(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tanggap Darurat, Jumat 14.20-16.00)
Dosen Pengampu :
Oleh :
Kelompok 3
UNIVERSITAS JEMBER
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................................i
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.3. Tujuan.................................................................................................................2
1.4. Manfaat...............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................4
i
2.3.1. Definisi Tangga Darurat.............................................................................15
2.4.3 Penerapan dan Hal yang Diperhatikan dalam Penentuan Titik Kumpul.....34
3.1 Kesimpulan........................................................................................................39
3.2 Saran..................................................................................................................39
Daftar Pustaka..............................................................................................................40
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB I PENDAHULUAN
Potensi bencana dan kondisi darurat bisa terjadi di mana saja, baik itu di
tempat kerja, gedung, dalam bangunan atau fasilitas umum lainnya. Bencana dapat
membawa dampak merugikan tehadap institusi, pekerja maupun lingkungan
terdampak. Akibat yang ditimbulkan dari bencana dan kondisi darurat lain bisa
berupa kerugian harta benda, terhentinya proses produksi dan bahkan
mengakibatkan korban jiwa. Oleh karena itu untuk meminimalisir hal tersebut perlu
didukung dengan pengadaan sarana penyelamatan jiwa.
1
menyelamatkan diri dengan aman tanpa terhambat hal-hal yang diakibatkan oleh
keadaan darurat. Beberapa contoh sarana penyelamatan jiwa antara lain jalur
evakuasi, pintu darurat, tangga darurat, serta titik kumpul. Beberapa jenis sarana
penyelamatan jiwa tersebut tentu mempunyai pengertian, fungsi serta persyaratan
yang berbeda-beda. Oleh karena itu disusunlah makalah ini untuk mengetahui apa
definisi, tujuan dan persyaratan dari beberapa contoh atau komponen sarana
penyelamatan jiwa.
1.3. Tujuan
1.4. Manfaat
2
Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan serta pengetahuan terkait
pengertian, tujuan, serta penerapan dari komponen sarana penyelamatan jiwa jalur
evakuasi, pintu darurat, tangga darurat, serta titik kumpul.
1) Bagi Pembaca
3
BAB II PEMBAHASAN
4
konstruksi contohnya ialah dalam sebuah jalur evakuasi sangat penting untuk
mengevakuasi para pekerja apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
5
berada di tempat kerja maupun di dalam gedung untuk menuju ke tempat
yang lebih aman. Adapun syarat yang harus diperhatikan dalam menentukan
jalur evakuasi yang tepat ialah :
1. Keamanan Jalur
Jalur evakuasi yang akan digunakan untuk evakuasi haruslah benar-benar
aman dari benda-benda yang berbahaya yang dapat menimpa diri.
2. Jarak Tempuh Jalur
Jarak jalur evakuasi yang akan dipakai untuk evakuasi dari tempat tinggal
semula ketempat yang lebih aman haruslah jarak yang akan
memungkinkan cepat sampai pada tempat yang aman.
3. Kelayakan Jalur
Jalur yang dipilih juga harus layak digunakan pada saat evakuasi
sehingga tidak menghambat proses evakuasi.
Jalur Evakuasi di proyek gedung bertingkat terdiri dari jalur menuju
Tangga Darurat, Tangga Darurat, dan jalur menuju Titik Kumpul di luar
gedung. Jumlah dan kapasitas Jalur Evakuasi menyesuaikan dengan jumlah
penghuni dan ukuran gedung. Kebutuhan jalur evakuasi juga dipengaruhi
oleh waktu rata-rata untuk mencapai lokasi yang aman (Titik Kumpul).
Sebagian besar ahli keselamatan menyarankan setiap proyek gedung
memiliki minimal 2 Jalur Evakuasi, lebih banyak lebih baik.
6
memuat dua kendaraan sehingga apabila saling berpapasan tidak
menghalangi proses evakuasi. Dalam penentuan jalur evakuasi juga harus
disepakati dimana titik kumpul yang aksesnya mudah dan luas. Yang perlu
diperhatikan dalam jalur evakuasi adalah:
1. Jalur evakuasi harus cukup lebar, yang bisa dilewati oleh 2 kendaraan
atau lebih (untuk jalur evakuasi di luar bangunan)
2. Harus menjauh dari sumber ancaman dan efek dari ancaman.
3. Jalur evakuasi harus baik dan mudah dilewati.
4. dan intinya harus aman dan teratur.
