OBSTRUKTIF JAUNDICE
Disusun oleh :
dr. Meyva Sasmita
Pembimbing:
dr. Taufiek Hikmawan Yuliarto Benni Sembada, Sp.B
dr. Puspito Dewi, Sp.PD
LAPORAN KASUS
OBSTRUKTIF JAUNDICE
Disusun Oleh :
dr. Meyva Sasmita
Pembimbing:
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum, wr.wb
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Obstruktif
Jaundice ini. Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi syarat dalam mengikuti
dan menyelesaikan Program Internsip Dokter Indonesia di RSUD Prembun Kebumen.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Taufiek
Hikmawan, Sp.B dan dr. Puspito Dewi, Sp.PD yang telah meluangkan waktunya untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran
dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya.
Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi kita semua, akhir kata penulis mengucapkan
terima kasih.
Wassalamu’alaikum.wr.wb
Penulis
ii
DAFTAR ISI
hal
HALAMAN PENGESAHAN………………………………...… i
KATA PENGANTAR…………………………………………... ii
BAB IV Kesimpulan……………………………………………... 31
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………… 32
iii
BAB I
LAPORAN KASUS
(PASIEN I)
I. REKAM MEDIK
A. ANAMNESA
Identifikasi
Nama : Tn. S
Tanggal lahir : 20 Januari 1962
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Krajan 01/01, Merden, Padureso, Kebumen
Keluhan
Utama : Badan kuning
Riwayat penyakit
a. Penyakit dahulu : Tidak ada
b. Penyakit dalam keluarga : Disangkal
1
B. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Keadaan umum : Sedang
Sensorium : Compos Mentis
Tekanan darah : 140/100 mmHg
Denyut Nadi : 56 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Temperatur : 36,4oC
Keadaan gizi : Cukup
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 65 kg
Status Generalisata
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+), pupil isokor
3 mm/3 mm, refleks cahaya direk (+/+) indirek (+/+)
Mulut : sianosis (-), cheilitis (-), lidah kotor (-)
Leher : KGB tidak membesar, tiroid tidak teraba membesar, TVJ
R-2 cmH2O
Thorax
Pulmo : -Inspeksi : Simetris fusiformis, ketinggalan nafas (-)
-Palpasi : SF ka=ki, nyeri tekan (-)
-Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
-Auskultasi : SP: Vesikuler di kedua lapangan paru
ST: Ronchi (-/-), Wheezing (-/-)
Cor : -Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
-Palpasi : Iktus teraba di ICS V LMCS
-Perkusi : Batas Atas jantung: ICS III LMCS
Batas kiri jantung : ICS V LMCS
Batas kanan jantung: LPSD
-Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-)
2
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
HEMATOLOGI RUTIN
Hb : 13,2 gr/dL
Leukosit : 4.900/ul
Trombosit : 286.000/mm3
Eritrosit : 4,68 x 106/mm3
Ht : 39 %
Diftel count : 2/0/70/19/9
KIMIA KLINIK
GDS : 110 mg/dL
Ureum Darah : 34 mg/dL
Kreatinin Darah : 1,12 mg/dL
SGOT : 38 U/L
SGPT : 68 U/L
Total Bilirubin : 15,08 mg/dL
Direct Bilirubin : 12,06 mg/dL
Indirect Bilirubin : 3,02 mg/dL
IMUNOSEROLOGI
HBs Ag : Non Reaktif
ELEKTROLIT
Natrium : 138 mmol/l
Kalium : 2.0 mmol/l
Chlorida : 105 mmol/l
3
Elektrokardiografi
Rontgen Thorax AP
4
Jantung ukuran membesar, CTR > 50%
Trakea di tengah
USG ABDOMEN
Kesan:
Hepatomegali dengan cholestasis
Hidrops VF
Pancreatic fatty infiltrat
Lien, Renal, dan VU normal
Tak tampak ascites
5
D. RESUME
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan badan kuning yang dirasakan
sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, badan terasa lemas, mual (+)
muntah (-), nafsu makan menurun, nyeri perut (+) di ulu hati. BAK
berwarna pekat seperti teh dan BAB berwarna agak putih. Pemeriksan fisik
pada pasien didapatkan tanda vital yaitu TD: 140/100 mmHg, HR: 56
x/menit, RR: 20 x/menit, T: 36,4oC. Pemeriksaan fisik generalisata
ditemukan sclera ikterik, nyeri tekan abdomen di regio epigastrium, dan
hepatomegali. Pemeriksaan penunjang laboratorium darah diperoleh
SGOT: 38 U/L (meningkat), SGPT: 68 U/L (meningkat), Total Bilirubin:
15,08 mg/dL (meningkat), Direct Bilirubin: 12,06 mg/dL (meningkat),
Indirect Bilirubin: 3,02 mg/dL (meningkat), dan Kalium: 2,0 mmol/L
(menurun), dari EKG diperoleh kesan sinus bradikardi dan dari hasil
rontgen Thorax diperoleh kesan kardiomegali .
