DEMAM TIFOID
*Vanesa Oktaria, S.Ked, ** dr. Hj. Sri Rosianti, M. Kes
Oleh :
G1A219088
Preseptor
UNIVERSITAS JAMBI
2021
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
DEMAM TIFOID
Oleh:
Preseptor,
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Demam Tifoid” sebagai kelengkapan persyaratan
dalam mengikuti Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj. Sri Rosianti, M. Kes
yang telah meluangkan waktu dan pikirannya sebagai pembimbing sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan. Selanjutnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat
dan menambah ilmu bagi para pembaca.
Penulis
BAB I
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
a. Nama/Kelamin/Umur : An.H / Perempuan/3 tahun
b. Pekerjaan/ Pendidikan :-
c. Alamat : RT 108 KAB
Tanda vital :
TD :-
Nadi : 74 x permenit
RR : 20 x permenit
Suhu : 36,1 °C
BB : 10 kg
TB : 87 cm
Kepala : Normocephal
Thorax :
Pulmo :
Abdomen :
X. Pemeriksaan Anjuran
- Pemeriksaan Serum Darah
- Pemeriksaan IgG dan IgM
- Test Tubex
- Test Widal
- Kultur dan uji sensitisasi kuman
XIII. Penatalaksanaan
Manajemen
a. Promotif :
- Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakitnya, faktor
resiko dan penyebab penyakitnya, perjalanan penyakit serta
kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi.
- Menjelaskan kepada keluarga untuk menjaga keseimbangan
nutrisi dengan memakan makanan yang sehat dari segi
bahan, pengolahan dan penyajian, bergizi serta mencakup
nutrisi makro dan mikro yang dibutuhkan tubuh.
- Menjelaskan keluarga pentingnya menjaga kesehatan diri
dan lingkungan.
b. Preventif :
- Menghindari jajan sembarangan, karena beresiko untuk
terjadinya penyakit yang didapat melalui makanan.
- Hindari kebiasaan tidak mencuci tangan setiap kali hendak
makan, masak.
- Hindari menggunakan air minum yang tidak dimasak.
- Membiasakan memasak bahan makanan dengan dicuci
terlebih dahulu
c. Kuratif :
Non Farmakologis
- Tirah baring
- Diet makanan lunak
- Cairan cukup
Farmakologi
- Paracetamol Syrup 3x1 sendok
- Kloramfenikol 3 x ½ tab
- OBH syrup
Tradisional : -
d. Rehabilitatif :
- Ikuti semua metode pengobatan secara benar dan teratur
- Pengobatan dilakukan sampai tuntas
- Apabila merasa sangat lemas, kesadaran menurun, tidak
dapat makan dan minum, segera ke pelayanan kesehatan
terdekat
- Kontrol ulang setelah pengobatan selesai
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
Etiologi tifoid adalah Salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C.
ada dua sumber penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid
dan pasien dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid
dan masih terus mengekresi Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama
2
lebih dari 1Dinas
tahun. Bakteri
Kesehatan Salmonella typhi mempunyai
Kota Jambi Dinasbeberapa komponen
Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas Paal X Puskesmas Paal X
antigen yaitu: dr. Vanesa Oktaria dr. Vanesa Oktaria
SIP : G1A219088 SIP : G1A219088
Jl. Lintas Sumatera, Kenali Asam Bawah, Kec. Kota Jl. Lintas Sumatera, Kenali Asam Bawah, Kec. Kota
1. AntigenBaru,dinding sel (o)
Kota Jambi, merupakan
Jambi 36129 polisakarida dan bersifat
Baru, Kotaspesifik grup36129
Jambi, Jambi
Salmonella
Pro : An.H (3 th) typhi dapat hidup didalam tubuh manusia
Pro : An.H (3 th) (manusia sebagai
Alamat: RT 108 KAB Alamat: RT 108 KAB
natural reservoir).
Resep tidak Manusia
boleh ditukar yang terinfeksi
tanpa sepengetahuan Salmonella typhi dapat
Resep tidak boleh ditukar tanpa sepengetahuan
mengekskresikannyadoktermelalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dokter
dalam jangka
waktu yang sangat bervariasi.Salmonella typhi yang berada diluar tubuh
manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam air, es,
debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi
hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah
dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1
2.3 Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.thypi) dan Salmonella paratyphi (S.
Paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torakikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Di organ- organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit
dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.1
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi dan selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi.
Di dalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan (S.typi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas
tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.1 Endotoksin dapat
menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan
1
organ lainnya. Terjadinya febris diduga disebabkan oleh endotoksin (suatu
lipopolisakarida penyebab leukopeni) yang bersama-sama Salmonella typhi
merangsang leukosit di jaringan. Inflamasi merangsang pengeluaran zat pirogen.3
Pada fase bakteriemi (minggu ke I, 7 hari pertama) Salmonella ada di hati,
limpa, ginjal, sumsum tulang, kantung empedu => bermanifestasi di usus (plaque
payeri) dimana akan terjadi: 3
a. Minggu I => membuat luka hiperemis pada plaque payeri
b. Minggu II => terjadi necrosis pada plaque payeri.
c. Minggu III => terbentuk tukak/ulcus yang ukurannya bervariasi dimana dapat
terjadi perdarahan dan perforasi.
d. Minggu IV => dapat sembuh dengan sendirinya.
