SINDROM NEFROTIK
Oleh:
dr. Fransiska Nooril Firdhausi P H
Pendamping
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik
glomerulonefritis (GN), ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif (3,5 g/hari),
hipoalbuminemia (<3,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada proses awal atau
SN ringan, untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan.
Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai
kadar albumin serum rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga
berkontribusi terhadap berbagai kompli-kasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia,
hiperlipidemia, lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas,
gangguan metabolisme kalsium, tulang, dan hormon tiroid sering dijumpai pada SN.
Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang
berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode, SN
dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respons yang baik terhadap terapi steroid, tetapi
sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik.1-4
II. EPIDEMIOLOGI
Sindroma nefrotik ( SN ) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling
sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di amerika serikat dan
inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun (1). Dengan prevalensi berkisar
12-16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di
indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.5
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan yaitu
2 : 1, kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi pada usia
paling muda yaitu usia 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM mencakup 85 –
90% pasien dengan umur <6 tahun.6 Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak usia di
bawah 18 tahun diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan
onset tertinggi terjadi pada usia 2-3 tahun. 6
III. ETIOLOGI
Etiologi pasti SN belum diketahui; tetapi diduga sebagai suatu penyakit autoimun
dengan gangguan kompleks pada sistem imun.5 Umumnya para ahli membagi etiologinya
menjadi :
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan secara resesif autosomal. SN bawaan adalah SN yang bermanifestasi
sewaktu lahir atau dalam 3 bulan pertama kehidupan. 5 Diagnosis prenatal dapat dibuat
dengan adanya peningkatan dari α-fetoprotein maternal dan amniotic α-fetoprotein.
3
Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama
kehidupan.5
2. Sindrom nefrotik sekunder
SN dapat terjadi sekunder dari banyak penyakit glomerulus. Nefropati
membranous, membranoproliferatif glomerulonefritis, lupus nefritis, dan henoch
schonlein purpura nefritis menyebabkan manifestasi SN. SN sekunder dicurigai pada
pasien berumur > 8 tahun dan disertai dengan hipertensi, hematuria, disfungsi renal,
turunnya kadar komplemen , dan gejala gejala ekstrarenal (rash, nyeri sendi, demam).
SN juga berhubungan dengan keganasan seperti karsinoma paru dan karsinoma
gastrointestinal, biasanya hasil patologi renal menunjukkan gambaran glomerulopati
membranosa. Diduga kompleks imun yang terdiri dari antigen tumor dan antibodi
spesifik memediasi kerusakan pada ginjal. 5
SN juga dapat terjadi selama terapi dengan beberapa obat dan bahan kimia.
Penisilamin, captopril dan NSAID memberikan gambaran membranous
glomerulopati. Probenesid, ethosuximide, methimazole, litium memberikan gambaran
SNKM, dan procainamide, chlorpropamide, fenitoin, trimetadion memberikan
gambaran glomerulonefritis proliferatif. 5
3. Sindrom nefrotik idiopatik
Berdasarkan histopatologi yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan
mikroskop cahaya dan mikroskop elektron dan mikroskop imunofluorosensi, SN
dibagi dalam 4 golongan, yaitu5 :
a. Kelainan minimal
Dengan mikroskop cahaya glomerulus tampak normal, namun dengan mikroskop
elektron tampak foot processus sel epitel terpadu. Dengan cara imunofluoresensi
ternyata tidak terdapat Ig G atau imunoglobulin beta-1C pada dinding kapiler
glomerulus. Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang dewasa.
IV. PATOFISIOLOGI
Kelainan mendasar pada sindroma nefrotik adalah peningkatan permeabilitas
dinding kapiler glomerulus yang mengakibatkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia.
SN idiopatik berhubungan dengan gangguan kompleks pada sistem imun sehingga
menyebabkan gangguan pada glomerulus
Proteinuria6
Proteinuria sebagian berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular)
dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular. Pada keadaan
normal membran basalis dan sel epitel bermuatan negatif maka dari itu dapat
menghambat perjalanan molekul yang bermuatan positif. Pada semua bentuk sindrom
nefrotik selalu ditemukan obliteransi atau fusi foot processes (pedikel) sehingga terjadi
kerusakan polianion yang bermuatan negatif yang dalam keadaan normal merupakan
5
filter atau barier terhadap serum albumin yang bermuatan negatif, dan perubahan ini
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding kapiler glumerulus terhadap serum
protein.