E. DIAGNOSIS
Ikterik e.c Susp. Hepatitis Akut
F. PENATALAKSANAAN
Terapi di IGD
IVFD Asering 20 tpm
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
Curcuma 3x1 tab
Sucralfat syr 3 x II Cth
KSR 3x1 tab
Koreksi kalium dengan KCl 1 flc dalam RL 500 cc habis dalam 8 jam
Konsul spesialis penyakit dalam raber bedah
G. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
6
H. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
16-2-2019 Sp. PD: lemas, KU/Kes: Sedang/CM Sp. PD: -IVFD Asering 20 tpm
badan kuning TD: 154/101 mmHg Cholestasis -Inj. Ranitidin 50 mg/12
HR: 55 x/i Hipokalemi jam
RR: 20 x/i -Curcumex 1x1 tab
-Sucralfat syr 3xII Cth
T: 36.5 oC
-KSR 3x1 tab
-Urdahex 2x1 tab
-Lesipar 2x1 tab
Sp.B: Ikterik Sp.B: Sp.B: -Infus Aminofusin hepar 1
Abdomen Obstructive fl/hari
-Inspeksi: flat Jaundice e.c
-Auskultasi: peristaltik batu dd
(+) normal keganasan Sp.B: Rujuk RSDS untuk
-Perkusi: timpani dilakukan MRCP/ERCP
-Palpasi: lemas, nyeri
tekan epigastrium
17-2-2019 DU: lemas (+) KU/Kes: Sedang/CM Hipokalemia -Koreksi kalium dengan
TD: 161/93 mmHg KCl 50 mEq dalam NaCl
HR: 42 x/i 0.9% 20 tpm
RR: 20 x/i -Terapi lain lanjut
T: 36.8 oC
Lab:
Na: 141 mmol/L
K: 1,8 mmol/L
Cl: 102 mmol/L
18-2-2019 Sp.PD: lemas KU/Kes: Sedang/CM -Cholestasis -Terapi lanjut
(+), nyeri perut TD: 182/89 mmHg -Hepatitis
(-) HR: 49 x/i -Hipokalemia R/ Cek ulang elektrolit
RR: 20 x/i berat besok
T: 36.7 oC
7
Lab:
Na: 138 mmol/L
K: 1,9 mmol/L
Cl: 97 mmol/L
Sp.PD: lemas KU/Kes: Sedang/CM -Cholestasis -Terapi lanjut
20-2-2019 (+), mual (+) TD: 177/93 mmHg -Hepatitis
berkurang HR: 46 x/i -Hipokalemia R/
RR: 20 x/i berat -Cek ulang elektrolit
T: 36.8 oC post koreksi KCl
-Rencana rujuk → cari
Mata: CA -/-, SI +/+ kamar dulu
Abdomen: Supel, BU
(+) normal, NT (-),
Hepatomegali (+)
21-2-2019 Sp.PD: lemas KU/Kes: Sedang/CM -Cholestasis BLPL (Rujuk dari Poli)
(+), BAK pekat TD: 109/98 mmHg -Hepatitis Terapi pulang:
(+), BAB (+) N HR: 49 x/i -Hipokalemia -Lansoprazole 1x1
RR: 20 x/i berat -Sucralfat 3 x I C
T: 36.3 oC -KSR 3x1
-Urdafalk 2x1
Lab: -Curcumex 1x1
Na: 138 mmol/L -Lesipar 2x1
K: 2,0 mmol/L
Cl: 97 mmol/L
8
LAPORAN KASUS
(PASIEN II)
I. ANAMNESA
Identifikasi
Nama : Ny. S
Tanggal lahir : 19 November 1976
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Bagung 02/02, Prembun, Kebumen
Keluhan
Utama : Nyeri perut
Riwayat penyakit
c. Penyakit dahulu : cholesistitis kronis, hepatitis, cholelithiasis multiple
d. Penyakit dalam keluarga : Disangkal
9
J. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Keadaan umum : Sedang
Sensorium : Compos Mentis
Tekanan darah : 122/84 mmHg
Denyut Nadi : 84 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Temperatur : 36,5oC
Keadaan gizi : Cukup
Tinggi badan : 155 cm
Berat badan : 50 kg
Status Generalisata
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+), pupil isokor
3 mm/3 mm, refleks cahaya direk (+/+) indirek (+/+)
Mulut : sianosis (-), cheilitis (-), lidah kotor (-)
Leher : KGB tidak membesar, tiroid tidak teraba membesar, TVJ
R-2 cmH2O
Thorax
Pulmo : -Inspeksi : Simetris fusiformis, ketinggalan nafas (-)
-Palpasi : SF ka=ki, nyeri tekan (-)
-Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
-Auskultasi : SP: Vesikuler di kedua lapangan paru
ST: Ronchi (-/-), Wheezing (-/-)
Cor : -Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
-Palpasi : Iktus teraba di ICS V LMCS
-Perkusi : Batas Atas jantung: ICS III LMCS
Batas kiri jantung : ICS V LMCS
Batas kanan jantung: LPSD
-Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-)
10
K. PEMERIKSAAN PENUNJANG
HEMATOLOGI RUTIN
Hb : 13,3 gr/dL
Leukosit : 8.410/ul
Trombosit : 193.000/mm3
Eritrosit : 4,49 x 106/mm3
Ht : 39 %
Diftel count : 1/0/90/8/1
KIMIA KLINIK
GDS : 112 mg/dL
Ureum Darah : 22 mg/dL
Kreatinin Darah : 0,55 mg/dL
SGOT : 645 U/L
SGPT : 505 U/L
Total Bilirubin : 1,96 mg/dL
Direct Bilirubin : 1,26 mg/dL
Indirect Bilirubin : 0,70 mg/dL
Elektrokardiografi
11
L. RESUME
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri perut kanan atas dan
ulu hati, hal ini sudah sering dialami kambuh-kambuhan sejak 1 tahun
yang lalu. Badan menggigil disertai mual muntah, demam (-), BAB tidak
ada kelainan, BAK berwarna seperti teh pekat, riwayat cholelithiasis
multiple dan cholesistitis kronis sejak 1 tahun yang lalu, namun jarang
kontrol berobat 6 bulan terakhir. Pemeriksan fisik pada pasien didapatkan
tanda vital yaitu TD: 122/84 mmHg, HR: 84 x/menit, RR: 20 x/menit, T:
36,5oC. Pemeriksaan fisik generalisata ditemukan sclera ikterik, nyeri
tekan abdomen di regio epigastrium dan hipokondrium dextra, Murphy’s
sign (+), hepar dan lien tidak teraba. Pemeriksaan penunjang laboratorium
darah diperoleh SGOT: 645 U/L (meningkat), SGPT: 505 U/L
(meningkat), Total Bilirubin: 1,96 mg/dL (meningkat), Direct Bilirubin:
1,26 mg/dL (meningkat), Indirect Bilirubin: 0,70 mg/dL (normal). EKG
diperoleh kesan normal.
