Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SINDROM NEFROTIK

OLEH
MUSMALINI HUMAIRAH MUSTAFFA
NIM : 110100475

PEMBIMBING
dr Lenny Evalina S. Sp. PD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM HAJI ADAM MALIK MEDAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sindroma nefrotik (SN) adalah salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis


(GN) yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein
plasma dan ditandai dengan adanya edema anasarka, proteinuria masif, hipoalbuminemia,
hiperkolesterolemia, serta lipiduria. Sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer
atau sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung, obat atau toksin,
dan akibat penyakit sistemik. Glomerulonefritis primer / idiopatik merupakan penyebab
SN yang paling sering. Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya
pada GN pascainfeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya
obat antiinflamasi non-steroid atau preparat emas organik, dan akibat penyakit sistemik
misalnya pada lupus eritematosus sistemik dan diabetes melitus.
Menurut Raja Syeh angka kejadian kasus sindroma nefrotik di Asia tercatat 2 kasus setiap
10.000 penduduk. Sedangkan kejadian di Indonesia pada sindroma nefrotik mencapai 6 kasus
pertahun dari 100.000 anak berusia kurang dari 14 tahun. Untuk kejadian di Jawa Tengah sendiri
mencapai 4 kasus terhitung mulai dari tahun 2006.
Sifat khusus dari penyakit sindrom nefrotik adalah sering kambuh, sering gagalnya
pengobatan dan timbulnya penyulit, baik akibat dari penyulitnya sendiri maupun oleh karena
pengobatannya. Penyulit yang sering terjadi pada sindrom nefrotik adalah infeksi, trombosis,
gagal ginjal akut, malnutrisi, gangguan pertumbuhan, hiperlipidemia dan anemia. Infeksi
merupakan penyulit yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna. Bentuk
infeksi yang sering dijumpai pada sindrom nefrotik adalah peritonitis, infeksi saluran kemih, dan
sepsis. Obat-obat yang digunakan untuk terapi penyakit ini pada umumnya sangat toksik seperti
kortikosteroid dan imunosupresant. Pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dalam waktu yang
lama dapat menekan sistem imun (imunocompromised) dan menimbulkan berbagai efek samping
yang merugikan seperti munculnya infeksi sekunder. Infeksi yang tidak ditangani sebagaimana
mestinya akan mengakibatkan kekambuhan dan resisten terhadap steroid.
Mortalitas dan prognosis dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasakan etiologi, berat,
luas kerusakan ginjal, usia, kondisi yang mendasari dan responnya terhadap pengobatan. Namun
sejak diperkenalkannya kortikosteroid, mortalitas keseluruhan sindrom nefrotik telah menurun
drastis dari lebih dari 50% menjadi sekitar 2-5%. Angka kejadian sindroma nefrotik ini memang
tergolong jarang, namun penyakit ini perlu diwaspadai terutama pada anak-anak, karena jika
tidak segera diatasi akan mengganggu sistem urinaria dan akan menggangu perkembangan lebih
lanjut anak tersebut. Di samping itu masih banyak orang 3 yang belum mengerti tentang seluk
beluk sindrom nefrotik, faktor penyebab sindrom nefrotik, gejala sindrom nefrotik, dan cara
penanganan sindroma nefrotik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Sindrom nefrotik merupakan sebuah kumpulan gejala yang meliputi proteinuria masif
(proteinuria dalam batas nefrotik), edema, hiperlipidemia, dan hipoalbumin. Batas proteinuria
pada orang dewasa adalah ≥ 3,5 g/hari, namun pada anak-anak protinuria masif dinyatakan jika
protein yang diekskresikan melalui urin ≥ 40 mg/m2.1

2.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat dilaporkan angka kejadian SN per tahun rata-rata insidensi yang
ditemukan di dunia adalah sebanyak 16/100.000 kasus. Hasil observasi menemukan bahwa
dengan dilakukannya biopsi, 76% kasus merupakan kasus MCNS (minimal changes nephrotic
syndrome) sedangkan 7% kasus merupakan FSGS (focal segmental glomerulosclerosis).1
Pada anak-anak paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur
rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan dan laki-laki lebih sering
dibandingkan dengan wanita. Pada orang dewasa prevalensi terbanyak terjadi pada nefrotik
membranosa (30-50%) umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki : wanita adalah
2:1.2

