Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Emboli paru  merupakan satu dari banyak penyakit pada vaskuler paru. Emboli paru
dapat terjadi karena substansi yang tidak larut masuk ke dalam vena sistemik, terbawa aliran
darah dan menyumbat di pembuluh darah pulmoner. 1  Secara terminologi, emboli paru atau
lebih tepatnya tromboemboli paru merupakan suatu  trombus atau multipel trombus dari 
sirkulasi sistemik, masuk ke sirkulasi paru sehingga menyumbat satu atau lebih arteri
pulmonalis di bronkus.2,3
Penyebab utama dari suatu emboli paru adalah tromboemboli vena (venous
thromboembolism), namun demikian penyebab lain dapat berupa emboli udara, emboli
lemak, cairan amnion, fragmen tumor dan sepsis.
Diagnosis suatu emboli paru dapat ditegakkan dari penilaian gambaran klinis dan
pemeriksaan penunjang berupa foto toraks, D-Dimer Test, pencitraan ventilasi-perfusi
(ventilation-perfussion scanning), CT Angiografi torak dengan kontras, angiografi paru,
Magnetic Resonance Angiography, duplex ultrasound ekstremitas dan ekokardiografi
transtorakal.
Penatalaksanaan khusus emboli paru dapat berupa pemberian antikoagulasi, trombolitik
atau embolektomi baik dengan intervensi kateteriosasi maupun dengan pembedahan. Emboli
paru  merupakan satu dari banyak penyakit pada vaskuler paru. Emboli paru dapat terjadi
karena substansi yang tidak larut masuk ke dalam vena sistemik, terbawa aliran darah dan
menyumbat di pembuluh darah pulmoner.1  Secara terminologi, emboli paru atau lebih
tepatnya tromboemboli paru merupakan suatu  trombus atau multipel trombus dari  sirkulasi
sistemik, masuk ke sirkulasi paru sehingga menyumbat satu atau lebih arteri pulmonalis di
bronkus.2,3
            Antara 60% - 90% penyebab emboli paru berasal dari vena ektremitas bawah dan
pelvis.4  Munculan klinik sangat bervariasi,  bisa menyebabkan kematian mendadak,
tergantung ukuran emboli dan kondisi klinik dasar pasien.2,4  Emboli paru ditemukan lebih
dari 60% dari hasil diotopsi dan  juga sering terjadi misdiagnosis.2
Zvezdin dkk melakukan penelitian mengenai analisis post mortem penyebab kematian
dini pada pasien yang dirawat dengan penyakit paru obstruktif kronik. Penelitian ini
mendapatkan 20,9% penyebab kematian karena tromboemboli paru. 6

1
            Berbagai faktor resiko dapat menyebabkan terjadinya emboli paru, seperti faktor
herediter ( seperti defisiensi protein C, defisiensi protein S dll ) dan faktor yang didapat
(seperti umur > 40 tahun, perokok, keganasan dll).4
Menegakkan  diagnosis   emboli paru merupakan sebuah tantangan yang sulit. Tanda
klinis yang muncul seperti dispnea atau nyeri dada tidak spesifik dan dapat merupakan
manifestasi penyakit lain seperti infark miokard atau pneumonia. Banyak pasien dengan
penyakit tromboemboli mempunyai gejala  tidak spesifik dan diagnosis lebih sulit lagi jika
disertai penyakit gagal jantung kongestif atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).4,7
Dalam menegakkan diagnosis emboli paru memerlukan keterampilan mengintegrasikan data
klinis dan laboratorium serta kebijakan penilaian tentang perlu atau tidak dilakukan tindakan
diagnosis invasif.1
            Sensitifitas dan spesifisitas manifestasi klinis emboli paru masih rendah dan tidak ada
uji klinis yang sederhana.8  Konfirmasi diagnosis dengan  tes objektif hanya sekitar 20%
pasien. Emboli paru bahkan bisa tanpa gejala dan kadang didiagnosis dengan prosedur
diagnosis yang dilakukan untuk tujuan lain. 9
            Dengan latar belakang diatas maka dalam  referat ini akan dibahas bagaimana
prosedur diagnosis dan penatalaksanaan emboli paru

