Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

* Pendidikan Profesi Dokter/G1A219088/Maret 2021


** Preseptor

DEMAM TIFOID
*Vanesa Oktaria, S.Ked, ** dr. Hj. Sri Rosianti, M. Kes

Oleh :

Vanesa Oktaria, S.Ked

G1A219088

Preseptor

dr. Hj. Sri Rosianti, M. Kes

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT/KOMUNITAS

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2021
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

DEMAM TIFOID

Oleh:

Vanesa Oktaria, S.Ked


G1A219088

Sebagai salah satu tugas program pendidikan profesi dokter


Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi
2021

Jambi, Maret 2021

Preseptor,

dr. Hj. Sri Rosianti, M. Kes


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Demam Tifoid” sebagai kelengkapan persyaratan
dalam mengikuti Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj. Sri Rosianti, M. Kes
yang telah meluangkan waktu dan pikirannya sebagai pembimbing sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan. Selanjutnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat
dan menambah ilmu bagi para pembaca.

Jambi, Maret 2021

Penulis
BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
a. Nama/Kelamin/Umur : An.H / Perempuan/3 tahun
b. Pekerjaan/ Pendidikan :-
c. Alamat : RT 108 KAB

II. Latar Belakang sosial-ekonomi-demografi-lingkungan keluarga


a. Status Perkawinan :-
b. Jumlah Saudara :1
c. Status Ekonomi Keluarga : Menengah

III. Aspek Psikologis Keluarga


Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya. Tidak ada masalah psikologis
dalam keluarga, hubungan pasien dan keharmonisan dengan anggota
keluarga lainnya cukup baik.

IV. Keluhan Utama


Demam sejak ± 3 hari sebelum berobat ke Puskesmas.

V. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien berobat ke Puskesmas dengan keluhan demam sejak ± 3 hari
yang lalu. Ibu pasien mengatakan demam naik turun, demam terutama
meningkat pada sore dan malam hari, kemudian pasien merasa sedikit lebih
sehat pada pagi hari. Menurut ibu pasien, demam terjadi setiap hari dan
tidak ada periode bebas demam, pada awalnya demam pasien tidak terlalu
tinggi, kemudian meningkat perlahan. Demam tidak disertai dengan
menggigil, berkeringat, kejang, nyeri kepala, nyeri telinga ataupun nyeri
sendi. Keluhan gusi berdarah, mimisan ataupun bercak kemerahan pada
kulit juga tidak ada.
± 2 hari sebelum berobat ke puskesmas pasien mulai tidak nafsu
makan, perut terasa mual dan muntah sebanyak 2 kali berisi makanan yang
dimakan, muntah tidak bercampur darah ataupun lendir. BAK tidak ada
keluhan, berwarna kuning jernih. Namun pasien belum BAB sejak ± 2 hari
yang lalu.
Pasien sudah berobat ke dokter pada hari ke-1 demam dan
diberikan obat paracetamol, obat muntah serta vitamin, namun keluhan
demam belum membaik sehingga pasien kembali berobat ke puskesmas.
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga maupun tetangga dekatnya
yang memiliki keluhan serupa. Demam disertai juga dengan batuk.

VI. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat keluhan serupa sebelumnya (-)
- Riwayat demam tifoid (-)
- Riwayat malaria dan demam berdarah (-)

VII. Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan yang sama
seperti pasien.

VIII. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Tanda vital :

TD :-

Nadi : 74 x permenit

RR : 20 x permenit

Suhu : 36,1 °C
BB : 10 kg

TB : 87 cm

Kepala : Normocephal

Mata : Konjungtiva anemis (-/-). Sklera ikterik (-/-). Pupil

isokor. Refleks cahaya (+/+)

Mulut : Terdapat lidah kotor

THT : Tidak ada kelainan

Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)

Thorax :

Pulmo :

Pemeriksaa Kanan Kiri


n
Inspeksi Simetris Simetris
Palpasi Stem Femitus Stem Femitus
normal normal
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler (+) Vesikuler (+)
Wheezing (-), Wheezing (-),
Rhonki (-) Rhonki (-)
Jantung :

Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat


Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula
kiri
Perkusi Batas-batas jantung :
Kanan atas : ICS II linea parasternalis kanan
Kiri atas : ICS II linea parasternalis kiri
Kiri bawah : ICS V linea midclavicula kiri
Auskultas BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
i

Abdomen :

