Anda di halaman 1dari 31

Laporan Kasus 3

SINDROM NEFROTIK

Oleh:
dr. Fransiska Nooril Firdhausi P H

Pendamping

(dr. H. Rohmat Pujo Santoso)

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA (PIDI)


PROVINSI JAWA TIMUR
RSD BALUNG JEMBER
2021
1
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik merupakan kumpulan manifestasi klinis yang ditandai dengan


hilangnya protein urine secara masif (albuminuria), diikuti dengan hipoproteinemia
(hipoalbuminemia) dan akhirnya mengakibatkan edema. Dan hal ini berkaitan dengan
timbulnya hiperlipidemia, hiperkolesterolemia dan lipiduria. Sindrom nefrotik pada anak
dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih banyak terjadi pada usia 1-2 tahun dan 8 tahun.
Pada anak-anak, yang onsetnya dibawah usia 8 tahun, ratio antara anak laki-laki dan
perempuan bervariasi dari 2:1 hingga 3:2. Pada anak yang lebih tua, remaja dan dewasa,
prevalensi antara laki-laki dan perempuan kira-kira sama.
Data dari International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menunjukkan
bahwa 66% pasien dengan minimal change nephrotic syndrome (MCNS) dan focal segmental
glomerulosclerosis (FSGS) adalah laki-laki dan untuk membrano proliferative
glomerulonephritis (MPGN) 65 % nya adalah perempuan. Insidens sindrom nefrotik pada
anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000
anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak.2,5 Di negara
berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada
anak berusia kurang dari 14 tahun.
Sindrom nefrotik bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi merupakan
suatu petunjuk awal adanya kerusakan pada unit filtrasi darah terkecil (glomerulus) pada
ginjal, dimana urine dibentuk. Sekitar 20% anak dengan sindrom nefrotik dari hasil biopsi
ginjalnya menunjukkan adanya skar atau deposit pada glomerulus. Dua macam penyakit yang
paling sering mengakibatkan kerusakan pada unit filtrasi adalah Glomerulosklerosis Fokal
Segmental (GSFS) dan Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP). Seorang anak yang
lahir dengan kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya Sindrom nefrotik.
Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital,
glomerulopati primer/ idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada
purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik pada tahun
pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan
kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonefritis (GN), ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif (3,5 g/hari),
hipoalbuminemia (<3,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada proses awal atau
SN ringan, untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan.
Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai
kadar albumin serum rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga
berkontribusi terhadap berbagai kompli-kasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia,
hiperlipidemia, lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas,
gangguan metabolisme kalsium, tulang, dan hormon tiroid sering dijumpai pada SN.
Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang
berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode, SN
dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respons yang baik terhadap terapi steroid, tetapi
sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik.1-4

II. EPIDEMIOLOGI
Sindroma nefrotik ( SN ) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling
sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di amerika serikat dan
inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun (1). Dengan prevalensi berkisar
12-16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di
indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.5
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan yaitu
2 : 1, kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi pada usia
paling muda yaitu usia 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM mencakup 85 –
90% pasien dengan umur <6 tahun.6 Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak usia di
bawah 18 tahun diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan
onset tertinggi terjadi pada usia 2-3 tahun. 6

III. ETIOLOGI
Etiologi pasti SN belum diketahui; tetapi diduga sebagai suatu penyakit autoimun
dengan gangguan kompleks pada sistem imun.5 Umumnya para ahli membagi etiologinya
menjadi :
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan secara resesif autosomal. SN bawaan adalah SN yang bermanifestasi
sewaktu lahir atau dalam 3 bulan pertama kehidupan. 5 Diagnosis prenatal dapat dibuat
dengan adanya peningkatan dari α-fetoprotein maternal dan amniotic α-fetoprotein.
3
Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama
kehidupan.5
2. Sindrom nefrotik sekunder
SN dapat terjadi sekunder dari banyak penyakit glomerulus. Nefropati
membranous, membranoproliferatif glomerulonefritis, lupus nefritis, dan henoch
schonlein purpura nefritis menyebabkan manifestasi SN. SN sekunder dicurigai pada
pasien berumur > 8 tahun dan disertai dengan hipertensi, hematuria, disfungsi renal,
turunnya kadar komplemen , dan gejala gejala ekstrarenal (rash, nyeri sendi, demam).
SN juga berhubungan dengan keganasan seperti karsinoma paru dan karsinoma
gastrointestinal, biasanya hasil patologi renal menunjukkan gambaran glomerulopati
membranosa. Diduga kompleks imun yang terdiri dari antigen tumor dan antibodi
spesifik memediasi kerusakan pada ginjal. 5
SN juga dapat terjadi selama terapi dengan beberapa obat dan bahan kimia.
Penisilamin, captopril dan NSAID memberikan gambaran membranous
glomerulopati. Probenesid, ethosuximide, methimazole, litium memberikan gambaran
SNKM, dan procainamide, chlorpropamide, fenitoin, trimetadion memberikan
gambaran glomerulonefritis proliferatif. 5
3. Sindrom nefrotik idiopatik
Berdasarkan histopatologi yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan
mikroskop cahaya dan mikroskop elektron dan mikroskop imunofluorosensi, SN
dibagi dalam 4 golongan, yaitu5 :
a. Kelainan minimal
Dengan mikroskop cahaya glomerulus tampak normal, namun dengan mikroskop
elektron tampak foot processus sel epitel terpadu. Dengan cara imunofluoresensi
ternyata tidak terdapat Ig G atau imunoglobulin beta-1C pada dinding kapiler
glomerulus. Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang dewasa.

b. Glomerulosklerosis Fokal Segmental (GSFS)


Terdapat sklerosis glomerulus mencolon namun hanya mengenai beberapa
glomerulus, sedang yang lainnya tampak normal. Dengan mikroskop cahaya
didapatkan di perpadatan di dalam glomerulus. Kapiler kolaps dan matriks mesangial
bertambah. Dengan mikroskop elektron terdapat perpaduan podosit dan kelainan
mesangial. Tubulus menunjukkan kelainan proteinuria berat pada umumnya termasuk
butir butir lipid hialin dan silinder. Kadang kadang sel busa interstisial dapat
ditemukan pada pasien stadium lanjut. Progesivitas sklerosis fokal ditandai dengan
terkenanya lebih banyak glomerulus dan segmen glomerulus yang lebih besar (sampai
menjadi difus). Dengan mikroskop imunofluoresensi terdapat endapan imunoglobulin
terutama IgM, dan C3 kadang juga IgG, C1q dan fibrin.
c. Glomerulonefritis proliferatif mesangial (GNPM)
4
Dengan mikroskop cahaya terdapat peningkatan matriks mesangial , lumen
kapiler tetap utuh sedangkan dinding kapiler tipis dan halus. Pada tingkat lanjut
mungkin terdapat sklerosis mesangial. Dengan mikroskop elektron umumnya
ditemukan pertambahan sel mesangial dan matriks. Dengan mikroskop
imunofluoresensi ditemukan endapan IgM difus di dalam mesangium. Imunoglobulin
lain dan komplemen dapat juga ditemukan.
d. Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
Terdapat 3 subtipe pada kelainan ini, tipe I merupakan tipe klasik yang erat
hubungannya dengan tipe III, hanya berbeda pada letak deposit imunnya .Sedangkan
tipe II atau penyakit deposit padat walaupun klinis hampir serupa namun
menunjukkan kelainan morfologis dan imunologis yang sangat berbeda.
Dengan mikroskop cahaya menunjukkan kelainan pada mesangium dan kapiler.
Glomerulus tampak besar karena proliferasi sel mesangium dan pertambahan matriks
mesangial, sehingga menyebabkan meluasnya daerah mesangial dan terbentuk
gambaran lobulasi glomerulus (lobular pattern). Dengan mikroskop elektron , struktur
halus dinding kapiler tampak jelas. Sel mesangial dikelilingi oleh matriks mesangial
ada di antara membran basal dan sel endotel. Gambaran double track tampak karena
pemutaran bersamaan antara matriks mesangial dan membran basal kapiler. Dengan
mikroskop imunofluoresensi menunjukkan deposit C3 di pinggir lobulus dan di dalam
mesangium.
e. Glomerulopati Membranosa (GM)
Penyakit ini ditandai dengan kelainan dinding kapiler glomerulus yang progresif
dan kompleks. Berdasarkan mikroskop elektron kelainan ini terdiri atas deposit padat
elektron dan spikes yang tampak menonjol dari membran basal. Dengan mikroskop
imunofluoresensi ditemukan deposit granular IgG dan C3 dan kadang kadang IgA,
IgM atau komponen awal komplemen (Clq,C4).

IV. PATOFISIOLOGI
Kelainan mendasar pada sindroma nefrotik adalah peningkatan permeabilitas
dinding kapiler glomerulus yang mengakibatkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia.
SN idiopatik berhubungan dengan gangguan kompleks pada sistem imun sehingga
menyebabkan gangguan pada glomerulus
Proteinuria6
Proteinuria sebagian berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular)
dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular. Pada keadaan
normal membran basalis dan sel epitel bermuatan negatif maka dari itu dapat
menghambat perjalanan molekul yang bermuatan positif. Pada semua bentuk sindrom
nefrotik selalu ditemukan obliteransi atau fusi foot processes (pedikel) sehingga terjadi
kerusakan polianion yang bermuatan negatif yang dalam keadaan normal merupakan

5
filter atau barier terhadap serum albumin yang bermuatan negatif, dan perubahan ini
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding kapiler glumerulus terhadap serum
protein.
Perubahan integritas membran basalis glomerulus menyebabkan peningkatan
permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang dieksresikan
dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus
mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua
berdasarkan muatan listrik (change barrier). Pada sindrom nefrotik kedua mekanisme
penghalang tersebut terganggu. Selain itu, konfigursi molekul protein juga menentukan
lolos tidaknya protein melalui membran basal glomerulus.
Hipoalbuminemia5
Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan
pengeluaran akibat degradasi metabolik , ekskresi renal dan gastrointestinal. Pada anak
dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju ekskresi protein urin dan derajat
hipoalbuminemia. Albumin plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh
meningkatnya eksresi albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool
albumin (terutama disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal)
yang melampaui daya sintesis hati.
Hiperlipidemia5
Pada sindroma nefrotik kadar lemak darah (kolesterol dan trigliserida) meningkat
dengan 2 alasan: Hipoalbuminemia menstimulasi secara generalisata sitesis protein
hepatik termasuk lipoprotein. Katabolisme lemak menurun karena menurunnya kadar
lipoprotein lipase yang banyak diekskresikan melalui urin
Edema 5,6
Mekanisme edema belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat 2 teori yang
dapat menjelaskan terbentuknya edema pada SN.
Teori underfilled, teori ini mengungkapkan bahwa edema berawal dari hilangnya
protein urin dalam jumlah banyak mengakibatkan hipoalbuminemia sehingga
menurunkan tekanan onkotik plasma. Terjadi transudasi cairan dari kompartmen
intravaskular ke jaringan intertisial. Transudasi cairan mengakibatkan penurunan volume
intravaskular sehingga terjadi penurunan perfusi renal dan terjadi aktivasi sistem renin
angiotensin aldosteron yang menstimulasi absorbsi natrium pada tubulus. Penurunan
volume intravaskular juga menstimulasi pelepasan hormon antidiuretik yang
meningkatkan reabsorbsi cairan pada tubulus ginjal.