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
  Emboli paru  merupakan satu dari banyak penyakit pada vaskuler paru. Emboli paru
dapat terjadi karena substansi yang tidak larut masuk ke dalam vena sistemik, terbawa aliran
darah dan menyumbat di pembuluh darah pulmoner. 1  Secara terminologi, emboli paru atau
lebih tepatnya tromboemboli paru merupakan suatu  trombus atau multipel trombus dari 
sirkulasi sistemik, masuk ke sirkulasi paru sehingga menyumbat satu atau lebih arteri
pulmonalis di bronkus.2,3

Etiologi dan faktor predisposisi


Penyebab penyakit ini adalah thrombus pada pembuluh darah. Kebanyakan kasus
tromboemboli ( 80 – 95% ) berasal dari lepasnya thrombus di pembuluh darah vena di
tungkai bawah. Sumber emboli paru yang lain misalnya tumor paru yang menginvasi
sirkulasi vena ( emboli tumor ), amnion, udara, lemak, sumsum tulang, focus septic ( pada
endokarditis ) dan lain-lain. Kemudian material emboli beredar dalam peredaran darah
sampai di sirkulasi pulmonal dan tersangkut pada cabang – cabang arteri pulmonal, memberi
akibat timbulnya gejala klinis.

Faktor predisposisi terjadinya emboli menurut Virchow ( 1856 ) :


1.      Adanya aliran darah lambat
2.      Kerusakan dinding pembuluh darah vena
3.      Keadaan darah mudah membeku ( hiperkoagulasi )

2.2 Patofisiologi

3
Pada tahun 1856, Rudolf Virchow membuat suatu postulat bahwa ada tiga faktor yang
dapat menimbulkan suatu keadaan koagulasi intravaskuler, yaitu:
1. Trauma lokal pada dinding pembuluh darah
2. Hiperkoagulobilitas darah (blood hypercoagulability)
3. Statis vena6,11
Trauma lokal pada pembuluh darah dapat terjadi oleh karena cedera pada dinding
pembuluh darah, kerusakan endotel vaskuler khususnya dikarenakan tromboflebitis
sebelumnya. Sedangkan keadaan hiperkoagubilitas darah dapat disebabkan oleh terapi obat-
obat tertentu termasuk kontrasepsi oral, hormone replacement theraphy dan steroid. Di
samping itu masih ada sejumlah faktor genetik yang menjadi faktor predisposisi suatu
thrombosis. Sementara statis vena dapat terjadi akibat immobilisasi yang berkepanjangan
atau katup vena yang inkompeten yang dimungkinkan terjadi oleh proses tromboemboli
sebelumnya.11
Bila trombi vena terlepas dari tempat terbentuknya, emboli ini akan mengikuti aliran
system vena yang seterusnya akan memasuki sirkulasi arteri pulmonalis. Jika emboli ini
cukup besar, akan dapat menempati bifurkasio arteri pulmonalis dan membentuk saddle
embolus. Tidak jarang pembuluh darah paru tersumbat karenanya. Keadaan ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis yang akan melepaskan senyawa-
senyawa vasokontriktor seperti serotonin, refleks vasokontriksi arteri pulmonalis dan
hipoksemia yang pada akhirnya akan menimbulkan hipertensi arteri pulmonalis.
Peningkatan arteri pulmonalis yang tiba-tiba akan meningkatkan tekanan ventrikel
kanan dengan onsekuensi dilatasi dan disfungsi ventrikel kanan yang pada gilirannya akan
menimbulkan septum interventrikuler tertekan ke sisi kiri dengan dampak terjadinya
gangguan pengisian ventrikel dan penurunan distensi diastolic. Dengan berkurangnya
pengisian ventrikel kiri maka curah jantung sistemik (systemic cardiac output) akan menurun
yang akan mengurangi perfusi koroner dan menyebakan iskemia miokard.
Peninggian tekanan dinding ventrikel kanan yang diikuti oleh adanya emboli paru
massif akan menurunkan aliran koroner kanan dan menyebabkan kebutuhan oksigen ventrikel
kanan meningkat yang selanjutnya menimbulkan iskemia dan kardiogenik shock. Siklus ini
dapat menimbulkan infark ventrikel kanan, kolap sirkulasi dan kematian.6,11
Secara garis besar emboli paru akan memberikan efek patofisiologi berikut:
1. Peningkatan resistensi vaskuler paru yang disebabkan obstruksi, neuropulmoral, atau
baroreseptor arteri pulmonalis atau peningkatan tekanan arteri pulmonalis