M. DIAGNOSIS
Colic abdomen
N. PENATALAKSANAAN
IVFD Asering 20 tpm
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
Inj. Ondansetron 4 mg/8 jam
Inj. Ceftazidim 1g/8 jam
Curcuma 3x1 tab
UDCA 3x1 tab
Sucralfat syr 3 x I C
Diet lunak TKTP
USG Abdomen
12
O. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
P. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
6-3-2019 Sp. PD: nyeri KU/Kes: Sedang/CM Sp. PD: -IVFD Asering 20 tpm
perut (+) TD: 93/60 mmHg Cholecystitis -Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
HR: 108 x/i -Inj. Ranitidin 50 mg/12
RR: 20 x/i jam
-Inj. Ondansetron 4
T: 36.6 oC
mg/8jam
-Inj. Ceftazidim 1g/ 8 jam
Hasil USG Abdomen: -Curcuma 3x1 tab
-Cholecystitis dengan -UDCA 3x1 tab
sludge (+) -Sucralfat syr 3xI C
-Lien, Hepar, Renal, -Lesipar 2x1 tab
dan VU normal -Infus Aminoleban 1 fl/hari
-Tak tampak ascites -Konsul bedah
13
Mata: CA -/-, SI +/+ -Domperidon 3x1 (k/p)
Abdomen: Supel, BU -Lesipar 2x1
(+) normal, timpani, -Sucralfat syr 3xI C
NT (+) hipokondrium
dextra
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi1
Ikterus (jaundice) berasal dari bahasa Greek, yang berarti kuning. Ikterus adalah
gambaran klinis berupa perubahan warna pada kulit dan mukosa yang menjadi kuning
karena adanya peningkatan konsentrasi bilirubin dalam plasma, yang mencapai lebih dari 2
mg/dl. Terdapat 3 jenis ikterus berdasarkan lokasi penyebabnya, yaitu ikterus prahepatik
(hemolitik), ikterus intrahepatik (parenkimatosa), dan ikterus ekstrahepatik (obstruktif).
Ikterus obstruktif merupakan ikterus yang disebabkan oleh adanya obstruksi pada sekresi
bilirubin pada jalur post hepatik, yang dalam keadaan normal seharusnya dialirkan ke
traktus gastrointestinal.
Hepar
Hepar merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh dan mempunyai banyak fungsi.
Tiga fungsi dasar hepar, yaitu: (1) membentuk dan mensekresikan empedu ke dalam
traktus intestinalis; (2) berperan pada metabolism yang berhubungan dengan karbohidrat,
lemak, dan protein; (3) menyaring darah untuk membuang bakteri dan benda asing lain
yang masuk ke dalam darah dari lumen intestinum.
Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak dibagian atas cavitas abdominalis tepat
dibawah diafragma. Hepar terbagi menjadi lobus hepatis dekstra dan lobus hepatis sinistra.
Lobus hepatis dekstra terbagi lagi menjadi lobus caudatus dan lobus quadratus.
Porta hepatis, atau hilus hepatis, terdapat pada fasies visceralis dan terletak
diantara lobus caudatus dan quadratus, bagian atas ujung bebas omentum minus melekat
pada pinggir-pinggir porta hepatis. Pada tempat ini terdapat duktus hepatikus dekstra dan
sinistra, ramus dekstra dan sinistra arteri hepatica, vena porta hepatica, serta serabut-
serabut saraf simpatis dan parasimpatis. Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena sentralis
dari masing-masing lobulus bermuara ke vena hepatica. Di dalam ruangan diantara
lobulus-lobulus terdapat kanalis hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena
porta hepatis, dan sebuah cabang duktus koledokus (trias hepatis). Darah arteria dan vena
berjalan diantara sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke vena sentralis.
Vesika biliaris
15
Vesika biliaris merupakan sebuah kantong berbentuk buah pir yang terletak pada
permukaan bawah (fasies visceralis) hepar. Vesika biliaris mempunyai kemampuan
menampung empedu sebanyak 30-50 ml dan menyimpannya serta memekatkan empedu
dengan cara mengabsorbsi air. Vesika biliaris dibagi menjadi fundus, corpus, dan collum.
