Anda di halaman 1dari 35

BAB I PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) adalah sindrom klinik yang mempunyai banyak penyebab, ditandai permeabilitas membran glomerulus yang meningkat dengan manifestasi proteinuria masif yang menyebabkan
1

hipoalbuminemia

dan

biasanya

disertai

edema

dan

hiperkolesterolemia.

SN merupakan perwujudan (manifestasi) glomerulus yang paling sering ditemukan di anak yang 15 kali lebih sering daripada di orang dewasa. Kelainan histologik yang terbanyak di anak adalah kelainan minimal yang disebut "Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal" (SNKM). Penyakit ini merupakan penyakit kronis yang cenderung kambuh berulang seringkali dan menyebabkan keterlambatan diagnosis.1 Prevalensi SNKM di negara barat sekitar 23 kasus per 100.000 anak < 16 tahun, di Asia 16 kasus per 100.000 anak dan di Indonesia sekitar 6 kasus per 100.000 anak < 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan berkisar 2:1 dan dua pertiga kasus terjadi pada anak dibawah 5 tahun. Anak dengan SNKM biasanya berumur 1 < 10 tahun, sekitar 90% kasus berumur < 7 tahun dengan usia 25 tahun.1 Pada urinalisis didapat proteinuria yang merupakan tanda utama (khas) SNKM. Menurut ISKDC, jumlah proteinuria yang kental (konsisten) dengan diagnosis SNKM adalah > 50 mg/kg BB/hari atau > 40 mg/kg/m2 dalam urin 24 jam / protein urin 300 mg / d L. Gambaran dipstick urinalisis proteinuri +3 atau +4 dapat pula ditemukan lipiduria dan epitel sel yang mengandung butir-butir lemak (oval fat bodies).1,2 Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia dengan kadar albumin serum < 2,5 gr/dl yang merupakan tanda utama SNKM. Hiperkolesterolemia dengan kadar > 250 mg/dl biasanya ditemukan dan dapat menetap 1-3 bulan setelah berkurangnya gejala (remisi) dan rasio kreatinin 2000 mg / g .1,2 SNKM berdampak pada kesehatan fisik serta mental anak dan orang tua, karena sering kambuh (relaps) disebagian besar kasus (> 75% kasus). Hampir 50% merupakan kambuhan (relaps) yang sering atau bergantung pada (dependent) steroid. Kambuhan (relaps) sering terjadi setelah infeksi virus, tetapi dapat pula terjadi spontan. Anak dengan SN
1

kambuhan (relaps) dan bergantung pada (dependent) steroid merupakan kasus sulit, karena sering diobati dengan prednison dosis tinggi mempunyai efek samping keracunan (toksisitas) obat yang membahayakan.1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Sindrom nefrotik (SN) adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak, merupakan suatu
3,6

kumpulan

gejala-gejala

klinis

yang

terdiri

dari

proteinuria

masif,hipoalbuminemia,dan edema dengan atau tanpa disertai hiperlipidemia.

hiperkolesterolemia dan

Yang dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kgBB/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang disertai dengan hipertensi, hematuria,dan azotemia(fungsi ginjal menurun).3 2.2 Epidemiologi Secara keseluruhan prevalensi sindrom nefrotik pada anak berkisar 2-5 kasus per 100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar15,5/100.000. Sindrom nefrotik primer merupakan 90% dari sindrom nefrotik pada anak sisanya merupakan sindrom nefrotik sekunder. Prevalensi sindrom nefrotik primer berkisar 16 per 100.000 anak. Prevalensi di indonesia sekitar 6 per 100.000 anak dibawah 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan berkisar 2:1. dan dua pertiga kasus terjadi pada anak dibawah 5 tahun.3 Di Amerika insidens sindrom nefrotik dilaporkan 2-7 kasus pada anak per 100.000 anak per tahun. Pada dewasa biasanya menderita glomerulopati yang bersifat sekunder dari penyakit sistemik yang dideritanya, dan jarang merupakan sindrom nefrotik primer atau idiopatik.Pada pasien sindrom nefrotik angka mortalitas berhubungan langsung dengan proses penyakit primernya, tapi bagaimanapun sekali menderita sindrom nefrotik, prognosisnya kurang baik karena3: 1. Sindrom nefrotik meningkatkan insiden terjadinya gagal ginjal dan komplikasi sekunder (trombosis, hiperlipidemia, hipoalbuminemia). 2. Pengobatan berkaitan dengan kondisi; peningkatan insidens infeksi karena

pemakaian steroid.

Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering pada anak dibanding dewasa, dan kebanyakan kasus nefrotik sindrom primer pada anak merupakan penyakit lesi minimal1,3.Prevalensi penyakit lesi minimal berkurang secara proprosional sesuai dengan umur onset terjadinya penyakit.Fokal segmental glomerosclerosis (FSGS) merupakan sub kategori sindrom

nefrotik kedua tersering pada anak dan frekuensi kejadiannya cenderung meningkat. Membrano proloferatif glomerulonephritis (MPGN) merupakan sub kategori sindrom nefrotik yang biasanya terjadi pada anak dan dewasa(anak < dewasa). Kurang lebih 1 % dari sindrom nefrotik pada anak dan remaja dan kelainan ini dihubungkan dengan hepatitis dan penyakit virus lain.3 2.3 Etiologi 10 Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik seperti berikut: A. glomerulonefritis (GN) primer: GN lesi minimal (GNLM) Glomerulosklerosis fokal (GSF) GN membranosa (GNMN) GN membranoproliferatif (GNMP) GN proliferatif lain B. GN sekunder akibat: i. infeksi: HIV, hepatitis virus B dan C sifilis, malaria, skistosoma TBC, lepra ii. keganasan: - adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgkin, mieloma multiple, dan karsinoma ginjal iii. penyakit jaringan penghubung: - SLE, artritis reumatoid iv. efek obat dan toksin: obat NSAID, preparat emas, penisilinamin, captopril

v. lain-lain: diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsi, sengatan lebah. GN primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM), Glomerulosklerosis fokal (GSF), GN membranosa (GNMN), GN membranoproliperatif (GNMP) merupakan kelainan

histopatologik yang sering ditemukan. Penyebab sekunder akibat infeksi yang paling sering ditemukan misalnya pada GN pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat mislnya obat NSAID atau preperat emas, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada SLE dan diabetes melitus. 2.4 Klasifikasi 10 Sindrom nefrotik secara klinis dibagi menjadi 3 kelompok: 1. Sindrom Nefrotik Bawaan Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya. 2. Sindrom Nefrotik Sekunder disebabkan oleh: Malaria kuartana atau parasit lain. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid. Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombosis vena renalis. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, air raksa. Amiloidosis, penyakit anemia sel sabit, hiperprolinemia, nefritis

membranoproliferatif hipokomplementemik. 3. Sindrom Nefrotik Idiopatik, dibagi kedalam 4 golongan, yaitu : 1) Kelainan minimal Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau tampak foot processus sel epitel berpadu (mikroskop elektron) Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau imunoglobulin beta-IC pada dinding kapiler glomerolus
5

Lebih banyak terdapat pada anak Prognosis baik 2) Nefropati membranosa Glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel Prognosis kurang baik 3) Glomerulonefritis proliferatif Eksudatif difus Terdapat prolifarasi sel mesangial dan infiltrasi polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat. Penebalan batang lobular (lobular stalk thickening) Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular. Dengan bulan sabit (crescent) Prolifersi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan viseral. Glomelurosklerosis membranoproliferatif Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana basalis de mesengium. Titer imunoglobulin beta-IC atau beta-IA rendah. 4) Glomelurosklerosis Fokal Segmental Sklerosis glomelorus dan atrofi tubulus Prognosis buruk Pembagian Patologi Anatomi 10 1) Kelainan minimal Merupakan bentuk utama dari glomerulonefritis dimana mekanisme patogenetik imun tampak tidak ikut berperan (tidak ada bukti patogenesis kompleks imun atau anti-MBG). Nefrosis lipid atau penyakit podosit. Kelainan yang relatif jinak adalah penyebab sindrom nefrotik yang paling sering pada anak-anak usia 1-5 tahun. Glomeruli tampak normal atau hampir normal pada mikroskop cahaya, sedangkan dengan mikroskop elektron terlihat adanya penyatuan podosit; hanya bentuk glomerolunefritis mayor yang tidak memperlihatkan

imunopatologi. 2) Nefropati membranosa (glomerulonefritis membranosa)