Perubahan integritas membran basalis glomerulus menyebabkan peningkatan
permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang dieksresikan
dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus
mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua
berdasarkan muatan listrik (change barrier). Pada sindrom nefrotik kedua mekanisme
penghalang tersebut terganggu. Selain itu, konfigursi molekul protein juga menentukan
lolos tidaknya protein melalui membran basal glomerulus.
Hipoalbuminemia5
Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan
pengeluaran akibat degradasi metabolik , ekskresi renal dan gastrointestinal. Pada anak
dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju ekskresi protein urin dan derajat
hipoalbuminemia. Albumin plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh
meningkatnya eksresi albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool
albumin (terutama disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal)
yang melampaui daya sintesis hati.
Hiperlipidemia5
Pada sindroma nefrotik kadar lemak darah (kolesterol dan trigliserida) meningkat
dengan 2 alasan: Hipoalbuminemia menstimulasi secara generalisata sitesis protein
hepatik termasuk lipoprotein. Katabolisme lemak menurun karena menurunnya kadar
lipoprotein lipase yang banyak diekskresikan melalui urin
Edema 5,6
Mekanisme edema belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat 2 teori yang
dapat menjelaskan terbentuknya edema pada SN.
Teori underfilled, teori ini mengungkapkan bahwa edema berawal dari hilangnya
protein urin dalam jumlah banyak mengakibatkan hipoalbuminemia sehingga
menurunkan tekanan onkotik plasma. Terjadi transudasi cairan dari kompartmen
intravaskular ke jaringan intertisial. Transudasi cairan mengakibatkan penurunan volume
intravaskular sehingga terjadi penurunan perfusi renal dan terjadi aktivasi sistem renin
angiotensin aldosteron yang menstimulasi absorbsi natrium pada tubulus. Penurunan
volume intravaskular juga menstimulasi pelepasan hormon antidiuretik yang
meningkatkan reabsorbsi cairan pada tubulus ginjal.
6
Gambar1. Terbentuknya edema menurut teori underfilled6
Tetapi teori ini tidak bisa diimplikasikan pada semua pasien SN karena beberapa
pasien mempunyai volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron
menurun sekunder terhadap hipervolemia (teori overfilled). Pada teori ini terdapat
kelainan pada glomerulus sehingga terjadi retensi natrium yang mengakibatkan volume
plasma meningkat sehingga terbentuk edema . Kelainan glomerulus juga menimbulkan
albuminuria yang secara langsung menyebabkan hipoalbuminemia yang juga berperan
dalam pembentukan edema.
V. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis paling sering pada anak adalah edema pitting atau asites.
Anoreksia, malaise, dan nyeri perut seringkali ditemukan, terutama pada anak dengan
asites. Tekanan darah meningkat pada 25% anak sedangkan tubular nekrosis akut dan
hipotensi dapat terjadi pada keadaan hpoalbuminemia dan hipovolemia yang bermakna.
7
Diare (akibat edema intestinal) dan distres pernapasan (akibat edema pulmonal atau efusi
pleura) dapat ditemukan. Karakteristik SNKM adalah tidak disertai hematuria,
insufisiensi ginjal, hipertensi, atau hipokomplemenemia.6
Di masa lalu, orangtua menganggap penyakit SN ini adalah edema. Nafsu makan
yang kurang. Mudah terangsang adanya gangguan gastrointestinal dan sering terkena
infeksi berat merupakan keadaan yang sangat erat hubungannya dengan beratnya edema,
sehingga dianggap gejala-gejala ini sebagai akibat edema.6
Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya edema dapat
dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun edema persisten dengan
komplikasi yang mengganggu merupakan masalah klinik utama bagi mereka yang
menjadi non responden dan pada mereka yang edemanya tidak dapat segera diatasi.
Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema minimal terlihat oleh
orangtua atau anak yang besar sebelum ke dokter melihat pasien untuk pertama kali dan
memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat atau cepat
atau dapat menghilang dan timbul kembali. Selama periode ini edema periorbital sering
disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu
ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi
tambah nyata. Sebelum mencapai keadaan ini orangtua pasien sering mengeluh berat
badan anak tidak mau naik, namun kemudian mendadak berat badan bertambah dan
terjadinya pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu makan yang meningat. Timbulnya
edema pada anak dengan SN bersifat perlahan-lahan, tanpa menyebut jenis kelainan
glomerulusnya. Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas dalam
posisi berdiri. Kadang-kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit secara
spontan diikuti dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua
jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi pleura.
