Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

ANEMIA ET CAUSA MYELOFIBROSIS

DISUSUN OLEH:
dr. Qurata Aini Dewi

PEMBIMBING:
dr. Yandi Kurniawan, Sp.PD

PENDAMPING:
dr. Novita Museliza, MM

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. M. YUNUS
BENGKULU
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-
Nya Laporan Kasus yang berjudul ANEMIA ET CAUSA MYELOFIBROSIS” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan penyelesaian tugas sebagai dokter
internship. Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, penulis mendapat banyak bantuan,
masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan perlu pendalaman
lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
bersifat konstruktif demi kesempurnaan laporan kasus ini. Penulis berharap semoga gagasan
pada laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi dunia kesehatan dan pendidikan pada
khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bengkulu, 24 April 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

BAB I ...................................................................................................................................................... 4
BAB II................................................................................................................................................... 13
A. Anemia ...................................................................................................................................... 13
B. Myelofibrosis ............................................................................................................................ 17
C. Myelodysplastic Syndromes (MDS) ......................................................................................... 20
D. Thalasemia ................................................................................................................................ 21
E. Anemia pada Pasien Primary Myelofibrosis ............................................................................. 23
F. Penatalaksanaan Myelofibrosis ................................................................................................. 24
G. Hepatomegali dan Splenomegali pada Myelofibrosis............................................................... 26
H. Anemia pada Pasien Terkait ..................................................................................................... 26
I. Prognosis ................................................................................................................................... 28
BAB III ................................................................................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 31

3
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Usia : 48 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Bengkulu
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal Masuk RS : 21 Maret 2019

B. Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis kepada pasien

C. Keluhan Utama
Rasa lemas dan pusing terus menerus

D. Riwayat Penyakit Sekarang


Ny. S tahun datang ke Poliklinik Penyakit Dalam RSMY dengan keluhan pasien
berupa lemas dan pusing yang dirasa terutama sejak 5 Hari SMRS. Pasien
menyatakan keluhan berlangsung terus menerus, tidak membaik dengan istirahat,
bertambah berat jika beraktivitas. Pasien merasa aktivitas harian sangat terganggu.
Pasien mengaku mengalami pusing (+) tanpa diserta sesasi seperti melihat cahaya.
Riwayat pingsan disangkal. Pasien mengeluh adanya mual, muntah (-). Nafsu
makan menurun dikarenakan perut terasa kurang nyaman. Akan tetapi, keluhan
lain seperti demam, nyeri ulu hati, BAB hitam, BAB berdarah disangkal. Gangguan
BAB dan BAK disangkal.

E. Riwayat Penyakit Dahulu


MDS : Post Rawat Inap Desember 2018
Thalasemia : Post Rawat Inap Desember 2018
Myelofibrosis : (+) Januari 2019

4
Dispepsia : disangkal
Hipertensi : disangkal
Diabetes melitus : disangkal
CKD : disangkal

F. Riwayat Penyakit Keluarga


Hipertensi : disangkal
Diabetes melitus : disangkal
Gangguan hematologi : disangkal
Keganasan : disangkal

G. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : E4 V5 M6 , Compos Mentis
E.1 Tanda Vital
Blood Pressure : 114/48 mmHg
Heart Beat : 88 kpm
Respiratory Rate : 26 kpm
Temperature : 36oC
VAS :3
E.2 General Examination
a. Kepala : Normocephal
b. Mata : Conjuctiva Anemis: +/+, Sklera : Ikterik -/-
c. Hidung : Deviasi Septum : (-); Sekret : (-/-)
d. Mulut :
 Mukosa : basah
 Sianosis : (-)
 Hiperplasi Gusi : (-)
 Perdarahan Gusi : (-)
e. Leher : pembesaran limfonodi : (-); Tiroid : bergerak saat menelan,
pembesaran (-), JVP : dbn
f. Thorax :
 Inspeksi : gerak nafas simetris : (+/+), otot bantu nafas : (-/-)

5
 Palpasi : daya kembang paru : simetris
 Perkusi : sonor (+/+); Batas jantung : Kanan atas: SIC II Linea
parasternalis dextra ; Kanan bawah: SIC IV Line parasternalis dxtra ; Kiri
atas:SIC II linea parasternalis sinistra ; Kiri bawah: SIC IV linea
medioclavicularis sinistra
 Auskultasi :
- Paru-paru : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
- Cor : S1/S2 reguler, murmur (-)
g. Abdomen :
 Inspeksi : datar, soepel (+)
 Auskultasi : bising usus (+) Normal
 Palpasi : nyeri tekan epigastrik (+), splenomegali (+)
 Perkusi : timpani (+), hepatomegali (+)
h. Ekstremitas :
 Inspeksi : Sianosis (-/-)
 Palpasi : akral hangat (+/+), CRT: 3 detik
H. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah : 21 Maret 2019
Darah Lengkap :
Hb : 2,2 mg/L
AL : 2600/L
AT : 606.000
HMT :7
AE : 1,1
Limfosit : 44
Neutrofil segmen : 43
Monosit :8
Basofil :1
Eusinofil :3
Ureum : 31 (ureum serum: 8-20mg)
Kreatinin : 0,8 mg/dl (wanita 0,5-1,1mg/dl)
SGOT : 8 (10-40u/L)
SGPT : 5 (10-40u/L)

6
b. Morfologi darah tepi : 22 Maret 2019
Hb : 2,2
Leukosit : 2600
Trombosit : 606.000
Hematokrit :7
Diff Count : 1/3/1/43/44/8
MCV/MCH/MCHC/RDW-CV : 77,8/19,0/24,4/20,2
Kesan eritrosit : normositik, normokromik, polikromasi
Kesan Leukosit : Jumlah Cukup, Morfologi dalam Batas Normal
Kesan Trombosit : jumlah meningkat, penyebaran merata, trombosit besar
Kesimpulan : observasi trombositosis dengan gambaran anemia
normositik normokromik

c. Bone Marrow Puncture : 16 Januari 2019


Diagnosis Klinis : Trombositosis dengan bisitopenia curiga MPN
Keterangan Klinik :
AT : 1047.000
Hb : 9,9
AL : 3640
Makroskopik : 1 buah jaringan ukuran : panjang : 1,8 cm, diameter 0,2
cm,kecoklatan keras, 1 kup 1 kaset.

Mikroskopik : Sediaan biopsi sumsum tulang menunjukkan keping-keping


trabekula tulang dan jaringan sumsum tulang yang fibrotik. Rasio mielod :
eritroid meningkat. Maturasi seri mieloidditemukan hingga segmen Ditemukan
megakariosit yang atipik membentuk kelompok-kelompok. Ditemukan
peningkatan serat retikulin keras, sinus berdilatasi. Topografi: C42.1 Morfologi
: M289,8
Kesimpulan: Histologik dengan Myeloproliferative Neoplasm (MPN) condong
jenis Primary Myelofibrosis derajat II WHO
Anjuran : pemeriksaan JAK

d. Blood Incompatibility 30 Januari 2019

7
Golongan darah : AB Rh Positif
Sel Darah Merah : Terdapat sensitasi invivo oleh imun antibodi IgG
Serum : Ditemukan adanya antibodi yang reaktif paa Liss
Coomb’s spesifikasi belum dapat ditentukan
Auto Kontrol : positif
Cross Match : compatible major dan incompatible minor
I. Diagnosis
Anemia berat dengan Primary Myelofibrosis
Myelofibrosis (myeloproloferatif neoplasma)
J. Penatalaksanaan
Non Farmakologis:
Pro rawat inap
Periksa H2TL, UR/CR, SGOT/PT, morfologi darah tepi
Diet tinggi kalori tinggi protein
Edukasi mengenai kondisi pasien, terapi yang akan diberikan, serta target terapi.
Farmakologis :
IV FD 20 tpm
Trf prc 3x250 cc
Inj omeprazole 1x1
Asam folat 3x1 tab
Ca Glukonas post trg prc 3 kolf
Inj Dexametason 2x1 amp
Inj difenhidramin 2x1 amp
Paracetamol 3x500 mg
Domperidon 3x1 tab
Loratadin 2x10 mg
K. Catatan Perkembangan Pasien
21/3/2019 22/3/2019 23/3/2019 24/3/2019 25/3/2019 26/3/2019
S: lemas, S:lemas,pusi S:lemas,pusi S:lemas,pusi S:keluhan S: merasa lebih
pusing ng ng berkurang ng minimal lemas segar
O: O: O: O: minimal O:
KU: lemah, KU: lemah, KU: sedang, KU: sedang, O: KU: sedang,
CM CM CM CM CM