4
2. Pertukaran gas terganggu dikarenakan peningkatan ruang mati alveolar dari dampak
obstruksi vaskuler dab hipoksemia karena hipoventilasi alveolar, rendahnya unit
ventilasi-perfusi dan shunt dari kanan ke kiri dan juga gangguan transfer
karbonmonoksida
3. Hiperventilasi alveolar dikarenakan stimulasi refleks oleh iritasi reseptor
4. Peningkatan resistensi jalan nafas oleh karena bronkokontriksi
5. Berkurangnya compliance paru disebabkan oleh edema paru, perdarahan paru dan
hilangnya surfaktan3,11

Gambar 2.1 patofisiologi emboli paru dan infark pada paru11

2.3 Gejala dan Tanda


Gejala yang sering dijumpai adalah sulit bernafas, nyeri dada yang memburuk saat
bernafas, batuk dan hemoptisis, dan palpitasi. Tanda klinis yang ditemukan berupa hipoksia,
stenosis, pleural friction rub, takipnea, dan takikardia. Dispnoe merupakan gejala yang paling
sering muncul, dan takipnue adalah tanda emboli paru yang paling khas. Pada umumnya
dispneu berat, sinkop, atau sianosis merupakan tanda utama emboli paru yang mengancam
nyawa. Nyeri pleuritik menunjukkan bahwa emboli paru kecil dan terletak di arteri
pulmonalis distal, berdekatan dengan garis pleura.11
EP yang tidak diobati dapat menimbulkan kolaps, kegagalan kerdiovaskuler, dan mati
mendadak. Emboli paru perlu dicurigai pada penderita hipotensi jika:
5
1. Adanya bukti thrombosis vena atau faktor predisposisi emboli paru
2. Adanya bukti klinis akut kor pulmonale (gagal ventrikel kanan akut) seperti distensi vena
leher, gallop, pulsasi jantung kanan di dinding dada, takikardia, atau takipneu
3. Adanya temuan ekokardiografis berupa gagal jantung kanan dengan hipokinesis atau bukti
EKG yang menunjukkan manifestasi akut kor pulmonal., iskemia ventrikel kanan.11
Berikut adalah 6 sindroma klinis emboli paru akut dengan gambarannya menurut
Goldhaber
1. Emboli paru massif
Presentasi klinis : sesak nafas, sinkop dan sianosis dengan hipotensi arteri sistemik persisten;
khas >50 % obstruksi pada vaskular paru. Dapat dijumpai disfungsi ventrikel kanan.
2. Emboli paru sedang sampai besar (submasif)
Presentasi Klinis : Tekanan darah sistemik masih normal, gambaran khas >30 persen defek
pada perfungsi scan paru dengan tanda-tanda difsungsi ventrikel kanan
3. Emboli Paru Kecil sampai sedang
Presentasi Klinis :Tekanan darah arteri sistemik yang normal tanpa disertasi tanda-tanda
disfungsi ventrikel kanan
4. Infark Paru (Pulmonary Infarction)
Presentasi Klinis : nyeri pleuritik, hemoptisis, pleural friction rub, atau bukti adanya
konsolidasi paru, khasnya berupa emboli perifer yang kecil, jarang disertai disfungsi ventrikel
kanan
5. Emboli Paru Paradoksikal (Paradoxical Embolism)
Presentasi Klinis : kejadian emboli sistemik yang tiba-tiba seperti stroke, jarang disertai
disfungsi ventrikel kanan.
6. Emboli Nontrombus (Nonthrombotic Embolism)
Penyebab yang tersering berupa udara, lemak, fragmen tumor, atau cairan amnion. Disfungsi
ventrikel kanan jarang menyertai keadaan ini.11