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih
bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang
pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti
pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa
inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa
inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan
umum/status gizi serta status imunologis penderita.1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis
besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
a. Demam satu minggu atau lebih.
b. Gangguan saluran pencernaan
c. Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit
infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual,
muntah, diare, konstipasi.Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu
badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi
makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa,
perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan
sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti
pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa
stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta
dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal
minggu kedua.Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan
diameter 2 – 4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada
penekanan.Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut,
dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir
minggu pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria.
Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi
lebih lunak.
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal tersebut dapat terjadi
disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status nutrisi dan imunologik
penjamu, serta lama sakit di rumahnya.Penampilan demam pada kasus
demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart
yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap
tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama. Setelah
itu demam akan bertahan tinggi. Pada minggu ke-4, demam turun perlahan
secara lisis.Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan
dengan pagi harinya.
Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk, dan epistaksis.Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih jelas, yaitu
berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti dengan
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput,
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, ganguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, dan psikosis.
Pemeriksaan penunjang
Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit)
dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang
hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat
akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi
adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat
digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat,
mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.6
Interpretasi hasil :
a. Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan
infeksi demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan
ulang 3-5 hari kemudian.
b. Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam
tifoid
c. Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam
tifoid
2.6 Penatalaksanaan
Medikamentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik.
Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini
adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin
untuk menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek
mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak
mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah : 1,4,5
- Chloramphenicol
Merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid
fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak-
anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk
pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan
selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun.
- Golongan Quinolon.
Ciprofloksasin, dosis 2 x 750 mg sampai 4 minggu, untuk
menanggulangi karier, karena pasien dapat menularkan secara
fecal-oral (typhoid mary). Tidak boleh diberikan pada pasien
dengan usia kurang dari 15 tahun, karena bisa menyebabkan
penutupan epifise tulang lebih cepat. Keuntungan dari
Quinolon: Waktu yang diperlukan untuk terapi lebih pendek,
Bersifat bakterisida.
- Cotrimoxazole,
Merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim
dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis
Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50
mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara
syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum
sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari
pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan
sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia,
dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika
golongan ini sudah dilaporkan resisten.
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah
serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita
namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa
(rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur
lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral
maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit
berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit
makan.Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal.Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan
cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya
menurunkan suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada
daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum
tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas
dihipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang
memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer.Perubahan ukuran
pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior
sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan
pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat
(berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga
mencapai keadaan normal kembali.Hal ini sependapat dengan teori
yang dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat
pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh
meningkat, makapusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya
begitu juga sebaliknya.7
2.7 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4
1) Komplikasi pada usus halus
a. Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan
tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena
dapat disertai nyeri perut dengan tanda – tanda renjatan.
b. Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan
terjadi pada bagian distal ileum.Perforasi yang tidak disertai
peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga
peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang
dibuat dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa
perforasi usus.Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang
hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan.
c. Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis
berupa kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam
tinggi, pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai
kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila
sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang
terkena.
d. Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih
sering didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan
anak, dengan gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering
terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havanadan
Salmonella oranemburg.
e. Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta
gambaran klinis tidak khas.Insidensnya terutama pada anak
berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi pada minggu kedua
dan ketiga.Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus
takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV
blok tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.
f. Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri
Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah
sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga merupakan
penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai
gagal ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis
yang buruk.
g. Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala
penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella
typhosa di sekretnya.Karier temporerdsxzd- ekskresi S.typhi
pada feces selama tiga bulan.Hal ini tampak pada 10% pasien
konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3
minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi
organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti
semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis
kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan
cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal,
seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada
urinya dalam waktu yang lama.
BAB III
ANALISA KASUS
1. Phillips C.S. 1983. Measles. In: Behrman R.E., Vaughan V.C. (eds)
Nelson Textbook of Pediatrics. 12th edition. Japan. Igaku-Shoin/Saunders.
p.743
2. T.H. Rampengan, I.R. Laurentz. 1997. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 90
3. Soegeng Soegijanto. 2002. Campak. dalam: Sumarmo S. Poorwo
Soedarmo, dkk. (ed.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit
Tropis. Edisi I. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal. 125
4. Cherry J.D. 2004. Measles Virus. In: Feigin, Cherry, Demmler, Kaplan
(eds) Textbook of Pediatrics Infectious Disease. 5 th edition. Vol 3.
Philadelphia. Saunders. p.2283 – 2298
5. Alan R. Tumbelaka. 2002. Pendekatan Diagnostik Penyakit Eksantema
Akut dalam: Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, dkk. (ed.) Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi I. Jakarta. Balai Penerbit
FKUI. Hal. 113
6. Soegeng Soegijanto. 2001. Vaksinasi Campak. Dalam: I.G.N. Ranuh, dkk.
(ed) Buku Imunisasi di Indonesia. Jakarta. Pengurus Pusat Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Hal. 105
LAMPIRAN