8
TD: 114/48 TD: 110/50 TD: 110/60 TD: 110/60 KU: sedang, TD: 110/600
mmhg mmhg mmhg mmhg CM mmhg
HR : 88 HR : 85 KPM HR : 81 KPM HR : 80 KPM TD: 110/60 HR : 80 KPM
KPM RR : 24 KPM RR : 24 KPM RR : 20 KPM mmhg RR : 20 KPM
RR : 28 T : 36,5 C T : 36,7 C T : 36,5 C HR : 80 T : 36,7 C
KPM Kepala: Kepala: Kepala: KPM Kepala:
T : 37,2 C CA (+/+) SI(- CA (+/+) SI(- CA (+/+) SI(- RR : 20 CA (+/+) SI(-/-
Kepala: /-) /-) /-) KPM )
CA (+/+) Thorax: Thorax: Thorax: T : 36,5 C Thorax:
SI(-/-) Inspeksi : Inspeksi : Inspeksi : Kepala: Inspeksi :
Thorax: retraksi retraksi retraksi CA (+/+) retraksi dinding
Inspeksi : dinding dada dinding dada dinding dada SI(-/-) dada -/-, gerak
retraksi -/-, gerak -/-, gerak -/-, gerak Thorax: dinding dada
dinding dada dinding dada dinding dada dinding dada Inspeksi : simetris +/+
-/-, gerak simetris +/+ simetris +/+ simetris +/+ retraksi Perkusi : sonor
dinding dada Perkusi : Perkusi : Perkusi : dinding dada Palpasi : vocal
simetris +/+ sonor sonor sonor -/-, gerak fremitus :
Perkusi : Palpasi : Palpasi : Palpasi : dinding dada simetris +/+
sonor vocal vocal vocal simetris +/+ Auskultasi :
Palpasi : fremitus : fremitus : fremitus : Perkusi : vesikuler +/+,
vocal simetris +/+ simetris +/+ simetris +/+ sonor Rh-/-, Wh -/-,
fremitus : Auskultasi : Auskultasi : Auskultasi : Palpasi : Cor S1/S2 reg
simetris +/+ vesikuler +/+, vesikuler +/+, vesikuler +/+, vocal murmur (-)
Auskultasi : Rh-/-, Wh -/-, Rh-/-, Wh -/-, Rh-/-, Wh -/-, fremitus : Abdomen :
vesikuler Cor S1/S2 reg Cor S1/S2 reg Cor S1/S2 reg simetris +/+ Cembung,
+/+, Rh-/-, murmur (-) murmur (-) murmur (-) Auskultasi : soepel (+),
Wh -/-, Cor Abdomen : Abdomen : Abdomen : vesikuler NTE (+),
S1/S2 reg Cembung, Cembung, Cembung, +/+, Rh-/-, hepatomegali
murmur (-) soepel (+), soepel (+), soepel (+), Wh -/-, Cor (+),
Abdomen : NTE (+), NTE (+), NTE (+), S1/S2 reg splenomegali,
Cembung, hepatomegali hepatomegali hepatomegali murmur (-) BU (+) N
soepel (+), (+), (+), (+), Abdomen : Ekstremitas :
NTE (+), Cembung, edema (-), CRT

9
hepatomegal splenomegali splenomegali splenomegali soepel (+), 3 detik, sianosis
i (+), , BU (+) N , BU (+) N , BU (+) N NTE (+), (-/-)
splenomegal Ekstremitas : Ekstremitas : Ekstremitas : hepatomegal Lab:
i, BU (+) N edema (-), edema (-), edema (-), i (+), Hb: 7,6
Ekstremitas CRT 3 detik, CRT 3 detik, CRT 3 detik, splenomegal
: edema (-), sianosis (-/-) sianosis (-/-) sianosis (-/-) i, BU (+) N P : BLPL
CRT 3 detik, Lab: Lab: Ekstremitas Kontrol poli
sianosis (-/-) Morfologi Hb: 4,8 : edema (-), interna
Lab: darah tepi : A: Anemia ec CRT 3 detik, 30/3/201
Hb: 2,2 Kesan Myelofibrosi A: Anemia ec sianosis (-/- Terapi yang
AL: 2600 eritrosit s Myelofibrosi ): dilanjutkan di
AT: 606.000 s A: Anemia rumah:
HMT: 7 : P: periksa hb ec Omeprazole
Ur/cr: 0,6/31 normositik, IV fd RL 20 P: Myelofibros 1x1 cap
MCV: 77,9 normokromik tpm IV fd RL 20 is Metilprednisol
MCH: 9,0 , polikromasi Trf prc 3x250 tpm on 3x1 tab
Kesan cc Trf prc 3x250 P: Sukralfat 3x1 c
A: Anemia Leukosit Inj cc IV fd RL 20 Domperidon
ec : Jumlah omeprazole Inj tpm 3x1
Myelofibros Cukup, 1x1 omeprazole Trf prc Sangobion 3x1
is Morfologi Asam folat 1x1 3x250 cc tab
dalam Batas 3x1 tab Asam folat Inj
P: periksa Normal Ca Glukonas 3x1 tab omeprazole
mdt Kesan post trg prc 3 Ca Glukonas 1x1
sgot/sgpt Trombosit kolf post trg prc 3 Asam folat
IV fd RL 20 : jumlah Inj kolf 3x1 tab
tpm meningkat, Dexametason Inj Ca Glukonas
Trf prc penyebaran 2x1 amp Dexametason post trg prc 3
3x250 cc merata, Inj 2x1 amp kolf
Inj trombosit difenhidrami Inj Inj
omeprazole besar n 2x1 amp difenhidrami Dexametaso
1x1 Kesimpulan Paracetamol n 2x1 amp n 2x1 amp
3x500 mg

10
Asam folat : Domperidon Paracetamol Inj
3x1 tab observasi 3x1 tab 3x500 mg difenhidrami
Ca Glukonas trombositosis Loratadin Domperidon n 2x1 amp
post trg prc 3 dengan 2x10 mg 3x1 tab Paracetamol
kolf gambaran Loratadin 3x500 mg
Inj anemia 2x10 mg Domperidon
Dexametaso normositik 3x1 tab
n 2x1 amp normokromik Loratadin
Inj 2x10 mg
difenhidrami A: Anemia ec
n 2x1 amp Myelofibrosi
Paracetamol s
3x500 mg
Domperidon P:
3x1 tab IV fd RL 20
Loratadin tpm
2x10 mg Trf prc 3x250
cc
Inj
omeprazole
1x1
Asam folat
3x1 tab
Ca Glukonas
post trg prc 3
kolf
Inj
Dexametason
2x1 amp
Inj
difenhidrami
n 2x1 amp

11
Paracetamol
3x500 mg
Domperidon
3x1 tab
Loratadin
2x10 mg

12
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anemia
1. Fisiologi Sel Darah Merah
Sel darah merah adalah sel-sel yang paling banyak dari sel darah tepi (10 -12 / L).
Mereka adalah di antara sel-sel paling sederhana dalam vertebrata dan sangat
terspesialisasi untuk fungsinya, yaitu untuk membawa oksigen ke semua bagian tubuh
dan mengembalikan karbon dioksida ke paru-paru. Sel merah hanya ada dalam sirkulasi
- tidak seperti kebanyakan jenis darah putih sel-sel mereka tidak dapat melintasi
membran endotel. Mereka lebih besar dari diameter kapiler di sirkulasi mikro. Ini
mengharuskan mereka untuk memiliki membran yang fleksibel.

Sel darah merah mengandung hemoglobin yang memungkinkan mereka membawa


oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2). Hemoglobin terdiri dari empat rantai globin
polipeptida masing-masing dengan besi yang mengandung molekul hem. Tiga jenis
hemoglobin yang terdapat pada darah orang dewasa normal: haemoglobin A, A2 dan
F. Kemampuan hemoglobin untuk mengikat O2 diukur sebagai kurva pemisahan
hemoglobin-O2. Mengangkat konsentrasi 2,3-DPG, H + ion atau CO 2 mengurangi O2
afinitas, memungkinkan lebih banyak O2 pengiriman ke jaringan. Beberapa varian
patologis haemoglobin mirip dengan Hb F dalam memiliki afinitas oksigen yang lebih
tinggi daripada Hb A; ini menyebabkan, pada orang dewasa, keadaan hipoksia jaringan
relatif dan tubuh mengkompensasi dengan meningkatkan jumlah sel darah merah
(polisitemia sekunder). Sebaliknya, beberapa varian patologis haemoglobins (mis. Hb
S, hemoglobin utama pada penyakit sel sabit) memiliki afinitas oksigen yang lebih
rendah daripada Hb A. Ini memungkinkan individu untuk mempertahankan oksigenasi
jaringan yang lebih tinggi dari normal untuk konsentrasi hemoglobin yang diberikan.