Fundus vesika biliaris berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah inferior hepar,
penonjolan ini merupakan tempat fundus bersentuhan dengan dinding anterior abdomen
setinggi ujung cartilage costalis IX dekstra. Corpus vesika biliaris terletak dan
berhubungan dengan fasies visceralis hepar dan arahnya keatas, belakang, dan kiri. Collum
vesika biliaris melanjutkan diri sebagai duktus cystikus yang berbelok ke arah dalam
omentum minus dan bergabung dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis untuk
membentuk duktus koledokus.
Hepar
Hepar terdiri atas unit-unit heksagonal, yaitu lobulus hepatikus. Di bagian tengah
setiap lobulus terdapat sebuah vena sentralis, yang dikelilingi secara radial oleh lempeng
sel hepar, yaitu hepatosit, dan sinusoid kearah perifer. Sinusoid hati dipisahkan dari
hepatosit dibawahnya oleh spatium perisinusoideum subendotelial.
16
dalam sinusoid mengalir ke dalam vena sentralis. Akibatnya, empedu dan darah tidak
bercampur.
Vesika biliaris
Vesika biliaris merupakan organ kecil berongga yang melekat pada permukaan
bawah hepar. Empedu diproduksi oleh hepatosit dan kemudian mengalir dan disimpan di
dalam kandung empedu (vesika biliaris). Empedu keluar dari kandung empedu memalui
duktus sistikus dan masuk ke duodenum melalui duktus biliaris komunis menembus papilla
duodeni mayor. Empedu dicurahkan ke dalam saluran pencernaan akibat rangsangan kuat
hormon kolesistokinin dan secara kurang kuat oleh serabut-serabut saraf yang
menyekresikan asetilkolin dari system saraf vagus dan enterik usus, yang meningkatkan
motilitas dan sekresi empedu.
17
Bilirubin merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui
proses reaksi oksidasi-reduksi. Metabolisme bilirubin meliputi pembentukan, transportasi,
liver uptake , konjugasi, dan ekskresi bilirubin.
Fase Pre-hepatik
1) Pembentukan bilirubin.
Bilirubin berasal dari katabolism protein heme, dimana 75% berasal dari
penghancuran eritrosit yang sudah tua dan 25% berasal dari penghancuran eritrosit
yang imatur dan protein heme lainnya seperti mioglobin, sitokrom, katalase, dan
peroksidase. Pembentukannya berlangsung di sistem retikoloendotelial. Langkah
oksidase pertama adalah pembentukan biliverdin yang dibentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase. Biliverdin yang larut dalam air kemudian akan
direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat
lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut
dalam air.
Hemoglobin
Heme Globin
2) Transport plasma
Selanjutnya bilirubin yang telah dibentuk akan diangkut ke hati melalui
plasma, harus berikatan dengan albumin plasma terlebih dahulu oleh karena
sifatnya yang tidak larut dalam air
Fase Intra-Hepatik
18
3) Liver uptake
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai permukaan sinusoid hepatosit,
terjadi proses ambilan bilirubin oleh hepatosit melalui sistem transpor aktif
terfasilitasi, namun tidak termasuk pengambilan albumin. Setelah masuk ke dalam
hepatosit, bilirubin akan berikatan dengan ligandin, yang membantu bilirubin tetap
larut sebelum dikonjugasi.
4) Konjugasi
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati (bilirubin tak terkonjugasi)
akan mengalami konjugasi dengan asam glukoronat yang dapat larut dalam air di
reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronyl
transferase (UDPG-T) membentuk bilirubin konjugasi, sehingga mudah untuk
diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu.
Fase Post-Hepatik
5) Ekskresi bilirubin
Bilirubin yang terkonjugasi diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu
melalui proses mekanisme transport aktif yang diperantarai oleh protein membran
kanalikuli, dikenal sebagai multidrug-resistance associated protein-2 (MRP-2).
Setelah bilirubin terkonjugasi diekskresikan ke dalam kandung empedu,
bilirubin kemudian memasuki saluran cerna. Sewaktu bilirubin terkonjugasi
mencapai ileum terminal dan usus besar, glukoronida dikeluarkan oleh enzim
bakteri khusus, yaitu ß-glukoronidase, dan bilirubin kemudian direduksi oleh flora
feses menjadi sekelompok senyawa tetrapirol tak berwarna yang disebut
urobilinogen. Sebanyak 85% urobilinogen akan diubah menjadi urobilin dan
sterkobilin yang akan mewarnai feses. Sisanya 15% akan direabsorpsi kembali ke
hepar, lewat siklus urobilinogen ekstrahepatik dan sekitar 1% dari sisa tersebut
akan dialirkan ke ginjal. Di ginjal akan diubah menjadi urobilin dan akan memberi
warna pada urin.
19
Gambar 2.3. Metabolisme bilirubin normal 6
20
Penyebab masing-masing jaundice berdasarkan patofisiologi diatas secara umum
terdapat dalam tabel berikut:
Tabel 2.1 Etiologi Hiperbilirubinemia Indirect7 Tabel 2.2 Etiologi Hiperbilirubinemia Direct7
1. Di dalam lumen duktus, oleh karena batu saluran empedu, parasit seperti ascariasis
2. Di dinding duktus, oleh karena atresia kongenital, striktur
3. Di luar dinding duktus, oleh karena karsinoma kaput pancreas, Ca periampullary
Selain itu penyebab obstruktif jaundice terbagi menjadi 2 bagian berdasarkan
patofisiologinya, yaitu ikterus obstruksi intrahepatik dan ikterus obstruktif ekstrahepatik.
