan abnormal dan nutrisi
Penyebab utama retardasi pertumbuhan pada pasien SN yang tidak
diberikan kortikosteroid adalah malnutrisi protein, kurang nafsu makan
sekunder, hilangnya protein dalam urin, dan malabsorbsi karena edema
saluran gastrointestinal. Sekarang penyebab utamanya adalah pengobatan
kortikosteroid. Pengobatan kortikosteroid dosis tinggi dan waktu lama dapat
memperlambat maturasi tulang dan terhentinya pertumbuhan linier.
7. Infeksi
Penyebab meningkatnya kerentanan terhadap infeksi adalah :
a. Kadar immunoglobulin yang rendah
b. Defisiensi protein secara umum
c. Gangguan opsonisasi terhadap bakteri
d. Hipofungsi limfa
e. Akibat pengobatan imunosupresif
8. Peritonitis
9. Infeksi Kulit
10. Anemia
11. Gangguan tubulus renal
4.6 PENATALAKSANAAN SINDROM NEFROTIK
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah
tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi
pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk
dalam waktu 10-14 hari Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid
pada anak dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum
pada tabel berikut:8,10
Table 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak
dengan sindrom nefrotik
Remisi Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam
selama 3 hari berturut-turut
Kambuh Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari
berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi
Kambuh Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode
tidak 12 bulan
sering
Kambuh sering Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal, atau 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan
Responsif- Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja
steroid
Dependen- Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi
steroid steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan
Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison
60 mg/m2/hari selama 4 minggu
Responder Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari
lambat tanpa tambahan terapi lain
Nonresponder Resisten-steroid sejak terapi awal
awal
Nonresponder Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-
lambat steroid
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di
rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi orangtua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan
pemeriksaan-pemeriksaan berikut:8
1.Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan
obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat,
gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik
disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh
sekolah.
Diitetik8
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus.
Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energy protein (MEP)
dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit
protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu
1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama
anak menderita edema.

Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya
diberikan loop diuretik seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretic hemat
kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan
kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretic lebih dari 1-2 minggu
perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya
terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1 g/dL), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam
untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan
pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari
segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10
tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung.
Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk
memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila
asites sedemikian berat sehingga mengganggu intravena 1-2 mg/kgbb. Bila
pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat pernapasan dapat dilakukan
pungsi asites berulang. Skema pemberian diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari
secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk diuretik untuk mengatasi edema
tampak pada Gambar 1. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan
selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah
overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.8
Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2
mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan
pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6
minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati,
seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison
selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral,
campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk
mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela.8

Pengobatan dengan kortikosteroid


Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal,
kecuali bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah
prednisone atau prednisolon.

PROTOKOL PENGOBATAN
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC)
menganjurkan untuk memulai dengan pemberian prednison 60 mg/m2
LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari) dalam dosis terbagi,
untuk menginduksi remisi. Dosis prednisone dihitung sesuai dengan berat
badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full
dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu
pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB
(2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1
x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis
penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.8

4.6.1 Sindrom Nefrotik Serangan Pertama

1. Perbaiki keadaan umum penderita :

a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan
ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien
dengan penurunan fungsi ginjal.

b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma


atau albumin konsentrat

c. Berantas infeksi.

d. Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.


e. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema
anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu
aktivitas. Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.

2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari


setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah
penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari
terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam
waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan
prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.

4.6.2 Sindrom nefrotik kambuh (relapse)


1. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse
ditegakkan.
2. Perbaiki keadaan umum penderita.

Sindrom nefrotik kambuh tidak sering

a. Prednison 2 mg/kgBB per hari, diberikan sampai proteinuria negatif


atau hasil proteinuria negatif selama tiga hari.
b. Kemudian dilanjutkan prednison dengan dosis 1,5 mg/kg BB per hari,
diberikan hingga 4 minggu. Penggunaan prednison 2 mg/kgBB per hari,
pada keadaan kambuhan dapat diberikan hingga nilai proteinuria normal
selama 3 hari.