Inspeksi Cembung, massa (-), Jaringan parut (-), bekas


operasi (-)
Auskultasi Bising usus (+) normal
Palpasi Nyeri tekan epigastrium (-), defans muskuler
(-), hepatomegali (-), splenomegali (-), nyeri
ketok costovertebra (-/-)
Perkusi Timpani
Ekstremitas atas : akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

Ekstremitas bawah : akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

IX. Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan Darah Rutin
Hasil Pemeriksaan
HGB : 11,7 g/ dl
RBC : 4,47 juta/mm3 darah
WBC : 9,91 sel/ mm3 darah
HCT : 32,3%
PLT : 218.000 sel/mm3 darah

X. Pemeriksaan Anjuran
- Pemeriksaan Serum Darah
- Pemeriksaan IgG dan IgM
- Test Tubex
- Test Widal
- Kultur dan uji sensitisasi kuman

XI. Diagnosis Kerja


Demam Tifoid (A.01)
XII. Diagnosis Banding
1. Leptospirosis (A27.9)
2. Malaria (B.50)

XIII. Penatalaksanaan
Manajemen
a. Promotif :
- Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakitnya, faktor
resiko dan penyebab penyakitnya, perjalanan penyakit serta
kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi.
- Menjelaskan kepada keluarga untuk menjaga keseimbangan
nutrisi dengan memakan makanan yang sehat dari segi
bahan, pengolahan dan penyajian, bergizi serta mencakup
nutrisi makro dan mikro yang dibutuhkan tubuh.
- Menjelaskan keluarga pentingnya menjaga kesehatan diri
dan lingkungan.

b. Preventif :
- Menghindari jajan sembarangan, karena beresiko untuk
terjadinya penyakit yang didapat melalui makanan.
- Hindari kebiasaan tidak mencuci tangan setiap kali hendak
makan, masak.
- Hindari menggunakan air minum yang tidak dimasak.
- Membiasakan memasak bahan makanan dengan dicuci
terlebih dahulu
c. Kuratif :
Non Farmakologis
- Tirah baring
- Diet makanan lunak
- Cairan cukup

Farmakologi
- Paracetamol Syrup 3x1 sendok
- Kloramfenikol 3 x ½ tab
- OBH syrup

Tradisional : -

d. Rehabilitatif :
- Ikuti semua metode pengobatan secara benar dan teratur
- Pengobatan dilakukan sampai tuntas
- Apabila merasa sangat lemas, kesadaran menurun, tidak
dapat makan dan minum, segera ke pelayanan kesehatan
terdekat
- Kontrol ulang setelah pengobatan selesai

Resep Puskesmas : Resep Ilmiah:

C Dinas Kesehatan Kota Jambi Dinas Kesehatan Kota Jambi


Puskesmas Paal X Puskesmas Paal X
dr. Vanesa Oktaria dr. Vanesa Oktaria
SIP : G1A219088 SIP : G1A219088
Jl. Lintas Sumatera, Kenali Asam Bawah, Kec. Kota Jl. Lintas Sumatera, Kenali Asam Bawah, Kec. Kota
Baru, Kota Jambi, Jambi 36129 Baru, Kota Jambi, Jambi 36129

Jambi, 2021 Jambi, 2021

R/ paracetamol syrup fl no 1 R/ paracetamol syrup fl no 1


s.3.d.d 1cth s.3.d.d 1cth 
  R/Amoxcylin syrup fl.no 1
R/ Cloramfenikol tab 250 mg no x s.3.d.d 1 cth
s.2.d.d tab 1/2  R/ Ambroxol syrup fl no 1
 R/ Obh syrup fl no 1 s.2.d.d 1 cth
s.3.d.d 1 cth
Pro : An.H (3 th) Pro : An.H (3 th)
Alamat: RT 108 KAB Alamat: RT 108 KAB
Resep tidak boleh ditukar tanpa sepengetahuan Resep tidak boleh ditukar tanpa sepengetahuan
dokter dokter
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam tifoid merupakan suatu penyakit sistemik yang secara klasik


disebabkan Salmonella typhi, namun dapat juga disebabkan oleh S. paratyphi. 1

2.2 Etiologi
Etiologi tifoid adalah Salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C.
ada dua sumber penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid
dan pasien dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid
dan masih terus mengekresi Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama
2
lebih dari 1Dinas
tahun. Bakteri
Kesehatan Salmonella typhi mempunyai
Kota Jambi Dinasbeberapa komponen
Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas Paal X Puskesmas Paal X
antigen yaitu: dr. Vanesa Oktaria dr. Vanesa Oktaria
SIP : G1A219088 SIP : G1A219088
Jl. Lintas Sumatera, Kenali Asam Bawah, Kec. Kota Jl. Lintas Sumatera, Kenali Asam Bawah, Kec. Kota
1. AntigenBaru,dinding sel (o)
Kota Jambi, merupakan
Jambi 36129 polisakarida dan bersifat
Baru, Kotaspesifik grup36129
Jambi, Jambi

