SINDROM NEFROTIK
Diajukan Oleh :
Avysia Tri Marga wulan
J 500 050 052
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SURAKARTA
2010
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit
gromerular yang ditandai dengan proteinuri masif >3.5 gram/ 24 jam/ 1.73
m2 disertai hipoalbuminemia, edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan
hiperkoagulabilitas (Hartoko B., 2008).
3
II. Sindrom nefrotik pada dewasa:
a. Glomerulonefritis primer (Sebagian besar tidak diketahui sebabnya).
1) Glomerulonefritis membranosa
Jarang menjadi penyebab SN pada anak tetapi sering pada dewasa.
Hampir semua pada orang dewasa. Pada mikroskop biasa terlihat
gambaran penebalan dinding kapiler, pada mikroskop elektron terlihat
kelainan membrana basalis. Kelainan ini jarang memberikan respon
terhadap steroid dan prognosis mortalitas lebih kurang 50%
(Himawan S., 1979).
4
Penampakan yang tidak biasa yaitu hipertensi (30% pada anak-
anak dan50% pada dewasa), hematuri (20% pada anak-anak dan 30%
pada dewasa) dan penurunan fungsi ginjal (kurang dari 5% pada anak-
anak dan 30% pada dewasa) (Braunwald E., 2008).
Prognosis kelainan ini relatif paling baik. Pengobatannya ialah
dengan pemberian steroid. Sering mengalami remisi spontan, akan
tetapi sering pula kambuh (Himawan S., 1979).
3) Glomerulonefritis membranoproliferatif
Biasa ditemukan pada anak besar dan orang dewasa muda.
Perjalanan penyakit progresif lambat, tanpa remisi dan berakhir dengan
payah ginjal. Ciri khasnya adalah kadar komplemen serum yang rendah
(Himawan S., 1979).
5
(Sumber: Orth S.R. & Berhard E., 1998)
6
disebabkan oleh gangguan sistemik (terutama diabetes, amiloidosis, dan
thrombosis vena renalis), dimana ginjal terlibat secara sekunder atau karena
mengalami respon abnormal terhadap obat atau alergen lain
(Wilson L.M.,1995).
Tabel 1: Tabel Frekwensi Relatif Penyakit Glomerular Primer pada Anak-anak dan
Dewasa
C. Patofisiologi
Sindrom nefrotik dapat terjadi karena perubahan struktur glomerulus
yang dapat terjadi karena kerusakan permukaan endotel, kerusakan membrana
basalis dan atau kerusakan podosit oleh beberapa faktor yang disebutkan
diatas. Satu atau lebih mekanisme ini akan terjadi pada salah satu tipe SN
(Cohen E.P., 2009).
7
Gambar 3: Gambar Skematik Barier Glomeruler
(Sumber: Cohen E.P., 2009)
D. Manifestasi Klinis
Gejala utama yang ditemukan adalah:
1. Proteinuri >3.5 g/ hari pada dewasa atau 0.05 g/ kg BB/ hari pada anak-
anak.
2. Hipoalbuminemia < 30 g/ l
3. Edema generalisata, edema terutama jelas dikaki, namun dapat
ditemukan edema muka, ascites dan efusi pleura.
4. Hiperlipidemia. umumnya ditemukan hiperkolesterolemia.
5. Hiperkoagulabilitas; yang akan meningkatkan risiko trombosis vena dan
arteri.
(Mansjoer A.,dkk., 2001).
a. Proteinuria
Nefrotik diabetika adalah penyebab paling sering dari nefrotik
proteinuria (Orth S.R. & Berhard E., 1998)
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap
protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal mambrana
basalis glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk
mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama
berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan
muatan listrik (charge Barrier) pada SN keduanya terganggu. Proteinuria
dibedakan menjadi proteinuria selektif dan non-selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuri selektif
apabila protein yang keluar terdiri dari molekul yang kecil misalnya
albumin, sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari
8
molekul besar seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuri ditentukan
oleh keutuhan struktur MBG (Prodjosudjadi W., 2006).
b. Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis
albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN
hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat
penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan
onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin.
Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya
hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis
albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin
melalui urin. Hipoalbuminemia dapat juga terjadi akibat peningkatan
reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal
(Prodjosudjadi W., 2006).
c. Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor
kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari
intravaskuler ke jaringan intertisium dan terjadi edema. Akibat penurunan
tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi
hipovolemi, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan
retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki
volume intravaskuler tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal
utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler
meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan LFG akibat kerusakan
ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme
tersebut ditemukan pada SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik
atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi gromerulus,
9
dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan
mekanisme mana yang lebih berperan (Prodjosudjadi W., 2006).
proteinuria
hipoalbuminemia
Volume plasma↓
Sistem RAA
ADH↑
ANP N/↓
EDEMA
10
Defek tubulus primer
Retensi Na
Volume plasma↑
ADH↓/N ANP ↑
aldosteron↓
Tubulus resisten
terhadap ANP
EDEMA
E. Komplikasi
a. Keseimbangan nitrogen
Proteinuri masif pada SN menyebabkan keseimbangan nitrogen
menjadi negatif. Penurunan masa otot sering ditemukan (10% - 20%)
tetapi gejala ini tertutup oleh gejala edema anasarka, dan baru tampak
setelah edema menghilang.