Sindrom nefrotik kambuh sering atau dependen steroid

a. Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:


1. Pemberian steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen
steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan
dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini
kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2
minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil
yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5 mg/kgbb
alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat
dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison
0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb
secara alternating.1

Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 0,5


mg/kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan
prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari
sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan
menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian
diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang
sebelumnya atau relaps yang terakhir.8

Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb
alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping
yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang
sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan
siklofosfamid (CPA).1
` Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:

1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau


2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
a. Efek samping steroid yang berat
b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia,
trombosis, dan sepsis . Diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis
2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.
2. Pemberian levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.
Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal,
selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah
mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang
reversibel.
3. Pengobatan dengan sitostatik

Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada


pengobatan SN anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.

Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3


mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal ,maupun secara intravena atau
puls . CPA puls diberikan dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang
dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2
jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan
(total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping
CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis
hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan
pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit,
setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin
<8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara
dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8
g/dL, trombosit >100.000/uL.8
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila
dosis total kumulatif mencapai 200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA
oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis
ini aman bagi anak.

Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 0,3 mg/kg bb/hari


selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat
terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi.
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil/ MMF
(opsi terakhir)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan
steroid atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin
dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB). Dosis
tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar
antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid,
CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga
pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA
dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin).
Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada
bagian penjelasan SN resisten steroid.1
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan
levamisol atau sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan
dengan dosis 800 1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb
bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.16
Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.

4.6.3 Sindrom Nefrotik Resisten Steroid

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum


memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya
dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena
gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis. Sindrom nefrotik
resisten steroid meningkatkan resiko mengalami komplikasi dan secara
progresif dapat berkembang menjadi gagal ginjal terminal. Tujuan terapi
pada sindrom nefrotik resisten steroid adalah pengendalian proteinuria dan
memelihara fungsi ginjal. 8

- Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat


menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi
dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian
prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif
kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi
remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali,
dapat diberikan siklosporin.

- Siklosporin (CyA)

Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan


remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.

Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis,


hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi
tubulointerstisial.

Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan


dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA
jarang atau sangat selektif.
Indikasi pemulangan pasien dirawat:

Edema anasarka menghilang

Nafsu makan baik.

Proteinuria negatif pada 3 kali pemeriksaan selama 1 minggu


Disamping terapi utama, juga diberikan terapi supportif untuk membantu
memperbaiki keadaan, antara lain:8
1. Manajemen hipertensi
- Kontrol tekanan darah sistolik < 90 mmHg
- Diet rendah garam, olahraga atau aktivitas dan kurangi BB pada anak
dengan obesitas.
- ACE Inhibitor atau ARB dapat digunakan untuk manajemen hipertensi, dan
merupakan lini pertama sebagai antihipertensi. Efeknya dapat menurunkan
proteinuria karena sifatnya sebagai nefroprotektan dan mengontrol tekanan
darah.
- ACE Inhibitor atau ARB direkomendasikan pada sindrom nefrotik resisten-
steroid.
2. Manajemen edema
- Diet rendah sodium 1500 2000 mg per hari.
- Penggunaan diuretik ; loop diuretik, tiazide diuretik
- Dan infus albumin 25%

4.7 PROGNOSIS SINDROM NEFROTIK


Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut
:
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau
di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.

Pada umumnya sebagian besar ( + 80% ) sindrom nefrotik primer


memberi respon yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi
kira-kira 50% di antaranya akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak memberi
respons lagi dengan pengobatan steroid.
BAB III
STATUS PASIEN ANAK
Nama Mahasiswa : Agrevonna Gracia R. N. Simanjuntak
NIM : 1261050002
Dokter Pembimbing : dr. Sigit Prasetyanto, M. Sc, Sp. A

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. MA Alamat : Sebengkok


Umur : 3 tahun 6 bulan Suku : Bugis
Pekerjaan : - Tanggal Masuk : 10/8/2017
Status perkawinan : - Tanggal keluar : 17/8/2017
Agama : Islam Ruang : Anggrek B

B. IDENTITAS ORANG TUA/WALI

Ayah Ibu
Nama : Tn. RP Nama : Ny. DD
Umur : 35 tahun Umur : 32 tahun
Suku Bangsa : Bugis Suku Bangsa : Bugis
Agama : Islam Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan Swasta Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Penghasilan : Rp. 2.000.000,- Penghasilan :-
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Alamat : Sebengkok Alamat : Sebengkok

C. ANAMNESA

Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ny. DD yang merupakan


ibu kandung pasien.