Menurut Afif Dalma (2021) urutan evakuasi dapat dibagi ke dalam
tahap-tahap berikut:
1. Deteksi tentang bencana dan potensi bencana : proses untuk
menemukan dan menentukan keberadaan potensi dari suatu ancaman.
2. Keputusan jalur evakuasi turun tangga dan lokasi evakuasi : penentuan
tindakan yang akan diambil saat setelah menemukan potensi bahaya.
3. Alarm untuk memberikan informasi tentang terjadinya bencana atau
potensi bencana yang memerlukan evakuasi.
4. Reaksi : tindakan yang dilakukan setelah mengeluarkan sebuah
keputusan dan peringatan bahaya.
5. Perpindahan ke area perlindungan dari tempat turun tangga ke area
evakuasi teraman : proses memindahkan manusia dan benda dari area
berbahaya ke dalam zona yang lebih aman.
6. Transportasi dari tempat evakuasi ke rumah sakit terdekat atau tempat
lainyang lebih aman : proses memindahkan manusia dan benda dari
suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan mesin
Jalur untuk mengevakuasi korban sangat penting dihadirkan sebagai
bagian dari kesiapan menghadapi suatu bencana. Jalur ini penting supaya jika
terjadi bencana, kebakaran atau hal – hal lain yang tidak diinginkan maka
semua orang tidak perlu panik dan dapat menyelamatkan dirinya sendiri
dengan benar. Jalur tersebut juga harus memiliki peta beserta gambar yang
7
jelas demi memberikan pengertian dan pemahaman tentang proses evakuasi
bahkan bagi orang awam sekalipun. Perlengkapan penting yang dibutuhkan
ketika proses evakuasi berlangsung juga harus dihadirkan karena hal ini
sangat berkaitan dengan keselamatan setiap orang.
8
Gambar 1. Jalur Evakuasi
9
Gambar 4. Arah Keluar
Seperti yang kita ketahui bahwa tanda atau rambu diatas adalah tanda
yang sangat familiar di beberapa tempat yang pernah kita kunjungi terlebih
lagi orang pekerja di industri maupun di tempat kerja selalu melihat tanda
tersebut. Sekilas melihat saja, kita dapat mengartikan bahwa saat kita
terancam oleh bahaya, arah yang di tunjukkan oleh rambu tersebut membawa
kita ke tempat yang lebih aman agar lebih cepat menyelamatkan diri sendiri
maupun orang lain. Untuk mengatur keberadaan yang tepat dalam memasang
tanda tersebut, harus memperhatikan hal seperti :
a. Posisikan safety sign di lokasi yang mudah dilihat dengan jelas
b. Posisikan safety sign dalam jarak pandang yang tepat sehingga
informasinya terbaca jelas
c. Pastikan posisi safety sign tidak tertutup atau tersembunyi
d. Posisikan safety sign di lokasi dimana karyawan memiliki waktu yang
cukup untuk membaca pesan yang disampaikan, sehingga bisa
menghindari bahaya dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk
menjaga keselamatan
e. Pastikan safety sign di area kerja mendapat penerangan yang memadai
agar pesan terlihat jelas
f. Posisikan safety sign yang berhubungan secara bersebelahan
g. Hindari menempatkan lebih dari empat sign dalam area yang sama
10
h. Posisikan safety sign petunjuk arah/ jalur evakuasi secara berurutan
sehingga rute keluar menuju titik kumpul menjadi jelas
Tak hanya keberadaan pemasangan dari rambu jalur evakuasi yang
penting, namun posisi yang tepat dalam memasang rambu jalur evakuasi harus
memperhatikan :
a. Untuk penempatan safety sign level tertinggi (seperti rambu lokasi
penyimpanan peralatan keselamatan, peralatan pemadam kebakaran,
EXIT sign) dipasang setidaknya 198 cm dari dasar lantai.
b. Untuk penempatan safety sign dengan level ketinggian medium,
biasanya dipasang di tengah-tengah antara 114 - 168 cm dari dasar
lantai.
c. Untuk penempatan safety sign dengan ketinggian rendah (seperti rambu
rute evakuasi/ jalan keluar) ditempatkan tidak lebih dari 46 cm dari
dasar lantai sehingga tanda dapat terlihat dengan jelas bila kondisi
ruangan dipenuhi asap kebakaran.