Muka dan tungkai pada pasien ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan
jaringan seperti malnustrisi sebagai tanda adanya edema menyeluruh sebelumnya.6
Gangguan gastrointestinal sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare
sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya tidak
berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema submukosa di
mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin
disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa
pasien, nyeri di perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada keadaan SN yang
kambuh. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada, kemungkinan
penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding perut atau
pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan
abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga
sebagai akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan
8
malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif steroid dan
persisten. Pada keadaan asites terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani.6
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pelura maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat
diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemid.6
Gangguan fungsi psikososial sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya
pada penyakit berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang
sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan
respons emosional, tidak saja pada orang tua pasieN namun juga dialami oleh anak
sendiri.
9
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.6
Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut,
tungkai, atau seluruh tubuh, dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain
juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.3
Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua
kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang
ditemukan hipertensi6
Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+) (> 40 mg/m2
LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg
atau dipstik ≥ 2+), dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan
hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia(> 200 mg/dL), dan laju endap darah
yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya
normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal. Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20
eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (mis. Sclerosis glomerulus fokal). 6
Batasan :8
1. Remisi : Proteinuria (-) (proteinuria < 4mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut
turut dalam 1 minggu.
2. Relaps : Proteinuria >/2+ (proteinuria > 40mg/m2LPB/jam) 3 hari.berturut
turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang : Relaps kurang dari 2x dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal atau kurang dari 4x per tahun pengamatan.
4. Relaps sering : Relaps >/ 2x dalam 6 bulan pertama setelah responsawal atau
>/4x dalam periode 1 tahun
5. Dependen steroid : Relaps 2x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.
6. Resisten steroid : Tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full
dose) 2mg/ kgbb/ hari selama 4 minggu.
7. Sensitif steroid : Remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4
minggu.
VIII. PENATALAKSANAAN
10
Tatalaksana Umum8
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah
sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum
pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi
perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6
bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau
syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan
kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.
Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi)
dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi
malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi
cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances)
yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak
menderita edema. 8
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum
pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian
diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit Kalium dan
Natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-
25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial
dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak
11
mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10
tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila
diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan
pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga
mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. 8
Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >/2mg/kgbb/hari
atau total >/ 20 mg/ hari, selama lebih dari 14 hari merupakan pasien imunokompromais.
Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh
diberikan vaksin virus mati , seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian
prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral,
campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat
imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela.8,9
A. TERAPI INSIAL
12
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi
steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m 2 LPB/hari
atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi
remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap
tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila
terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis
40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari),
1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh,
tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.8
4 minggu 4 minggu
........................................
B. PENGOBATAN SN RELAPS
Pengobatan relaps, yaitu diberikan prednison dosis penuh sampai remisi
(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien
SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum
pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas.
Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria
menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan
proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison
mulai diberikan. 8
SN relaps Remisi AD
FD
13
C. PENGOBATAN SN RELAPS SERING ATAU DEPENDEN STEROID
Dahulu pada SN relaps sering dan dependen steroid segera diberikan pengobatan
steroid alternating bersamaan dengan pemberian siklofosfamid (CPA), tetapi sekarang
dalam litelatur ada 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid :
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin atau mikrofenolat mofetil (opsi terakhir)
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang
telinga tengah, atau kecacingan. 8
1. Steroid jangka panjang
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian steroid jangka panjang dapat
dicoba lebih dahulu sebelum pemberian CPA, mengingat efek samping steroid yang lebih
kecil. Jadi bila telah dinyatakan sebagai SN relaps sering/dependen steroid, setelah
mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid selang sehari
dengan dosis yang diturunkan bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgBB selang sehari. Dosis ini disebut dosis
threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir prednison 0,5mg/kgBB dan anak usia pra
sekolah sampai 1 mg/kgBB secara selang sehari. Bila terjadi relaps pada dosis prednison
rumat > 0,5 mg/kgBB selang sehari, tetapi < 1,0 mg/kgBB selang sehari tanpa efek
samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol dosis 2,5 mg/kgBB,
selang sehari, selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan CPA. 8
Bila ditemukan keadaan di bawah ini:
1. Terjadi relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB dosis selang sehari atau
2. Dosis rumat < 1 mg tetapi disertai
a. Efek samping steroid yang berat
b. Pernah relaps dengan gejala berat, seperti hipovolemia, trombosis, sepsis diberikan
CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, selama 8-12 minggu. 8
2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping
levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang
reversibel. 8
3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah
siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan
14
dosis 2-3 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal, maupun secara intravena atau puls. CPA
intravena diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml
larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA diberikan sebanyak 7 dosis/IV, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA intravena adalah 6 bulan). Efek samping
CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik,
azoospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu,
perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit,
setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung
trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah
leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif
mencapai ≥200-300 mg/kgBB. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis
total 180 mg/kgBB, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil diberikan dengan dosis
0,2 – 0,3 mg/kgBB/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SN sensitif
steroid sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi. 8
4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik
dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari (100-150 mg/m2
LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-
250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan
mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan,
tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek
samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN
resisten steroid. 8
Pada SN sensitif steroid yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau
sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB
atau 25-30 mg/kgBB bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.
Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia. 8
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti
tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat
diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA intravena. Siklofosfamid dapat diberikan per
oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls).
CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA intravena diberikan dengan dosis 500 – 750
mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam.
15
CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian
CPA puls adalah 6 bulan).
16
11 – 18 30 mg/ kgbb, 2 minggu sekali 4 Dengan atau tanpa tapper off
19 – 50 30 mg/ kgbb, 4 minggu sekali 8 Taper off pelan - pelan
51 – 82 30 mg/ kgbb, 8 minggu sekali 4 Taper off pelan - pelan
Tabel 1. Protokol metilprednisolon dosis tinggi 8
Pada anak dengan SNRS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan
untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid
atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah:
Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5
mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal
17
Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal
18
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih
dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D
(125-250 IU). Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak
0,5 mL/kgbb intravena. 8
5. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi
hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering disertai
sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20
mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20
mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien
tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena. 8
6. Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit
SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE
(angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium channel
blockers, atau antagonis β adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90. 8
19
3. Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi berat, toksik
steroid.
4. Sindroma nefrotik resisten steroid.
5. Sindroma nefrotik relaps sering atau dependen steroid
IX. PROGNOSIS
Kebanyakan anak yang berespon dengan steroid akan relaps berulang, relaps yang
didefinisikan sebagai proteinuria masif yang menetap selama 3 hari berturut turut dalam 1
minggu. Tetapi umumnya frekuensi relaps menurun sejalan dengan bertambahnya usia. 5
Menurut kepustakaan barat, anak yang berespon baik terhadap steroid dan tidak
mengalami relaps dalam 6 bulan pertama setelah terdiagnosa SN biasanya lebih jarang
relaps.5
Penting untuk memberi edukasi kepada keluarga mengenai pasien SN yang
berespon baik terhadap pengobatan steroid sangat jarang berkembang menjadi gaga ginjal
terminal . Anak yang tidak diterapi dengan siklofosfamid jangka panjang juga akan tetap
subur. Untuk meminimalkan efek psikologis terhadap kondisi dan terapi, anak tetap
dibiarkan mengikuti seluruh aktifitas sesuai usianya dan saat remisi diet makanan dapat
dilonggarkan.5
Anak yang tidak berespon dengan steroid/resisten steroid, paling sering
disebabkan oleh GSFS, umumnya mempunyai prognosa lebih buruk. Anak dengan GSFS
mulanya memberikan respons terhadap terapi steroid, namun kemudian menjadi resisten.
Pada anak ini akan berkembang menjadi gagal ginjal terminal yang membutuhkan dialisis
dan transplantasi ginjal.5
BAB III
LAPORAN KASUS SINDROM NEFROTIK
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : An. R
Umur : 9 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
20
Pekerjaan :-
Alamat : Lasanan, Sumberbaru
Status : Belum Menikah
No. RM : 283983
Waktu MRS : 14 Februari 2021
Waktu Pemeriksaan : 14 Februari 2021
II. Anamnesis
a. Keluhan utama : Bengkak
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh bengkak seluruh tubuh sejak ± 2 bulan SMRS. Bengkak dirasakan
di bagian mata, tungkai, dan perut. Bengkak pertama kali muncul di bagian kelopak mata,
kemudian muncul ditungkai, dan setelah itu muncul di perut, dan dirasakan semakin
membesar. Tidak ada nyeri pada bengkak, dan bengkak tersebut menetap (tidak
berpindah-pindah). Bengkak kali ini bukanlah bengkak yang terjadi pertama kali.