Lokasi : Bangsal Anggrek B, kamar no. 329


Tanggal / pukul : 11 Agustus 2017, pukul 05.30 WITA

Keluhan Utama : Bengkak pada mata, kaki, perut semakin

membuncit

Keluhan Tambahan :-

Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang:

Anak MA, usia 3 tahun 6 bulan dibawa oleh kedua orang tuanya
ke IGD RSUD Tarakan dengan keluhan bengkak pada daerah kelopak
mata dan kaki sejak 4 hari SMRS. Orang tua pasien mengaku bengkak
pada kelopak mata muncul pada saat pagi hari setelah pasien bangun
tidur. Kemudian semakin menjelang siang hari, keluhan bengkak pada
kedua kelopak mata berangsur menghilang Namun lama-lamaan
bengkak juga terdapat pada kaki dan skrotum, ibu pasien merasa perut
pasien semakin membuncit.
Ibu pasien menyangkal adanya demam (-), sesak (-), kebiruan
pada bibir dan ekstremitas (-), mudah lelah (-), jantung berdebar-debar (-
), nyeri (-), mual (-), muntah (-), napsu makan pasien baik, BAK dan
BAB pasien dalam batas normal. Hal ini merupakan keluhan kedua kali
yang pernah dialami oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami Sindrom Nefrotik sekitar 2 tahun yang lalu (2015)

Riwayat batuk-batuk (+)

Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Tidak ada yang mengalami hal serupa dengan pasien


Riwayat sakit ginjal (-)
Riwayat sakit jantung (-)
Riwayat DM dan HT (-)

D. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA

Penyakit Umur Penyakit Umur

Alergi (-) Difteria (-)

Cacingan (-) Diare (-)

Demam (-) Kejang (-)


Berdarah
Demam Tifoid (-) Kecelakaan (-)

Otitis (-) Morbili (-)

Parotitis (-) Operasi (-)

ISPA (-). Ikterus (-)


Penyakit Jantung (-) Penyakit Sindrom Nefrotik
Ginjal sejak 2 tahun yang
lalu

Penyakit Darah (-) Radang Paru (-)

Tuberkulosis (-)

Kesimpulan penyakit yang pernah diderita: Pasien pernah mengalami


sindrom nefrotik dan mendapatkan pernah mendapatkan pengobatan
rutin.

E. RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN

KEHAMILAN Morbiditas Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-),


Kehamilan Anemia (-), Penyakit Jantung (-),
Penyakit Paru (-), Infeksi Saat
Kehamilan (-), Keputihan (-).
Perawatan Antenatal ANC rutin ke bidan , ibu pasien
menerima vitamin , dan melakukan
imunisasi TT 2x
Trimester I : 2x/bulan
Trimester II : 3x/bulan
Trimester III : 3x/bulan

KELAHIRAN Tempat Kelahiran Rumah bersalin


Penolong Persalinan Bidan
Cara Persalinan Partus pervaginam
Masa Gestasi 37 minggu ( cukup bulan )
Keadaan Bayi Berat lahir : 3000 gram
Panjang lahir : 47 cm
Lingkar kepala : Ibu pasien tidak tahu
Langsung menangis (+)
Merah (+)
Pucat (-)
Biru (-)
Kuning (-)
Nilai APGAR : Ibu pasien tidak tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada

Kesimpulan riwayat kehamilan / kelahiran : Selama mengandung


pasien , ibu pasien sehat dan tidak terdapat penyulit proses kelahiran,
pasien lahir secara spontan dan cukup bulan.

F. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi :6 bulan
Psikomotor :
Tengkurap 6 bulan
Duduk :6 bulan
Berdiri :11 bulan
Berjalan :15 bulan
Bicara :18 bulan, 2 kata
Membaca dan menulis :sudah bisa
Gangguan perkembangan mental / emosi: -
Kesimpulan riwayat perkembangan: Pada pasien tidak didapatkan
keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan termasuk gangguan
perkembangan mental.

G. RIWAYAT MAKANAN
0-6 bulan Pasien mendapat ASI

6-11 bulan Pasien mendapat susu formula 3x sehari sebanyak 100 cc/kali.