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang emboli paru mencakup:3,11,12,13,14,15
6
1. Foto Toraks
Pembesaran arteri pulmonal yang semakin bertambah pada serial foto toraks adalah tanda
spesifik emboli paru. Pada foto thoraks pasien dengan emboli paru dapat ditemukan
gambaran normal sebanyak 14 %, dan dengan kelainan laian yaitu atelektasis 68%, efusi
pleura 48%, gambaran opak basal paru(Hampton’s Hump sign) 35%, elevasi diafragma 24%,
pelebaran arteri pulmonal 15%, westermark’s sign 7%, cardiomegaly 7% dan edema paru 5
%. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menyingkirkan keadaan lainya khususnya
pneumothorax.

2. Analisa Gas Darah


Gambaran khas berupa menurunnya kadar pO2 yang dikarenakan shunting akibat
ventilasi yang berkurang. Secara simultan pCO2 dapat normal atau sedikit menurun
disebabkan oleh keadaan hiperventilasi. Bagaimanapun juga sensivitas dan spesifitas analisa
gas darah untuk penunjang diagnostic emboli paru relative rendah.

3. D-dimer
Plasma D-dimer merupakan hasil degradasi produk yang dihasilkan oleh proses
fibrinolisis endogen yang dilepas dalam sirkulasi saat adanya bekuan. Pemeriksaan ini
merupakan skrinning yang bermanfaat dengan sentivitas yang tinggi (94%) namun kurang
spesifitas (45%). D-Dimer dapat meningkat pada beberapa keadaan seperti recent MCI.
Spesifitas D-dimer secara ELISA untuk memprediksi emboli paru meningkat bila ratio D-
dimer / Fibrinogen > 1000 Plasma D-dimer yang normal dapat menyingkirkan diagnosis
emboli paru.

4. Elektrokardiogram (EKG)
Perubahan EKG tidak dapat dipercaya dalam diagnosis emboli paru terutama pada
kasus yang ringan sampai sedang. Pada keadaan emboli paru massif dapat terjadi perubahan
EKG antara lain :
- Pola S1Q3T3 , gelombang Q yang sempit diikuti T inverted di lead III, disetai
gelombang S di lead I menandakan perubahan posisi jantung yang dikarenakan
dilatasi atrium dan ventrikel kanan
- P Pulmonal
- Right bundle branch block yang baru
- Right ventricular stin idengan T iinverted di lead V1 sampai V4
7
5. Scanning Ventilasi-Perfusi
Pemeriksaan ini sudah menjadi uji diagnosis non invasive yang penting untuk
sangkaan emboli paru selama bertahun-tahun. Keterbatasan alat ini pada kasus alergi
konntras, insufisiensi ginjal, atau kehamilan. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat
adanya mismatch antara ventilasi dan perfusi paru. Pada paru yang normal, bahan tersebut
akan terdistribusi ke seluruh lapangan paru. Hal ini menunjukan ventilasi yang normal. Hal
ini di bandingkan dengan perfusi, pada emboli paru akan didaptkan bahwa bahan kontras
yang diinjeksikan intra vena tidak akan Nampak pada bagian distal dari emboli akibat
oklusi.

6. Multislice Pulmonary Computed Tomography scanning


Tes ini sangat sensitive dan spesifik dalam mendiagnosis emboli paru dan dapat
dilakukan pada penderita yang tidak dapat menjalani pemeriksaan scanning ventilasi-perfusi.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberikan injeksi kontras medium melalui vena perifer
dan dapat mencapai arteri pulmonalis yang selanjutnya memberikan visualisasi arteri
pulmonal sampai ke cabang segmentalnya.