Ibu pasien mengatakan bahwa dirumah pasien sering susah buang air kecil, saat ingin
buang air kecil (BAK) pasien harus mengedan terlebih dahulu. BAK yang dikeluarkan
jumlahnya sedikit-sedikit. Tidak ada keluhan nyeri saat BAK. Tidak ada kelainan pada
air seni seperti darah, maupun busa. Pasien mengalami perubahan pada berat badan,
yakni berat bertambah dari 31,5 kg sebelum masuk rumah sakit, hingga 33,6 kg saat
masuk rumah sakit.
Sebelum masuk rumah sakit pasien kali ini, pasien ternyata sudah rutin berobat ke
Poli Anak RSD Balung dan didiagnosis sindrom nefrotik. Pasien diberikan pengobatan
full dose (prednison 2mg/kgBB), namun setelah 4 minggu, keluhan pasien tetap tidak
membaik.
Keluhan bengkak ini tidak disertai sesak napas saat tidur dan anak masih bisa tidur
dengan satu bantal. Anak tidak pernah muntah-muntah, demam, dan kejang. Selama
bengkak anak tidak pernah tampak pucat, lemah, lesu atau kehilangan nafsu makan. Anak
masih bisa beraktivitas ringan. Riwayat adanya bercak merah diwajah tidak ada. Keluhan
ini tidak disertai dengan sesak napas, sakit perut hebat, atau kemerahan pada kulit yang
terasa nyeri.
c. Riwayat Pengobatan :
Pasien rutin kontrol Poli Anak RSD Balung dan diberikan pengobatan full dose
(prednison 2mg/kgBB).
d. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien telah terdiagnosis dengan sindrom nefrotik sejak 2 bulan yang lalu. Pasien
tidak memiliki riwayat alergi dan penyakit penyerta lain.
e. Riwayat Penyakit Keluarga :
21
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa.
f. Riawayat Alergi :
Pasien dikatakan tidak memiliki alergi terhadap obat apa pun.
g. Riwayat Psikososial :
Anak masih bisa beraktivas ringan dirumah. Anak makan 3 kali sehari dengan sayur
dan lauk pauk. Anak tidak tampak lebih kecil dibanding teman sebayanya. Tetapi akhir-
akhir ini anak merasa malu karena badannya bengkak.
h. Riwayat Kelahiran dan Kehamilan:
i. Riwayat Imunisai:
Menurut pengakuan orangtua, anak diimunisasi lengkap.
Status generalis
Kepala-Leher
Kulit : Berwarna sawo matang, ikterus (-), sianosis (-)
22
Kepala : Bentuk normal, tidak teraba benjolan, rambut berwarna hitam
terdistribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata OD : Bentuk normal, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, palpebral superior et inferior edema, pupil bulat dengan
diameter kurang lebih 3 mm, reflek cahaya (+), mata cekung (-)
OS : Bentuk normal, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
palpebral superior et inferior edema, pupil bulat dengan diameter
kurang lebih 3 mm, reflek cahaya (+), mata cekung (-)
Telinga : Bentuk normal, liang telinga lapang, tidak ada sekret, tidak ada
serumen
Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum nasi, tidak ada sekret
Mulut : Bentuk normal, perioral tidak sianosis, bibir pecah-pecah dan
kering, lidah tampak normal, arkus faring simetris, letak uvula di
tengah, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, mukosa mulut tidak
ada kelainan
Leher : Pembesaran KGB -/-
Thorax
Inspeksi :
Bentuk dan ukuran : Bentuk dada kiri dan kanan simetris, barrel chest (-),
pergerakan dinding dada simetris
Permukaan dada : Papula (-), purpura (-), ekimosis (-), spider naevi (-), vena
kolateral (-), massa (-).
Iga dan sela iga : Pelebaran ICS (-)
Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis : cekung, simetris kiri dan kanan
Fossa jugularis : Tidak tampak deviasi
Tipe pernafasan : Torako-abdominal
Palpasi
Trakea : Tidak ada deviasi trakea, iktus kordis teraba di ICS V
linea parasternal sinistra
Nyeri tekan (-), massa (-), edema (-), krepitasi (-).