11
Ada beberapa macam keadaan darurat yang terjadi pada suatu
bangunan gedung. Diantara beberapa keadaan darurat itu adalah kebakaran,
gempa bumi dan bencana alam lainnya, perbuatan jahat atau permusuhan
terutama yang bersifat ancaman atau serangan menggunakan bom atau
peledak lainnya. Keadaan darurat juga dapat berupa gangguan terhadap
ketertiban umum seperti demonstrasi, huru – hara dan pembrontakan. Yang
tidak kalah pentingnya adalah keadaan darurat yang berkaitan dengan tidak
berfungsinya instalasi seperti lift macet atau listrik padam.
Bangunan pabrik yang dijadikan ruang produksi sangat penting untuk
memperhatikan beberapa syarat tentang keselamatan kerja terutama
keberadaan pintu keluar darurat dan rambu-rambunya. Beberapa pabrik yang
memiliki resiko kebakaran sangat tinggi (kimia, kayu, textile) diharuskan
oleh pemerintah untuk memahami secara keseluruhan sistem keamanan
tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa pintu darurat ialah salah satu
perlindungan diri menuju ke tempat yang aman dengan menggunakan pintu
dan melewati jalur yang sudah disediakan. Banyak macamnya pula bahwa
pintu darurat juga ada yang menggunakan system yang tahan akan api atau
biasa yang disebut dengan fireproof.
12
2.2.3 Penerapan Pintu Darurat
b. Bahan
Bahan dari besi tebal yang dilengkapi dengan kaca bening berbentuk
persegi panjang yang dapat digunakan untuk melihat ke luar/ ke dalam
tangga darurat.
13
Gambar 6. Penampakan Bahan Pintu Darurat
c. Ukuran pintu
Pintu darurat yang sesuai standart berukuran tinggi 210 cm, lebar 80 cm
dan tebal 5 cm.
d. Arah bukaan
Arah bukaan semua pintu darurat ke arah dalam maksudnya menuju
ruangan tangga darurat, kecuali untuk ground floor arah bukaan
mengarah keluar bangunan.
14
Gambar 8. Arah Bukaan Pintu
15
bawah tangga. Sedangkan menurut SNI 03-1735 tahun 2000, tangga darurat adalah
tangga yang direncanakan khusus untuk penyelamatan bila terjadi kebakaran. Pada
koridor tiap jalan ke luar menuju tangga darurat dilengkapi dengan pintu darurat
yang tahan api (lebih kurang 2 jam) dan panic bar sebagai pegangannya sehingga
mudah dibuka dari sebelah tangga (luar) untuk mencegah masuknya asap kedalam
tangga darurat.
Berdasarkan jenisnya, tangga memiliki dua karakter utama, yakni tangga
fungsional dan tangga pelengkap
A. Tangga Fungsional
16
B. Tangga Pelengkap
17
2.3.3 Peraturan Tangga Darurat di Gedung Bertingkat
18
aman dan terlindung dari api dan gas panas yang beracun. Pada SNI 03-1746-2000
butir 5.2 kriteria tangga darurat, antara lain:
Konstruksi
1. Semua tangga yang digunakan sebagai sarana jalan ke luar sesuai persyaratan,
harus dari konstruksi tetap yang permanen.
2. Setiap tangga, panggung (platform) dan bordes tangga dalam bangunan yang
dipersyaratkan dalam standar ini untuk konstruksi kelas A atau kelas B harus
dari bahan yang tidak mudah terbakar.
Bordes tangga
19
1. Antara tangga dan bordas harus memiliki lebar yang sama.
2. Dalam bangunan baru tiap bordes tangga memiliki dimensi yang telah diukur
sesuai dengan arah lintasan sama dengan lebar tangga.
3. Lebarnya boleh tidak lebih dari 120 cm asal jalur tangganya lurus.
1. Anak tangga dan bordes tangga harus padat, tahanan gelincirnya seragam, dan
bebas dari tonjolan atau bibir yang dapat menyebabkan pengguna tangga
jatuh. Jika tidak tegak (vertikal), ketinggian anak tangga harus dengan
kemiringan di bawah anak tangga pada sudut tidak lebih dari 30 derajat dari
vertikal, tonjolan yang diijinkan dari pingulan harus tidak lebih dari 4 cm (1½
inci).
2. Kemiringan anak tangga tidak lebih dari 2 cm per m (¼ inci per ft )
(kemiringan 1: 48).
3. Ketinggian anak tangga harus diukur sebagai jarak vertikal antar pingulan
anak tangga.