7. Pulmonary Scintigraphy
Dengan menggunakan radioaktif technetium, ini merupakan suatu teknik yang cukup
sensitive untuk mendeteksi gangguan perfusi. Deficit perfusi dapat dikarenakan oleh
ketidakseimbangan aliran darah ke bagian paru atau disebabkan masalah paru seperti efusi
atau kollapsn paru. Untuk menambah spesifitasnya, teknik ini selalu dikombinasi dengan
Ventilation scan dengan menggunakan radioaktif gas xenon. Gambaran yang menunjukkan
non perfusi tapi adanya zona ventilasi menunjukkan emboli paru. Bagaimanapun juga pada
penderita dengan penyakit paru sebelumnya, nilai diagnostic pemeriksaan ini manjadi
menurun.

8. Angiografi paru
Pemeriksaan ini merupakan baku emas (gold standard) dalam diagnostik emboli paru.
Namun teknik ini merupaan penyelidikan invasif yang cukup berisiko terutama pada
penderita yang sudah kritis. karenanya saat ini peran angiografi paru sudah digantikan oleh
multislice CT scan yang memiliki akurasi yang sama.
Fungsi pemeriksaan angiografi: Mendeteksi aneurysma pembuluh darah aorta.
Keuntungan dari Angiography :
8
-Kateter angiography dapat menampilkan gambar pembuluh darah secara detil, jelas dan
akurat.  
-Tidak seperti CT Angiography atau MR Angiography, menggunakan kateter yang
memungkinkan     untuk mengkombinasikan diagnosa dan tindakan dalam satu prosedur,
misalnya : menemukan     daerah penyempitan arteri diikuti dengan angioplasty
dan penempatan stent.
-Kateter angiography dapat menampilkan gambaran pembuluh darah secara detil yang tidak
bisa     dihasilkan oleh prosedur noninvasive.

9. Magnetic Resonance Angiografi (MRA)


Alat ini memiliki sensitifitas dan spesifitas yang sama dengan CT angiografi, bahkan
dapat digunakan tanpa kontras sehingga aman untuk pasien dengan gangguan ginjal. Namun
alat ini tidak dianjurkan pada pasien gawat karena adanya bahan metal seperti infuse
peralatan bantun nafas,dll.

10. Duplex Ultrasound Ekstremitas


Merupakan pencitraan non invasive pada kasus dengan sangkaan thrombosis vena
dalam yang simptomatik pada tungkai maupun lengan yang relative mudah dan akurat.
Ultrasound bermanfaat pada sangkaan emboli paru yang kuat dengan skor Wells >7.

Tabel 2.1. Sistem skoring Wells dan Genewa untuk menilai kemungkinan Emboli Paru
__________________________________________________________
Skor Wells            Poin Skor Genewa Poin

Adanya riwayat VTE 1,5 Adanya riwayat VTE 2


Denyut jantung > 1,5 Denyut jantung 1
100x/mnt >100x/mnt
Setelah tindakan 1,5 Setelah tindakan 3
bedah atau bedah
imobilisasi
Gejala DVT 3 Umur (th)
60-79 1
≥80 2
Alternative diagnosis 3 PaCO2 <36 mmHg 2
lain sedikit
Hemoptisis 1 PaO2
<48,7 mmHg 4
48,7-59,9 mmHg 3
60-71,2 mmHg 2
71,3 – 82,4 mmHg 1

9
Keganasan 36 – 38,9 1 Atelektasis 1
Elevasi diafragma 1

*Venous Thromboemboli
**Deep Venous Thromboemboli

Penilaian berdasarkan sistem skor  Wells, kemungkinan untuk terjadinya emboli paru  
adalah:
1.      Jika poin < 2 : kemungkinan klinik rendah
2.      Jika poin 2 - 5 : Kemungkinan klinik sedang 
3.      Jika poin  > 6 : kemungkinan klinik tinggi
Penilaian berdasarkan sistem skor  Genewa, kemungkinan untuk terjadinya emboli paru
adalah :
1.      Jika poin 0 - 4 : kemungkinan klinik rendah
2.      Jika poin 5 - 8 : kemungkinan klinik sedang
3.      Jika poin  ≥ 9 : kemungkinan klinik tinggi
Pemilihan sistem skor ini tergantung dari klinisi dan ketersediaan fasilitas pendukung
diagnosis.
2.5 Diagnosa Banding
Diagnose banding emboli paru secara klinis yaitu:
a. Pneumonia
b. Asma bronchiale
c. Penyakit paru obstruktif menahun eksaserbasi
d. Edema paru
e. Pneumothoraks
f. Tension Pneumothoraks