6

Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan secara morfologi khas oleh kelainan berbatas jelas pada MBG. Jarang ditemukan pada anak-anak. Mengenai beberapa lobus glomerolus, sedangkan yang lain masih normal. Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrana basalis yang

dapat terlihat baik dengan mikroskop cahaya maupun elektron. 3) Glomerulosklerosis fokal segmental Lesi ini punya insidens hematuria yang lebih tinggi dan hipertensi, proteinuria nonselektif dan responnya terhadap kortikosteroid buruk. Penyakit ini mula-mula hanya mengenai beberapa glomeruli (istilah fokal) dan pada permulaan hanya glomeroli jukstameduler. Jika penyakit ini berlanjut maka semua bagian terkena. Secara histologik ditandai sklerosis dan hialinisasi beberapa anyaman didalam satu glomerolus, menyisihkan bagian-bagian lain. Jadi keterlibatannya baik fokal dan segmental. Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik. 4) Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN) Ditandai dengan penebalan membran basalis dan proliferasi seluler (hiperselularitas), serta infiltrasi sel PMN. Dengan mikroskop cahaya, MBG menebal dan terdapat proliferasi difus selsel mesangial dan suatu penambahan matriks mesangial. Perluasan mesangium berlanjut ke dalam kumparan kapiler perifer, menyebabkan reduplikasi membrana basalis (jejak-trem atau kontur lengkap) Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada sindrom nefrotik. Ada MPGN tipe I dan tipe II. 5) Glomerulonefritis proliferatif fokal Proliferatif glomeruler dan atau kerusakan yang terbatas pada segmen glomerulus individual (segmental) dan mengenai hanya beberapa glomerulus (fokal). Lebih sering ada dengan sindrom nefrotik.

Tabel .Frekuensi Relatif Penyakit Glomerular Primer pada Anak-anak dan Dewasa Penyakit Anak-anak Dewasa 60 tahun Glomerulopati Kelainan minimal 76 20 Dewasa 60 tahun 20

Fokal Segmental Glomerulosclerosis

15

Glomerulonefritis membranosa

7 4

40

39

Glomerulonefritis membranoproliferatif

Penyakit lain

18

39

Tabel 1. Frekuensi Relatif penyakit Glomerular Primer pada Anak-anak dan Dewasa Sumber: (Orth S.R. & Berhard E., 1998) 2.5 Patofisiologis PROTEINURIA Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Edema muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.3,8
8

Pada SN, proteinuria umumnya bersifat masif yang berarti eksresi protein > 50 mg/kgBB/hari atau >40 mg/m2/jam atau secara kualitatif proteinuria +3 sampai +4. Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan mbg , maka proteinuria dapat dipakai sebagai petunjuk sederhana untuk menentukan derajat kerusakan glomerulus. Jadi yang diukur adalah Index Selectivity of Proteinuria (ISP). ISP dapat ditentukan dengan cara mengukur ratio antara Clearance IgG dan Clearence Transferin. ISP = Clearance IgG

Clearance Transferin

Bila ISP < 0,2 berarti ISP meninggi (Highly Selective Proteinuria) yang secara klinik menunjukkan kerusakan glomerulus ringan dan respons terhadap kortikosteroid baik. Bila ISP > 0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selective Proteinuria) yang secara klinik

menunjukkan kerusakan glomerulus berat dan tidak adanya respons terhadap kortikosteroid.3,8,9 HIPOALBUMINEMIA Hipoalbuminemia terjadi apabila kadar albumin dalam darah < 2,5 gr/100 ml. Hipoalbuminemia pada SN dapat disebabkan oleh proteinuria, katabolisme protein yang berlebihan dan nutrional deficiency. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.3,8,9 Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar
9

renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.3,8,9 EDEMA Pembentukan edema pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.3Edema mula-mula nampak pada kelopak mata terutama waktu bangun tidur. Edema yang hebat / anasarka sering disertai edema genitalia eksterna. Edema anasarka terjadi bila kadar albumin darah < 2 gr/ 100 ml. Selain itu, edema anasarka ini dapat menimbulkan diare dan hilangnya nafsu makan karena edema mukosa usus. Akibat anoreksia dan proteinuria masif, anak dapat menderita PEM(Protein Energy Malnutrition). Hernia umbilikalis, dilatasi vena, prolaps rektum dan sesak nafas dapat pula terjadi akibat edema anasarka ini.3,8,9 Pada umumnya tipe SNKM mempunyai gejala-gejala klinik yang disebut diatas tanpa gejala-gejala lain. Oleh karena itu, secara klinik SNKM ini dapat dibedakan dari SN dengan kelainan histologis tipe lain yaitu pada SNKM dijumpai hal-hal sebagai berikut pada umumnya : 1) Anak berumur 1-6 tahun 2) Tidak ada hipertensi 3) Tidak ada hematuria makroskopis atau mikroskopis 4) Fungsi ginjal normal 5) Titer komplemen C3 normal 6) Respons terhadap kortikosteroid baik sekali.

10

Oleh karena itulah, bila dijumpai kasus SN dengan gejala-gejala diatas dan mengingat bahwa SNKM terdapat pada 70-80% kasus, maka pada beberapa penelitian tidak dilakukan biopsi ginjal.3,8,9 HIPERLIPIDEMIA Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Dikatakan hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja yang meninggi ( kolesterol > 250 mg/100 ml ) tetapi juga beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen lemak itu adalah kolesterol, Low Density Lipoprotein(LDL), Very Low Density Lipoprotein(VLDL), dan trigliserida (baru meningkat bila plasma albumin < 1gr/100 mL. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyakbanyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel sel hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDL diubah menjadi LDL pleh lipoprotein lipase. Tetapi, pada SN aktivitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktivitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urine. Jadi, hiperkolesteronemia ini tidak hanya disebabkan oleh produksi yang berlebihan , tetapi juga akibat gangguan katabolisme fosfolipid.3,8,9

11

Gambar 1.Bagan Patogenesis dan Manifestasi klinis Sindrom Nefrotik.


12

Teori Underfilled

Teori Overfilled

Kelainan Glomerolus

Kelainan Glomerolus

albuminuria

Retensi Na renal primer

Hipoalbuminemia Volume Plasma >>> Tek.Onkotik koloid plasma <<<

Volume Plasma >>>

Edema

Retensi Na renal sekunder >>>

Edema

Gambar 2.Bagan Teori underfill dan overfill edema pada Sindrom Nefrotik (Sumber : Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2)

13

2.6 Manifestasi klinis Gejala awal dari sindroma nefrotik meliputi 3,4: Menurunnya nafsu makan, malaise, bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropi dan urin berbusa. Abdomen mungkin membesar karena adanya akumulasi cairan di intraperitoneal (Asites), dan sesak napas dapat terjadi karena adanya cairan pada rongga pleura (efusi pleura) ataupun akibat tekanan abdominal yang meningkat akibat asites. Gejala lain yang mungkin terjadi adalah bengkak pada kaki, scrotum ataupun labia mayor. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikasis dan prolaps ani. Seringkali cairan yang menyebabkan edema dipengaruhi oleh gravitasi sehingga bengkak dapat berpindah-pindah. Saat malam cairan terakumulasi di tubuh bagian atas seperti kelopak mata. Disaat siang hari cairan terakumulasi dibagian bawah tubuh seperti ekstremitas bawah(angkle), pada saat duduk atau berdiri. Hipotensi dan tanda-tanda syok(mengalami sepsis). Hipertensi Produksi urin dapat menurun dan renal faillure dapat terjadi jika terjadi kebocoran cairan dari dalam pembuluh darah kejaringan sehingga suplai darah ke ginjal berkurang. Biasanya renal failure dengan kurangnya produksi urin terjadi tiba-tiba. Defisiensi zat gizi dapat terjadi karena hilangnya nutrien dalam urin serta anoreksia, dapat terjadi gagal tumbuh serta hilangnya kalsium tulang. Diare sering dialami oleh pasien dalam keadaan edema, keadaan ini rupanya bukan berkaitan dengan adanya infeksi, namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat di temukan, hal ini dikaitkan dengan sintesis protein yang meningkat atau edema, atau keduanya. Kadang terdapat nyeri perut kuadran kanan atas akibat hepatomegali dan edema dinding perut. Pada anak dengan sindroma nefrotik dapat terjadi gangguan fungsi psikososial yang merupakan akibat stess nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang.2,3,4