Gerakan dinding dada : Simetris kiri dan kanan
Fremitus vocal : Simetris kiri dan kanan
Perkusi
Sonor seluruh lapang paru
Batas paru-hepar : Inspirasi ICS VI, Ekspirasi ICS VI
Batas paru-jantung :
23
Kanan : ICS II linea parasternalis dekstra
Kiri : ICS IV linea mid clavicula sinistra
Auskultasi
Cor : S1 S2 tunggal regular, Murmur (-), Gallop (-).
Pulmo :
Vesikuler (+) pada seluruh lapang paru
Rhonki (-/-)
Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi :
Bentuk : terlihat cembung
Umbilicus : Masuk merata
Permukaan Kulit : tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-),massa (-),
vena kolateral (-), papula (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), spider navy (-).
Ascites (+)
Auskultasi
Bising usus (+) normal
Metallic sound (-)
Bising aorta (-)
Perkusi
Redup pada seluruh lapang abdomen (+)
Nyeri ketok (-)
Hepatosplenomegali (-)
Palpasi
Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
Sshifting dullness +/+
Hepar / lien: tidak teraba
Ginjal kanan & kiri tidak teraba, vesika urinaria kosong
Turgor kulit agak kurang
Ekstremitas
Atas : Akral hangat +/+, CRT<2 dtk +/+, edema +/+, pitting edema +
Bawah : Akral hangat +/+, CRT<2 dtk +/+, edema +/+, pitting edema +
Inguinal-genitalia-anus : tidak diperiksa
24
Hct 36.7% Basofil 0.4 %
MCV 78.8 fl Neutrofil 59.2 %
MCH 27.9 pg Limfosit 30.2 %
MCHC 35.4 g/dL Monosit 9.9 %
Plt 460 GDS 89 mg/dl
Kreatinin 0,26 mg/dl Urea 25,0 mg/dl
Albumin 1,95 gr/dL
Natrium 129 mmol/L
Kalium 3,4 mmol/L
Chlorida 103 mmol/L
V. Diagnosis Kerja
1. Diagnosis: Sindrom Nefrotik Resisten Steroid
VIII. Konseling :
25
a. Penyakit yang diderita adalah penyakit yang sampai saat ini belum diketahui pasti
apa penyebabnya sehingga terapi yang diberikan juga perlu diperhatikan secara
seksama.
b. Menjelaskan kepada pasien tentang gejala-gejala pada penyakit sindrom nefrotik
dan risiko penyulit yang mungkin terjadi
c. Menyampaikan pada keluarga bahwa pasien SN yang berespon baik terhadap
pengobatan steroid sangat jarang berkembang menjadi gaga ginjal terminal. Anak
yang tidak diterapi dengan siklofosfamid jangka panjang juga akan tetap subur.
Untuk meminimalkan efek psikologis terhadap kondisi dan terapi, anak tetap
dibiarkan mengikuti seluruh aktifitas sesuai usianya dan saat remisi diet makanan
dapat dilonggarkan.
d. Anak yang tidak berespon dengan steroid/resisten steroid dapat berkembang
menjadi gagal ginjal terminal yang membutuhkan dialisis dan transplantasi ginjal.
IX. Follow Up
26
Warna Kuning Kuning muda
Kejernihan Agak keruh Jernih
Berat jenis 1,020 1,013-1,030
pH 6,5 4,6-8,0
Nitrit Negatif negatif
Protein urin +3 Negatif
Glukosa (reduksi) Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Urobilinogen 3,2 <16
Bilirubin negatif Negatif
Blood +1 Negatif
Leukosit Negatif Negatif
27
Epitel 1-2
Kristal Granular -
Silinder Hyalin -
Lain-lain - -
BAB IV
PEMBAHASAN
28
I. Aspek Klinis
Pada kasus ini, pasien adalah seorang anak laki-laki berumur 8 tahun dengan keluhan
bengkak seluruh tubuh sejak ± 2 bulan SMRS. Bengkak pertama kali muncul di bagian
kelopak mata, kemudian muncul ditungkai, dan setelah itu muncul di perut, dan dirasakan
semakin membesar. Tidak ada nyeri pada bengkak, dan bengkak tersebut menetap. Pasien
sering susah buang air kecil, saat ingin buang air kecil (BAK) pasien harus mengedan
terlebih dahulu. BAK yang dikeluarkan jumlahnya sedikit-sedikit. Pasien mengalami
perubahan pada berat badan, yakni berat bertambah dari 31,5 kg sebelum masuk rumah sakit,
hingga 33,6 kg saat masuk rumah sakit. Pasien rutin berobat ke Poli Anak RSD Balung dan
didiagnosis sindrom nefrotik. Pasien diberikan pengobatan full dose (prednison 2mg/kgBB),
namun setelah 4 minggu, keluhan pasien tetap tidak membaik.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 85/53 mmHg. Frekuensi nadi:
124 x/menit, laju pernapasan : 22 x/menit, suhu aksila : 36,5 oC, berat badan :33,6 kg, tinggi
badan : 128 cm, status gizi : normal atas dengan IMT 20.51 kg/m 2. Pada pemeriksaan fisik,
ditemukan oedema orbita, ascites, dan oedema pretibial. Pada pemeriksaan penunjang,
didapatkan peningkatan peningkatan leukosit (leukositosis) hingga 19.240, peningkatan
platelet (trombositosis) hingga 460, penurunan albumin (hipoalbuminemia) dengan nilai
1,95. Pada UL, ditemukan urin keruh, proteinuri +3, blood +1.