2.6 Diagnosis
Diagnosis emboli paru ternyata lebih sulit dibandingkan dengan pengobatan dan
pencegahannya. Pendekatan diagnostic non invasive, khususnya pemeriksaan D-dimer,

10
ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay), CT-scan dan ultrosonografi vena saat ini
semakin meningkatan nilai kepercayaan dalam menegakkan diagnosis emboli paru.
Bagaimanapun juga, di samping adanya kemajuan teknologi diagnosis, ternyata emboli paru
yang besar selalu tidak terdiagnosis dan hanya dijumpai saat autopsi

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan emboli paru mencakup terapi yang bersifat umum dan khusus.1
Tatalaksana yang umum antara lain:
1. Tirah baring di ruang intensif
2. Pemberian oksigen 2-4 l/menit
3. Pemasangan jalur intravena untuk pemberian cairan
4. Pemantauan tekanan darah
5. Stocking pressure gradient (30-40 mmHg, bila tidak ditoleransi gunakan 20-30
mmHg)
Tatalaksana khusus antara lain:
1. Trombolitik : diindikasikan untuk emboli paru massif dan sub massif
Sediaan yang diberikan:
- Streptokinase 1,5 juta dalam 1 jam
- rt-PA (alteplase) 100 mg intravena dalam 2 jam
- Urokinase 4400/kg/jam dalam 12 jam
- Dilanjutkan dengan unfractionated heparin/low molecular weight heparin selama
5 hari
2. Ventilator mekanik diperlukan pada emboli paru massif
3. Heparinisasi sebagai pilihan pada emboli paru non massif / non sub massif
4. Anti inflamasi nonsteroid bila tidak ada komplikasi pendarahan
5. Embolektomi dilakukan bila ada kontraindikasi heparinisasi / trombolitik pada emboli
paru massif dan sub massif
6. Pemasangan filter vena cava dilakukan bila ada perdarahan yang memerlukan tranfusi
emboli paru berulang meskipun telah menggunakan antikoagulan jangka panjang
Penggunaan trombolitik pada emboli paru masih menjadi perdebatan karena masih
sedikitnya uji klinis. Namun ada suatu konsesus yang merekomendasikan penggunaanya pada
kasus emboli paru massif tetapi kontroversi timbul dikarenakan kebanyakan penderita yang
akan di trombolitik memiliki disfungsi ventrikel kanan yang berat. Food and Drug