4. Kedalaman anak tangga harus diukur horisontal antara bidang vertikal dari
tonjolan terdepan dari anak tangga yang bersebelahan dan pada sudut yang
betul terhadap ujung terdepan anak tangga, tetapi tidak termasuk permukaan
anak tangga yang dimiringkan atau dibulatkan terhadap kemiringan lebih dari
20 derajat (kemiringan 1: 2,75)
20
Pengukuran anak tangga dengan permukaan injakan yang tidak stabil :
5. Pada pingulan anak tangga, pemiringan atau pembulatan harus tidak lebih dari
1,3 cm (½ inci) dalam dimensi horisontal.
6. Harus tidak ada variasi lebih dari 1 cm (3/16 inci) di dalam kedalaman anak
tangga yang bersebelahan atau di dalam ketinggian dari tinggi anak tangga
yang bersebelahan, dan toleransi antara tinggi terbesar dan terkecil atau antara
anak tangga terbesar dan terkecil harus tidak lebih dari 1 cm (3/8 inci) dalam
sederetan anak tangga. Pengecualian: Apabila anak tangga terbawah yang
berhubungan dengan kemiringan jalan umum, jalur pejalan kaki, jalur lalu
lintas, mempunyai tingkat ditentukan dan melayani suatu bordes, perbedaan
ketinggian anak tangga terbawah tidak boleh lebih dari 7,6 cm (3 inci) dalam
setiap 91 cm (3 ft) lebar jalur tangga harus diijinkan.
21
3. Pagar pengaman dan rel pegangan tangan yang disyaratkan harus menerus
sepanjang tangga. Pada belokan tangga, rel pegangan tangan bagian dalam
harus menerus antara deretan tangga pada bordes tangga. Pengecualian: Pada
tangga yang sudah ada, rel pegangan tangan harus tidak dipersyaratkan
menerus antara deretan tangga pada bordes.
4. Rancangan dari pagar pelindung dan rel pegangan tangan dan perangkat keras
untuk memasangkan rel pegangan tangan ke pagar pelindung, balustrade atau
dinding-dinding harus sedemikian sehingga tidak ada tonjolan yang mungkin
menyangkut pakaian.
5. Bukaan pagar pelindung harus dirancang untuk mencegah pakaian yang
menyangkut menjadi terjepit pada bukaan seperti itu.
1. Rel pegangan tangan pada tangga harus paling sedikit 86 cm (34 inci) dan
tidak lebih dari 96 cm (38 inci) di atas permukaan anak tangga, diukur vertikal
dari atas rel sampai ke ujung anak tangga. Pengecualian 1: Ketinggian dari rel
pegangan tangan yang diperlukan yang membentuk bagian dari pagar
pelindung harus diijinkan tidak lebih dari 107 cm (42 inci) diukur vertikal ke
bagian atas rel dari ujung anak tangga. Pengecualian 2: Rel pegangan tangan
yang sudah ada harus paling sedikit 76 cm (30 inci) dan tidak lebih dari 96 cm
(38 inci) di atas permukaan atas anak tangga, diukur vertikal ke bagian atas rel
dari ujung anak tangga. Pengecualian 3: Rel pegangan tangan tambahan yang
lebih rendah atau lebih tinggi daripada rel pegangan tangan utama harus
diijinkan.
2. Rel pegangan tangan yang baru harus menyediakan suatu jarak bebas paling
sedikit 3,8 cm (1½ inci) antara rel pegangan tangan dan dinding pada mana rel
itu dipasangkan.
3. Rel pegangan tangan yang baru harus memiliki luas penampang lingkaran
dengan diameter luar paling sedikit 3,2 cm (1¼ inci) dan tidak lebih dari 5 cm
(2 inci). Rel pegangan tangan yang baru harus dengan mudah dipegang terus
22
menerus sepanjang seluruh panjangnya. Pengecualian 1: Setiap bentuk lain
dengan satu dimensi keliling paling sedikit 10 cm (4 inci) tetapi tidak lebih
dari 16 cm (6¼ inci), dan dengan dimensi penampang terbesar tidak lebih dari
5,7 cm (2¼ inci) harus diijinkan, asalkan ujungnya dibulatkan sampai satu
jarak radius minimum 0,3 cm (1/8 inci). Pengecualian 2: Pengikat rel
pegangan tangan atau balustrade dipasang ke bagian bawah permukaan dari
rel pegangan tangan, yang mana tonjolan horisontalnya tidak melewati sisi sisi
dari rel pegangan tangan dalam jarak 2,5 cm (1 inci) dari bagian bawah rel
pegangan tangan dan yang memiliki ujung dengan radius minimum 0,3 cm
(1/8 inci), harus tidak dipertimbangkan sebagai penghalang pada pegangan
tangan.