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis
(GN), ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif (3,5g/hari), hipoalbuminemia (<3,5
g/dl), hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada anak R, didapatkan keluhan bengkak di kedua
kelopak mata, perut, tungkai, dan seluruh tubuh, dan dapat disertai jumlah urin yang
berkurang. Kadang-kadang ditemukan hipertensi. Pada pasien, pemeriksaan follow up
tanggal 15/2/2021 didapatkan tekanan darah mencapai 140/90mmhg. Pada urinalisis pasien SN
ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+) (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+), dapat disertai hematuria. Pada
pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia(> 200 mg/dL), dan
laju endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin
umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal. Bila terjadi hematuria mikroskopik (>20
eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (mis. Sclerosis glomerulus fokal).
Untuk penatalaksanaan pada pasien ini diberikan infus D5 ¼ NS 1840 cc/24 jam,
prednison oral 2mg/kgBB, transfusi Albumin 25% 100cc dalam 4 jam, durante dan post
injeksi furosemid 10 mg dan injeksi Ceftriaxon 2x1 gram.
II.Resume
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien menderita
sindrom nefrotik resisten steroid. Penyebab SN pada pasien tidak diketahui, pasien dikatakan
29
tidak pernah menderita lupus, sindrom nefritik atau GNAPS sebelumnya. Keluarga pasien
juga dikatakan tidak ada yang menderita keluhan dan penyakit serupa. Pasien sudah
dilakukan pengobatan selama 4 minggu dengan full dose prednison 2 mg/kgBB namun
keluhan tidak membaik, sehingga pasien dikategorikan sebagai pasien sindrom nefrotik yang
resisten steroid.
BIOLOGIS
Usia : Usia pasien 8 tahun. Di indonesia dilaporkan 6
per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari
14 tahun menderita SN.
Jenis Kelamin: Laki-laki. Sindrom nefrotik lebih
sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan
yaitu 2 : 1, kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6
tahun.
PERILAKU LINGKUNGAN
Tidak ada hubungan
Tidak ada hubungan
antara perilaku pasien
antara lingkungan
dengan kejadian SN SINDROM dengan kejadian SN
NEFROTIK
DAFTAR PUSTAKA
30
1. Sudjadi WP. Sindrom nefrotik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Kolopaking
MS, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2006.
2. Cohen EP. Nephrotic syndrome. Emedicine, medscape August25,2009 available at
http://www.medscape.com diunduh 20 Februari 2021.
3. Keddish MT, Karnath BM. The nephritic syndrome. Hospital Physician. October 2007 p
25-30, 38. Available at www.turner-white.com, diunduh 20 Februari 2021.
4. Bagga A. Revised guidelines for management of steroid-sensitive nephrotic syndrome.
Indian Journal of Nephrology, January 2008. Vol.18/Issue1. Downloaded free from
http:www.indianjnephrol.org on Friday, February 19, 2021.
5. Pais Priya, Avner ED. Nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson
HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19.Philadelphia:
Saunders; 2011. h.1801-7.
6. Husein A, dkk. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi kedua. Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2010. hal 381-421.
7. Pudjiadi AH, dkk. Pedoman Pelayanan Medis . Jilid satu. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2010. Hal 274-6.
8. Konsensus Ikatan Dokter Anak Indonesia. Tatalaksana sindrom nefrotik idiopatik pada
anak. Edisi ke-2 Cetakan kedua Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2012.h.1-20.
9. Suyitno H,dkk. Pedoman Imunisasi Di Indonesia. Edisi empat. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2011. Hal 307-16.
31