2. Antigen flagella (H) yg Jambi,


merupakan
2021 kompnen protein berada dlm
Jambi, 2021
flagella,bersifat spesifik spesies.
3.R/ Antigen
paracetamol syrup fl no 1 R/ paracetamol syrup fl no 1
virulen (Vi) merupakan polisakarida,berada
s.3.d.d 1cth 
di kapsul.Berhubungan
s.3.d.d 1cth 
  dengan daya invasif bakteri dan efektifitas vaksin.
R/ Cotrimoxazole  syrup fl no 1
R/Ciprofoxcacin tab 4 mg no X S.2.d.d 1 cth
s.2.d.d tab 1/2
 

Salmonella
Pro : An.H (3 th) typhi dapat hidup didalam tubuh manusia
Pro : An.H (3 th) (manusia sebagai
Alamat: RT 108 KAB Alamat: RT 108 KAB
natural reservoir).
Resep tidak Manusia
boleh ditukar yang terinfeksi
tanpa sepengetahuan Salmonella typhi dapat
Resep tidak boleh ditukar tanpa sepengetahuan
mengekskresikannyadoktermelalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dokter
dalam jangka
waktu yang sangat bervariasi.Salmonella typhi yang berada diluar tubuh
manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam air, es,
debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi
hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah
dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1

Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui


minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau
pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute
oral fekal = jalur oro-fekal).

2.3 Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.thypi) dan Salmonella paratyphi (S.
Paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torakikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Di organ- organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit
dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.1
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi dan selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi.
Di dalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan (S.typi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas
tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.1 Endotoksin dapat
menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan
1
organ lainnya. Terjadinya febris diduga disebabkan oleh endotoksin (suatu
lipopolisakarida penyebab leukopeni) yang bersama-sama Salmonella typhi
merangsang leukosit di jaringan. Inflamasi merangsang pengeluaran zat pirogen.3
Pada fase bakteriemi (minggu ke I, 7 hari pertama) Salmonella ada di hati,
limpa, ginjal, sumsum tulang, kantung empedu => bermanifestasi di usus (plaque
payeri) dimana akan terjadi: 3
a. Minggu I => membuat luka hiperemis pada plaque payeri
b. Minggu II => terjadi necrosis pada plaque payeri.
c. Minggu III => terbentuk tukak/ulcus yang ukurannya bervariasi dimana dapat
terjadi perdarahan dan perforasi.
d. Minggu IV => dapat sembuh dengan sendirinya.
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih
bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang
pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti
pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa
inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa
inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan
umum/status gizi serta status imunologis penderita.1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis
besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
a. Demam satu minggu atau lebih.
b. Gangguan saluran pencernaan
c. Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit
infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual,
muntah, diare, konstipasi.Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu
badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi
makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa,
perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan
sampai berat.

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti
pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa
stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta
dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat


dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal,
di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih
kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel
sehingga papila lebih prominen.

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal
minggu kedua.Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan
diameter 2 – 4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada
penekanan.Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut,
dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir
minggu pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria.
Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi
lebih lunak.

Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan


ukuran 1 – 5mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan
ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan
bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5

2.5 Kriteria Diagnosis


Anamnesis
Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu
perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
- Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.
Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu
pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya
menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam.
Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan normal
kembali pada kahir minggu ketiga
- Gangguan saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tak sedap. Bibir kering dan
pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung
tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin
ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan limfa membesar disertai
nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi
mungkin pula normal, bahkan dapat terjadi diare.
- Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa
dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma dan
gelisah.
Pemeriksaan Fisik

Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal tersebut dapat terjadi
disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status nutrisi dan imunologik
penjamu, serta lama sakit di rumahnya.Penampilan demam pada kasus
demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart
yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap
tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama. Setelah
itu demam akan bertahan tinggi. Pada minggu ke-4, demam turun perlahan
secara lisis.Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan
dengan pagi harinya.

Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk, dan epistaksis.Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih jelas, yaitu
berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti dengan
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput,
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, ganguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, dan psikosis.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam


tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :

1. Pemeriksaan darah tepi


Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai
sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit
normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik supresi
sumsum tulang atau perdarahan usus.Tidak selalu ditemukan
leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh
toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas
normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi
lain.
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap
komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri.
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi :
 Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah
digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang
disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita
dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen
dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi
maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang
masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi
dalam serum. Maksud uji widal adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam
tifoid yaitu;
- Aglutinin O (dari tubuh kuman)
- Aglutinin H (flagel kuman)
- Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid.Semakin tinggi
titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan
titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan
tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan
antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah
sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,
sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2
tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya
menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap
S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi
biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi,
tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40
dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur
pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan
nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96%
kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif
tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat
apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer
sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid
dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca
imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin
dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat
dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam
tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
a. Negatif Palsu
a) Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya
(ini kejadian paling sering di negara kita, demam –
> kasih antibiotika –>nggak sembuh dalam 5 hari –
> tes Widal) menghalangi respon antibodi.
b) Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan
kultur darah.
b. Positif Palsu
a) Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya
(misalnya S. paratyphi A, B, C) memiliki antigen O
dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang
dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan
hasil positif palsu (false positive).
b) Padahal sebenarnya yang positif kuman non S.
typhi (bukan tifoid).

 Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit)
dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang
hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat
akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi
adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat
digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat,
mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.6
Interpretasi hasil :
a. Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan
infeksi demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan
ulang 3-5 hari kemudian.
b. Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam
tifoid
c. Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam
tifoid

Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes


TUBEX :

a. Mendeteksi infeksi akut Salmonella


b. Muncul pada hari ke 3 demam
c. Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap
kuman Salmonella
d. Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
e. Hasil dapat diperoleh lebih cepat

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis
penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium
berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi
hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan
volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada
anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.Sedangkan volume sumsum tulang
yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.Bakteri dalam
sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika
daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa
kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan
dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan
sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.Media pembiakan
yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall)
dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan
positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan
biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu
pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah
dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama.
Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat
untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan
kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif
sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan
tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil
dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi
tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama
pada anak.Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa
sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama
dengan kultur sumsum tulang.5,6
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh
keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika,
jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen
yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak
tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu
yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk
identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk
dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

2.6 Penatalaksanaan
Medikamentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik.
Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini
adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin
untuk menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek
mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak
mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah : 1,4,5
- Chloramphenicol
Merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid
fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak-
anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk
pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan
selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun.
- Golongan Quinolon.
Ciprofloksasin, dosis 2 x 750 mg sampai 4 minggu, untuk
menanggulangi karier, karena pasien dapat menularkan secara
fecal-oral (typhoid mary). Tidak boleh diberikan pada pasien
dengan usia kurang dari 15 tahun, karena bisa menyebabkan
penutupan epifise tulang lebih cepat. Keuntungan dari
Quinolon: Waktu yang diperlukan untuk terapi lebih pendek,
Bersifat bakterisida.
- Cotrimoxazole,
Merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim
dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis
Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50
mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara
syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum
sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari
pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan
sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia,
dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika
golongan ini sudah dilaporkan resisten.

- Ampicillin dan Amoxicillin,


Memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk
anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup
efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam
biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi
chloramphenicol.
- Sefalosporin generasi ketiga
(Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari
Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive
terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya
dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis
(maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan
cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila
mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15
mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium,
stupor, koma sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV
(dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal,
dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam. Untuk demam
tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-kadang
diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi
perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol.
Non medikamentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu.
Pasien harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai
pemulihan.5

b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah
serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita
namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa
(rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur
lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral
maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit
berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit
makan.Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal.Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan
cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya
menurunkan suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada
daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum
tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas
dihipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang
memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer.Perubahan ukuran
pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior
sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan
pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat
(berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga
mencapai keadaan normal kembali.Hal ini sependapat dengan teori
yang dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat
pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh
meningkat, makapusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya
begitu juga sebaliknya.7

2.7 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4
1) Komplikasi pada usus halus
a. Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan
tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena
dapat disertai nyeri perut dengan tanda – tanda renjatan.
b. Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan
terjadi pada bagian distal ileum.Perforasi yang tidak disertai
peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga
peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang
dibuat dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa
perforasi usus.Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang
hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan.