2.7 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
14

1) Anamnesis Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata,perut, tungkai, atau seluruh tubuh,terjadi peningkatan berat badan dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.Lebih sering mengenai laki-laki dibanding perempuan (2:1) dan umumnya berusia antara 26 tahun. 3,4,7 2) Pemeriksaan fisis Tanda vital dalam batas normal. Jarang timbul hipertensi Inspeksi : Terdapat edema pada periorbita maupun ekstremitas dan genitalia Palpasi : pitting edema Perkusi : dapat timbul asites pada abdomen (shifting dullness), efusi pleura. 3) Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan : Pada pemeriksaan urinalisis ditemukan albumin secara kualitatif +2 sampai +4. Secara kuantitatif > 50 mg/kgBB/hari ( diperiksa memakai reagen ESBACH ). Pada sedimen ditemukan oval fat bodies yakni epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, toraks hialin dan toraks eritrosit.2,3,4,8 Pada pemeriksaan darah didapatkan protein total menurun (N:6,2-8,1 gm/100ml), albumin menurun (N: 4-5,8 gm/100ml), 1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml), 2 globulin meninggi (N:0,4-1 gm/100ml), globulin normal (N: 0,5-09 gm/100ml), globulin normal (N:0,3-1 gm/100ml), rasio albumin/globulin <1 (N:3/2), komplemen C3 normal/rendah (N:80-120 mg/100ml), ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal, hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat. 2,3,4 Foto Thorax PA dilakukan bila ada sindrom gangguan nafas untuk mencari penyebabnya apakah pneumonia atau edema paru akut.2
15

Pemeriksaan histologik yaitu biopsi ginjal. Namun biopsi ginjal secara perkutan atau pembedahan bersifat invasive, maka biopsi ginjal hanya dilakukan atas indikasi tertentu dan bila orang tua dan anak setuju.2 Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-keadaan di bawah ini6: 1) Pada presentasi awal Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16 tahun Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten atau kadar komplemen C3 serum yang rendah Hipertensi menetap Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia 2) Sindrom nefrotik sekunder Setelah pengobatan inisial SN resisten steroid Sebelum memulai terapi siklosporin

Tabel 2.Pemeriksaan Laboratorium Sindrom Nefrotik (http://pedsinreview.aappublications.org)

16

Diagnosis banding 1) Edema non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal. 2) Glomerulonefritis akut 3) Lupus sistemik eritematosus.9

2.8 Penatalaksanaan Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari. Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti berikut :7,9

Remisi

Proteinuria negatif (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu Proteinuria . 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu

Relaps

Relaps jarang

Relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan

Relaps sering (frequent relaps)

Relaps 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau 4 x dalam periode 1 tahun

Dependen steroid

Relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan

Resisten steroid

Tidak

terjadi

remisi

pada

pengobatan

17

prednison

dosis

penuh

(full

dose)

mg/kgbb/hari selama 4 minggu. Sensitif steroid Remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4 minggu

Tabel 3.Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik (http://idai.or.id/wp-content/uploads/2013/02/TATA-LAKSANA-SINDROM-NEFROTIKIDIOPATIK-PADA-ANAK.pdf )

TATA LAKSANA UMUM6 Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,

penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:

1) Pengukuran berat badan dan tinggi badan. 2) Pengukuran tekanan darah. 3) Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein. 4) Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, atau pun kecacingan. Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai. 5) Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis. INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).

Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.

18

Diitetik Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema. Diuretik Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.

Gambar 3.Bagan Algoritma pemberian diuretik6 Imunisasi Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais.
19

Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela.6 Medikamentosa6 Pengobatan dengan Kortikosteroid A. TERAPI INSIAL Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.