Pasien juga diberi bubur dengan lauk ayam, telur, tahu , teme

dan syur seperti bayam, wortel yang dihaluskan dan dimasak

bersamaan, diberi 3x sehari.

12 bulan 2 Pasien diberi susu formula sebanyak 200 cc.kali sebanyak 3x

tahun sehari. Pasien makan nasi lunak dengan lauk ayam, ikan, telur,

daging disertai sayuran sebanyak 3x sehari

2 thn- sekarang Pagi : nasi + lauk pauk (telur/ayam/tahu/tempe)

Siang : nasi + lauk pauk + sayuran

Malam : nasi + lauk pauk

Kesulitan makan: Ada saat dimana pasien sulit untuk makan.

Kesimpulan riwayat makanan: kualitas dan kuantitas makanan cukup.


Tahapan makan sesuai usia.

H. RIWAYAT IMUNISASI

Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)


BCG 2 bulan - - - - -
DPT / DT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan 18 -
bulan
Campak - - 9 bulan - - -
Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan - - -
Kesimpulan riwayat imunisasi: Pasien telah mendapatkan imunisasi dasar
lengkap dan sesuai jadwal yang ada.
I. RIWAYAT KELUARGA
a. Corak Reproduksi
No. Tanggal Jenis Hidup Lahir Abortus Mati Keterangan
Lahir Kelamin Mati (Sebab) Kesehatan
(Umur)
1. 10 tahun Laki-laki - - - Abang
pasien
(Sehat)

b. Riwayat Pernikahan
R Ayah / Wali Ibu / Wali
Nama Tn. RP Ny. DD
Perkawinan ke- 1 1
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -

c. Riwayat keluarga orang tua pasien: Tidak ada


d. Riwayat anggota keluarga lain yang serumah : Tidak ada
Kesimpulan riwayat keluarga: Tidak terdapat riwayat keluarga yang
mengalami sindroma nefrotik.

J. RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN


Pasien tinggal bersama ayah , ibu dan abangnya. Status rumah
menyewa . Di rumah pasien terdapat 1 lantai. Ibu pasien mengatakan
ventilasi di rumah cukup baik, pencahayaannya baik, sumber air bersih
berasal dari air PAM dan sumber air minum berasal dari air galon, setiap
hari sampah rumah tangga diangkut oleh petugas pembuangan sampah.
Kondisi lingkungan sekitar cukup padat, rumah pasien di kelilingi oleh
bangunan bangunan sekolah.
Kesimpulan keadaan lingkungan: Lingkungan rumah cukup baik, pasien
tinggal di lingkungan yang cukup padat penduduk.

K. PEMERIKSAAN FISIK UMUM

I. Status Generalis

Keadaan Umum

Kesan sakit : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Composmentis

Glasgow Coma Scale : E4M6V5

Tanda Tanda Vital

Tekanan darah : 80/60 mmHg

Nadi : 120 x/menit

Pernafasan : 22 x / menit

Suhu : 36,60C

Data Antropometri

Berat badan : 14 kg

Tinggi badan : 100 cm

Lingkar kepala : 45 cm

Lingkar perut : 47 cm

Status Gizi (WHO)

BB/U -2 SD ( BB normal)
IMT/U Gizi normal

Pemeriksaan Regional :
a. Kulit :Warna kulit kuning langsat, tidak ikterik, tidak sianosis,

turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan

teraba hangat.

b. Kepala : Normosefali (LK = 42 cm), rambut berwarna hitam

distribusi merata

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), RCL +/+,

RCTL +/+, pupil isokor 3mm/3mm, palpebra edem

+/+

Hidung : Deformitas (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), deviasi

septum (-), sekret (-/-)

Telinga : Normotia (+/+), nyeri tekan (-/-), nyeri tarik (-/-),

sekret (-/-)

Mulut : Mukosa kering (-), sianosis (-)

Tenggorokan : Trismus (-); arkus faring simetris, hiperemis (-); uvula

di tengah

c. Pemeriksaan Leher

Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening

d. Pemeriksaan Toraks

Jantung

a) Inspeksi : Pulsasi Iktus Cordis tidak terlihat

b) Palpasi : Pulsasi iktus cordis tidak teraba

c) Perkusi : Batas jantung kanan dan kiri dalam batas normal

d) Auskultasi: Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)