2.3. Etiologi
1. Kongenital
Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah :3,4
- Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)
- Denys-Drash syndrome (WT1)
- Frasier syndrome (WT1)
- Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
- Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
- Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4; TRPC6)
- Nail-patella syndrome (LMX1B)
- Pierson syndrome (LAMB2)
- Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)
- Galloway-Mowat syndrome
- Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome
2. Primer
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau idiopatik
adalah sebagai berikut :
- Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
- Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
- Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
- Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
- Nefropati Membranosa (GNM)
3. Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai berikut :
- Lupus Erimatosus Sistemik (LES)
- Keganasan, seperti limfoma dan leukemia
- Vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan poliangitis),
sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan poliangitis),
poliartritis nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch Schonlein
- Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)
glomerulonephritis

2.4. Klasifikasi 5
A. Remisi. : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu
B. Relaps. : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu
C. Relaps jarang. : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal
atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan
D. Relaps sering. (frequent relaps): relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun
E. Dependen steroid. : relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan
F. Resisten steroid. : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full
dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu
G. Sensitif steroid. : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4
minggu

2.6. Patofisiologi
Kapiler glomerulus tersusun oleh endotel berfenestrasi yang terletak di Glomerular
Basement Membrane yang ditutupi oleh epitel glomerulus yang disebut sebagai podosit. Terdapat
3 lapisan yang berperan untuk filtrasi yakni endotel berfenestrasi, glomerular basement
membrane, dan epitel glomerulus. Ketiga lapisan ini merupakan glomerular filtration barrier.6
Kerusakan struktural di glomerulus yang dapat mengakibatkan proteinuria harus meliputi
kerusakan 1 dari 3 lapisan penting tersebut. Kerusakan minimal dapat menyebabkan albuminuria,
jika kerusakan bertambah, maka proteinuria dapat timbul.6
Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat
kerusakan glomerulus. Dalam keadaaan normal membran basal glomerulus (MBG)
memunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua
berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN, kedua mekanisme penghalang
tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos
tidaknya protein melalui MBG.2
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran
molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar
terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non-selektif apabila protein yang
keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria
ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.2
Pada SN yang disebabkan oleh glomerulonefritis lesi minimal ditemukan
proteinuria selektif . Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi foot
processus sel epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur MBG.
Berkurangnya kandungan heparan sulfat proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan
negatif MBG menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urin. Pada GSFS, peningkatan
permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi. Faktor
tersebut menyebabkan sel epitel viseral glomerulus terlepas dari MBG sehingga
permeabilitasnya meningkat. Pada GNMN kerusakan struktur MBG terjadi akibat
endapan komplek imun di sub-epitel. Komplek C5b-9 yang terbentuk pada GNMN akan
meningkatkan permeabilitas MBG, walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui.2
Terdapat 2 hipotesis tetang timbulnya edema pada pasien dengan SN. Yang pertama
adalah mekanisme underfill yang mana mekanisme ini menjelaskan bahwa rendahnya tekanan
onkotik di interstisial menyebabkan cairan tidak dapat kembali ke dalam vaskuler sehingga
menetap dalam jaringan. Hal ini menyebabkan edema. Mekanisme yang kedua adalah
mekanisme overfill, mekanisme ini menjelaskan akibat kurangnya aliran darah ke ginjal karena
cairan banyak tertinggal di jaringan, maka reaksi ginjal adalah dengan melepaskan renin yang
kemudian memicu RAAS. Aktifnya RAAS akan menyebabkan retensi cairan dan natrium.
Retensi ini akan lebih menyebabkan edema.7
Gambar 1. Schematic Drawing of The Glomerular Barrier. Podo = podocytes; GBM =
glomerular basement membrane; Endo = fenestrated endothelial cells; ESL = endothelial cell
surface layer (often referred to as the glycocalyx). Primary urine is formed through the filtration
of plasma fluid across the glomerular barrier (arrows); in humans, the glomerular filtration rate
(GFR) is 125 mL/min. The plasma flow rate (Qp) is close to 700 mL/min, with the filtration
fraction being 20%. The concentration of albumin in serum is 40 g/L, while the estimated
concentration of albumin in primary urine is 4 mg/L, or 0.1% of its concentration in plasma.
Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan
kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif
dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik
plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati
tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan
sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.
Hipoalbuminema dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh
tubulus proksimal.8
Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan factor kunci terjadinya edema
pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penuru-nan tekanan onkotik plasma sehingga
cairan bergeser dari intravascular ke jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat
penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia,
dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air.
Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan
mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.8
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi
edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi
natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien
SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretic atau terapi steroid, derajat gangguan
fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati
akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.8