b. Hiperlipidemia dan lipiduri
Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi
dari normal sampai sedikit meninggi. Peningkatan kolesterol disebabkan
peningkatan LDL ( Low Density Lipoprotein ), lipoprotein utama
pangangkut kolesterol, LDL yang tinggi ini disebabkan peningkatan
sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. lipiduri ditandai dengan
11
akumulasi lipid pada debris sel cast seperti badan lemak berbentuk oval
(Oval Fat Boddies) dan Fatty cast .
c. Hiperkoagulasi
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktifitas berbagai
faktor koagulasi intinsik dan ekstrinsik. Mekanisme hiperkoagulasi pada
SN cukup komplek meliputi peningkatan fibrinogen, hiperagregasi
trombosit dan penurunan fibrinolisis.
d. Metabolism kalsium dan tulang
Vitamin D merupakan unsur yang penting dalam metabolisme kalsium
dan tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekresikan
melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar
25(OH)D dan 1,25 (OH)2D plasma juga ikut menurun sedangkan kadar
vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal pada SN
umumnya normal maka osteomalasi dan hipoparatiroidisme yang tak
terkontrol jarang dijumpai.
e. Infeksi
Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular dan
gangguan sistem komplemen. Penurunan kadar IgG, IgA, dan Gamma
Globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang
menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya
yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang
menggambarkan gangguan imunitas seluler. Hal ini dikaitkan dengan
keluarnya transferin dan Zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat
berfungsi dengan normal.
f. Gangguan fungsi ginjal
Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan
timbulnya nekrosis tubuler akut, mekanisme lain yang menjadi penyebab
gagal ginjal akut adalah edema intrarenal yang menyebabkan kompresi
pada tubulus ginjal.
g. Komplikasi lain
12
Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada pasien SN dewasa terutama
apabila disertai proteinuri masif, asupan oral yang kurang dan proses
katabolisme yang tinggi. Hipertensi tidak jarang ditemukan sebagai
komplikasi SN terutama dikaitkan dengan retensi natrium dan air
(Prodjosudjadi W., 2006).
F. Diagnosa
a. Anamnesis: Bengkak seluruh tubuh & buang air kecil warna keruh
b. Pemeriksaan fisik: edema anasarka & asites
c. Laboratorium: proteinuri masif, hiperlipidemia, hipoalbuminemia, (<3.5
gr/ l) lipiduria, hiperkoagulabilitas.
d. Pemeriksaan penunjang
Urinalisis, ureum, creatinin, tes fungsi hati, profil lipid, elektrolit.
Gula darah, hemostasis, pemeriksaan imunologi, biopsi ginjal,proteiun
urin kuantitatif (Hartoko B, 2008).
Pada pemeriksaan analisis darah, kadar BUN dan kreatinin mungkin bisa
atau tidak naik. Jika BUN dan kreatinin meningkat berarti pasien mempunyai
penyakit gagal ginjal dan prognosisnya buruk. Biasanya ditemukan penurunan
kalsium plasma. Diagnosis pasti melalui biopsi ginjal. Walaupun SN
merupakan indikasi utama biopsi ginjal, namun ada pengecualian: anak berusia
1 tahun - pubertas. biasanya jenis perubahan minimal dan responsif terhadap
steroid. Biopsi perlu dilakukan untuk sindrom nefrotik kongenital
(Mansjoer A.,dkk., 2001).
G. Diagnosa Banding
a. Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema
hepatal, edema Quincke.
b. Glomerulonefritis akut
c. Lupus sistemik eritematosus.
13
H. Penatalaksanaan
1. Tentukan penyebab (biopsi ginjal).
Pada orang dewasa, tidak perlu seperti anak-anak dimana dilakukan
terapi steroid sebagai bagian dari penegakkan diagnosis, kelainan minimal
hanya menjadi penyebab pada 10-20% kasus. terapi disesuaikan dengan
diagnosis dan penyebab yang mendasari (Mansjoer A,dkk., 2001).
Nefropati membranosa idiopatik menunjukkan efek yang
menguntungkan pada pemberian obat imunosupresif. Pada nefropati jenis
ini dapat terjadi remisi spontan yang tidak diinduksi oleh pemberian terapi
imunosupresif tersebut tetapi karena karakteristik penyakitnya sendiri,
Pada pasien dengan proteinuria berat jarang terjadi remisi spontan.
(Polanco N.et all., 2010)
2. Penatalaksanaan edema
Dianjurkan tirah baring dan memakai stocking yang menekan,
terutama untuk pasien usia lanjut. Hati-hati dalam pemberian diuretik
karena adanya proteinuria berat dapat menyebabkan gagal ginjal atau
hipovolemik. Harus diperhatikan dan dicatat keseimbangan cairan pasien,
biasanya diusahakan penurunan berat badan dan cairan 0.5-1 kg/ hari.