Paru

a) Inspeksi : Pergerakan dinding toraks simetris, retraksi sela iga (-)

b) Palpasi : Vocal fremitus simetris kanan dan kiri

c) Perkusi : Sonor di kedua lapang paru

d) Auskultasi: Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

e. Pemeriksaan Abdomen

a) Inspeksi : Perut buncit, massa (-), pulsasi abnormal (-)

b) Auskultasi : Bising usus (+), 4x/ menit

c) Perkusi : Nyeri ketok (-), timpani (+), shifting dullness (-)

d) Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), undulasi

(-)

f. Anus dan Rektum : Tidak ada kelainan

g. Genitalia : edema skrotum +/+

h. Pemeriksaan Ekstremitas

Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis (-/-)

Akral hangat (+/+), edema (+/+) ekstremitas bawah

i. Pemeriksaan Neurologis

Nervus cranialis : dalam batas normal

Refleks fisiologis : Normorefleks pada ekstremitas superior dan

inferior

Refleks patologis : Negatif

L. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium (10 Agustus 2017 )

Jenis Hasil Nilai rujukan

DARAH

Hb 11.2 L = 14-18

P = 12-16

Leukosit 13.300 4-11x103/cc

Trombosit 336.00 150-450x103

Hematokrit 36 L = 40-55

P = 35-47

Limfosit 30 25-35 %

Neutorfil 61 52-62%

Jenis Hasil Nilai rujukan

LEMAK

Kolesterol 316 < 200 mg/dL

Jenis Hasil Nilai rujukan

URINE

Warna Urin Kemerahan

pH 6

Berat Jenis 1.005

Protein 4+

Glukosa Negatif
Urobilin Negatif

Bilirubin Negatif

Nitrit Negatif

Urobilinogen Negatif

Keton Negatif

Lekosit 0-1

Eritrosit 7 - 10

Epitel 3-5

Kristal Negatif

Silinder Positif

Keton Negatif

(sedimen)
M. RESUME

Anak MA, laki-laki, usia 3 tahun 6 bulan, dibawa oleh kedua orang tuanya ke IGD
RSUD Tarakan dengan keluhan bengkak pada daerah kelopak mata dan kaki sejak
4 hari SMRS. Bengkak pada kelopak mata muncul pada saat pagi hari setelah pasien
bangun tidur. Lama-lamaan bengkak juga terdapat pada kaki, skrotum dan perut
pasien semakin membuncit. Demam (-), sesak (-), kebiruan pada bibir dan ekstremitas
(-), mudah lelah (-), jantung berdebar-debar (-), nyeri (-), mual (-), muntah (-), napsu
makan pasien baik, BAK dan BAB pasien dalam batas normal. Hal ini merupakan
keluhan kedua kali yang pernah dialami oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang , compos
mentis , kesan gizi normal. Tanda vital didapatkan: Tekanan darah : 80/60 mmHg;
Nadi: 120 x/menit , Suhu: 36,5 0C , Frekuensi pernafasan: 20 x / menit. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan edema palpebra (+/+), shifting dullness (-), undulasi (-
), lingkar perut: 46 cm, edema tungkai (+/+), edema skortum (+/+)
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya hiperkolesterol, proteinuria, silinder
(+)

N. DIAGNOSA

DIAGNOSA KLINIS : Sindrom Nefrotik

DIAGNOSA BANDING : Glomerulonephritis Akut

O. TERAPI :

IVFD : DN 10 tpm

Diet : Rendah Garam

MM :

Bifotik 2 x 500mg (IV)


Furosemide 2 x 5mg (IV)
Predisone 2-2-2
Captopril 2 x 6,5mg

P. PROGNOSIS
Ad Vitam : Ad Bonam

Ad Sanationum : Ad Bonam

Ad Fungsionum : Ad Bonam

Q. FOLLOW UP

Tanggal S O A P
12 Bengkak pada KU : Tampak sakit Sindrom IVFD : DN 10 tpm
Agustus sekitar mata sedang Nefrotik Injeksi :
2017 (+), kelamin Kes: Composmentis Bifotic 2x500 mg (2x1)
(+), tungkai TD : 80/60 mmHg Furosemide 5 mg (2x1)
bawah (+) Nadi:120 x/mnt Oral :
demam (-) RR: 23 x/mnt Prednisone 2 2 2
Suhu: 36.4 C Captopril 2 x 6.5 mg
BB : 14 kg (STOP)
Lingkar perut : 46
cm
Mata : Konjungtiva
anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), RCL
+/+, RCTL +/+,
pupil isokor
3mm/3mm, edema
palpebra (+/+)