4. Ujung rel pegangan tangan yang baru harus dikembalikan ke dinding atau
lantai atau berhenti pada tempat terbaru.
5. Rel pegangan tangan yang baru yang tidak menerus diantara sederetan anak
tangga harus melebar horisontal, pada ketinggian yang diperlukan, paling
sedikit 30 cm ( 12 inci ) tidak melebihi tiang tegak teratas dan menerus miring
pada kedalaman satu anak tangga di atas tiang tegak paling bawah.
Pengecualian: Apabila disetujui oleh instansi yang berwenang karena
keterbatasan tempat dan di dalam unit hunian, kepanjangan horisontal di atas
anak tangga teratas tidak diperlukan asalkan rel pegangan tangan memanjang
pada ketinggian yang diperlukan sampai pada satu titik langsung di atas tiang
tegak teratas.
6. Ketinggian pagar pengaman yang dipersyaratkan harus diukur vertikal ke
bagian atas pagar pengaman dari permukaan yang dekat dimaksud.
7. Pagar pengaman paling sedikit harus 100 cm (42 inci) tingginya. Pengecualian
1: Pagar pengaman yang sudah ada yang di dalam unit hunian harus
sedikitnya 90 cm (36 inci) tingginya. Pengecualian 2: Seperti yang ada pada
bangunan kumpulan. Pengecualian 3: Pagar pengaman yang sudah ada pada
tangga yang sudah ada harus paling sedikit tingginya 80 cm (30 inci).
23
8. Pagar pengaman terbuka harus mempunyai rel atau pola ornamen sehingga
bola berdiameter 10 cm (4 inci ) harus tidak bisa lolos melalui bukaan sampai
ketinggian 80 cm (34 inci ). Pengecualian 1: Bukaan segitiga yang dibentuk
oleh tiang tegak, anak tangga, dan elemen bawah rel pagar pengaman pada
sisi terbuka dari sebuah tangga harus ukurannya sedemikian rupa sehingga
sebuah bola dengan diameter 15 cm (6 inci) harus tidak dapat lolos melalui
bukaan segitiga itu. Pengecualian 2: Dalam rumah tahanan, dalam hunian
industri, dan di dalam gudang, jarak bebas antara rel terdekat diukur tegak
lurus pada rel harus tidak lebih dari 50 cm (21 inci). Pengecualian 3: Pagar
pengaman yang sudah ada yang disetujui.
1. Semua tangga di dalam, yang melayani sebuah eksit atau komponen eksit
harus tertutup (harus aman dan terlindung dari api dan gas panas yang
beracun).
2. Semua tangga lain di dalam harus diproteksi sesuai dengan bukaan
vertikalnya. Pengecualian: Dalam bangunan gedung yang sudah ada, apabila
sebuah ruangan eksit dua lantai menghubungkan lantai eksit pelepasan dengan
lantai berdekatan, eksit tersebut harus dipersyaratkan untuk ditutup pada lantai
eksit pelepasan dan paling sedikit 50% dari jumlah dan kapasitas eksit pada
lantai eksit pelepasan harus tersendiri ditutupnya.
3. Apabila dinding yang bukan tahan terhadap api atau bukan tidak terproteksi
menutup bagian luar jalur tangga dan dinding serta bukaan itu di ekspos pada
bagian lain dari bangunan pada satu sudut tidak lebih dari 180 derajat, dinding
penutup bangunan dalam jarak 3 m (10 ft) horisontal dari dinding yang bukan
tahan api atau bukan yang terproteksi harus dikonstruksikan seperti
dipersyaratkan untuk ruang jalur tangga tertutup termasuk proteksi untuk
bukaannya. Konstruksi harus menjulur vertikal dari dasar ke suatu titik 3 m
(10 ft) di atas bordes tangga di puncak paling tinggi atau pada garis atap, yang
mana yang lebih rendah.