6
Gambar1. Terbentuknya edema menurut teori underfilled6

Tetapi teori ini tidak bisa diimplikasikan pada semua pasien SN karena beberapa
pasien mempunyai volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron
menurun sekunder terhadap hipervolemia (teori overfilled). Pada teori ini terdapat
kelainan pada glomerulus sehingga terjadi retensi natrium yang mengakibatkan volume
plasma meningkat sehingga terbentuk edema . Kelainan glomerulus juga menimbulkan
albuminuria yang secara langsung menyebabkan hipoalbuminemia yang juga berperan
dalam pembentukan edema.

Gambar2. Terbentuknya edema menurut teori overfilled6

V. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis paling sering pada anak adalah edema pitting atau asites.
Anoreksia, malaise, dan nyeri perut seringkali ditemukan, terutama pada anak dengan
asites. Tekanan darah meningkat pada 25% anak sedangkan tubular nekrosis akut dan
hipotensi dapat terjadi pada keadaan hpoalbuminemia dan hipovolemia yang bermakna.
7
Diare (akibat edema intestinal) dan distres pernapasan (akibat edema pulmonal atau efusi
pleura) dapat ditemukan. Karakteristik SNKM adalah tidak disertai hematuria,
insufisiensi ginjal, hipertensi, atau hipokomplemenemia.6
Di masa lalu, orangtua menganggap penyakit SN ini adalah edema. Nafsu makan
yang kurang. Mudah terangsang adanya gangguan gastrointestinal dan sering terkena
infeksi berat merupakan keadaan yang sangat erat hubungannya dengan beratnya edema,
sehingga dianggap gejala-gejala ini sebagai akibat edema.6
Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya edema dapat
dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun edema persisten dengan
komplikasi yang mengganggu merupakan masalah klinik utama bagi mereka yang
menjadi non responden dan pada mereka yang edemanya tidak dapat segera diatasi.
Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema minimal terlihat oleh
orangtua atau anak yang besar sebelum ke dokter melihat pasien untuk pertama kali dan
memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat atau cepat
atau dapat menghilang dan timbul kembali. Selama periode ini edema periorbital sering
disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu
ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi
tambah nyata. Sebelum mencapai keadaan ini orangtua pasien sering mengeluh berat
badan anak tidak mau naik, namun kemudian mendadak berat badan bertambah dan
terjadinya pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu makan yang meningat. Timbulnya
edema pada anak dengan SN bersifat perlahan-lahan, tanpa menyebut jenis kelainan
glomerulusnya. Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas dalam
posisi berdiri. Kadang-kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit secara
spontan diikuti dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua
jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi pleura.
Muka dan tungkai pada pasien ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan
jaringan seperti malnustrisi sebagai tanda adanya edema menyeluruh sebelumnya.6
Gangguan gastrointestinal sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare
sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya tidak
berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema submukosa di
mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin
disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa
pasien, nyeri di perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada keadaan SN yang
kambuh. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada, kemungkinan
penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding perut atau
pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan
abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga
sebagai akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan
8
malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif steroid dan
persisten. Pada keadaan asites terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani.6
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pelura maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat
diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemid.6
Gangguan fungsi psikososial sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya
pada penyakit berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang
sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan
respons emosional, tidak saja pada orang tua pasieN namun juga dialami oleh anak
sendiri.

VI. PEMERIKSAAN FISIK DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua
kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang
ditemukan hipertensi.7
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:8
1. Urinalisis: Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah
kepada infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
 Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)
 Albumin dan kolesterol serum
 Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus
Schwartz
 Kadar komplemen C3 (Kadar komplemen C3 yang rendah merupakan petunjuk
lesi selain SNKM sehingga terindikasi untuk pemeriksaan biopsi ginjal sebelum
pemberian terapi steroid); bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan
ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA
Hematuria mikroskopik dapat ditemukan pada 25% SNKM namun tidak dapat
memprediksi respons terhadap steroid. Pemeriksaan USG ginjal seringkali berguna dan
biopsi ginjal dilakukan sesuai indikasi.

9
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.6
 Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut,
tungkai, atau seluruh tubuh, dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain
juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.3
 Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua
kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang
ditemukan hipertensi6
 Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+) (> 40 mg/m2
LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg
atau dipstik ≥ 2+), dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan
hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia(> 200 mg/dL), dan laju endap darah
yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya
normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal. Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20
eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (mis. Sclerosis glomerulus fokal). 6
Batasan :8
1. Remisi : Proteinuria (-) (proteinuria < 4mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut
turut dalam 1 minggu.
2. Relaps : Proteinuria >/2+ (proteinuria > 40mg/m2LPB/jam) 3 hari.berturut
turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang : Relaps kurang dari 2x dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal atau kurang dari 4x per tahun pengamatan.
4. Relaps sering : Relaps >/ 2x dalam 6 bulan pertama setelah responsawal atau
>/4x dalam periode 1 tahun
5. Dependen steroid : Relaps 2x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.
6. Resisten steroid : Tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full
dose) 2mg/ kgbb/ hari selama 4 minggu.
7. Sensitif steroid : Remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4
minggu.

VIII. PENATALAKSANAAN

10
Tatalaksana Umum8
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah
sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum
pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi
perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6
bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.

Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi)
dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi
malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi
cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances)
yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak
menderita edema. 8

Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum
pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian
diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit Kalium dan
Natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-
25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial
dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak
11
mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10
tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila
diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan
pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga
mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. 8

Gambar 3. Alogaritma pemberian diuretik8

Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >/2mg/kgbb/hari
atau total >/ 20 mg/ hari, selama lebih dari 14 hari merupakan pasien imunokompromais.
Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh
diberikan vaksin virus mati , seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian
prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral,
campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat
imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela.8,9

PENGOBATAN DENGAN KORTIKOSTEROID


Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada
kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.

A. TERAPI INSIAL
12
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi
steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m 2 LPB/hari
atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi
remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap
tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila
terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis
40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari),
1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh,
tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.8

4 minggu 4 minggu

........................................

Remisi (+) Dosis alternating (AD) / Selang sehri


Proteinuria (-)
Edema (-)

Remisi (-) : resisten steroid Prednison FD : 60mg/m2 LPB/hari

Imunosupresan lain Prednison AD : : 40mg/m2 LPB/hari

Gambar 4. Pengobatan inisial dengan kortikosteroid 8

B. PENGOBATAN SN RELAPS
Pengobatan relaps, yaitu diberikan prednison dosis penuh sampai remisi
(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien
SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum
pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas.
Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria
menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan
proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison
mulai diberikan. 8

SN relaps Remisi AD

FD

Prednison FD : 60mg/m2 LPB/hari

Prednison AD : : 40mg/m2 LPB/hari

Gambar 5. Pengobatan sindrom nefrotik relaps 8

13
C. PENGOBATAN SN RELAPS SERING ATAU DEPENDEN STEROID

Dahulu pada SN relaps sering dan dependen steroid segera diberikan pengobatan
steroid alternating bersamaan dengan pemberian siklofosfamid (CPA), tetapi sekarang
dalam litelatur ada 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid :
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin atau mikrofenolat mofetil (opsi terakhir)
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang
telinga tengah, atau kecacingan. 8
1. Steroid jangka panjang
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka panjang dapat
dicoba lebih dahulu sebelum pemberian CPA, mengingat efek samping steroid yang lebih
kecil. Jadi bila telah dinyatakan sebagai SN relaps sering/dependen steroid, setelah
mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid selang sehari
dengan dosis yang diturunkan bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgBB selang sehari. Dosis ini disebut dosis
threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir prednison 0,5mg/kgBB dan anak usia pra
sekolah sampai 1 mg/kgBB secara selang sehari. Bila terjadi relaps pada dosis prednison
rumat > 0,5 mg/kgBB selang sehari, tetapi < 1,0 mg/kgBB selang sehari tanpa efek
samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol dosis 2,5 mg/kgBB,
selang sehari, selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan CPA. 8
Bila ditemukan keadaan di bawah ini:
1. Terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis selang sehari atau
2. Dosis rumat < 1 mg tetapi disertai
a. Efek samping steroid yang berat
b. Pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis, sepsis diberikan
CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama 8-12 minggu. 8
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping
levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang
reversibel. 8
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah
siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan

14
dosis 2-3 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal, maupun secara intravena atau puls. CPA
intravena diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml
larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA diberikan sebanyak 7 dosis/IV, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA intravena adalah 6 bulan). Efek samping
CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik,
azoospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu,
perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit,
setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung
trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah
leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif
mencapai ≥200-300 mg/kgBB. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis
total 180 mg/kgBB, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil diberikan dengan dosis
0,2 – 0,3 mg/kgBB/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SN sensitif
steroid sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi. 8
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik
dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari (100-150 mg/m2
LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-
250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan
mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan,
tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek
samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN
resisten steroid. 8

5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)

Pada SN sensitif steroid yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau
sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB
atau 25-30 mg/kgBB bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.
Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia. 8

D. PENGOBATAN SN DENGAN KONTRAINDIKASI STEROID

Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti
tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat
diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA intravena. Siklofosfamid dapat diberikan per
oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls).
CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA intravena diberikan dengan dosis 500 – 750
mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam.

15
CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian
CPA puls adalah 6 bulan).

E. PENGOBATAN SN RESISTEN STEROID

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pada


pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk
melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi
prognosis.
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan
remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila
terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid
dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak
terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat
diberikan siklosporin. 8
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan
juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada
pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap :
 Kadar CyA dalam darah : dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
 Kadar kreatinin darah berkala
 Biopsi ginjal setiap 2 tahun
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat
selektif. 8
3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon
puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12
minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-
100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.

Minggu ke- Metilprednisolon Jumlah Prednison oral


1–2 30 mg/ kgbb, 3 x seminggu 6 Tidak diberikan
3 – 10 30 mg/ kgbb, 1 x seminggu 8 2 mg/ kgbb, dosis tunggal

16
11 – 18 30 mg/ kgbb, 2 minggu sekali 4 Dengan atau tanpa tapper off
19 – 50 30 mg/ kgbb, 4 minggu sekali 8 Taper off pelan - pelan
51 – 82 30 mg/ kgbb, 8 minggu sekali 4 Taper off pelan - pelan
Tabel 1. Protokol metilprednisolon dosis tinggi 8

Gambar 6. Tatalaksana sindrom nefrotik 8

PEMBERIAN OBAT NON-IMUNOSUPRESIF UNTUK MENGURANGI


PROTEINURIA

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor


blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua
obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan
hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek
renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-β1 dan
plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang
berperan pada terjadinya glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama
tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun
dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan
SNRS. Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB
memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak. 8

Pada anak dengan SNRS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan
untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid
atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah:
 Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal

17
 Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

TATA LAKSANA KOMPLIKASI SINDROM NEFROTIK


1. Infeksi
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi perlu
segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah selulitis dan
peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram
negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral
dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson selama
10-14 hari. Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia
dan infeksi saluran napas atas karena virus. 8
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila
terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-zoster, dalam waktu
kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal
imunoglobulin intravena (400mg/kgbb). Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat
asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80
mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 – 10 hari, dan pengobatan steroid sebaiknya
dihentikan sementara. 8
2. Trombosis
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti
defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis
pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan
dengan pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan
dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. 8
3. Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL
kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau
normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan
morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara
dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan pengurangan diit
lemak. Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal
untuk tinggi badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian
obat penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin). 8
4. Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:

 Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia


 Kebocoran metabolit vitamin D2.

18
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih
dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D
(125-250 IU). Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak
0,5 mL/kgbb intravena. 8
5. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi
hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering disertai
sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20
mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20
mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien
tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena. 8
6. Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit
SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE
(angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium channel
blockers, atau antagonis β adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90. 8

INDIKASI BIOPSI GINJAL


Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-keadaan di bawah ini:
1. Pada presentasi awal
 Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16 tahun
 Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten atau kadar
komplemen C3 serum yang rendah
 Hipertensi menetap
 Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia
 Tersangka sindrom nefrotik sekunder
2. Setelah pengobatan inisial
a. SN resisten steroid
b. Sebelum memulai terapi siklosporin.

INDKASI MELAKUKAN RUJUKAN KEPADA AHLI NEFROLOGI ANAK


Keadaan – keadaan ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada ahli
nefrologi anak :
1. Awitan sindrom nefrotik pada usia dibawah 1 tahun, riwayat penyakit sindrom
nefrotik di dalam keluarga.
2. Sindroma nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan fungsi
ginjal, atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau lesi di kulit.

19
3. Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi berat, toksik
steroid.
4. Sindroma nefrotik resisten steroid.
5. Sindroma nefrotik relaps sering atau dependen steroid

IX. PROGNOSIS
Kebanyakan anak yang berespon dengan steroid akan relaps berulang, relaps yang
didefinisikan sebagai proteinuria masif yang menetap selama 3 hari berturut turut dalam 1
minggu. Tetapi umumnya frekuensi relaps menurun sejalan dengan bertambahnya usia. 5
Menurut kepustakaan barat, anak yang berespon baik terhadap steroid dan tidak
mengalami relaps dalam 6 bulan pertama setelah terdiagnosa SN biasanya lebih jarang
relaps.5
Penting untuk memberi edukasi kepada keluarga mengenai pasien SN yang
berespon baik terhadap pengobatan steroid sangat jarang berkembang menjadi gaga ginjal
terminal . Anak yang tidak diterapi dengan siklofosfamid jangka panjang juga akan tetap
subur. Untuk meminimalkan efek psikologis terhadap kondisi dan terapi, anak tetap
dibiarkan mengikuti seluruh aktifitas sesuai usianya dan saat remisi diet makanan dapat
dilonggarkan.5
Anak yang tidak berespon dengan steroid/resisten steroid, paling sering
disebabkan oleh GSFS, umumnya mempunyai prognosa lebih buruk. Anak dengan GSFS
mulanya memberikan respons terhadap terapi steroid, namun kemudian menjadi resisten.
Pada anak ini akan berkembang menjadi gagal ginjal terminal yang membutuhkan dialisis
dan transplantasi ginjal.5

BAB III
LAPORAN KASUS SINDROM NEFROTIK

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : An. R
Umur : 9 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki

20
Pekerjaan :-
Alamat : Lasanan, Sumberbaru
Status : Belum Menikah
No. RM : 283983
Waktu MRS : 14 Februari 2021
Waktu Pemeriksaan : 14 Februari 2021

II. Anamnesis
a. Keluhan utama : Bengkak
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh bengkak seluruh tubuh sejak ± 2 bulan SMRS. Bengkak dirasakan
di bagian mata, tungkai, dan perut. Bengkak pertama kali muncul di bagian kelopak mata,
kemudian muncul ditungkai, dan setelah itu muncul di perut, dan dirasakan semakin
membesar. Tidak ada nyeri pada bengkak, dan bengkak tersebut menetap (tidak
berpindah-pindah). Bengkak kali ini bukanlah bengkak yang terjadi pertama kali.
Ibu pasien mengatakan bahwa dirumah pasien sering susah buang air kecil, saat ingin
buang air kecil (BAK) pasien harus mengedan terlebih dahulu. BAK yang dikeluarkan
jumlahnya sedikit-sedikit. Tidak ada keluhan nyeri saat BAK. Tidak ada kelainan pada
air seni seperti darah, maupun busa. Pasien mengalami perubahan pada berat badan,
yakni berat bertambah dari 31,5 kg sebelum masuk rumah sakit, hingga 33,6 kg saat
masuk rumah sakit.
Sebelum masuk rumah sakit pasien kali ini, pasien ternyata sudah rutin berobat ke
Poli Anak RSD Balung dan didiagnosis sindrom nefrotik. Pasien diberikan pengobatan
full dose (prednison 2mg/kgBB), namun setelah 4 minggu, keluhan pasien tetap tidak
membaik.
Keluhan bengkak ini tidak disertai sesak napas saat tidur dan anak masih bisa tidur
dengan satu bantal. Anak tidak pernah muntah-muntah, demam, dan kejang. Selama
bengkak anak tidak pernah tampak pucat, lemah, lesu atau kehilangan nafsu makan. Anak
masih bisa beraktivitas ringan. Riwayat adanya bercak merah diwajah tidak ada. Keluhan
ini tidak disertai dengan sesak napas, sakit perut hebat, atau kemerahan pada kulit yang
terasa nyeri.

c. Riwayat Pengobatan :
Pasien rutin kontrol Poli Anak RSD Balung dan diberikan pengobatan full dose
(prednison 2mg/kgBB).
d. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien telah terdiagnosis dengan sindrom nefrotik sejak 2 bulan yang lalu. Pasien
tidak memiliki riwayat alergi dan penyakit penyerta lain.
e. Riwayat Penyakit Keluarga :
21
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa.
f. Riawayat Alergi :
Pasien dikatakan tidak memiliki alergi terhadap obat apa pun.
g. Riwayat Psikososial :
Anak masih bisa beraktivas ringan dirumah. Anak makan 3 kali sehari dengan sayur
dan lauk pauk. Anak tidak tampak lebih kecil dibanding teman sebayanya. Tetapi akhir-
akhir ini anak merasa malu karena badannya bengkak.
h. Riwayat Kelahiran dan Kehamilan:

KELAHIRAN Tempat kelahiran Rumah

Penolong persalinan Bidan

Cara persalinan Normal

Masa gestasi Aterm

Keadaan bayi o Berat lahir : 3100 gr


o Panjang : - Cm
o Lingkar kepala : - Cm
o Langsung menangis : Ya
o Kelainan bawaan :-

i. Riwayat Imunisai:
Menurut pengakuan orangtua, anak diimunisasi lengkap.

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 85/53 mmHg
Frekuensi nadi : 124 x/menit
Frekuensi nafas : 22 x/menit
Suhu : 36,8 oC
SPO2 : 99%
Berat badan : 33,6 Kg
Tinggi badan : 128 Cm
BMI : 20,51 Kg/m2 (BMI Normal Atas)

Status generalis
Kepala-Leher
Kulit : Berwarna sawo matang, ikterus (-), sianosis (-)

22
Kepala : Bentuk normal, tidak teraba benjolan, rambut berwarna hitam
terdistribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata OD : Bentuk normal, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, palpebral superior et inferior edema, pupil bulat dengan
diameter kurang lebih 3 mm, reflek cahaya (+), mata cekung (-)
OS : Bentuk normal, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
palpebral superior et inferior edema, pupil bulat dengan diameter
kurang lebih 3 mm, reflek cahaya (+), mata cekung (-)
Telinga : Bentuk normal, liang telinga lapang, tidak ada sekret, tidak ada
serumen
Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum nasi, tidak ada sekret
Mulut : Bentuk normal, perioral tidak sianosis, bibir pecah-pecah dan
kering, lidah tampak normal, arkus faring simetris, letak uvula di
tengah, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, mukosa mulut tidak
ada kelainan
Leher : Pembesaran KGB -/-

Thorax
Inspeksi :
 Bentuk dan ukuran : Bentuk dada kiri dan kanan simetris, barrel chest (-),
pergerakan dinding dada simetris
 Permukaan dada : Papula (-), purpura (-), ekimosis (-), spider naevi (-), vena
kolateral (-), massa (-).
 Iga dan sela iga : Pelebaran ICS (-)
 Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis : cekung, simetris kiri dan kanan
Fossa jugularis : Tidak tampak deviasi
 Tipe pernafasan : Torako-abdominal
Palpasi
 Trakea : Tidak ada deviasi trakea, iktus kordis teraba di ICS V
linea parasternal sinistra
 Nyeri tekan (-), massa (-), edema (-), krepitasi (-).
 Gerakan dinding dada : Simetris kiri dan kanan
 Fremitus vocal : Simetris kiri dan kanan

Perkusi
 Sonor seluruh lapang paru
 Batas paru-hepar : Inspirasi ICS VI, Ekspirasi ICS VI
 Batas paru-jantung :
23
 Kanan : ICS II linea parasternalis dekstra
 Kiri : ICS IV linea mid clavicula sinistra
Auskultasi
 Cor : S1 S2 tunggal regular, Murmur (-), Gallop (-).
 Pulmo :
 Vesikuler (+) pada seluruh lapang paru
 Rhonki (-/-)
 Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi :
 Bentuk : terlihat cembung
 Umbilicus : Masuk merata
 Permukaan Kulit : tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-),massa (-),
vena kolateral (-), papula (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), spider navy (-).
 Ascites (+)
Auskultasi
 Bising usus (+) normal
 Metallic sound (-)
 Bising aorta (-)
Perkusi
 Redup pada seluruh lapang abdomen (+)
 Nyeri ketok (-)
 Hepatosplenomegali (-)
Palpasi
 Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
 Sshifting dullness +/+
 Hepar / lien: tidak teraba
 Ginjal kanan & kiri tidak teraba, vesika urinaria kosong
 Turgor kulit agak kurang
Ekstremitas
Atas : Akral hangat +/+, CRT<2 dtk +/+, edema +/+, pitting edema +
Bawah : Akral hangat +/+, CRT<2 dtk +/+, edema +/+, pitting edema +
Inguinal-genitalia-anus : tidak diperiksa

IV. Pemeriksaan Penunjang


Hb 13.0 g/dl WBC 19.24
Rbc 4.66 Eosinofil 0.3 %

24
Hct 36.7% Basofil 0.4 %
MCV 78.8 fl Neutrofil 59.2 %
MCH 27.9 pg Limfosit 30.2 %
MCHC 35.4 g/dL Monosit 9.9 %
Plt 460 GDS 89 mg/dl
Kreatinin 0,26 mg/dl Urea 25,0 mg/dl
Albumin 1,95 gr/dL
Natrium 129 mmol/L
Kalium 3,4 mmol/L
Chlorida 103 mmol/L

V. Diagnosis Kerja
1. Diagnosis: Sindrom Nefrotik Resisten Steroid

VI. Anjuran Penatalaksanaan Penyakit


a. Promotif : Menjelaskan tentang penyakit sindrom nefrotik, gejala dan
tatalaksananya.
b. Preventif :
Sindrom Nefrotik merupakan penyakit idiopatik yang pada perjalanannya tidak dapat
dicegah. Yang dapat dilakukan adalah melakukan preventif terhadap komplikasi yang
mungkin bisa terjadi (seperti pneumonia, sepsis, dan peritonitis sekunder akibat
Streptococcus pneumoniae, Escherichia coli, dan bakteri Hemophilus) dengan
mengonsumsi obat secara teratur juga selalu kontrol.
c. Kuratif :
 Terapi Medikamentosa :
- Infus D5 ¼ NS 1840 cc/24 jam
- Prednison oral 2mg/kgBB dilanjutkan
- Transfusi Albumin 25% 100cc dalam 4 jam, durante dan post injeksi furosemid
10 mg
- Injeksi Ceftriaxon 2x1 gram
 Terapi nonmedikamentosa :
- Diet protein normal sesuai RDS (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2
g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) bila anak menderita edema.
- Batasi asupan cairan untuk mencegah tingkat keparahan edema yang terjadi
seperti edem paru, dan peningkatan kerja jantung (cardiac overload).
VII. Prognosis : Dubia at malam

VIII. Konseling :

25
a. Penyakit yang diderita adalah penyakit yang sampai saat ini belum diketahui pasti
apa penyebabnya sehingga terapi yang diberikan juga perlu diperhatikan secara
seksama.
b. Menjelaskan kepada pasien tentang gejala-gejala pada penyakit sindrom nefrotik
dan risiko penyulit yang mungkin terjadi
c. Menyampaikan pada keluarga bahwa pasien SN yang berespon baik terhadap
pengobatan steroid sangat jarang berkembang menjadi gaga ginjal terminal. Anak
yang tidak diterapi dengan siklofosfamid jangka panjang juga akan tetap subur.
Untuk meminimalkan efek psikologis terhadap kondisi dan terapi, anak tetap
dibiarkan mengikuti seluruh aktifitas sesuai usianya dan saat remisi diet makanan
dapat dilonggarkan.
d. Anak yang tidak berespon dengan steroid/resisten steroid dapat berkembang
menjadi gagal ginjal terminal yang membutuhkan dialisis dan transplantasi ginjal.

IX. Follow Up

Tanggal Catatan Instruksi


15-02-2021 Bengkak pada tungkai dan kelopak IVFD D5 ½ NS 1500cc/24jam
mata (+) Iv ceftriaxon 2x1gr
KU: cukup Prednisone oral
S : 36,50C TD: 140/90 mmhg Transfusi Albumin 25% 100cc
P : 20 x/mnt N : 80x/mnt dalam 4 jam, durante dan post
injeksi furosemid 10 mg
16-02-2021 Bengkak pada seluruh tubuh (+) IVFD D5 ½ NS 1500cc/24jam
KU: cukup Iv ceftriaxon 2x1gr
S : 36,60C TD: 120/70mmhg Prednisone oral
P : 24 x/mnt N : 88x/mnt Transfusi Albumin 20% 100cc
dalam 4 jam, durante dan post
injeksi furosemid 10 mg

Urin Rutin 15/02/2021

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai normal

26
Warna Kuning Kuning muda
Kejernihan Agak keruh Jernih
Berat jenis 1,020 1,013-1,030
pH 6,5 4,6-8,0
Nitrit Negatif negatif
Protein urin +3 Negatif
Glukosa (reduksi) Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Urobilinogen 3,2 <16
Bilirubin negatif Negatif
Blood +1 Negatif
Leukosit Negatif Negatif

Leukosit 4-6 1-4 /LPB


Eritrosit 4-6 0-1 /LPB
Epitel 1-2
Kristal Negatif -
Silinder Hyalin (+) -
Granuler (+)
Lain-lain - -

Urin Rutin 16/02/2021

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai normal


Warna Kuning Kuning muda
Kejernihan Keruh Jernih
Berat jenis 1,020 1,013-1,030
pH 6,5 4,6-8,0
Nitrit Negatif negatif
Protein urin +3 Negatif
Glukosa (reduksi) Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Urobilinogen 3,2 <16
Bilirubin negatif Negatif
Blood +1 Negatif
Leukosit Negatif Negatif