2.7. Manifestasi Klinis


Pitting edema merupakan gejala klinis yang dijumpai pada 95% pasien dengan sindrom
nefrotik. Edema ini sering dijumpai pada tungkai bawah, wajah, daerah preorbita, skrotum atau
labia, serta abdomen.8
Gejala-gejala lain yang dapat timbul pada pasien dengan sindrom nefrotik meliputi:9
1. Infeksi saluran napas. Riwayat infeksi saluran napas sering kali mendahului timbulnya
sindrom nefrotik.
2. Alergi. Sekitar 30% pasien dengan sindrom nefrotik memiliki riwayat alergi.
3. Makrohematuria
4. Gejala Infeksi seperti demam, lemas, nyeri abdomen, dan lain-lain.
5. Hipotensi dan gejala syok
6. Distress pernapasan
7. Takipnea
8. Anoreksia
9. Nyeri abdomen
10. Hipertensi
2.8. Diagnosis
Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai,
atau seluruh tubuh yang dapat disertai penurunan jumlah urin. Keluhan lain juga dapat
ditemukan seperti urin keruh atau jika terdapat hematuri berwarna kemerahan.7
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau
adanya asites dan edema skrotum/labia, terkadang ditemukan hipertensi.7
Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (≥+2), rasio albumin kreatinin urin >2 dan
dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapati hipoalbuminemia (200 g/dL) dan laju
endap darah yang meningkat. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada
penurunan fungsi ginjal. Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan
gejala:2,8,9
- Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
- Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
- Edema anasarka (generalisata)
- Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
Berikut adalah beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, antara lain:10
1. Urinalisis, biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah kepada
infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatin pada urin
pertama pagi hari.
3. Pemeriksaan darah
- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
- hematokrit, LED). Albumin dan kolesterol serum
- Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus Schwartz
- Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik
- Pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-
DNA

2.10. Penatalaksanaan
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada
kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.10.11
A. Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi
steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari
atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi
remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap
tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila
terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis
40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari),
1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh,
tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid. 10,11
B. Pengobatan SN Relaps
Skema pengobatan relaps yaitu diberikan prednison dosis penuh sampai remisi
(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien
SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum
pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas.
Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria
menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan
proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison
mulai diberikan.10,11
C. Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid
Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang
telinga tengah, atau kecacingan. Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau
dependen steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid
dosis 1,5mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap
0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil
yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini
disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6- 12 bulan, kemudian dicoba
dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5
mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating.11
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating, maka
relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap
hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8
mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2
minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps
yang sebelumnya atau relaps yang terakhir.10,11 Bila relaps terjadi pada dosis prednison
rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping
yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb
selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).12,14

2.10.1. Suportif
Bila ada edema anasarka diperlukan tirah baring. Selain pemberian kortikosteroid
atau imunosupresan, diperlukan pengobatan suportif lainnya, seperti pemberian diet
protein normal (1,5-2 g/kgBB/hari), diet rendah garam (1-2 g/hari) dan diuretik. Diuretik
furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis
aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari bilaada edema anasarka atau edema
yang mengganggu aktuvitas. Jika ada hipertensi dapat ditambahkan obat antihipertensi.
Pemberian albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgBB selama 2-4 jam untuk menarik cairan
dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2
mg/kgBB dilakukan atas indikasi seperti edema refrakter, syok, atau kadar albumin ≤1
gram/dL. Terapi psikologis terhadap pasien dan orang tua diperlukan karena penyakit ini
dapat berulang dan merupakan penyakit kronik.10,11
Untuk menghilangkan edema hebat dapat diberikan albumin (salt poot human
albumin, suatu larutan dengan kadar natrium 130-160 mEq). Namun demikian,
mengingat resiko albumin ini sangat besar, yaitu bisa menimbulkan hipertensi dan
overload, maka pemberian albumin harus lebih selektif, yaitu hanya diberikan apabila 14 :
a. Ada penurunan volume yang hebat (hipovolemi hebat) dengan gejala postural
hipotensi, sakit perut, muntah, dan diare.
b. Sesak dan edema hebat disertai edema pada skrotum/labia.
- Dosis pemberian albumin : Kadar albumin serum 1-2 g/dL : diberikan 0,5
g/kgBB/hari, kadar albumin

2.11. Komplikasi
1. Hiperlipidemia dan lipiduria
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar kolesterol
umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi ari normal sampai sedikit meninggi.
Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein),
lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan
peningkatan VLDL (very low density lipoprotein). Selain itu ditemukan pula peningkatan
IDL dan lipoprotein a sedangkan HDL cenderung normal atau rendah.2,12
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid
dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Semula diduga hiperlipidemia
merupakan hasil stimulasi non-spesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Karena sintesis
protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia disimpulkan hiperlipidemia tidak langsung
diakibatkan oleh hipo-albuminemia. Hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan
kadar albumin mendekati normal dan sebaliknya pada pasien dengan hipoalbuminemia
kadar kolesterol dapat normal. 2,12
Tinginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan
katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi
LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya ektivitas enzim LPL
(lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada
SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau
viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada SN diduga akibat berkurangnya
aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol acyltransferase) yang berfungsi katalisasi
pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju
hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait dengan
hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai
dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval
fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria daripada dengan
hiperlipidemia. 2,12

2. Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan koagulasi
intravascular. Pada SN akibat GNMN kecenderungan terjadinya trombosis vena renalis
cukup tinggi sedangkan SN pada GNLM dan GNMP frekuensinya kecil. Emboli paru dan
thrombosis vena dalam (deep vein thrombosis=DVT) sering dijumpai pada SN. Kelainan
tersebut disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik
dan ekstrinsik. Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup kompleks meliputi peningkatan
fibrinogen, hiperagregasi trombosit, dan penurunan fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang
terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein melalui
urin. 2,12
3. Gangguan metabolisme kalsium dan vitamin D
Vitamin D merupakan unsure penting dalam metabolisme kalsium dan tulang pada
manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga
menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25(OH)2D plasma juga ikut
menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Karena fungsi
ginjal pada SN umumnya normal maka osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang tidak
terkontrol jarang dijumpai. Pada SN juga terjadi kehilangan hormone tiroid yang terikat
protein melalui urin dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan hormon
yang menstimulasi tiroksin (TSH) tetap normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan
gangguan.2,12
4. Infeksi
Sebelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab kematian pada SN
terutama oleh organism berkapsul (encapsulated organisms). Infeksi pada SN terjadi akibat
defek imunitas humoral, selular, dan ganggauan system komplemen. Penurunan IgG, IgA,
dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun
atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin.
Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas selular.
Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar
dapat berfungsi dengan normal.13
5. Gangguan fungsi ginjal
Pasien SN memiliki potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai
mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan timbulnya
nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal
akut adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal.13
Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang menjadi PGTA (penyakit ginjal
tahap akhir). Proteinuria merupakan faktor risiko penentu terhadap progresivitas SN.
Progresivitas kerusakan glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis, dan kerusakan
tubulointerstisium dikaitkan dengan proteinuria. Hiperlipidemia juga dihubungkan dengan
mekanisme terjadinya glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisium pada SN,
walaupun peran terhadap progresivitas penyakitnya belum diketahui secara pasti.13
DAFTAR PUSTAKA

1. IGN, Wila Wirya. "Sindrom nefrotik." Buku ajar Nefrologi Anak. 2nd ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI (2002): 381-426.
2. Sudjadi WP. Sindrom nefrotik. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Kolopaking
MS, Setiati S. 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
3. Cohen EP. Nephrotic syndrome. Emedicine, medscape August 25, 2009 available at
http://www.medscape.com diunduh 23 Februari 2010.
4. International Study of Kidney Disease (ISKD). 2008 Nephrotic Syndrome : prediction of
histopathology from clinical and laboratory characteristics at time of diagnosis. A report
of the International Study of Kidney Diease in Children. Kidney Int. 13(2) : 159-65.
5. Widajat, H. R. R., M. H. Muryawan, and O. Mellyana. 2011. Sindrom Nefrotik Sensitif
Steroid. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. 252-9.
6. Pramana, P. D., and Kadri H. Mayetti. 2009. Hubungan antara Proteinuria dan
Hipoalbuminemia pada Sindrom Nefrotik yang Dirawat di RSUP Dr. M. Djamil Padang.
90-3.
7. Suprapto, N., and S. O. Pardede. 2013. Sindrom nefrotik. Dalam: Tanto, chris. dkk,
Editor. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4: 93-4.
8. Bagga A. 2009. Revised guidelines for management of steroid-sensitive nephrotic
syndrome. Indian Journal of Nephrology. 18(1) : 1-12.
9. Trihono, Partini P., et al. 2016. Pengaruh lama pengobatan awal sindrom nefrotik
terhadap terjadinya kekambuhan. Sari Pediatri. 4(1): 2-6.
10. Niaudet P. 2009. Steroid-Sensitive Idiopathic Nephrotic Syndrome. In Avner E, Harmon
W and Niaudet P Nephrology. 5th edition. Philadelphia : Lippicontt, Williams & Wilkins;
Chap 27.
11. Bergstein, J. M. 2014. Sindrom nefrotik. Dalam: Arvin, BK, Editor.Edisi 15: 1828-32.
12. Hull RP, Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in adults. BMJ 2008; 336: 1185-9.
13. Arsita E. 2017. Pendekatan diagnosis dan tatalaksana sindroma nefrotik. Jurnal
Kedokteran Meditek. 23(64): 73-82.

Anda mungkin juga menyukai