Ikterus obstruktif intrahepatik pada umumnya terjadi pada tingkat hepatosit atau membran
kanalikuli bilier sedangkan ikterus obstruktif ekstrahepatik, terjadinya ikterus disebabkan
oleh karena adanya sumbatan pada saluran atau organ diluar hepar. Adapun penyakit yang
menyebabkan terjadinya ikterus obstruktif adalah sebagai berikut:
21
a. Kolelitiasis dan koledokolitiasis
Batu saluran empedu mengakibatkan retensi pengaliran bilirubin terkonjugasi ke
dalam saluran pencernaan sehingga mengakibatkan aliran balik bilirubin ke dalam
plasma menyebabkan tingginya kadar bilirubin direk dalam plasma.
b. Tumor ganas saluran empedu
Insidens tumor ganas primer saluran empedu pada penderita dengan kolelitiasis
dan tanpa kolelitiasis, pada penderita laki-laki dan perempuan tidak berbeda. Umur
kejadian rata-rata 60 tahun, tetapi tidak jarang didapatkan pada usia muda. Jenis
tumor kebanyakan adenokarsinoma pada duktus hepatikus atau duktus koledokus.
c. Atresia bilier
Terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran
empedu, sehingga terjadi peningkatan kadar bilirubin direk. Atresia bilier
merupakan penyebab kolestatis ekstrahepatik neonatal yang terbanyak. Terdapat
dua jenis atresia biliaris, yaitu ekstrahepatik dan intrahepatik. Bentuk intrahepatik
lebih jarang dibandingkan dengan ekstrahepatik.
d. Tumor kaput pankreas
Tumor eksokrin pankreas pada umumnya berasal dari sel duktus dan sel asiner.
Sekitar 90% merupakan tumor ganas jenis adenokarsinoma duktus pankreas, dan
sebagian besar kasus (70%) lokasi kanker adalah pada kaput pankreas. Pada
stadium lanjut, kanker kaput pankreas sering bermetastasis ke duodenum,
lambung, peritoneum, hati, dan kandung empedu.
1. Anamnesis
Anamnesis yang teliti harus dilakukan untuk membedakan etiologi ikterus, apakah
penyebab ikterus karena adanya obstruksi (post-hepatic) atau karena gangguan pre-hepatic
atau hepatic. Hasil anamnesis yang sering ditemukan pada pasien dengan obstructive
jaundice adalah timbulnya kekuningan pada seluruh tubuh, warna urin seperti teh pekat,
feses berwarna dempul dan pruritus4.
Keluhan nyeri kolik di daerah epigastrium, ikterus intermiten dan demam lebih
mengarahkan kepada koledokolitiasis dan kolangitis asensdens. Kolik bilier adalah nyeri
pada kuadran kanan atas yang disertai dengan mual dan muntah. Nyeri dapat menjalar ke
22
punggung dan bahu kanan. Nyeri terasa sangat hebat dan dapat bertahan selama beberapa
menit hingga beberapa jam. Seringkali nyeri muncul pada waktu malam hingga pasien
terbangun dari tidur. Episode minor dari keluhan tersebut dapat muncul pada siang hari
secara intermiten. Kolik bilier dapat dicetus setelah konsumsi makanan yang tinggi lemak,
konsumsi makanan yang banyak setelah berpuasa dengan lama, atau konsumsi makanan
yang biasa. Obstruksi yang disebabkan oleh malignansi menimbulkan keluhan seperti
penurunan berat badan, anorexia, malaise, timbul massa di abdomen dan nyeri epigastrium
yang menjalar ke punggung. Riwayat trauma pada abdomen dapat menyebabkan
kolesistitis. Riwayat operasi pada kandung empedu dan traktus biliaris dapat menyebabkan
striktur. Riwayat cacing dalam feses mengarahkan kepada infeksi parasit. 10,11
2. Pemeriksaan Fisik10
3. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium12
a. Pemeriksaan rutin
- Darah : Perlu diperhatikan jumlah leukosit, bila jumlahnya meningkat, maka
berarti terdapat infeksi. Perhatikan juga apakah terdapat peningkatan prothrombin
time (PT) atau tidak, karena apabila prothrombin time meningkat, maka perlu
dicurigai adanya penyakit hepar, atau obstruksi bilier.
- Urin : Penting untuk mengetahui apakah warna urin merah kecoklatan seperti teh
secara makroskopis, serta terdapat kandungan bilirubin dalam urin atau tidak.
Apabila urin berwarna gelap kecoklatan, perlu dicurigai adanya peningkatan
23
kadar bilirubin direk yang diekskresikan melalui urin yang mengarah pada ikterus
obstruktif.
- Feses : untuk mengetahui apakah feses berwarna dempul atau tidak. Feses yang
berwarna dempul, menandakan bahwa terdapatnya gangguan aliran bilirubin direk
ke dalam saluran intestinal akibat adanya suatu sumbatan pada aliran empedu.
b. Tes faal hati :
- Merupakan tes untuk mengetahui gambaran kemampuan hati untuk mensintesa
protein (albumin, globulin, faktor koagulasi), dan memetabolisme zat yang
terdapat dalam darah, meliputi:
Albumin
Albumin disintesa oleh hati dan mempertahankan keseimbangan distribusi air
dalam tubuh (tekanan onkotik koloid). Albumin membantu transport beberapa
komponen darah, seperti ion, bilirubin, hormone, enzim, dan obat.