Abdomen
Perut tampak buncit,
bising usus (+),
shifting dullness (-),
undulasi (-)

Ekstremitas :
Akral hangat (+/+),
edema (+/+)
ekstremitas bawah

Genital :
Edema skrotum
(+/+)
Tanggal S O A P

13 Bengkak pada KU : Tampak sakit Sindrom IVFD : DN 10 tpm


Agustus sekitar mata sedang Nefrotik (selanjutnya vemflont)
2017 (+), kelamin Kes: Composmentis Injeksi :
(+), tungkai TD : 80/60 mmHg Bifotic 2x500 mg (2x1)
bawah (+) Nadi:115 x/mnt Furosemide 5 mg (2x1)
demam (-) RR: 25 x/mnt Oral :
Suhu: 36.3 C Prednisone 2 2 2
BB : 14 kg Cek Urin Lengkap besok
Lingkar perut : 46 (14/8/2017)
cm
Mata : Konjungtiva
anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), RCL
+/+, RCTL +/+,
pupil isokor
3mm/3mm, edema
palpebra (+/+)
Abdomen
Perut tampak buncit,
bising usus (+),
shifting dullness (-),
undulasi (-)

Ekstremitas :
Akral hangat (+/+),
edema (+/+)
ekstremitas bawah

Genital
Edema skrotum
(+/+)

Tanggal S O A P

14 Bengkak pada KU : Tampak sakit Sindrom IVFD : vemflont


Agustus sekitar mata sedang Nefrotik Injeksi :
2017 (+), kelamin Kes: Composmentis Bifotic 2x500 mg (2x1)
(+), tungkai TD : 80/60 mmHg Furosemide 5 mg (2x1)
bawah (+) Nadi:109 x/mnt Oral :
demam (-) RR: 27 x/mnt Prednisone 2 2 2
Suhu: 36.4 C Cek Urin Lengkap perhari
BB : 14 kg
Lingkar perut : 46
cm
Mata : Konjungtiva
anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), RCL
+/+, RCTL +/+,
pupil isokor
3mm/3mm, edema
palpebra (+/+)

Abdomen
Perut tampak buncit,
bising usus (+),
shifting dullness (-),
undulasi (-)

Ekstremitas :
Akral hangat (+/+),
edema (+/+)
ekstremitas bawah

Genital
Edema skrotum
(+/+)

Laboratorium
Urin Lengkap
Warna : kuning
Kekeruhan : keruh
Leukosit : negatif
Nitrit : negatif
Uribilinogen :
negatif
Protein : 3+
pH : 6.5
Blood : 2+
SG : 1.020
Keton : negatif
Bilirubin : negatif
Glukosa : negatif
Sel epitel : 0 3
Lekosit : 5 7
Eritrosit : 10 15
Silinder granula :
positif
Tanggal S O A P

15 Bengkak pada KU : Tampak sakit Sindrom IVFD : vemflont


Agustus mata sedang Nefrotik Injeksi :
2017 menurun, Kes: Composmentis Bifotic 2x500 mg (2x1)
kelamin (+), TD : 80/60 mmHg Furosemide 5 mg (2x1)
tungkai bawah Nadi:115 x/mnt Oral :
(+) RR: 25 x/mnt Prednisone 2 2 2
demam (-) Suhu: 36.4 C Cek Urin Lengkap perhari
BB : 14 kg
Lingkar perut : 46
cm
Mata : Konjungtiva
anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), RCL
+/+, RCTL +/+,
pupil isokor
3mm/3mm, edema
palpebra (+/+)

Abdomen
Perut tampak buncit,
bising usus (+),
shifting dullness (-),
undulasi (-)

Ekstremitas :
Akral hangat (+/+),
edema (+/+)
ekstremitas bawah

Genital
Edema skrotum
(+/+)

Laboratorium
Urin Lengkap
Warna : kuning
Kekeruhan : jernih
Leukosit : negatif
Nitrit : negatif
Uribilinogen :
negatif
Protein : 3+
pH : 6.5
Blood : 2+
SG : 1.025
Keton : negatif
Bilirubin : negatif
Glukosa : negatif
Sel epitel : 3 5
Lekosit : 1 2
Eritrosit : 1 2