24
4. Untuk perencanaan tangga darurat/tangga kebakaran, perlu
mempertimbangkan jumlah orang (N) yang dapat terakomodasi, lebar tangga
darurat, dan jumlah lantai. Perhitungan ini dilakukan sesuai dengan persamaan
berikut:
Dimana :
Berikut ini contoh perhitungan lebar minimum tangga yang diperlukan untuk
menghindari penumpukan penghuni pada tiap lantai:
Jadi lebar tangga yang diperlukan untuk tiap lantai adalah 1,80 m
25
Penandaan Jalur Anak Tangga :
26
1. Menunjukkan tingkat lantai,
2. Menunjukkan akhir teratas dan terbawah dari ruang tangga terlindung,
3. Menunjukkan tingkat lantai dari, dan ke arah eksit pelepasan,
4. Diletakkan di dalam ruang terlindung di tempat mendekati 1,5 m di atas
bordes lantai dalam suatu posisi yang mudah terlihat bila pintu dalam posisi
terbuka atau tertutup,
5. Dicat atau dituliskan pada dinding atau pada penandaan terpisah yang
terpasang kuat pada dinding,
6. Huruf identifikasi jalur tangga harus ditempatkan pada bagian atas dari
penandaan dengan tinggi minimum huruf 2,5 cm dan harus memenuhi
ketentuan tentang “karakter huruf”,dan
7. Angka level lantai harus ditempatkan di tengah-tengah penandaan dengan
tinggi angka minimum 12,5 cm.
Denah yang dimaksud di sini adalah penandaan yang tepat agar tidak
membingungkan pengguna. Perencanaan penanda tangga darurat atau kebakaran
juga diatur dalam beberapa kriteria yang telah tertulis dalam Peraturan Menteri
pekerjaan umum Nomor: 26/PRT/m/2008 Bab 3 Butir 3.8.4.
27
2. Memberikan informasi lantai teratas dan ke bawah dari ruang tangga yang
terlindung.
3. Menunjukkan tingkat lantai dari dan ke arah eksit pelepasan.
4. Diletakkan di dalam ruang terlindungi di tempat mendekati 1,5 m di atas
bordes lantai dalam satu posisi yang mudah terlihat jika pintu dalam posisi
terbuka atau tertutup sekalipun.
5. Diberikan tulisan jalur “EXIT” pada dinding ataupun pintu dan harus
terpasang kuat.
6. Huruf identifikasi jalur tangga harus ditempatkan pada bagian atas dari
penandaan dengan tinggi minimum 2,5 cm dan harus memenuhi ketentuan
tentang “karakter huruf”.
7. Angka level lantai harus ditempatkan di tengah-tengah penandaan dengan
tinggi angka minimum 12,5 cm.
Petunjuk atau sign arah jalan keluar sangat penting sebagai langkah
awal penyelamatan
1. Tanda atau kode jalan keluar mudah terlihat saat proses evakuasi, diposisi
yang tidak terhalang oleh dinding, lampu atau drop-ceiling, yang dan
terbaca dengan jelas.
2. Penggunaan tanda atau kode warna dasar putih dan tulisan warna hijau
atau sebaliknya, dengan tinggi huruf 10 cm dan tebal huruf 1 cm.
3. Petunjuk lain melalui suara yang berfungsi sebagai pengarah atau
pemandu harus dapat didengar dengan jelas.
4. Perlu artificial lighting dari arah jalan keluar.
Pintu Keluar
28
Semua jalan keluar atau penghubung dari bangunan baik berupa pintu
penyelamatan/pintu kebakaran, koridor, ramp maupun jenis lainnya harus
mudah dilihat, jelas dan tanpa hambatan (Departemen Pekerjaan Umum,
1987:29).
Pintu keluar yang aman dari sebuah gedung bergantung pada
tersedianya pintu keluar yang memberi jalan untuk menyelamatkan diri dari
api, yang telah diatur sehingga siap untuk digunakan setiap saat pada kasus
darurat, dan mampu memberikan wadah bagi semua penghuni untuk
melarikan diri ke tempat yang aman dari api, asap dan panik. Jalan keluar
tersebut harus dapat mewadahi semua penghuni untuk dapat meninggalkan
area kebakaran dalam waktu yang paling singkat. Jangka waktu melarikan diri
harus semakin cepat di area-area yang tingkat munculnya kebakaran sangat
tinggi.
Lebar Minimum Akses Exit
Kapasitas koridor tidak boleh lebih kecil daripada kapasitas exit yang
dituju oleh koridor. Akses keluar tidak boleh kurang dari 31 inci (91 cm).
Tujuan sistem exit apapun adalah untuk mengimbangi jalannya orang dari
akses exit sampai exit dan menghindari penyempitan. Lebar-lebar minimum
telah ditentukan melalui pengalaman dan observasi cara-cara orang berlari
dari akses exit ke exit. Lebar minimum yang dizinkan untuk sebuah jalan yang
berfungsi sebagai akses exit adalah 36 inci (91 cm), namun di tempat-tempat
tertentu yang lain membutuhkan lebih. Kadangkala lebar koridor minimum
ditentukan berdasarkan karakteristik bangunannya. Sebagai contoh, bangunan
pendidikan memerlukan koridor tidak kurang dari 6 kaki (183cm),
mencerminkan kebutuhan tertentu untuk memindahkan objek-objek yang
lebih besar daripada objek normal seperti peralatan visual aid (pertolongan
visual) dan proyek-proyek melalui koridor di saat kondisi-kondisi
nonemergency.
Koridor
29
Kapasitas koridor tidak boleh lebih kecil daripada kapasitas exit yang
dituju oleh koridor. Akses keluar tidak boleh kurang dari 31 inci (91 cm).
Tujuan sistem exit apapun adalah untuk mengimbangi jalannya orang dari
akses exit sampai exit dan menghindari penyempitan. Lebar-lebar minimum
telah ditentukan melalui pengalaman dan observasi cara-cara orang berlari
dari akses exit ke exit. Lebar minimum yang dizinkan untuk sebuah jalan yang
berfungsi sebagai akses exit adalah 36 inci (91 cm), namun di tempat-tempat
tertentu yang lain membutuhkan lebih.
Handrail
30
harus pada suatu instalasi yang terpisah dari instalasi penerangan utama atau
umum.
Kedua, apabila saklar utama mengalami gangguan, maka diusahakan
dapat dihubungkan dengan saklar penerangan darurat yang dapat bekerja
memberikan penerangan minumum 1 jam.
31
2.4 Titik kumpul
32
menyediakan sarana evakuasi yang meliputi akses eksit, eksit, eksit pelepasan, dan
sarana pendukung evakuasi lainnya.Sementara Pasal 28 ayat (1) huruf e,
menyebutkan, sarana pendukung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(1) huruf d terdiri atas titik berkumpul. Perancangan dan penyediaan titik berkumpul
harus diidentifikasi dengan jelas, diberi tanda, dan mudah terlihat. Selain sebagai
pemenuhan regulasi, titik kumpul juga sangat berguna saat proses evakuasi jika
terjadi kebakaran, bencana alam, dan kondisi darurat lainnya. Pekerja dan seluruh
orang yang berada di lingkungan perusahaan dapat lebih cepat keluar dari gedung
menuju ke satu tempat yang lebih aman yang telah di tentukan tim tanggap darurat
perusahaan.
33
2.4.3 Penerapan dan Hal yang Diperhatikan dalam Penentuan Titik Kumpul
Untuk mengetahui berapa banyak jumlah titik kumpul yang dibutuhkan dan di
mana lokasi titik kumpul yang tepat, yang perlu diketahui terlebih dahulu yaitu
tentang jenis keadaan darurat apa saja yang berpotensi terjadi di tempat kerja dan
risiko atau bahaya apa yang dihadapi karyawan di tempat kerja. Salah satu cara untuk
mengetahui itu semua adalah dengan penilaian risiko. Penilaian risiko juga akan
menunjukkan jenis bahaya apa saja yang mungkin akan ditemukan karyawan Anda
selama proses evakuasi atau dekat dengan area yang akan Anda jadikan lokasi titik
kumpul.
Lokasi titik kumpul di tempat kerja harus berada pada jarak yang aman dari
bahaya, termasuk memperhitungkan kemungkinan bahaya runtuhan gedung, bahaya
kebakaran, dan bahaya lainnya. Selain itu juga harus dipastikan titik kumpul berada
cukup jauh sehingga tidak menghalangi kendaraan penanggulangan keadaan darurat.
Yang harus dihindari yaitu menentukan lokasi titik kumpul di area yang terdapat
banyak instalasi listrik, lalu lintas ramai, atau medan berbahaya seperti lobi atau dekat
area pintu keluar.
Sesuai Permen PUPR No.14 Tahun 2017 titik kumpul harus memenuhi
persyaratan teknis di antaranya :
34
1. Jarak minimum titik berkumpul dari bangunan gedung adalah 20 m untuk
melindungi pengguna bangunan gedung dan pengunjung bangunan gedung
dari keruntuhan atau bahaya lainnya.
2. Titik berkumpul dapat berupa jalan atau ruang terbuka.
3. Lokasi titik berkumpul tidak boleh menghalangi akses dan manuver mobil
pemadam kebakaran.
4. Memiliki akses menuju ke tempat yang lebih aman, tidak menghalangi dan
mudah dijangkau oleh kendaraan atau tim medis.
5. Persyaratan lain mengenai titik berkumpul mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan tentang sistem proteksi kebakaran pada bangunan
gedung dan lingkungan.