Gambar 4. Pengobatan inisial kortikosteroid6

20

B. PENGOBATAN SN RELAPS Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali +2 tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria +2 disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan

prednison mulai diberikan.

Gambar 5.Pengobatan SN relaps6

C. PENGOBATAN SN RELAPS SERING ATAU DEPENDEN STEROID Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid: 1) Pemberian steroid jangka panjang. 2) Pemberian levamisol. 3) Pengobatan dengan siklosporin,atau 4) Mikofenolat mofetil (opsi terakhir) Selain itu,perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis,infeksi di gigi,radang telinga tengah,atau kecacingan.

21

1) Steroid jangka panjang Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb,

sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating. Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir. Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0

mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA). Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini: 1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau 2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai: a) Efek samping steroid yang berat b) Trombosis, dan sepsis diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu. 2) Levamisol Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.
22

3) Sitostatika Obat sitostatika yang paling sering digunakan siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal maupun secara intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL. Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif mencapai 200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi. 4) Siklosporin (CyA) Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB).Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan resisten steroid.
23

pada pengobatan SN anak adalah

pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN

5) Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF) Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia. Ringkasan tata laksana anak dengan SN relaps sering atau dependen steroid dapat dilihat pada Gambar 6 dan gambar 7 :

Gambar 6. Pengobatan SN relaps sering 6

24

Gambar 7.Pengobatan SN dependen steroid6

D. PENGOBATAN SN DENGAN KONTRAINDIKASI STEROID Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).
25

E. PENGOBATAN SN RESISTEN STEROID Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis. 1. Siklofosfamid (CPA) Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan remisi.Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin. Skema pemberian CPA oral dan puls dapat dilihat pada Gambar 7. 2. Siklosporin (CyA) Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva,dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap: 1) Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL 2) Kadar kreatinin darah berkala. 3) Biopsi ginjal setiap 2 tahun. Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif.

26

Gambar 8.Pengobatan SN resisten steroid6

3.Metilprednisolon puls Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam. Dapat dilihat pada Tabel 4 :

27

Tabel 4.Protokol metilprednisolon dosis tinggi.6

4. Obat imunosupresif lain Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah vinkristin, takrolimus dan mikofenolat mofetil.Karena laporan dalam literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi di Indonesia. Skema tata laksana sindrom nefrotik selengkapnya pada Gambar 9 :

28

Gambar 9.Skema tata laksana sindrom nefrotik.6 2.9 Komplikasi 1) Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan hemostasis pada sindrom nefrotik: Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan: a) Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin seperti AT III, protein S bebas, plasminogen dan antiplasmin. b) Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2,

meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena tertekannya fibrinolisis.

29

Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.

2) Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus,

staphylococcus,

bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan. 3) Gangguan tubulus renalis Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa henle tebal.Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam. 4) Gagal ginjal akut Terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi berkurang, tapi karena edema interstisial dengan akibatnya meningkatnya tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan penurunan LFG. 5) Anemia Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten terhadap pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum yang menurun akibat proteinuria. 6) Peritonitis Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk perkembangan kuman-kuman E.coli. 7) Gangguan keseimbangan hormon dan mineral Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria. Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Disamping itu pasien sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal komensal usus. Biasanya akibat infeksi streptokokus pneumonia,

30

dengan membaiknya proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses lebih besar daripada pemasukan. Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam GIT menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D namun penyakit tulang yang nyata pada penderita SN jarang ditemukan. 3,10 Tatalaksana komplikasi Sindrom Nefrotik 1) Infeksi Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson

selama 10-14 hari.Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran napas atas karena virus. Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena (400mg/kgbb).Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 10 hari,dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara. 2) Trombosis Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik.Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan.6

31

3) Hiperlipidemia Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.6 Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan pengurangan diit

lemak. Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin).6 4) Hipokalsemia Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena: a) Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia. b) Kebocoran metabolit vitamin D. Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250 IU).Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena.6

32

2.10

Prognosis 3,4,9

Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera dapat mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal. Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun dengan kortikosteroid. Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid. 1) Kelainan minimal (minimal lesion): Prognosis lebih baik daripada golongan lainnya; sangat baik untuk anak-anak dan orang dewasa, bahkan bagi mereka yang tergantung steroid. 2) Nefropati membranosa (glomrolunefritis membranosa) Prognosis kurang baik 95% pasien mengalami azotemia dan meninggal akibat uremia dalam waktu 10-20 tahun. 3) Glomerulosklerosis fokal segmental Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik. Prognosis buruk 4) Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN) Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada sindrom nefrotik.

33

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 3.1 Kesimpulan Telah dibicarakan penyakit sindroma nefrotik yang merupakan penyakit ginjal glomerolus yang terbanyak, khususnya pada anak. Sindrom nefrotik (SN) adalah sindrom klinik yang mempunyai banyak penyebab, ditandai permeabilitas membran glomerulus yang meningkat dengan manifestasi proteinuri masif yang menyebabkan hipoalbuminemia dan biasanya disertai edema dan atau tanpa hiperkolesterolemia.Umumnya menegakkan

diagnosis diperlukan anamnesis yang adekuat,pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium terhadap sindroma nefrotik tersebut. Penyebab yang paling sering dijumpai pada anak adalah sindroma nefrotik primer. Kelainan minimal memberikan respons yang baik terhadap pengobatan dan mempunyai prognosis baik. Untuk memperoleh hasil pengobatan yang optimum perlu kerja sama antara pasien dan dokter dari segala disiplin ilmu yang saling berkaitan. 3.2 Saran Pasien dan orang tua harus memahami tentang penyakit sindrom nefrotik secara baik dan benar mulai dari arti, penyebab, perjalanan penyakit, gejala-gejala sindrom nefrotik,penatalaksanaan di rawat inap maupun rawat jalan dan di rumah,serta pentingnya edukasi orang tua terhadap pasien (anaknya) dan pemantauan minum obat anak karena anak biasanya sulit meminum obat dan tidak rutin. Oleh karena itu dokter diharapkan dapat membina komunikasi dan memberikan informasi serta edukasi kepada orangtua dan pasien sindrom nefrotik. Dokter juga diharuskan untuk mengikuti perkembangan ilmu tentang

sindrom nefrotik dan tatalaksananya.

34

DAFTAR PUSTAKA 1. Albar H. Tata Laksana Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal Pada Anak Dalam Sari Pediatri ,Juni 2006;18(1):608. Diunduh pada dari hari

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/PDF%20Vol.%2013-02-02.pdf Minggu,25 Agustus 2013.

2. [Guideline] International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC). Nephrotic syndrome in children: prediction of histopathology from clinical and laboratory characteristics at time of diagnosis. A report of the International Study of Kidney Disease in Children. Kidney Int. Feb 1978;13(2):159-65.Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/982920-overview pada hari Senin, 26 Agustus 2013. 3. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO.2004. Sindrom Nefrotik, Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 4. Behrman. Nelson.2002. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15.Jakarta: EGC. 5. Garna, Herry dkk. 2005. Ilmu Kesehatan Anak : Pedoman Diagnosis dan Terapi, Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung. 6. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO.2008.Konsesus Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak Edisi Kedua Cetakan Kedua Jakarta : Balai Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.Diunduh dari http://idai.or.id/wp-

content/uploads/2013/02/TATA-LAKSANA-SINDROM-NEFROTIK-IDIOPATIKPADA-ANAK.pdf pada hari Senin, 26 Agustus 2013. 7. Sukmarini, L. 2009.Sindrom Nefrotik. FIK-UI. Diunduh dari

http://www.scribd.com/doc/58794239/sindrom-nefrotik pada hari Selasa, 27 Agustus 2013. 8. Roth Karl S,Amaker Barbara H,Chan James .2002. Pediatrics in Review. Diunduh dari http://pedsinreview.aappublications.org/content/23/7/237.full.html pada hari Rabu, 28 Agustus 2013. 9. Staf Pengajar IKA FK UI. 2007.Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Vol.2. Jakarta:Edited by Dr.Rusepno Hasan dan Dr.Husein Alatas. Infomedika 10. Price, Braunwald, Kasper, et all. 2008.Nephrotic Syndrome. Harrisons Manual Of Medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill. Page: 803-806.

35

Anda mungkin juga menyukai