Tanggal S O A P
16 Bengkak pada KU : Tampak sakit Sindrom IVFD : vemflont
Agustus kelamin (+), sedang Nefrotik Injeksi :
2017 tungkai bawah Kes: Composmentis Bifotic 2x500 mg (2x1)
(+) TD : 80/60 mmHg Furosemide 5 mg (2x1)
demam (-) Nadi:116 x/mnt Oral :
RR: 25 x/mnt Prednisone 2 2 2
Suhu: 36.4 C Cek Urin Lengkap perhari
BB : 14 kg
Lingkar perut : 43
cm
Mata : Konjungtiva
anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), RCL
+/+, RCTL +/+,
pupil isokor
3mm/3mm, edema
palpebra (-/-)
Abdomen
Perut tampak buncit,
bising usus (+),
shifting dullness (-),
undulasi (-)

Ekstremitas :
Akral hangat (+/+),
edema (+/+)
ekstremitas bawah

Genital
Edema skrotum
(+/+)

Laboratorium
Urin Lengkap
Warna : kuning
Kekeruhan : jernih
Leukosit : negatif
Nitrit : negatif
Uribilinogen :
negatif
Protein : 2+
pH : 6.5
Blood : negatif
SG : 1.020
Keton : negatif
Bilirubin : negatif
Glukosa : negatif
Sel epitel : 0 1
Lekosit : 0 1
Eritrosit : 0 1
Tanggal S O A P
17 Bengkak pada KU : Tampak sakit Sindrom IVFD : vemflont
Agustus kelamin (+) sedang Nefrotik Injeksi :
2017 menurun, Kes: Composmentis Bifotic 2x500 mg (2x1)
tungkai bawah TD : 80/60 mmHg Furosemide 5 mg (2x1)
(+) menurun Nadi:105x/mnt Oral :
demam (-) RR: 23x/mnt Prednisone 2 2 2
Suhu: 36 C Boleh pulang
BB : 14 kg
Lingkar perut : 43
cm
Mata : Konjungtiva
anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), RCL
+/+, RCTL +/+,
pupil isokor
3mm/3mm, edema
palpebra (-/-)
Abdomen
Perut tampak buncit,
bising usus (+),
shifting dullness (-),
undulasi (-)

Ekstremitas :
Akral hangat (+/+),
edema (+/+)
ekstremitas bawah

Genital
Edema skrotum
(+/+)

Laboratorium
Urin Lengkap
Warna : kuning
Kekeruhan : jernih
Leukosit : negatif
Nitrit : negatif
Uribilinogen :
negatif
Protein : 3+
pH : 6.5
Blood : 2+
SG : 1.020
Keton : negatif
Bilirubin : negatif
Glukosa : negatif
Sel epitel : 1 5
Lekosit : 3 5
Eritrosit : 1 3
Silinder granula :
positif