Dilakukan pengawasan terhadap kalium plasma, natrium plasma, kreatinin
dan ureum. Bila perlu diberikan tambahan kalium. Diuretik yang biasa
diberikan adalah diuretik ringan, seperti tiazid dan furosemid dosis rendah,
dosisnya dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan.
3. Garam dalam diet dan cairan dibatasi bila perlu. pemberian albumin
intravena hanya diperlukan pada kasus-kasus refrakter, terutama bila
terjadi kekurangan volume intravaskuler atau oliguria.
4. Mencegah infeksi
Biasanya diberikan antibiotik profilaksis untuk menghindari infeksi,
terutama terhadap pneumokok
14
5. Pertimbangkan obat anti koagulasi
Dilakukan pada pasien dengan sindrom nefrotik berat kecuali bila terdapat
kontra indikasi. Terapi (biasanya warfarin) dipertahankan sampai
penyakitnya sembuh (Mansjoer A.,dkk., 2001).
6. Memperbaiki nutrisi
Dianjurkan pemberian makanan tinggi kalori dan rendah garam.
Manfaat diet tinggi protein tidak jelas dan mungkin tidak sesuai karena
adanya gagal ginjal, biasanya cukup dengan protein 50-60 g/hari ditambah
kehilangan dari urin. Atau restriksi protein dengan diet protein 0,8 gram
/KgBB ideal/ hari + eskresi protein dalam urin/24 jam
7. Diet rendah kolesterol <600 mg/hari
8. Berhenti merokok.
9. Pengobatan proteinemia dengan penghambat ACE dan/ atau antagonis
reseptor Angiotensin II
10. Pengobatan dislipidemia dengan obat golongan statin dengan kerja
menurunkan kolesterol darah, misalnya lovastatin.
11. Pengobatan hipertensi dengan target tekanan darah < 125/75 mmHg.
Penghambat ACE dan antagonis reseptor Angiotensin II sebagai pilihan
obat utama (Hartoko B., 2008).
12. Transplantasi ginjal, pengobatan dengan transplantasi masih kontroversial.
13. Rituximab (RIT)
Rituximab adalah Antibodi monoklonal yang bekerja menghambat
CD20 - sel B mediasi - sel proliferasi dan diferensiasi. CD 20 adalah suatu
protein membran pada sel B yang terdapat pada sel maligna misalnya pada
Non Hodgkins Lymphoma. Francois et al melaporkan bahwa pada pasien
dewasa dengan multi relaps SN dengan perubahan minimal sukses
menggunakan RIT sukses menurunkan kejadian remisi SN
( Ahmed M.S.& Wong C.F., 2007)
15
Terapi Imun untuk Beberapa Penyakit Glomerulus Primer yang Umum Penyebab
Sindrom Nefrotik
Penyakit Terapi
Perubahan Minimal glomerulopaty Kortikosteroid ( alklating agen,
siklosporin)
Tabel 2: Tabel Terapi Imun untuk Beberapa Penyakit Glomerulus Primer yang
Umum Penyebab Sindrom Nefrotik
(Sumber: Orth S.R.& Berhard E., 1998)
16
BAB III
PENUTUP
17
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed M.S.& Wong C.F., 2007. Rituximab and nephrotic syndrome: a new
therapeutic hope? Nephrol Dial Transplant (2008) 23: 17–19
Braunwald E., 2008. Sindrom Nefrotic dalam Anthony S.F., Eugene B., Dennis
L., Kasper S.L. H., Don L.L., Joseph L.,(Eds). Principles of Internal
Medicine. Edisi 17, Volume II. Mc Graw Hill Companies Inc.1874-75
Cohen E.P., 2009. Nephrotic Syndrome. www.emidicine.com.
Effendi I.& Pasaribu R., 2006.Edema Patofisiologi dan Penanganan dalam Aru
W.S., Bambang S., Idrus A., Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta, Pusat Penerbit Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Hal.513-15
Hartoko B., 2008. Art of Therapy. Yogyakarta. Pustaka Cendikia Press
Yogyakarta. Hal. 69-70
Himawan S., 1979. Patologi Anatomi . Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal. 264-65
Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001.
Sindrom nefrotic dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1.
Jakarta. Penerbit Media Aesculapius FKUI. Hal. 525-27
Orth S.R.& Berhard E., 1998. The Nephrotic Syndrome. NEJM. Volume 338.
No.17. Hal 1202-11.
Pardede S.O., 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia kedokteran.
No.134. Hal. 32-37
Polanco N., Gutie E., Covarsı A., Ariza F., Carren., et all.,2010. Spontaneous
Remission of Nephrotic Syndrome in Idiopathic Membranous Nephropathy.
Journal of the American Society of Nephrology doi:
10.1681/ASN.2009080861
Prodjosudjadi W., 2006. Sindrom Nefrotik dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus
A., Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV. Jakarta, Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Hal. 1174 - 81
18
Wilson L.M., 1995. Gagal Ginjal Kronik dalam Price S.A.& Wilson L.M., (Ed).
Patofisiologi. Konsep Klinis Proses - Proses penyakit. Edisi IV. Jilid II.
Hal.832-33
19
)
20