2. Eritropoesis
Prekursor sel darah merah yang paling awal dapat dikenali adalah pronormoblast. Ini
muncul dari sel nenek moyang CFU-E yang berkomitmen untuk produksi sel darah
merah. Pronormoblast memiliki nukleus terbuka, sitoplasma itu bernoda biru tua
(karena kandungan RNA yang tinggi) dengan yang biasa (Romanowsky) pewarnaan
untuk sel darah sumsum tulang. Dengan serangkaian sel pembelahan dan diferensiasi

13
(dengan pembentukan hemoglobin dalam sitoplasma), sel berkembang melalui tahapan
normoblas yang berbeda sampai mereka kehilangan intinya. Sepuluh hingga lima belas
persen dari yang mengalami eritroblas mati di dalam sumsum tanpa menghasilkan sel
darah merah yang matang. Eritropoiesis yang tidak efektif meningkat dan menjadi
penting penyebab berkurangnya konsentrasi hemoglobin (anemia) di berbagai keadaan
patologis, mis. thalassemia mayor, myelofibrosis, myelodysplasia dan anemia
megaloblastik. Sel darah merah yang matang tidak memiliki nukleus, ribosom atau
mitokondria. Mereka bertahan hidup selama sekitar 120 hari sebelum diangkat oleh
makrofag sistem retikuloendotelial. Sel-sel merah mampu hanya jalur metabolisme
yang paling sederhana. Jalur glikolitik adalah sumber energi utama (ATP) diperlukan
untuk mempertahankan bentuk dan deformabilitas sel darah merah. Jalur hexose
monophosphate ‘shunt’ (pentose phosphate) menyediakan sumber utama nikotinamid
adenin dinukleotida fosfat (NADPH) tereduksi, yang mempertahankan glutathione
tereduksi (GSH) dan melindungi hemoglobin dan protein membran dari oksidan
kerusakan. Radikal oksigen dihasilkan oleh konstanta oksigenasi dan deoksigenasi
hemoglobin. Selaput sel darah merah adalah lapisan lipid bipolar yang melabuhkan
permukaan antigen. Ia memiliki kerangka protein (spektrin, aktin, protein 4.1 dan
ankyrin) yang mempertahankan bentuk biconcave dan cacat bentuk sel darah merah.
Protein-protein ini mengandung beberapa kelompok sulphydryl (-SH) yang sangat
penting untuk pemeliharaan struktur tersier mereka dan oleh karena itu integritas
struktural sel merah. Kelompok sulphydryl ini membutuhkan NADPH yang dihasilkan
oleh jalur pentosa fosfat untuk melindunginya dari radikal oksigen.

14
3. Definisi Anemia
Anemia didefinisikan sebagai jumlah sirkulasi rendah yang abnormal sel darah merah
atau kadar hemoglobin, atau keduanya, menghasilkan kapasitas pembawa oksigen
berkurang. Anemia biasanya terjadi dari kehilangan berlebihan (perdarahan) atau
kerusakan (hemolisis) dari sel darah merah atau dari kekurangan produksi sel darah
merah karena kurangnya unsur nutrisi atau sumsum tulang kegagalan.

Etiologi dan Klasifikasi Anemia


Anemia bukanlah penyakit, tetapi merupakan indikasi dari beberapa proses
ketidaknyamanan atau perubahan fungsi tubuh.
Pada dasarnya anemia dapat disebabkan oleh :
1) Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang
2) Kehilangan darah tubuh/perdarahan
3) Proses penghancuran eritrosit sebelum waktunya

Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis


A. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang
1) Kekurangan bahan pembentuk eritrosit
a. Fe
b. Asam folat
c. B12
2) Gangguan utilisasi besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3) Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mioplastik
c. Keganasan hematologi
d. Diseritropoetik
e. Sindrom mielodisplastik

Anemia akibat kekurangan eritropoetin pada CKD


B. Kehilangan darah tubuh/perdarahan
a. Kronik
b. Akut

C. Proses penghancuran eritrosit sebelum waktunya


a. Intrakorpuskuler
b. Ekstrakorpuskuler

15
4. Klasifikasi Anemia
Klasifikasi anemia dibuat berdasarkan gambran morfologi darah tepi. Dalam
klasifikasi ini, anemia dibagi menjadi tiga golongan:
1) Anemia hipokromik mikrositer, jika MCV < 80 fl
2) Anemia normokromik normositer, jika MCV 80-95 fl dan McH 27-34 pg
3) Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl

Gejala Anemia
Gejala anemia secara umum dibagi menjadi tiga:
1) Gejala umum anemia
2) Gejala khas masing masing anemia
3) Gejala penyakit dasar

Pendekatan Diagnosis Anemia

16
B. Myelofibrosis
1. Definisi
Myelofibrosis primer (PMF) adalah salah satu jenis neoplasma myeloproliferative
(MPN), kelompok keganasan sumsum tulang beragam yang meliputi leukemia
myelogenous kronis (CML), trombositemia esensial (ET), polycythemia vera (PV)
kronis, leukemia neutrofilik kronik (CNL) , leukemia eosinofilik kronis, NOS (CEL-
NOS), dan mastositosis sistemik (SM). ET dan PV mampu berevolusi menjadi keadaan
myelofibrotic (post-related MF dan post-related MF) yang menyerupai PMF, dan ketiga
entitas ini secara kolektif disebut MF. MF ditandai oleh sumsum tulang hiperproliferatif
dengan dismyelopoiesis dan megakaryocytes hipolobulasi, fibrosis sumsum tulang,
sitopenia atau sitosis, dan splenomegali progresif. Gejala mielofibrosis, terutama yang
berhubungan dengan splenomegali (distensi dan nyeri abdomen, rasa kenyang pada
perut, diare, dan diare) dan gejala konstitusional, merupakan beban besar bagi pasien.
Sebagian besar pasien akhirnya meninggal karena penyakit dengan angka harapan
hidup rata-rata berkisar antara 5-7 tahun.
2. Patogenesis
a. Sitokin
Ciri utama biologis MF adalah peningkatan signifikan dalam sirkulasi sitokin
proinflamasi. Adanya sitokin inflamasi MF diyakini sebagai konsekuensi dari klon
ganas dan juga pengubah integral dari lingkungan mikro sumsum tulang, dengan
demikian, mempromosikan hematopoiesis ganas. Transforming faktor pertumbuhan
beta (TGF-β) adalah sitokin pleiotropik yang berpotensi merangsang fibroblast untuk
menghasilkan matriks ekstraseluler juga meningkatkan ekspresi protease yang
menghambat enzim yang terlibat dalam degradasi matriks ekstraseluler. Studi
eksperimental telah menunjukkan bahwa TGF-β1 penting dalam pengembangan BMF
pada model hewan. Tikus yang dibuat dengan tipe liar dan TGFβ1 - / - sel
mengembangkan trombositosis , leukositosis, dan peningkatan jumlah sel progenitor
dalam darah dan limpa. Namun, BMF dan deposisi reticulin di limpa hanya terjadi pada
tikus yang dilarutkan dengan sel tipe liar.
Beberapa penelitian telah menunjukkan disregulasi dalam tingkat berbagai sitokin
lain yang bersirkulasi, meskipun temuan ini belum dapat direproduksi dalam semua
penelitian. Ini mungkin mencerminkan perbedaan dalam tahap penyakit, perawatan
sebelumnya, dan aspek teknis. Namun, terlepas dari inkonsistensi ini, sitokin
dipostulatkan untuk memainkan peran penting dalam inisiasi, perkembangan, dan
presentasi fenotipik MF.
Peningkatan kadar TGF-β1 juga telah didokumentasikan pada pasien dengan MF.
Peningkatan pensinyalan TGF-β menghasilkan peningkatan level diferensiasi osteoblas
pada sumsum tulang tetapi tidak pada limpa, peningkatan apoptosis, penahanan G1
pada sumsum tulang dan limpa, berkurangnya proteolisis yang dimediasi di mana-mana
di sumsum tulang saja. Proteolisis yang dimediasi-biquitin dalam sumsum tulang
penting untuk pematangan eritroid. Jalur pensinyalan mTOR penting untuk