11
Administration (FDA) telah merekomendasian penggunaan t-PA (alteplase) 100 mg
diberikan perinfus selama 2 jam pada kasus emboli paru massif.17,18
Dari data The International Cooperative Pulmonary Embolism Registry (ICOPER)
menunjukkan bahwa fibrinolitik tidak menurunkan angka kematian atau kekambuhan emboli
paru pada 90 hari. Sementara pada emboli paru submassif, The Management Strategies and
Prognosis of Pulmonary Embolism-3 Trial (MAPPET-3) menunjukkan bahwa terjadi
penurunan penggunaan terapi ekskalasi diantara penderita yang mendapat alteplase.17
Penderita emboli paru massif atau submassif dengan kontraindikasi fibrinolitik, maka
embolektomi akan menjadi pilihan terapi. Indikasi embolektomi secara pembedahan lainnya
mencakup emboli paradoks (paradoxical emboli), emboli yang menetap pada jantung kanan
(persistent right heart thrombi), ketidakseimbangan hemodinamik atau respiratorik yang
memerlukan resusitasi kardiopulmoner.17,18
Embolektomi pulmoner dengan teknik kateterisasi (catheter-based pulmonary
embolectomy) saat ini berkembang menjadi terapi primer pilihan pada emboli paru akut.
Teknik ini diindikasikan bila fibrinolisis dan embolektomi pembedahan merupakan
kontraindikasi. Pada umumnya, embolektomi dengan kateterisasi akan berhasil jika dilakukan
pada fresh thrombus dalam kurun waktu 5 hari sejak ditemukan gejala.17
Pemberian antikoagulan merupakan komponen utama dalam penatalaksanaan emboli
paru. Low-moleculer weight heparin (LMWH) seperti enoxaparin nyata-nyata memberikan
efek yang aman dan efektif dibandingkan dengan unfractionated heparin intravena.
Keuntungan LMWH dibandingkan dengan heparin antara lain LMWH memiliki dosis yang
lebih sesuai dan cukup respons, tidak perlu monitoring, tidak memerlukan penyesuaian dosis,
insidensi trombositopenia lebih kecil, tidak dapat menyebabkan perdarahan berlebihan dan
dapat dilakukan pasien sendiri di rumah sehingga memperpendek masa rawatan.17,18
Antagonis vitamin K oral seperti walfarin masih tetap menjadi pilihan sebagai
antikoagulan oral pada kasus-kasus tromboemboli vena dengan target INR (International
Normalized Ratio) 2,0 sampai 3,0. Penggunaan optimal antikoagulan bergantung pada risiko
terjadinya kekambuhan tromboemboli. Beberapa studi merekomendasikan penggunaan
antikoagulasi tanpa bata waktu pada tromboemboli idiopatik.17
Saat ini telah berkrmbang teknik filter vena cava inferior (Inferior Vena Cava Filter)
yang prosedurnya dilakukan melalui vena jugularis interna atau vena femoralis yang dengan
panduan flouroskopi dimasukkan sampai ke vena cava inferior. Indikasi pemasanagan ini
adalah:

12
a. Penderita dengan risiko tinggi thrombosis vena dalam proksimal yang mana
antikoagulasi merupakan kontra indikasi
b. Tromboemboli vena yang rekuren walaupun dengan antikoagulasi
c. Tomboemboli vena rekuren ronis dengan hipertensi pulmonal
d. Dilakukan secara simultan bersamaan dengan operasi embolektomi atau
endarterectomy17

2.8 Pencegahan
Pencegahan emboli paru menjadi salah satu hal penting dikarenakan kelainan ini sulit
dideteksi dan penatalaksanaannya tidak selalu berhasil. Setiap penderita yang dirawat
seharusnya dilakukan stratifikasi risiko emboli paru dan bila perlu mendapatkan terapi
profilaksis.16
Pencegahan non farmakologis yang dapat dilakukan adalah penggunaan graduated-
compression stockings, suatu alat yang memberikan kompresi berkala dan filter vena cava
inferior atau kombinasi keduanya.16 Disamping itu regimen farmakologis profilaksis lainnya
diberikan seperti pada tabel berikut ini:

BAB 3
PENUTUP
13
Emboli merupakan salah satu masalah kesehatan dengan insidensi yang masih tinggi
dan angka mortalitasnya cukup signifikan.
Deteksi dan stratifikasi risiko merupakan langkah awal dalam diagnosis dan
tatalaksana suatu emboli paru sehingga dapat menrunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Dalam pendiagnosaan emboli paru dapat di tegakan dengan pemeriksaan radiologi
rontgen thoraks, Scanning Ventilasi-Perfusi, Spiral Pulmonary Computed Tomography
scanning, Pulmonary Scintigraphy, angiografi paru, dan Magnetic Resonance Angiografi
(MRA).
Pemberian antikoagulan, baik low-molecular weigth heparin, unfractinated heparin
dan oral antikoagulan lain seperti warfarin masih cukup efektif dalam terapi khusus emboli
paru.