Apabila nilai albumin menurun, maka perlu dicurigai adanya gangguan fungsi
hepar, infeksi kronis, edema, ascites, sirosis, serta perdarahan.
Alanin Aminotransferase (ALT/SGOT)
Konsentrasi enzim ALT yang tinggi terdapat pada hati. ALT juga terdapat
pada jantung, otot, dan ginjal, namun ALT lebih banyak terdapat di dalam
hati, dan lebih spesifik menunjukan fungsi hati daripada AST. Apabila terjadi
peningkatan kadar ALT, maka perlu dicurigai adanya penyakit hepatoseluler,
sirosis aktif, obstruksi bilier, dan hepatitis. Nilai peningkatan yang signifikan
adalah adalah dua kali lipat dari nilai normal.
Aspartase Aminotransferase (AST/SGPT)
AST merupakan enzim yang memiliki aktivitas metabolism yang tinggi,
ditemukan di jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak, limfe, pankreas dan paru-
paru. Penyakit yang menyebabkan perubahan, kerusakan, atau kematian sel
pada jaringan tersebut akan mengakibatkan enzim ini terlepas ke dalam
sirkulasi. Apabila terjadi peningkatan, dapat dicurigai adanya penyakit hati,
pancreatitis akut, juga penyakit jantung seperti MI.
Gamma Glutamil Transferase (Gamma GT)
GGT terutama terdapat pada hati dan ginjal. GGT merupakan enzim marker
spesifik untuk fungsi hati dan kerusakan kolestatis dibandingkan ALP. GGT
adalah enzim yang diproduksi di saluran empedu sehingga meningkat
nilainya pada gangguan empedu, seperti kolesistitis, koletiasis, sirosis, atresia
bilier, obstruksi bilier. GGT sangat sensitif tetapi tidak spesifik. Jika terjadi
peningkatan hanya kadar GGT (bukan AST, ALT) bukan menjadi indikasi
kerusakan hati.
24
Alkali fosfatase
Enzim ini merupakan enzim yang berasal dari tulang, hati, dan plasenta.
Konsentrasi tinggi dapat ditemukan dalam kanalikuli bilier, ginjal, dan usus
halus. Pada penyakit hati, kadar alkali fosfatase akan meningkat karena
ekskresinya terganggu akibat obstruksi saluran bilier.
Bilirubin
Peningkatan kadar bilirubin indirek lebih sering terjadi akibat adanya
penyakit hepatoseluler, sedangkan apabila terjadi peningkatan bilirubin direk
biasanya terjadi karena adanya obstruksi pada aliran ekskresi empedu.
2) Pemeriksaan USG13
Pemeriksaan USG sangat berperan dalam mendiagnosa penyakit yang menyebabkan
ikterus obstruktif, dan merupakan langkah awal sebelum melangkah ke pemeriksaan yang
lebih lanjut apabila diperlukan. Yang perlu diperhatikan adalah:
a. Besar, bentuk, dan ketebalan dinding kandung empedu. Bentuk kandung empedu yang
normal adalah lonjong dengan ukuran 2-3 x 6 cm, dengan ketebalan sekitar 3 mm.
b. Saluran empedu yang normal mempunyai diameter 3 mm. bila saluran empedu lebih
dari 5 mm berarti terdapat dilatasi. Apabila terjadi sumbatan pada daerah duktus
biliaris, yang paling sering terjadi adalah pada bagian distal, maka akan terlihat duktus
biliaris komunis melebar dengan cepat kemudian diikuti pelebaran bagian proksimal.
Perbedaan obstruksi letak tinggi atau letak rendah dapat dibedakan. Pada obstruksi
letak tinggi atau intrahepatal, tidak tampak pelebaran duktus biliaris komunis. Apabila
terlihat pelebaran duktus biliaris intra dan ekstra hepatal, maka ini disebut dengan
obstruksi letak rendah (distal).
c. Ada atau tidaknya massa padat di dalam lumen yang mempunyai densitas tinggi
disertai bayangan akustik (acoustic shadow), dan ikut bergerak pada perubahan posisi,
hal ini menunjukan adanya batu empedu. Pada tumor, akan terlihat masa padat pada
ujung saluran empedu dengan densitas rendah dan heterogen.
d. Apabila terdapat kecurigaan penyebab ikterus obstruktif adalah karena karsinoma
pankreas, dapat terlihat adanya pembesaran pankreas lokal maupun menyeluruh,
perubahan kontur pankreas, penurunan ekhogenitas, serta dapat ditemukan adanya
pelebaran duktus pankreatikus.