Jalur evakuasi merupakan suatu jalan lintasan yang menerus dan tidak
terhambat dari titik mana pun dalam bangunan gedung menuju ke titik kumpul. Jalur
evakuasi harus dirancang dengan jelas dan praktis agar proses evakuasi menjadi lebih
mudah, cepat, dan aman. Dalam situasi di mana bangunan atau tempat kerja yang luas
dan kompleks, peta evakuasi yang menggambarkan jalur evakuasi dan titik kumpul
harus tersedia dan di pasang di lokasi yang mudah dilihat atau ditemukan. Menurut
35
OSHA, sebagian besar pengusaha membuat peta evakuasi atau diagram lantai dengan
tanda panah yang menunjukkan rute keluar.
Peta evakuasi ini harus mencakup lokasi pintu keluar terdekat, titik kumpul,
dan peralatan darurat (seperti APAR, kotak P3K, automated external defibrillators
(AEDs), dan spill kit (seperangkat alat untuk menangani jika terjadi tumpahan, baik
cairan tubuh atau bahan kimia). Jalur alternatif juga harus direncanakan jika ada yang
menghalangi rute keluar utama. Meski upaya untuk sampai di lokasi titik kumpul
pada peta evakuasi terlihat sederhana, namun ketika keadaan darurat terjadi, hal ini
tidak selalu berjalan lancar karena kepanikan dan kekacauan selama proses evakuasi.
Adanya peta evakuasi menuju lokasi titik kumpul yang dirancang dengan baik, jelas,
dan praktis akan memudahkan kontraktor, tamu perusahaan, atau orang-orang yang
kurang familier dengan tempat kerja untuk menyelamatkan diri dengan cepat saat
keadaan darurat.
36
glow in the dark yang dapat menyala/memendarkan cahaya sendiri dalam kondisi
gelap.
Pemberian petunjuk arah titik kumpul juga harus diletakkan dekat area titik
kumpul yang langsung terlihat dari pintu keluar. Pemasangan rambu petunjuk arah
menuju titik kumpul dan rambu titik kumpul ini harus tepat agar lokasi titik kumpul
dapat ditempuh dengan mudah dalam waktu singkat.
GambarRambu K3 Titik
20. Rambu K3 Kumpul KananKanan
Titik Kumpul
37
pada orientasi pertama mereka. Selain iu, perusahaan juga harus memberikan
pelatihan mengenai prosedur tanggap darurat dan informasi titik kumpul secara
berkala kepada karyawan lama sebagai bentuk penyegaran. Dan harus dipastikan
karyawan tidak hanya mengetahui lokasi dan fungsi titik kumpul di tempat kerja,
tetapi juga memahami tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama
berada di titik kumpul. Salah satunya, karyawan harus tetap berada di sana sampai
mereka menerima instruksi lebih lanjut dari petugas tanggap darurat. Selain pelatihan,
perusahaan juga harus menguji titik kumpul di tempat kerja secara berkala untuk
mengukur efektivitas titik kumpul saat terjadi keadaan darurat.
38
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Kita harus selalu menjaga diri sendiri dan lingkungan sekitar kita untuk
tetap terjaga dari kondisi yang aman dan nyaman. Jika terjadi suatu bahaya atau
hal yang tidak inginkan terjadi, sedini mungkin kita harus memahami rambu atau
tanda penyelamatan diri yang akan memudahkan kita dalam menyelamatkan diri
sendiri maupun orang lain.
39
Daftar Pustaka
Akhmadi, F., Kumalawati, R., & Arisanty, D. (2017). Pemetaan Jalur Evakuasi Dan
Pengungsian Di Kecamatan Bati-Bati Kabupaten Tanah Laut. JPG (Jurnal
Pendidikan Geografi), 4(5).
Dewi, L. N., Damayanti, R. W., & Iftadi, I. (2017). Perancangan Jalur Evakuasi
Kebakaran Fakultas ABC Universitas X sesuai ISO 7010 dengan Metode
Algoritma Dijkstra.
Hakim, I. D. M., & Agustina, L. K. PEMETAAN JALUR EVAKUASI TSUNAMI
DENGAN METODE NETWORK ANALYSIS (STUDI KASUS:
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN).
Permen PUPR No. 26/PRT/M/2008 Tahun 2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem
Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan
40
SNI 03-1746-2000. Tata Cara Perencanaan Dan Pemasangan Sarana Jalan Keluar
Untuk Penyelamatan Terhadap Bahaya Kebakaran.
41