DAFTAR PUSTAKA

14
1. Kusmana D, dkk. Standar Pelayanan Medik RS. Jantung Pembuluh Darah Harapan
Kita.Edisi ke-2. Jakarta. 2003.h 209-11
2. Goldhaber SZ, Elliot CG. Acute Pulmonary Embolism: Part II: Risk stratification,
treatment, and prevention. Circulation 2003;108:2834-2838
3. Sunu I.Emboli Paru: Pencegahan dan Tata Laksana Optimal Pasien Rawat Inap.Dalam:
Harimurti GM, dkk, penyunting. 18th Weekend Course on Cardiology, common soils in
atherosclerosis: The base for prevention and intervention Jakarta.2006.h.9-18
4. Piazza G, Goldhabber SZ. Acute Pulmonary Embolism: Part I:Epidemiology and
Diagnosis. Circulation 2006;114:28-32
5. Sobieszczyk P, dkk. Acute Pulmonary Embolism: Don’t ignore the platelet. Circulation
2002;106:1748-1749
6. Fedullo PF: Pulmonary Embolism. Dalam:Robert AO, Valentin F,R.Wayne A, penyunting.
The Heart Manual of Cardiologi. Edisi ke-11. Boston:McGraw Hill, 2005.h.351-2
7. Myerson SG, dkk: Pulmonary Embolism.Dalam: Saul GM, Robin PC, Andrew RJ,
penyunting. Emergencies in cardiology. Edisi ke-1. Oxford University press, 2006.h.190-194
8. Goldhaber SZ, Morrison RB. Pulmonary embolism and deep vein thrombosis. Circulation
2002;106:1436-1438
9. Julian GD: Disorders of the lungs and pulmonary circulation. Dalam: Desmond GJ, Cowan
JC, James MM, penyunting. Cardiology. Edisi ke-8. Edinburgh: Churchill
livingstone,2000.h.181-7
10. Grubb NR, Newby DE: Pulmonary embolism. Dalam: Neil RG, David EN, penyunting.
Cardiology. Edisi ke-1. Edinburgh: Churchill livingstone,2000.h.181-7
11. Goldhaber SZ: Pulmonary embolism. Dalam: Zipes, Libby, Bonow, Braunwald.
Penyunting. Braunwald’s heart disease, a textbook of cardiovascular medicine. Edisi ke-7.
Philadelphia: Elsevier saunders,2005.h.1789-06
12. Kearon C. Diagnosis of pulmonary embolism. CAMJ 2003;168:183-194
13. Palareti G, dkk. Predictive value of D-dimer Test for recurrent venous thromboembolism
after anticoagulation withdrawl in subjects with a previous idiopathic event and in carriers of
congenital thrombophilia. Circulation 2003;108:313-18
14. Fedullo PF, dkk. The evaluation of suspected pulmonary embolism. N Engl J Med
2003;349:1247-56
15. Goldhaber SZ. Pulmonary embolism.N Engl J Med 1998;339:93-03
16. Janata K. Managing pulmonary embolism. BMJ 2003;326:1341-1342

15
17. Piazza G, Goldhaber SZ. Acute pulmonary embolism: Part II: Treatment and prophylaxis.
Circulation 2006;114:42-47
18. Turpie GG, dkk. ABC of antithrombotic Therapy, venous thromboembolism: treatment
strategies. BMJ 2002;325:948-50

16
DAFTAR ISI
BAB 1
1.1. Latar Belakang
………………………………………………………………………… 1
BAB II
2.1. Definisi ………………………………………………………………………………… 3
2.2. Patofisiologi …………………………………………………………………………… 4
2.3. Gejala klinis …………………………………………………………………………… 5
2.4. Pemeriksaan penunjang ……………………………………………………………….. 7
2.5. Diagnosis Banding ……………………………………………………………………. 10
2.6. Diagnosis ……………………………………………………………………………… 11
2.7. penatalaksanaan ………………………………………………………………………. 11
2.8. pencegahan ……………………………………………………………………………. 13
BAB III
3.1.Penutup ………………………………………………………………………………… 14
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………… 15

17

Anda mungkin juga menyukai