Leukosit 3-4 1-4 /LPB


Eritrosit 3-4 0-1 /LPB

27
Epitel 1-2
Kristal Granular -
Silinder Hyalin -
Lain-lain - -

BAB IV
PEMBAHASAN

28
I. Aspek Klinis
Pada kasus ini, pasien adalah seorang anak laki-laki berumur 8 tahun dengan keluhan
bengkak seluruh tubuh sejak ± 2 bulan SMRS. Bengkak pertama kali muncul di bagian
kelopak mata, kemudian muncul ditungkai, dan setelah itu muncul di perut, dan dirasakan
semakin membesar. Tidak ada nyeri pada bengkak, dan bengkak tersebut menetap. Pasien
sering susah buang air kecil, saat ingin buang air kecil (BAK) pasien harus mengedan
terlebih dahulu. BAK yang dikeluarkan jumlahnya sedikit-sedikit. Pasien mengalami
perubahan pada berat badan, yakni berat bertambah dari 31,5 kg sebelum masuk rumah sakit,
hingga 33,6 kg saat masuk rumah sakit. Pasien rutin berobat ke Poli Anak RSD Balung dan
didiagnosis sindrom nefrotik. Pasien diberikan pengobatan full dose (prednison 2mg/kgBB),
namun setelah 4 minggu, keluhan pasien tetap tidak membaik.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 85/53 mmHg. Frekuensi nadi:
124 x/menit, laju pernapasan : 22 x/menit, suhu aksila : 36,5 oC, berat badan :33,6 kg, tinggi
badan : 128 cm, status gizi : normal atas dengan IMT 20.51 kg/m 2. Pada pemeriksaan fisik,
ditemukan oedema orbita, ascites, dan oedema pretibial. Pada pemeriksaan penunjang,
didapatkan peningkatan peningkatan leukosit (leukositosis) hingga 19.240, peningkatan
platelet (trombositosis) hingga 460, penurunan albumin (hipoalbuminemia) dengan nilai
1,95. Pada UL, ditemukan urin keruh, proteinuri +3, blood +1.
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis
(GN), ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif (3,5g/hari), hipoalbuminemia (<3,5
g/dl), hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada anak R, didapatkan keluhan bengkak di kedua
kelopak mata, perut, tungkai, dan seluruh tubuh, dan dapat disertai jumlah urin yang
berkurang. Kadang-kadang ditemukan hipertensi. Pada pasien, pemeriksaan follow up
tanggal 15/2/2021 didapatkan tekanan darah mencapai 140/90mmhg. Pada urinalisis pasien SN
ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+) (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+), dapat disertai hematuria. Pada
pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia(> 200 mg/dL), dan
laju endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin
umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal. Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20
eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (mis. Sclerosis glomerulus fokal).
Untuk penatalaksanaan pada pasien ini diberikan infus D5 ¼ NS 1840 cc/24 jam,
prednison oral 2mg/kgBB, transfusi Albumin 25% 100cc dalam 4 jam, durante dan post
injeksi furosemid 10 mg dan injeksi Ceftriaxon 2x1 gram.

II.Resume
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien menderita
sindrom nefrotik resisten steroid. Penyebab SN pada pasien tidak diketahui, pasien dikatakan

29
tidak pernah menderita lupus, sindrom nefritik atau GNAPS sebelumnya. Keluarga pasien
juga dikatakan tidak ada yang menderita keluhan dan penyakit serupa. Pasien sudah
dilakukan pengobatan selama 4 minggu dengan full dose prednison 2 mg/kgBB namun
keluhan tidak membaik, sehingga pasien dikategorikan sebagai pasien sindrom nefrotik yang
resisten steroid.

III. Kerangka Konsep Masalah Pasien

BIOLOGIS
Usia : Usia pasien 8 tahun. Di indonesia dilaporkan 6
per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari
14 tahun menderita SN.
Jenis Kelamin: Laki-laki. Sindrom nefrotik lebih
sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan
yaitu 2 : 1, kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6
tahun.

PERILAKU LINGKUNGAN
Tidak ada hubungan
Tidak ada hubungan
antara perilaku pasien
antara lingkungan
dengan kejadian SN SINDROM dengan kejadian SN
NEFROTIK

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Masalah Pasien

DAFTAR PUSTAKA

30
1. Sudjadi WP. Sindrom nefrotik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Kolopaking
MS, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2006.
2. Cohen EP. Nephrotic syndrome. Emedicine, medscape August25,2009 available at
http://www.medscape.com diunduh 20 Februari 2021.
3. Keddish MT, Karnath BM. The nephritic syndrome. Hospital Physician. October 2007 p
25-30, 38. Available at www.turner-white.com, diunduh 20 Februari 2021.
4. Bagga A. Revised guidelines for management of steroid-sensitive nephrotic syndrome.
Indian Journal of Nephrology, January 2008. Vol.18/Issue1. Downloaded free from
http:www.indianjnephrol.org on Friday, February 19, 2021.
5. Pais Priya, Avner ED. Nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson
HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19.Philadelphia:
Saunders; 2011. h.1801-7.
6. Husein A, dkk. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi kedua. Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2010. hal 381-421.
7. Pudjiadi AH, dkk. Pedoman Pelayanan Medis . Jilid satu. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2010. Hal 274-6.
8. Konsensus Ikatan Dokter Anak Indonesia. Tatalaksana sindrom nefrotik idiopatik pada
anak. Edisi ke-2 Cetakan kedua Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2012.h.1-20.
9. Suyitno H,dkk. Pedoman Imunisasi Di Indonesia. Edisi empat. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2011. Hal 307-16.

31

Anda mungkin juga menyukai