17
eritropoiesis dan peningkatan selektifnya pada limpa dapat menyebabkan pematangan
eritroblast dan meningkatkan hematopoiesis ekstramedula.
Di antara 20 sitokin yang kadarnya berbeda secara statistik dengan yang ada dalam
sampel kontrol, interleukin (IL) -8 dan IL-2R memiliki korelasi paling kuat dengan
fenotipe dan prognosis. Peningkatan kadar plasma kedua sitokin ini dikaitkan dengan
adanya gejala konstitusional, kebutuhan transfusi, leukositosis, dan kelangsungan
hidup bebas leukemia secara keseluruhan dan inferior. IL-8 adalah sitokin pro-
inflamasi pleiotropik yang dilepaskan oleh banyak sel dan memiliki angiogenik,
mitogenik. dan aktivitas faktor pertumbuhan. Ekspresi IL-8 telah dikaitkan dengan
prognosis yang lebih buruk pada banyak keganasan padat. Peran patogenik IL-8 dalam
MF belum sepenuhnya jelas, tetapi mungkin terlibat dalam transformasi leukemia
melalui faktor pertumbuhan dan aktivitas mitogeniknya. Peningkatan kadar IL-2R
mungkin merupakan cerminan dari aktivasi imun atau peningkatan dalam beban sel
tumor.
b. Genetik
Sejak penemuan mutasi Janus kinase 2 (JAK2) V617 pada tahun 2005, beberapa
penanda klonal telah diidentifikasi termasuk mutasi pada MPL dan CALR.8
Memahami asosiasi genotipe-fenotip di MPN kemungkinan akan memungkinkan
prognostikasi yang lebih baik dan berpotensi memberikan target baru untuk intervensi
terapeutik.
JAK2 adalah anggota keluarga kinase JAK (JAK1, JAK3, dan TYK2). Kinase
tyrosine sitoplasma ini dikaitkan dengan reseptor kelas transmembran dari sejumlah
sitokin (mis. Erythropoietin, trombopoietin, faktor perangsang granulosit) yang terlibat
dalam pertumbuhan sel, diferensiasi, dan kelangsungan hidup sel hematopoietik dan
kekebalan. JAK2 penting dalam memediasi jalur pensinyalan sitokin-sitokin transduser
sinyal JAK2 dan aktivator transkripsi (STAT) disregulasi memainkan peran sentral
dalam patogenesis MPN. JAK2V617F telah diidentifikasi pada sekitar 96% pasien
dengan polycythemia vera, 50% pasien dengan thrombocythemia esensial dan 60%
pasien dengan PMF. Pensinyalan JAK2 diawali dengan pengikatan ligan pada reseptor
sitokin serentak yang mengarah ke dimerisasi, yang pada gilirannya menyebabkan
autofosforilasi JAK. Kinase terfosforilasi kemudian residu tirosin reseptor intraseluler
terfosforilasi menciptakan sisi pengikatan untuk protein yang mengandung domain
SH2 seperti STAT. STAT fosforilasi menyebabkan dimerisasi dan translokasi ke
nukleus, memengaruhi transkripsi gen yang penting untuk pengaturan siklus sel,
apoptosis, dan degradasi proteasomal. Beberapa jalur pensinyalan lain juga diaktifkan
oleh JAK2 termasuk PI3K / Akt dan protein kinase yang diaktifkan-mitogen (MAPK)
jalur pensinyalan. Pensinyalan JAK-STAT diatur secara negatif oleh penekan protein
pensinyalan sitokin (SOCS), limfoma sel-B Casitas (CBL) dan oleh protein tirosin
fosfatase (PTP). JAK2V617F adalah konstitutif aktif yang mengakibatkan aktivasi
kronis jalur JAK-STAT. Ini dicapai dengan perolehan fungsi dalam domain JH1 dan
hilangnya fungsi dalam domain JH2 auto-inhibitor. Lebih lanjut, JAK2V617F lolos dari
umpan balik negatif oleh SOCS3. Mekanisme pasti dimana JAK2V617F berkontribusi
pada patogenesis MF tidak sepenuhnya diketahui. Namun, seperti yang disebutkan di
atas, JAK2V617F dapat mempromosikan BMF dengan mengubah lingkungan mikro

18
sumsum tulang melalui berbagai mekanisme seluler dan dimediasi sitokin. Alhough
Schepers et al. tidak mengamati cacat pada megakaryocytopoiesis, penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa efek JAK2V617F sebagian dimediasi oleh
dampaknya pada fungsi dan struktur trombosit. Menggunakan JAK2V617F knock-in
mouse model trombositemia esensial, Hobbs et al. menunjukkan bahwa proporsi
megakaryocytes positif JAK2V617F membentuk proplatelet lebih besar dari proporsi
megakaryocytes kontrol. Selain itu, megakaryocyte JAK2V617F knock-in telah
meningkatkan ekspresi gen fos. Fos adalah pengatur pensinyalan TGF-β. Sebelumnya
Muth et al. mempelajari pasien-pasien dengan MPN dan melaporkan bahwa angka-
angka proplatelet lebih tinggi pada pasien-pasien dengan thrombocythemia esensial dan
MF pre-fibrotic daripada pada kontrol. Proplatelet bahkan lebih banyak pada pasien-
pasien dengan MF fibrotic dibandingkan dengan mereka yang memiliki MF pre-fibrotik
atau thrombocythemia esensial. Produksi berlebihan proplatelet dapat dikaitkan dengan
peningkatan produksi trombospondin. Thrombospondin 1 pada PMF dianggap
fibrogenik dengan mengaktifkan TGF-β1 laten dan menghambat metalloproteinases.
Calreticulin (CALR) adalah protein pengikat kalsium multifungsi yang terutama
terletak di retikulum endoplasma. CALR penting untuk homeostasis kalsium
intraseluler dan pendampingan protein intraseluler. Baru-baru ini dua kelompok
mengidentifikasi mutasi CALR pada sekitar 20 hingga 25% pasien dengan
trombositemia esensial dan PMF. Semua mutasi yang diidentifikasi sejauh ini adalah
penyisipan atau penghapusan pada ekson 9 dari. gen. Mutasi CALR saling eksklusif
dengan mutasi pada JAK2 dan MPL. Secara klinis, mutasi CALR pada PMF dikaitkan
dengan usia yang lebih muda, insiden trombositosis yang lebih tinggi, dan jumlah
leukosit yang lebih rendah.
Mutasi CALR menyebabkan gangguan pengikatan kalsium dan dislokasi seluler.
Hal ini pada gilirannya dapat menyebabkan aktivasi beberapa jalur termasuk
pensinyalan IL-3 dan JAK-STAT. Konsekuensi fungsional mutasi CALR baru-baru ini
dijelaskan. Dalam studi transplantasi murine, CALR mutan saja cukup untuk
menginduksi fenotipe MPN . Secara in vitro, CALR mutan mengarah pada transformasi
dan aktivasi jalur JAK-STAT hanya dalam garis sel yang mengekspresikan MPL.
Selain itu, mutan, tetapi bukan tipe liar, CALR terbukti mengikat MPL. Temuan ini
menunjukkan bahwa CALR mutan cukup untuk menginduksi MPN melalui jalur MPL-
dependen. Mutasi somatik JAK2, MPL, dan CALR berperilaku sebagai mutasi driver
pendorong yang bertanggung jawab untuk fenotipe MPN. Ketika penyakit berkembang,
klon ganas pendiri memperoleh mutasi subklonal tambahan. Ada sejumlah mutasi
subklonal yang telah dilaporkan seperti yang ada di ASXL1, EZH2, CBL, IDH1 / IDH2,
TP53 dan SRSF2.

3. Interaksi seluler mentransformasikan relung sumsum tulang


Sel-sel garis turunan osteoblastik merupakan relung endosteal yang didefinisikan
secara anatomis dengan kedekatannya dengan tulang trabekuler atau kortikal. Sel-sel
garis turunan osteoblastik berasal dari sel-sel stroma multipoten dan penting untuk
mendukung dan memelihara HSC yang normal. Scheper et al. dengan fasih
menunjukkan potensi sel klon BCR-ABL + untuk mengubah ceruk sumsum tulang
endosteal menjadi “self-reinforcing leukemic niche”. Tikus transgenik BCR-ABL1