25
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk melihat duktus biliaris serta untuk
menentukan letak penyebab sumbatan. Dengan pemeriksaan ini dapat diperoleh gambaran
saluran empedu di proksimal sumbatan. Bila kolestasis karena batu, akan memperlihatkan
pelebaran pada duktus koledokus dengan didalamnya tampak batu radiolusen. Bila
kolestasis karena tumor, akan tampak pelebaran saluran empedu utama (common bile duct)
dan saluran intrahepatik dan dibagian distal duktus koledokus terlihat ireguler oleh tumor.
a. Pada koledokolitiasis, akan terlihat filling defect dengan batas tegas pada duktus
koledokus disertai dilatasi saluran empedu.
b. Striktur atau stenosis dapat disebabkan oleh kelainan diluar saluran empedu yang
menekan, misalnya kelainan jinak atau ganas. Striktur atau stenosis umumnya
disebabkan oleh fibrosis akibat peradangan lama, infeksi kronis, iritasi oleh parasit,
iritasi oleh batu, maupun trauma operasi. Striktur akibat keganasan saluran empedu
seperti adenokarsinoma dan kolangio-karsinoma bersifat progresif sampai
menimbulkan obstruksi total. Kelainan jinak ekstra duktal akan terlihat gambaran
kompresi duktus koledokus yang berbentuk simetris. Tumor ganas akan
mengadakan kompresi pada duktus koledokus yang berbentuk ireguler.
c. Tumor ganas intraduktal akan terlihat penyumbatan lengkap berupa ireguler dan
menyebabkan pelebaran saluran empedu bagian proksimal. Gambaran seperti ini
26
akan tampak lebih jelas pada PCT, sedangkan pada ERCP akan tampak
penyempitan saluran empedu bagian distal tumor.
d. Tumor kaput pankreas akan terlihat pelebaran saluran pankreas. Pada daerah
obstruksi akan tampak dinding yang ireguler.
27
perbaikan penyakitnya. Jika penyebabnya adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya
membutuhkan tindakan pembedahan.
a. Tatalaksana kolelitiasis
Pada pasien dengan kolelitiasis dapat dilakukan tindakan operatif kolesistektomi,
yaitu dengan mengangkat batu dan kandung empedu. Kolesistektomi dapat berupa
kolesistektomi elektif konvensional (laparatomi) atau dengan menggunakan
laparaskopi.
Indikasi kolesistektomi elektif konvensional maupun laparaskopik adalah adalah
kolelitiasis asimptomatik pada penderita diabetes mellitus karena serangan kolesistitis
akut dapat menimbulkan komplikasi berat. Indikasi lain adalah kandung empedu yang
tidak terlihat pada kolesistografi oral, yang menandakan stadium lanjut, atau kandung
empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm karena batu yang besar lebih
sering menyebabkan kolesistitis akut dibandingkan dengan batu yang lebih kecil.
Indikasi lain adalah kalsifikasi kandung empedu karena dihubungkan dengan kejadian
karsinoma.
b. Tatalaksana tumor ganas saluran empedu
Tatalaksana terbaik adalah dengan pembedahan. Adenokarsinoma saluran empedu
yang baik untuk direseksi adalah yang terdapat pada duktus koledokus bagian distal
atau papilla Vater. Pembedahan dilakukan dengan cara Whipple, yaitu pankreatiko-
duodenektomi.
c. Tatalaksana atresia bilier
Tatalaksana atresia bilier ekstrahepatik adalah dengan pembedahan. Atresia bilier
intrahepatik pada umumnya tidak memerlukan pembedahan karena obstruksinya relatif
bersifat ringan. Jenis pembedahan atresia bilier ekstrahepatik adalah portoenterostomi
teknik Kasai dan bedah transplantasi hepar.
d. Tatalaksana tumor kaput pankreas
Sebelum terapi bedah dilakukan, keadaan umum pasien harus diperbaiki dengan
memperbaiki nutrisi, anemia, dan dehidrasi. Bedah kuratif yang mungkin berhasil
adalah pankreatiko-duodenektomi (operasi Whipple). Operasi Whipple ini dilakukan
untuk tumor yang masih terlokalisasi, yaitu pada karsinoma sekitar ampula Vateri,
duodenum, dan duktus koledokus distal.
Kebanyakan tumor pancreas tidak dapat dilakukan reseksi, oleh sebab itu strategi
paliatif dapat dilakukan seperti dengan endoscopic biliary stenting atau dengan
surgical biliary bypass surgery dengan atau tanpa gastrojejunostomy14
28
BAB III
ANALISIS KASUS
Tn.S, 57 tahun, datang ke IGD RSUD Prembun dengan keluhan badan kuning sejak
2 hari sebelum masuk rumah sakit, badan terasa lemas, mual namun tidak sampai muntah,
nafsu makan menurun, disertai nyeri perut di ulu hati. Pasien mengatakan BAK nya
berwarna pekat seperti teh dan BAB nya berwarna agak putih. Demam dan penurunan
berat badan tidak dijumpai. Riwayat sakit kuning sebelumnya (-), riwayat sakit liver (-),
riwayat konsumsi alkohol (-), riwayat konsumsi obat-obatan (-).
Dari hasil pemeriksaan fisik diperoleh sclera ikterik, nyeri tekan abdomen di regio
epigastrium, dan hepatomegali. Pemeriksaan penunjang laboratorium darah diperoleh
peningkatan nilai SGOT, SGPT, total bilirubin, direct bilirubin, indirect bilirubin, dan
hipokalemi. Hasil EKG diperoleh kesan sinus bradikardi dan dari hasil rontgen thorax
diperoleh kesan kardiomegali. Hasil USG Abdomen menunjukkan gambaran hepatomegali
dengan cholestasis dan hidrops gall bladder.