R. ANALISA KASUS
Pada pasien ini, diagnosis dengan Sindrom Nefrotik (SN) berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan Konsensus
Tatalaksana Sindrom Nefrotik IDAI, diagnosis SN berdasarkan sindrom klinik
dengan gejala 1. Proteinuria massif ( +2), 2. Hipoalbuminemia 2,5 g/dl, 3. Edema
dan 4. Dapat disertai hiperkolesterolemia. Pada pasien ini didapatkan kriteria
diagnosis SN yaitu proteinuria +4, edema palpebral, tungkai dan skrotum, serta
kolesterol total dalam darah 316 mg/dl.
Berdasarkan anamnesis, terdapat bengkak pada kelopak mata, kaki dan
skrotum dan perut pasien semakin membuncit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
terdapat edema periorbital, edema skrotum dan edema tungkai.. Hipotesis terjadinya
edema terbagi antara lain penyebab primer: adanya obstruktif limfatik atau vena,
penurunan curah jantung, hipoalbuminemia, atau peningkatan permeabilitas kapiler.
Sedangkan penyebab sekunder: retensi garam dan air pada ginjal dalam usaha untuk
memperbaiki volume plasma. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui skema dibawah
ini.7
Dari peeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, compos
mentis , kesan gizi normal. Tanda vital didapatkan: Tekanan darah : 80/60 mmHg;
Nadi: 120 x/menit , Suhu: 36,5 0C , Frekuensi pernafasan: 20 x / menit, kesan gizi
normal dan status generalis lain dalam batas normal. Sehingga kemungkinan edema
karena gangguan fungsi jantung, gangguan fungsi hati, dan malnutrisi dapat
disingkirkan. Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan albuminuria (4+), hal ini
disebabkan karena adanya peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat
kerusakan glomerulus dan yang terutama di eksresikan adalah albumin.
Hipoalbuminemia yang terjadi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat
namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin. Sebagai akibat
dari hipoalbuminemia, maka tekanan onkotik plasma akan menurun , menyebabkan
peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar tubuh sehingga menimbulkan edema.
Hiperlipidemia yang terjadi pada kasus ini akibat penurunan tekanan onkotik, disertai
pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai
perangsang lipase.
Selama masa perawatan, pasien diberikan tatalaksana diet rendah garam,
furosemide 2x5 mg, prednisone 2-2-2, captopril 2x6,5 mg, serta bifotik 2x500mg.
Pasien sebaiknya diberikan diet rendah garam 1-2 g/hari jika pasien masih menderita
edema. Selain itu, untuk kebutuhan protein, diberikan sesuai dengan RDA
(recommended daily allowance) yaitu 1,5 2 g/kgBB.hari, sehingga pasien mendapat
asupan protein sebanyak 21 28 gram/hari. Pemberian diuretik pad apasien ini
seharusnya 2x7 mg jika menggunakan dosis 1-3mg/kgBB/hari. Pasien mendapat
kortikosteroid 2-2-2 yang merupakan terapi utama SN. Dosis yang harus diberikan pada
anak adalah 0.5-2 mg/kgBB/hari, pada pasien ini diberikan 2 mg/kgBB/hari yaitu
sekitar 48 mg/hari dibagi 3 dosis, dan akan dievaluasi apakah terjadi remisi total atau
relaps, jika pasien mengalami relaps, dosis prednisone dapat diberikan lagi 2
mg/kgBB/hari selama 4 minggu. Pasien juga mendapat captopril 2x6,5 mg obat ini
digunakan untuk mengatasi hipertensi sekunder yang terjadi pada pasien ini dan
mengurangi kadar proteinuria pada pasien ini karena golongan obat ACE Inhibitor
berfungsi sebagai nefroprotektor dan dari penelitian dapat menurunkan kadar
proteinuria pada pasien ini. Pada pasien ini juga diberikan antibiotic yaitu bifotic
(cefoperazone) sebagai profilaksis infeksi yang mungkin terjadi pada pasien dengan SN
dan pada pasien ini leukosit berjumlah 13.000/uL.
DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi, et all. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: p.278

2. Prabowo, A. Y. Nephrotic Syndrome In Children. 2014. Available at http://jukeunila.com/wp-


content/uploads/2015/11/404-787-1-SM.pdf. Accesed 30 Agustus 2017

3. Behrman R, Kliegman R , Arvin AM. Penyakit Glomerulus. Nelson Ilmu Kesehatan


Anak. 15th ed. Vol.3. Jakarta : EGC ; 2000

4. International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic syndrome in


children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory chracteristics at time
of diagnosis. Kidney Int 13 : 159.

5. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
pp. 381-426.
6. Schwartz , MW. Sindrom Nefrotik.Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta : EGC ;
2005.p.308.
7. Isselbacher KJ, et al. Edema. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol.1.
Jakarta : EGC ; 2000.p.213-7.
8. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede S. Konsensus Sindrom Nefrotik Idiopatik
Pada Anak. 2nd ed.Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia ; 2012.
9. Travis L, 2002. Nephrotic Syndrome. Emed J [on line] 2002, 3 : 3 [2002 Mar 18] [(20)
: screens]. Available from: URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm .
Accessed 29 Agustus 2017

10. Mantan M, Bangga A. Nephrotic Syndrome in Children . Indian Journal Medicine.


2005. Available at : http://medind.nic.in/iby/t05/i7/ibyt05i7p13.pdf . Accessed 29
Agustus 2017.

Anda mungkin juga menyukai