19
telah meningkatkan ekspansi sel-sel garis turunan osteoblastik. Peningkatan ini
dikaitkan dengan peningkatan BMF dan penebalan trabecular. Perluasan sel-sel garis
turunan osteoblastik didorong oleh interaksi antara MPN HSC dan sel-sel stroma
multipoten. MPN HSC merangsang produksi sel stroma multipoten dari garis turunan
osteoblastik melalui sitokin seperti trombopoietin dan CCL3, serta kontak sel langsung.
Khususnya, ekspansi sel-sel garis turunan osteoblastik dan BMF yang terkait bersifat
reversibel. Telah ditunjukkan bahwa dengan memblokir ekspresi BCR-ABL, jumlah
sel-sel garis turunan osteoblastik menurun dan BMF teratasi. Sel sel-sel garis turunan
osteoblastik yang diperluas telah meningkatkan ekspresi gen yang terlibat dalam
regulasi matriks ekstraseluler, adhesi sel, dan respons inflamasi. Gen-gen ini termasuk
target TGF-β1, menunjukkan peningkatan pensinyalan TGF-β1 dalam sel-sel garis
turunan osteoblastik. Yang penting kemampuan populasi sel-sel garis turunan
osteoblastik yang diperluas untuk mendukung HSC normal terganggu, sebagaimana
dibuktikan oleh berkurangnya ekspresi faktor retensi HSC. Selain itu, sel-sel ini telah
meningkatkan ekspresi jalur seperti jalur TGF-β1, yang dapat mempromosikan
diferensiasi neoplastik myeloid. Telah ditunjukkan bahwa klon HSC ganas dapat
mengubah ceruk sumsum tulang menjadi lingkungan patologis yang lebih disukai
mendukung neoplasma daripada HSC normal.
C. Myelodysplastic Syndromes (MDS)
Sindrom myelodysplastic (MDS) adalah kelompok heterogen dari kelainan
hematologis secara luas ditandai oleh kedua (1) sitopenia karena kegagalan sumsum
tulang dan (2) risiko tinggi pengembangan leukemia myeloid akut (AML). Anemia,
seringkali dengan trombositopenia dan neutropenia, terjadi dengan dysmorphic
(penampilan abnormal) dan biasanya sumsum tulang seluler, yang merupakan bukti
produksi sel darah yang tidak efektif.
Diagnosis MDS mungkin merupakan tantangan, karena kadang-kadang fitur
klinis dan patologis sub-tle harus dibedakan dan tepat kategorisasi diagnostik
membutuhkan ahli hematopatologis yang berpengetahuan luas dalam skema klasifikasi
terbaru. Meskipun demikian, penting bahwa dokter penyakit dalam dan perawatan
primer cukup terbiasa dengan MDS untuk mempercepat rujukan ke ahli hematologi,
baik karena banyak terapi baru sekarang tersedia untuk meningkatkan fungsi
hematopoietik dan penggunaan perawatan suportif yang benar-benar dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pemeriksaan fisik luar biasa untuk tanda-tanda anemia; sekitar 20% pasien
mengalami splenomegali. Beberapa kulit yang tidak biasa lesi, termasuk sindrom Sweet
(dermatosis demam neutrofilik), terjadi dengan MDS. Sindrom autoimun yang
menyertainya tidak jarang. Pada pasien yang lebih muda, anomali stereotip menunjuk
ke sindrom konstitusional (perawakan pendek, ibu jari abnormal di Fanconi anemia;
beruban awal di telomeropathies; kutil kulit dalam kekurangan GATA2). Anemia hadir
dalam kebanyakan kasus, baik sendiri atau sebagai bagian dari atau pansitopenia;
neutropenia atau trombositopenia terisolasi lebih banyak luar biasa. Makrositosis sering
terjadi, dan apusan mungkin berupa dimorfik dengan populasi khas sel darah merah
besar. Trombosit juga butiran besar dan kurang.
Dalam studi fungsional, mereka mungkin menunjukkan ditandai kelainan, dan
pasien mungkin memiliki gejala perdarahan angka yang tampaknya memadai. Neutrofil
mengalami hipogranulasi; memiliki nukleus hiposegmentasi, cincin, atau abnormal;

20
berisi Badan Döhle; dan mungkin kurang fungsional. Ledakan myelo-blas biasanya
berkorelasi dengan angka ledakan sumsum, dan kuantitasnya penting untuk klasifikasi
dan prognosis. Total sel darah putih hitung (WBC) biasanya normal atau rendah,
kecuali pada leukemia myelomono-cytic kronis. Seperti pada anemia aplastik, MDS
dapat dikaitkan dengan a populasi klon sel PNH. Pengujian genetik tersedia secara
komersial untuk sindrom konstitusional. Sumsum tulang biasanya normal atau
hypercellular, tetapi pada sekitar 20% kasus, cukup munafik untuk dikacaukan dengan
aplasia. Tidak ada fitur karakteristik morfologi sumsum membedakan MDS, tetapi yang
umum diamati adalah sebagai berikut: perubahan diseritropoietik (terutama kelainan
nuclear) dan cincin sideroblas dalam garis keturunan eritroid; hipogranulasi dan
hiposegmentasi pada prekursor granulositik, dengan peningkatan mieloblas; dan
megakaryocytes menunjukkan berkurangnya jumlah atau inti yang tidak teratur. Nuklei
megaloblastik yang berhubungan dengan hemoglobinisasi yang rusak pada garis
keturunan eritroid sering terjadi. Prognosis sangat berkorelasi dengan proporsi ledakan
sumsum. Analisis sitogenetik dan hibridisasi fluo-resen in situ dapat mengidentifikasi
kelainan kromosom.

D. Thalasemia
Sindrom talasemia adalah kelainan bawaan dari α- atau β-globin biosintesis.
Berkurangnya pasokan globin mengurangi produksi tetramer hemoglobin,
menyebabkan hipokromia dan mikrositosis. Akumulasi subunit α dan β yang tidak
seimbang terjadi karena sintesis dari globin yang tidak terpengaruh berlangsung dengan
kecepatan normal. Tidak seimbang Akumulasi rantai mendominasi fenotip klinis.

21
Keparahan klinis sangat bervariasi, tergantung pada sejauh mana sintesis globin yang
terpengaruh terganggu, perubahan sintesis rantai globin lainnya, dan coinheritance dari
alel globin abnormal lainnya. Sindrom talasemia adalah kelainan bawaan dari α- atau
β-globin biosintesis. Berkurangnya pasokan globin mengurangi produksi tetramer
hemoglobin, menyebabkan hipokromia dan mikrositosis. Akumulasi subunit α dan β
yang tidak seimbang terjadi karena sintesis dari globin yang tidak terpengaruh
berlangsung dengan kecepatan normal. Tidak seimbang akumulasi rantai mendominasi
fenotip klinis. Keparahan klinis sangat bervariasi, tergantung pada sejauh mana sintesis
globin yang terpengaruh terganggu, perubahan sintesis rantai globin lainnya, dan
coinheritance dari alel globin abnormal lainnya.

Dalam menegakkan diagnosis thalasemia dapat dilakukan aspirasi sumsum tulang


untuk dievaluasi untuk penyebab lain anemia mikrositik jarang dibutuhkan. Beberapa indeks
telah dievaluasi untuk membedakan Sifat β-thalassemia dari anemia defisiensi besi, belum
tidak ada yang cukup sensitif untuk mengeluarkan beta-thalassemia sifat. Hemoglobin: Kisaran
normal 10-12 g / dL dengan sifat talasemia dan 3-8 g / dL dengan β-talasemia utama sebelum
transfusi. Hematokrit: 28-40% dalam sifat talasemia, hematokrit juga apat jatuh ke <10% pada
thalassemia mayor pada pemeriksaan darah tepi Mikrositosis (MCV <70 fl), hipokromia (KIA
<20 pg), persentase tinggi sel target, jumlah retikulosit meningkat.
Lebar distribusi sel merah (RDW): RDW normal dengan hipokromik mikrositik.
Meskipun RDW biasanya normal, itu bisa saja meningkat pada 50% dari pasien sifat
thalassemia. Ini berbeda dengan anemia defisiensi besi, di mana RDW hampir selalu meningkat
(90%).
Elektroforesis hemoglobin: α-thalassemia, tidak dikenali pola elektroforetik terjadi
pada orang dewasa. Namun, pada periode neonatus 3-10% dari sifat pasien akan mengalami
hemoglobin H atau hemoglobin Bart saat lahir, yang akan mengkonfirmasi thalassemia-a. Jika
HbA2 di bawah normal (<2,5%) dengan normal Level HbF, diagnosisnya adalah a-thalassemia
intermedia (penyakit HbH) atau, jika diuji dalam periode neonatal, 15-30% akan mengalami
hemoglobin Bart. Pada periode neonatal dengan sifat thalassemia, elektroforesis normal.
Namun, pada orang dewasa, peningkatan kadar HbA2 (> 4%) mungkin ada tetapi biasanya
normal. Inβ-thalassemia mayor atau intermedia, meningkat HbA2, HbF tinggi, HbA berkurang
atau tidak ada.

22
E. Anemia pada Pasien Primary Myelofibrosis
Patogenesis anemia yang terkait dengan PMF tidak sepenuhnya dipahami dan
faktor yang berkontribusi mungkin termasuk erythropoiesis yang tidak efektif yang
merupakan intrinsik dari myelopoiesis klon yang berada di bawahnya, konsekuensi
fungsional dari ditandai splenomegali, dan efek inflamasi sitokin. Kami baru-baru ini
menemukan hubungan yang kuat dan signifikan antara anemia terkait PMF dan
kehadiran mutasi U2AF1; di antara 457 dapat dievaluasi kasus, insiden U2AF1 mutasi
adalah 30% di penderita anemia berat, 18% sedang, 8% ringan, dan 3% jika tidak ada
anemia; dalam analisis multivariabel, anemia dikaitkan dengan mutasi U2AF1, tidak
adanya Janus-activated kinase 2 (JAK2) - atau CALRtype 1-like mutasi,
trombositopenia, usia yang lebih tua, dan gejala konstitusi. Data eksperimental
menunjukkan adanya hubungan antara U2AF1 mutan dan perubahan hematopoiesis,
disertai dengan perubahan splicing pra-mRNA. Ini pengamatan menunjukkan nilai
potensial dari obat itu menargetkan mesin spliceosome untuk perawatan Anemia terkait
PMF.
Model prognostik saat ini dalam PMF termasuk anemia sebagai prediktor yang
kuat dan independen untuk kelangsungan hidup yang pendek. Ini termasuk Sistem
Penilaian Prognostik Internasional (IPSS), IPSS dinamis (DIPSS), dan DIPSS-plus. Di
antara mereka, DIPSS-plus adalah yang paling komprehensif dan mempekerjakan
delapan variabel risiko: kebutuhan transfusi sel darah merah, Hgb <10 g / dl, jumlah
trombosit <100 × 109 / l, leukosit hitung> 25 × 10 / l, ledakan yang bersirkulasi> 1%,
usia> 65 tahun, gejala konstitusional, dan kariotipe yang tidak menguntungkan.
Menggunakan variabel-variabel ini, empat kategori risiko saat ini dipertimbangkan:
rendah (tidak ada faktor risiko), sedang-1 (1 risiko faktor), perantara-2 (2 atau 3 faktor
risiko), dan tinggi (4 atau lebih banyak faktor risiko). Nilai prognostik anemia pada
PMF adalah digarisbawahi dalam sistem stratifikasi risiko DIPSS-plus di mana pasien
yang tergantung transfusi secara otomatis ditempatkan dalam kategori menengah-2 atau
berisiko tinggi, terlepas dari ada atau tidak adanya risiko lainnya faktor-faktor.
Kebutuhan transfusi juga baru-baru ini diidentifikasi sebagai prediktor independen
untuk bertahan hidup pasca operasi di Indonesia. Sejumlah obat menunjukkan aktivitas
dalam pengobatan anemia terkait PMF. Ini termasuk agen yang merangsang
erythropoiesis, prednison, dan persiapan androgen, danazol, thalidomide, lenalidomide,
pomalidomide, ime-telstat, dan momelotinib. Di antara ini, tiga yang terakhir adalah
yang baru saja dilantik, dengan hanya pomalidomide demikian jauh menerima
persetujuan Food and Drug Administration untuk pengobatan multiple myeloma lanjut.
Di sebuah baru-baru ini diterbitkan studi fase-3 yang melibatkan pasien dengan
myelofibrosis, pomalidomide tidak jauh lebih baik dibandingkan plasebo dalam
memberikan bantuan dari transfusi sel darah merah ketergantungan. Hasil ini berbeda
dari hasil a studi yang sebelumnya dilaporkan tidak terkontrol, di mana poma-lidomide
menunjukkan aktivitas antianemia, di subset dari pasien yang bermutasi JAK2 dengan
myelofibrosis, dengan tidak adanya dari splenomegali atau ledakan sirkulasi berlebih
yang ditandai. Dalam jurnal Blood Cancer Journal edisi terbaru, para peneliti dari Cina
memberikan informasi yang praktis penting mengenai nilai kombinasi tiga obat tha-
lidomide, prednisone, dan danazol dalam meningkatkan aktivitas individu mereka
untuk meningkatkan anemia pada pasien dengan myelofibrosis. Imetelstat adalah

23
oligonukleotida terkonjugasi 13-mer lipid yang menargetkan template RNA dari
telomerase manusia membalikkan transkriptase. Dalam studi percontohan, obat yang
diinduksi a remisi lengkap atau parsial pada 21% pasien dengan myelofibrosis,
termasuk remisi molekuler, pembalikan fibrosis sumsum tulang, dan pencabutan
anemia; tanggapan yang diinduksi imetelstat lebih mungkin terjadi pada tidak adanya
ASXL1utasi dan keberadaan SF3B1 atauU2AF1mutasi. Momelotinib adalah molekul
kecil, Inhibitor ATP-kompetitif JAK1 dan JAK2. Dalam studi fase-1/2, momelotinib
mampu mencapai tidak hanya apa yang diharapkan dari terapi inhibitor JAK2 untuk
myelofibrosis, yang merupakan paliasi gejala dan sple-nomegaly, tetapi juga
meningkatkan anemia pada sebagian besar pasien. Aktivitas terakhir sejak itu terkait
dengan penghambatan ekspresi hepcidin yang dimediasi reseptor aktivin-like-kinase,
sehingga meningkatkan ketersediaan zat besi yang tersimpan dan memfasilitasi
erythropoiesis

F. Penatalaksanaan Myelofibrosis
Keputusan manajemen untuk pasien dengan MF ditentukan oleh gejala dan
pasien individu risiko transformasi penyakit atau kematian pasien. Risiko-risiko ini
dinilai menggunakan salah satunya Dynamic International Prognostic Scoring System
(DIPSS) yang menggabungkan usia, putih jumlah sel darah, kadar hemoglobin, sel-sel
ledakan yang bersirkulasi, dan gejala-gejala konstitusional, atau DIPSS-Plus yang lebih
baru yang menambahkan kariotipe, persyaratan transfusi sel darah merah, dan
trombositopenia. Menggunakan alat DIPSS-Plus, pasien ditugaskan rendah, skor risiko
sedang-1, sedang-2, atau tinggi yang sesuai dengan kelangsungan hidup rata-rata
keseluruhan masing-masing 15,4 tahun, 6,5 tahun, 2,9 tahun, dan 1,3 tahun. Ini berbeda
hasil menyoroti heterogenitas di antara pasien dengan MF, dan menggarisbawahi
pentingnya algoritma perawatan yang diarahkan pada risiko. Saat ini, tidak ada bukti
pengobatan dini pasien tanpa gejala meningkatkan kelangsungan hidup, dan karenanya
manajemen pasien risiko rendah tanpa gejala umumnya suportif dan hamil.
Ruxolitinib adalah disetujui oleh Administrasi Makanan dan Obat Amerika
Serikat (FDA) untuk tingkat menengah atau MF risiko tinggi, namun sering digunakan
pada pasien risiko rendah dengan penyakit yang signifikan gejala dan telah dimasukkan
dalam Kanker Komprehensif Nasional perdana 2017 Panduan Jaringan (NCCN) untuk
MF untuk pasien bergejala, asalkan trombosit hitungannya> 50 10 9 / L. AlloHSCT
telah terbukti meningkatkan hasil jangka panjang di antara mereka dengan penyakit
sedang-2 atau berisiko tinggi, dan karenanya harus ditawarkan kepada mereka dianggap
memenuhi syarat . Bagi mereka dengan penyakit berisiko rendah, alloHSCT dikaitkan
dengan inferior Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun bila dibandingkan dengan mereka
yang dirawat tanpa transplantasi.
Bagi mereka yang memiliki penyakit risiko sedang-1, rasio risiko-manfaat
alloHSCT tetap tidak jelas, dan mungkin dipertimbangkan berdasarkan kasus per kasus.
Meskipun ada peningkatan dalam stratifikasi risiko dan risiko aplikasi untuk algoritma
pengobatan untuk pasien dengan MF, terapi saat ini membuktikan tidak memadai bagi
banyak orang. Pengembangan agen baru dan pendekatan untuk pengobatan MF karena
itu tetap merupakan area signifikan dari kebutuhan yang tidak terpenuhi. Dalam ulasan

24
ini, kami meringkas terapi obat kontemporer untuk MF, dengan fokus pada agen dan
pendekatan baru.
1. JAK Inhibitors
Ruxolitinib
Penghambat JAK1 / 2 ruxolitinib tetap merupakan satu-satunya agen yang
disetujui FDA untuk MF, dan menetapkan standar terhadap agen baru yang diukur.
KENYAMANAN-I dan KENYAMANAN-II uji coba menunjukkan manfaat klinis dari
ruxolitinib dibandingkan dengan plasebo (COMFORT-I) atau terapi terbaik yang
tersedia (COMFORT-II), termasuk pengurangan volume limpa (SVR), menurun dalam
skor gejala total (TSS), peningkatan kualitas ukuran kehidupan, dan peningkatan atau
stabilisasi fibrosis sumsum tulang. Tindak lanjut pada 5 tahun terungkap tanggapan
berkelanjutan dengan durasi tanggapan rata-rata di antara ruxolitinib-acak pasien 3,2
tahun di kedua studi. Peningkatan dalam survival keseluruhan (OS) juga ditampilkan
dalam kelompok ruxolitinib bahkan setelah crossover (tidak mencapai vs 3,8 tahun di
KENYAMANAN-I; tidak mencapai versus 4,1 tahun dalam COMFORT-II).
2. Histone Deacetylace Inhibitors
Histone deacetylace inhibitor (HDACi) mewakili terapi lain yang ditargetkan
epigenetik investigasi untuk MF. Sebagai agen tunggal, vorinostat, panobinostat,
givinostat, dan pracinostat semuanya telah menunjukkan aktivitas klinis sederhana.
Toksisitas kelas paling umum HDACi termasuk sitopenia, kelelahan, dan diare. Dua uji
klinis menyelidiki kombinasi HDACi dan JAK sedang berlangsung (NCT01693601
dan NCT01433445). Hasil awal dari uji coba Fase 1b dari kombinasi panobinostat dan
ruxolitinib telah dilaporkan. Di antara 61 pasien dengan MF, 57% dan 39% mencapai
SVR ≥35% masing-masing pada 24 minggu dan 48 minggu. Perbaikan sumsum tulang
fibrosis terjadi pada 4 dari 12 pasien yang dapat dievaluasi, dan ≥20% penurunan alel
mutan JAK2 beban terlihat pada 5 dari 17 pasien yang diuji.

3. Immunotherapy
Disregulasi kekebalan adalah fitur sentral dari MPN, dan pendekatan berbasis
kekebalan terhadap pengobatan karenanya menarik. Transplantasi sel induk alogenik
(alloHSCT) tetap ada satu-satunya terapi kuratif potensial untuk MF, dan satu-satunya
strategi imunoterapi diketahui efektif untuk MPN. Namun, hanya sebagian kecil pasien
MF yang memenuhi syarat karena usia yang lebih tua saat diagnosis, beban penyakit
komorbiditas, atau status fungsional yang buruk (seringkali disebabkan oleh MPN yang
mendasarinya). Bahkan di antara mereka yang cukup baik untuk menjalani alloHSCT,
pandangan jangka panjang tetap mengecewakan karena toksisitas dan penyakit yang
kambuh / kambuh, dengan diharapkan 5 tahun OS kurang dari 50% di sebagian besar
studi
4. Novel Nonpharmacologic Approaches
Intervensi psikososial dan gaya hidup nonfarmakologis bersifat anekdot terlihat
menjanjikan dalam mengurangi beban gejala pada pasien dengan MPN, termasuk MF.
Ketertarikan untuk secara formal mempelajari intervensi ini telah meningkat dalam
beberapa tahun terakhir. Aktivitas fisik selama perawatan kanker telah terbukti

25
meningkatkan berbagai kualitas hidup tindakan. Manfaat-manfaat ini kemungkinan
digeneralisasikan untuk keganasan hematologis termasuk MPN. Dalam studi kelayakan
program yoga streaming online, 244 pasien dengan MPN diminta melakukan yoga 60
menit per minggu selama 12 minggu, mengikuti video yoga instruksional yang
dirancang khusus untuk pasien MPN atau dengan splenomegali dalam pikiran.
Partisipasi yoga aktual rata-rata sekitar 51 menit per minggu, dan dikaitkan dengan
peningkatan yang signifikan dalam beban gejala total, kelelahan, depresi, kecemasan,
dan tidur. Sebuah studi acak berikutnya menggunakan yoga di rumah program
direncanakan, dengan titik akhir termasuk tindakan gejala, tingkat aktivitas sebagai
diukur dengan pelacakan Fitbit, dan penilaian sitokin. Peran diet dalam MPN sebagian
besar masih belum dijelajahi. Pola diet tertentu telah terjadi terkait dengan tingkat
sitokin proinflamasi yang lebih rendah, namun masih belum jelas apakah temuan ini
dapat dieksploitasi untuk keuntungan klinis. Gangguan mood seperti kecemasan dan
depresi adalah umum di antara pasien dengan MPN. Tidak ada studi prospektif yang
mengevaluasi metode farmakologis atau non-farmakologis mengatasi gangguan
suasana hati dalam populasi ini. Terapi penerimaan dan komitmen (ACT), intervensi
psikososial multi-cabang, telah menunjukkan utilitas di beberapa kanker dan kondisi
medis dan kejiwaan kronis. Studi kelayakan dan kualitas hidup terkait kesehatan ACT
pada pasien dengan MPNs direncanakan

G. Hepatomegali dan Splenomegali pada Myelofibrosis


Splenomegali, salah satu tanda paling khas dari MF, adalah karena hemopoiesis
ekstramedular (juga disebut myeloid metaplasia), yang mempengaruhi tidak hanya
limpa tetapi juga hati (dan, karena alasan ini, hepatomegali dan perubahan fungsi hati
sering hidup berdampingan) dan, lebih jarang, organ lain seperti paru-paru, ginjal,
sistem saraf pusat, kelenjar getah bening atau kulit. Limpa teraba hingga 90% pasien
MF pada presentasi. Dalam hal ini, harus diperhatikan bahwa jika limpa tidak teraba
saat diagnosis dan tidak menjadi teraba setelah 1 atau 2 tahun, kemungkinan lainnya
kondisi seperti myelodysplasia, yang juga dapat menyebabkan sitopenia dan fibrosis
sumsum, harus dikeluarkan dengan hati-hati pemeriksaan fitur histopatologis sumsum
tulang. Gejala dari splenomegali biasanya berkorelasi dengan limpa ukuran. Dengan
demikian, beberapa pasien dengan splenomegali moderat mungkin awalnya tidak
memiliki gejala lokal. Namun, seperti limpa semakin meningkat, itu menghasilkan
ketidaknyamanan mekanis di bagian kiri perut, kadang-kadang episode parah rasa sakit
di kuadran kiri atas menyinari ke bahu dan karena infark limpa, awal kenyang dan diare.
Ini gejala sering dikaitkan dengan cachexia yang mendalam dan kelelahan, aksentuasi
sitopenia yang sudah ada sebelumnya dan, kadang-kadang, tanda-tanda hipertensi
portal. Dari catatan, meskipun secara klinis relevansi dalam MF, splenomegali tidak
prognostik buruk per laut faktor penyakit, seperti yang biasanya diamati pada pasien
menampilkan faktor prognostik tidak dikenal lainnya yang diakui, seperti anemia berat,
gejala konstitusional atau ditandai leukositosis.

H. Anemia pada Pasien Terkait


Anemia adalah salah satu fitur utama dari MF. Hampir 40% dari LKM pasien
memiliki kadar hemoglobin (Hb) <10 g / dL pada saat diagnosis, dan hampir
seperempat sudah tergantung transfusi RBC. Hampir semua pasien dengan MF pada
akhirnya akan mengalami anemia. Anemia secara konsisten dikaitkan dengan kualitas

26
hidup yang lebih rendah di antara pasien MF dan respons terhadap terapi yang
ditargetkan anemia telah dikaitkan dengan peningkatan kualitas hidup. Dengan
kemajuan dalam pengobatan splenomegali dan gejala hypercatabolic di era
penghambatan JAK2, anemia dibiarkan sebagai penentu negatif utama kualitas hidup
terkait-MF. Selain itu, anemia adalah fitur penyakit paling konsisten terkait dengan
prognosis buruk pada MF. Hemoglobin <10g / dL adalah komponen integral dari
Dinamis Sistem Skor Prognostik (DIPSS) dan skor DIPSS-Plus untuk memperkirakan
prognosis pada MF, dengan transfusi-dependensi termasuk sebagai fitur buruk
tambahan dalam DIPSS-Plus model.
1. Tatalaksana Penstabilan
1.1 Transfusi Darah
Sebagai bukti rendahnya kemanjuran pengobatan yang anemia terkait MF,
ketergantungan transfusi RBC tetap merupakan ciri khas penyakit stadium akhir yang
sering tidak dapat dihindari. International Working Group-Myeloproliferative
Neoplasms Research and Treatment (IWG-MRT) dan European Leukemia-Net (ELN)
(IWG-MRT), ketergantungan transfusi didefinisikan sebagai transfusi> 6 unit sel darah
merah dalam periode 12 minggu untuk Hb <8.5g / dL, dengan tidak adanya perdarahan
atau anemia yang disebabkan oleh pengobatan. Hampir seperempat pasien MF adalah
pasien yang bergantung pada transfusi RBC pada saat diagnosis dan hampir semua akan
akhirnya mengembangkan transfusi-ketergantungan RBC.
Ketergantungan transfusi RBC adalah prediktor independen dari prognosis
buruk dan berkorelasi terbalik dengan kualitas hidup. Alih-alih mewakili terapi yang
sebenarnya, seringlah transfusi sel darah merah menandakan kegagalan dan kelelahan
perawatan lain yang tersedia, dan pemberita penyakit stadium akhir. Komplikasi sel
darah merah kronis transfusi-ketergantungan termasuk alloimunisasi dan zat besi
kelebihan; Namun, pasien sering mati sebelum akumulasi dari alloantibody dan
penyimpanan besi jaringan menjadi luas. Mengingat kelangsungan hidup pendek terkait
dengan transfusi-ketergantungan, zat besi kelasi biasanya tidak dikejar kecuali pasien
dianggap sebagai Kandidat ASCT.
Laporan kasus ada peningkatan anemia dengan kelasi; Namun, tidak ada
penelitian juga prospektif atau retrospektif, untuk memvalidasi pengamatan sporadis
ini.Ada data retrospektif untuk mendukung khelasi di pasien yang tergantung transfusi
dengan myelodysplastic risiko rendah sindrom (MDS); Namun, temuan ini belum bisa
diekstrapolasi ke MF.
1.2 Erythropoiesis stimulating agents
Meskipun penelitiannya kecil, ada bukti untuk itu keefektifan ESA di antara
MF yang bebas transfusi pasien dengan erythropoietin serum rendah (S-Epo).
Cervantes et al memberikan eritropoietin manusia rekombinan (rhEPO) di dosis awal
10.000U tiga kali per minggu untuk 20 pasien dengan MF dan anemia. Empat pasien
(20%) mencapai CR didefinisikan sebagai RBC penghentian transfusi dengan kadar
Hb normal selama minimal 8 minggu, dan tambahan 5 pasien (25%) mencapai yang
ditentukan sebagai 50% penurunan persyaratan transfusi sel darah merah untuk
mempertahankan anHb dari setidaknya 10g / dL. Faktor pretreatment terkait dengan

27
respons termasuk transfusi-independensi RBC awal dan S-Epo rendah (<125U / L).
Para peneliti mengulangi percobaan ini dengan darbepoe-tin-alpha, sekali lagi
mendaftarkan 20 pasien MF dengan anemia, dan menunjukkan tingkat CR sebesar
30% dengan tambahan 10% dari pasien yang mencapai PR.
Tidak ada pasien dengan S-Epo tinggi tingkat respons yang dicapai. Dalam
kedua percobaan, kurang dari setengahnya pasien yang merespon mampu
mempertahankan respon melalui a median follow-up 12 bulan. Sebuah penelitian
serupa oleh Tsiara et al menunjukkan hasil yang sebanding dan menegaskan hal itu
pasien dengan kadar S-Epo yang rendah lebih cenderung merespons. Sebuah studi
retrospektif yang lebih baru oleh Huang et al yang termasuk 43 pasien MF yang
dirawat di satu institusi menunjukkan ATAU (didefinisikan sebagai peningkatan
minimum 2,0g / dL di level Hb atau transfusi-independensi untuk minimum 1 bulan)
saja 23%.
Tidak ada pasien yang tergantung pada transfusi yang menunjukkan respons
yang baik. Berdasarkan temuan penelitian ini, ESA seharusnya hanya digunakan pada
pasien MF yang RBC bebas transfusi dan memiliki kadar S-Epo yang rendah (<125U
/ L). Namun, bahkan di antara calon pasien, kurang dari setengahnya merespons, dan
kurang dari setengah responden dapat diharapkan pertahankan respons selama lebih
dari setahun. Non responden pada 3 bulan tidak mungkin mendapat manfaat dan harus
menghentikan terapi. Pengobatan tampaknya ditoleransi dengan baik tanpa ada
laporan trombosis di atas studi.
1.3 Kortikosteroid
Prednisone telah menunjukkan tingkat respons yang mirip dengan danazol,
walaupun lebih terbatas data percobaan, dan dengan rasio toksisitas yang lebih besar.
Mekanisme kerjanya dalam pengaturan ini tidak dipahami, meskipun tampaknya tidak
tergantung pada autoimun yang mendasarinya proses hemolitik. Ini dapat mengurangi
peradangan pada fibrosis sumsum pasien MF, sebuah gagasan yang didukung olehnya
efek positif simultan pada jumlah platelet, tetapi tidak ada berarti sudah mapan.
Hernandez-Boluda dkk melakukan a studi retrospektif prednison di antara 30 pasien
dengan anemia terkait-MF. Mulaidari0,5 hingga1mg / kg setiap hari, dengan lancip
untuk dosis efektif minimum setelah tanggapan. IWG-MRT standar / Kriteria
Tanggapan ELNere digunakan. Empat puluh persen pasien tercapai respons pada
waktu rata-rata hingga tanggapan 1,1 bulan dan median durasi respon 12,3 bulan.
Lima puluh lima persen Pasien independen transfusi RBC dan 32% (6/19) RBC
pasien yang tergantung pada transfusi menunjukkan respons. Responden
menunjukkan kelangsungan hidup rata-rata lebih lama (5,0 vs 1,5 tahun; P = 0,002).
Efek samping yang umum termasuk hiperglikemia, perubahan cush-ingoid, dan
gangguan psikiatri. Prednisonemungkin demikian dipertimbangkan dalam kasus
anemia terkait MF yang refrakter tanpa kontraindikasi untuk kortikosteroid, meskipun
penggunaannya hanya berdasarkan 1 studi retrospektif kecil. Respons umumnya
terlihat dalam 3 berbulan-bulan dan harus dikurangi dan dihentikan jika tidak ada
diamati dalam waktu itu. Seperti danazol, prednison juga dapat membantu
trombositopenia bersamaan.

I. Prognosis
Hemoglobin <10g / dL adalah komponen integral dari Dinamis Sistem Skor
Prognostik (DIPSS) dan skor DIPSS-Plus untuk memperkirakan prognosis pada

28
MF, dengan transfusi-dependensi termasuk sebagai fitur buruk tambahan dalam
DIPSS-Plus model.

29
BAB III
KESIMPULAN

Pasien Ny. S 48 tahun dengan anemia berat (Hb: 2,2 mg/L) yang disebabkan oleh
Anemia berat dengan Primary Myelofibrosis ; Myelofibrosis (myeloproloferatif
neoplasma) yang masuk dengan keluhan lemas, pusing dan aktivitas harian
terganggu. Pasien dirawat selama 6 hari, mengalami perbaikan setelah dilakukan
transfusi PRC sebanyak 6 kolf dengan Hb akhir 7,6 mg/L. Penyebab pasien dirawat
terutama karena anemia berat, setelah terjadi perbaikan pasien dipulangkan dan
diminta untuk kontrol ke poli penyakit dalam untuk melanjutkan terapi penyakit
mendasar pada pasien. Pasien diedukasi mengenai kondisi pasien dan penyakit yang
mendasari kondisi pasien. Jika pasien ditentukan prognosisnya melalui sistem
skoring IPSS dan DIPSS plus, pasien dikategorikan memiliki resiko intermediete.

IPSS: 1-2 (intermediete risk)


DIPSS-plus : 2-3 (intermediete risk)
Usia Pasien : 48 tahun
Hb: 2,2
Angka leukosit : 2600
Circulating blast : ?
Need for PRC Transfusion : (+)
Angka trombosit: 600.000

30
DAFTAR PUSTAKA

Cervantes, F. 2011. How I treat splenomegaly in myelofibrosis. Blood Cancer Journal, e37;
doi:10.1038/bcj.2011.36
Domino F.J. et al. 2015. The 5-Minute Clinical Consult Standard 2015 ed. 23. Wolter Kluwer:
USA
Kasper D.L, et al. 2015. Harrison Principle of Interna 19th. McGraw-Hill Education: USA
Mascarenhas, J.O., et al. 2013. Advances in myelofibrosis: a clinical case approach.
Haematologica; 98(10): 1499–1509
Naymagon, L., John M. 2017. Myelofibrosis-Related Anemia: Current and Emerging
Therapeutic Strategies. Emerging Therapeutic Strategies. Hema Sphere Journal, 1:1(e1)
Pettit, K. Et al. 2017. Novel Therapies for Myelofibrosis. Curr Hematol Malig Rep. 2017
December ; 12(6): 611–624
Sudoyo, A et al. 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam. Interna Publishing: Jakarta
Zahr, et al. 2016. Bone marrow fibrosis in myelofibrosis: pathogenesis, prognosis and targeted
strategies. Haematologica; 101(6): 660–671

31

Anda mungkin juga menyukai