Pada pasien ini dari hasil anamnesis diperoleh gejala-gejala yang mengarah pada
ikterus obstruktif, seperti badan kuning disertai BAK pekat seperti teh oleh karena
peningkatan bilirubin direk yang bersifat larut air di dalam urin, selain itu pasien juga
mengatakan BAB nya berwarna seperti dempul yang menunjukkan adanya sumbatan aliran
bilirubin ke dalam usus sehingga feses tidak berwarna. Gejala lainnya seperti nyeri ulu hati
disertai mual, tidak spesifik mengarah ke ikterus obstruktif, namun gejala tersebut dapat
membantu untuk menemukan penyebab yang mendasari ikterus obstruktif.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya sclera ikterik, hal ini menunjukkan
adanya penumpukan bilirubin di plasma yang terdeposit pada jaringan ikat longgar, selain
itu ditemukan hepatomegali dan nyeri tekan epigastrium yang merupakan salah satu
manifestasi klinis adanya gangguan di hati dan saluran empedu. Dari hasil pemeriksaan
laboratorium diperoleh kenaikan nilai enzim hati SGOT dan SGPT, namun nilai tersebut
kurang signifikan karena peningkatan nilainya kurang dari dua kali lipat nilai normal.
Sebaiknya dilakukan penilaian kadar enzim GGT dan ALP untuk membantu memastikan
letak gangguan apakah di hepar atau di saluran empedu. Pada ikterus obstruktif nilai SGOT
dan SGPT dapat ditemukan normal atau mengalami sedikit peningkatan, namun kadar ALP
dan GGT akan meningkat pada ikterus obstruktif.
Pemeriksaan kadar bilirubin total, direct dan indirect di dalam darah juga
menunjukkan terjadinya peningkatan, dengan dominasi peningkatan terutama pada
29
bilirubin direct, hal ini akan membantu menegakkan diagnosis adanya ikterus post hepatik
terutama jika disertai pemeriksaan urin untuk menemukan adanya bilirubin di urin dan
hasil urobilin yang negatif. Pada ikterus hepatik masih terdapat adanya urobilin di dalam
urin selain ditemukan adanya bilirubin. Dari hasil USG abdomen pada pasien ditemukan
adanya hepatomegali dengan cholestasis dan hidrops gall bladder. Gambaran ini
mendukung adanya ikterus obstruktif oleh karena adanya dilatasi pada kandung empedu
disertai stasis saluran empedu, pembesaran hepar dapat terjadi oleh karena adanya kongesti
bilier akibat stasis empedu. Namun belum dapat ditemukan penyebab pasti cholestasis
pada pasien ini, sehingga diperlukan adanya pemeriksaan lanjutan seperti MRCP/ERCP
untuk mengetahui penyebab sumbatan dan menentukan terapi yang sesuai.
30
BAB IV
KESIMPULAN
Ikterus post-hepatik atau ikterus obstruktif dapat dibedakan dengan ikterus lainnya
secara klinis maupun dengan pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Pada umumnya
gejala ikterus obstruktif adalah ikterik disertai dengan BAK berwarna pekat seperti teh dan
BAB yang pucat seperti dempul. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya
peningkatan bilirubin direct/conjugated di plasma dan ditemukannya bilirubin di urin
yang disertai hasil negatif pemeriksaan urobilinogen. Pemerikaan enzim hati juga dapat
membantu penegakan diagnosis. Pemeriksaan radiologi dengan USG merupakan lini
pertama dalam evaluasi ikterus obstruktif untuk memastikan dan mencari penyebab
obstruksi.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Sulaiman, Ali. Pendekatan klinis pada pasien ikterus. In: Aru W Sudoyo, et al.
Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid 1. 5th Ed. Jakarta: Penerbitan FKUI;
2007.p.420-3.
2. Snell, Richard S. Anatomi klinik. 6 th Ed. Jakarta: Penerbitan buku kedokteran
EGC; 2006.p.240-7, 288-91.
3. Eroschenko, Victor P. Dygestive system: liver, gallbladder, and pancreas. In:
Difiore’s atlas of histology with functional correlations. 11 th Ed. USA: Lippincott
Williams & Wilkins; 2007.
4. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, et al. The liver bilirubinemias. In: Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 17th ed. United States of America: Mc Graw Hill;
2007.p.297-8.
5. Murray RK, Granner DK. Biokimia Harper. 27th ed. Jakarta: EGC; 2005.p.285-300.
6. Abbas MW, Shamshad T, Ashraf MA, Javaid R. Jaundice: a basic review. Int J Res
Med Sci. 2016;4(5): 1313-1319
7. Fargo MV, Grogan SP, Saguil A. Evaluation of Jaundice in Adults. Am Fam
Physician. 2017;95(3): 164-168.
8. Prabakar A, Raj RS. Obstructive Jaundice: A Clinical Study. J. Evolution Med.
Dent. Sci. 2016;5(28): 1423-1429.
9. Aditya PM, Suryadarma IGA. Laporan kasus: sirosis hepatis. Bali: Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana; 2012.
10. Sjamsuhidajat, R. Buku ajar ilmu bedah. 3th Ed. Jakarta: Penerbitan buku
kedokteran EGC; 2010.p254-7,663-7,672-82,717-82.
11. Kumar. P., and Clark. M., Clinical Medicine 17th Ed. Pg 329-333
12. Pedoman interpretasi data klinik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2011.p15-26, 56-62.
13. Tahir MS. Obstructive Jaundice. Indep Rev Oct-Dec 2013;15(10-12): 435-445.
14. Fekaj E, Jankulovski N, Matveeva N. Obstructive Jaundice. Austin Dig Syst. 2017;
2(1): 1006
32