2) Komplikasi diluar usus halus


a. Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan
dan disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan
infeksi sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase
akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru,
efusi, dan empiema.
b. Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi
minggu kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas,
bila terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk
menjadi seorang karier.

c. Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis
berupa kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam
tinggi, pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai
kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila
sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang
terkena.
d. Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih
sering didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan
anak, dengan gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering
terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havanadan
Salmonella oranemburg.
e. Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta
gambaran klinis tidak khas.Insidensnya terutama pada anak
berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi pada minggu kedua
dan ketiga.Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus
takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV
blok tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.
f. Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri
Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah
sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga merupakan
penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai
gagal ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis
yang buruk.
g. Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala
penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella
typhosa di sekretnya.Karier temporerdsxzd- ekskresi S.typhi
pada feces selama tiga bulan.Hal ini tampak pada 10% pasien
konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3
minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi
organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti
semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis
kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan
cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal,
seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada
urinya dalam waktu yang lama.
BAB III

ANALISA KASUS

3.1 Hubungan diagnosis dengan keadaan keluarga dan hubungan


keluarga
Pasien tinggal dirumah bersama kedua orangtuanya . Hubungan
antar anggota keluarga baik. Tidak ada hubungan antara diagnosa
dengan keaadaan keluarga dan hubungan dalam keluarga.
3.2 Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga
dan lingkungan sekitar
- Ibu pasien memasak makanan untuk keluarganya sendiri
namun terkadang malas memasak dan membeli makanan
diluar untuk dimakan anggota keluarganya.
- Ibu pasien kurang memperhatikan higienitas makanan, tidak
mencuci bersih makanan sebelum dimasak dan tidak sering
mencuci tangan setiap kali hendak memasak.
- Sumber air bersih untuk minum dan masak keluarga adalah
dari air minum isi ulang
- Terdapat hubungan diagnosis pasien dengan perilaku
kesehatan dalam keluarga dan lingkungan sekitar.
3.3 Analisis kemungkinan berbagai faktor resiko atau etiologi
penyakit pada pasien ini
Kemungkinan faktor yang menyebabkan pasien menderita demam
tifoid karena pasien belum menerapkan perilaku hidup bersih dan
sehat di kehidupan sehari-harinya.
3.4 Analisis untuk mengurangi paparan / memutus rantai penularan
dengan faktor resiko atau etiologi pada pasien ini
- Memasak makanan sendiri dan menghindari membeli
makanan diluar untuk dimakan anggota keluarganya.
- Memperhatikan higienitas makanan, mencuci bersih makanan
sebelum dimasak dan selalu mencuci tangan setiap kali hendak
memasak.
- Mengajarkan dan membiasakan mencuci tangan dengan sabun
secara benar
- Menggunakan air minum yang telah direbus / dimasak untuk
pasien dan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

1. Phillips C.S. 1983. Measles. In: Behrman R.E., Vaughan V.C. (eds)
Nelson Textbook of Pediatrics. 12th edition. Japan. Igaku-Shoin/Saunders.
p.743
2. T.H. Rampengan, I.R. Laurentz. 1997. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 90
3. Soegeng Soegijanto. 2002. Campak. dalam: Sumarmo S. Poorwo
Soedarmo, dkk. (ed.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit
Tropis. Edisi I. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal. 125
4. Cherry J.D. 2004. Measles Virus. In: Feigin, Cherry, Demmler, Kaplan
(eds) Textbook of Pediatrics Infectious Disease. 5 th edition. Vol 3.
Philadelphia. Saunders. p.2283 – 2298
5. Alan R. Tumbelaka. 2002. Pendekatan Diagnostik Penyakit Eksantema
Akut dalam: Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, dkk. (ed.) Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi I. Jakarta. Balai Penerbit
FKUI. Hal. 113
6. Soegeng Soegijanto. 2001. Vaksinasi Campak. Dalam: I.G.N. Ranuh, dkk.
(ed) Buku Imunisasi di Indonesia. Jakarta. Pengurus Pusat Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Hal. 105
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai