Anda di halaman 1dari 21

Clinical Science Session

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A219088/Februari 2021


**Pembimbing/ dr. Kuswaya Waslan, Sp.M

ABLASIO RETINA

Disusun Oleh :
Vanesa Oktaria
G1A219088

Pembimbing :
dr. Kuswaya Waslan, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021

1
HALAMAN PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION

ABLASIO RETINA

Disusun oleh:
Vanesa Oktaria
G1A219088

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada Februari 2021

PEMBIMBING

dr. Kuswaya Waslan, Sp.M

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat
menyelesaikan referat ini dengan judul “Ablasio Retina”. Laporan ini
merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Bagian Penyakit Mata di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi.

Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan


dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada dr. Kuswaya Waslan, Sp.M selaku pembimbing yang
telah memberikan arahan sehingga referat ini dapat terselesaikan dengan baik
dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak
sangat diharapkan oleh penulis guna kesempurnaan referat ini ke depannya.
Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita.

Jambi, Februari 2021

Penulis

3
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................................. i
Lembar Pengesahan........................................................................................................ii
Kata Pengantar...............................................................................................................iii
Daftar Isi ........................................................................................................................iv
Bab 1 Pendahuluan..........................................................................................................1
Bab 2 Tinjauan Pustaka...................................................................................................2
2.1 Definisi......................................................................................................................2
2.2 Epidemiologi.............................................................................................................2
2.3 Etiologi......................................................................................................................3
2.4 Patofisiologi..............................................................................................................4
2.5 Manifestasi Klinis.....................................................................................................8
2.6 Diagnosis Banding....................................................................................................9
2.7 Diagnosis.................................................................................................................11
2.8 Penatalaksanaan......................................................................................................12
2.9 Prognosis.................................................................................................................14
Bab 3 Kesimpulan.........................................................................................................16
Daftar Pustaka...............................................................................................................17

4
BAB I

PENDAHULUAN

Retina merupakan lapisan membran neurosensoris dan merupakan lapisan


ketiga bola mata setelah sklera yang merupakan jaringan ikat dan jaringan uvea yang
merupakan jaringan vaskuler yang terdiri dari iris, badan siliar, dan koroid. Retina
berbatas dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina. Antara retina dan koroid
terdapat rongga yang potensial yang bisa mengakibatkan retina terlepas dari koroid.
Hal ini yang disebut sebagai ablasio retina.1
Retina manusia merupakan suatu struktur yang sangat terorganisir, yang terdiri
dari lapisan-lapisan badan sel dan prosesus sinaptik. Walaupun ukurannya kompak
dan tampak sederhana apabila dibandingkan dengan struktur saraf misalnya korteks
serebrum, retina memiliki daya pengolahan yang sangat canggih. Pengolahan visual
retina diuraikan oleh otak, dan persepsi warna, kontras, kedalaman, dan bentuk
berlangsung di korteks. Pengolahan informasi di retina berlangsung dari lapisan
fotoreseptor melalui akson sel ganglion menuju ke saraf optikus dan otak.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi retina
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, multilapis
yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina
membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan berakhir di
tepi ora serrata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang
garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini pada sisi nasal.
Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina
sehingga juga bertumbuk dengan membrane Bruch, koroid dan sklera. Disebagian
besar tempat, retina dan epitelium pigmen retina mudah terpisah hingga membentuk
suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Tetapi pada diskus
5
optikus dan ora serrata, retina dan epitelium pigmen retina saling melekat kuat
sehingga membatasi perluasan cairan subretina pada ablasio retina. Hal ini

6
berlawanan dengan ruang subkhoroid yang dapat terbentuk antara khoroid dan sklera
yang meluas ke taji sklera. Dengan demikian ablasi koroid meluas melewati ora serrata,
dibawah pars plana dan pars plikata. Lapisan - lapisan epitel permukaan dalam korpus
siliare dan permukaan posterior iris merupakan perluasan ke anterior retina dan
epitelium pigmen retina. Permukaan dalam retina menghadap ke vitreus.2
Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi luar ke dalam adalah sebagai berikut:
1. Epitelium pigmen retina
Merupakan lapisan terluar dari retina. Epitel pigmen retina terdiri
dari satu lapisan sel mengandung pigmen dan terdiri atas sel-sel
silindris dengan inti di basal. Daerah basal sel melekat erat membran
Bruch dari koroid. Fotoreseptor dipelihara oleh epitel pigmen retina,
yang berperan pada proses penglihatan. Epitel pigmen ini bertanggung
jawab untuk fagositosis segmen luar fotoreseptor, transportasi vitamin,
mengurangi hamburan sinar, serta membentuk sawar selektif antara
koroid dan retina.3, 4, 5
2. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut.
Sel-sel batang dan kerucut di laisan fotoreseptor mengubah
rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh
jaras-jaras penglihatan ke korteks penglihatan ocipital. Fotoreseptor
tersusun sehingga kerapatan sel-sel kerucut meningkat di di pusat
makula (fovea), dan kerapatan sel batang lebih tinggi di perifer.
Pigmen fotosensitif di dalam sel batang disebut rodopsin. Sel kerucut
mengandung tiga pigmen yang belum dikenali sepenuhnya yang
disebut iodopsin yang kemungkinan menjadi dasar kimiawi bagi tiga
warna (merah,hijau,biru) untuk penglihatan warna. Sel kerucut
berfungsi untuk penglihatan siang hari (fotopik). Subgrup sel kerucut
responsif terhadap panjang gelombang pendek, menengah, dan
panjang (biru, hijau merah). Sel batang berfungsi untuk penglihatan
malam (skotopik). Dengan bentuk penglihatan adaptasi gelap ini
terlihat beragam corak abu-abu, tetapi warnanya tidak dapat
dibedakan. Waktu senja (mesopik) diperantarai oleh kombinasi sel
kerucut dan batang.2,4, 5
3. Membrana limitans externa
4. Lapisan inti luar sel fotoreseptor, Ini terdiri dari inti dari
batang dan kerucut.3,6
5. Lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan – sambungan
sel bipolar dan sel horizontal dengan fotoreseptor .3,6
6. Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal
7. Lapisan pleksiformis dalam, yang mengandung sambungan –
sambungan sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar .3,6
8. Lapisan sel ganglion, Ini terutama mengandung sel badan sel ganglion
(urutan kedua neuron visual 7 pathway). Ada dua jenis sel ganglion.3,6
9. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson – akson sel ganglion
yang berjalan menuju ke nervus optikus.3,6
10. Membrana limitans interna. Ini adalah lapisan paling dalam dan
memisahkan retina dari vitreous. Itu terbentuk oleh persatuan ekspansi
terminal dari serat yang Muller, dan pada dasarnya adalah
dasar membran.3,6

Gambar 1.
Lapisan retina dari luar ke dalam (3)

Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada
kutub posterior. Di tengah – tengah retina posterior terdapat makula. Secara
klinis makula dapat didefinisikan sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang
disebabkan oleh pigmen luteal (xantofil) yang berdiameter 1,5 mm. Secara
histologis makula merupakan bagian retina yang lapisan ganglionnya
mempunyai lebih dari satu lapis sel. Secara klinis, makula adalah bagian yang
dibatasi oleh arkade – arkade pembuluh darah retina temporal. Di tengah makula
sekitar 3,5 mm di sebelah lateral diskus optikus terdapat fovea yang secara klinis
jelas – jelas merupakan suatu cekungan yang memberikan pantulan khusus bila
dilihat dengan oftalmoskop.2
Fovea merupakan zona avaskular di retina pada angiografi fluoresens.
Secara histologi, fovea ditandai dengan menipisnya lapisan inti luar dan tidak
adanya lapisan – lapisan parenkim karena akson – akson sel fotorreceptor
(lapisan serat Henle) berjalan oblik dan pergeseran secara sentrifugal lapisan
retina yang lebih dekat ke permukaan dalam retina. Foveola adalah bagian
paling tengah pada fovea, disini fotoreseptornya adalah sel kerucut dan bagian
retina yang paling tipis. Semua gambaran histologis ini memberikan
diskriminasi visual yang halus. Ruang ekstraseluler retina yang normalnya
kosong potensial paling besar di makula dan penyakit yang menyebabkan
penumpukan bahan di ekstrasel dapat menyebabkan daerah ini menjadi tebal
sekali.2

Gambar 2.
Anatomi makula (6)
Retina menerima darah dari dua sumber yaitu khoriokapilaria yang
berada tepat diluar membrana Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina
termasuk lapisan pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotorreceptor, dan
lapisan epitel pigmen retina serta cabang – cabang dari arteri sentralis retinae
yang mendarahi dua pertiga sebelah dalam. Fovea sepenuhnya diperdarahi oleh
khoriokapilaria dan mudah terkena kerusakan yang tak dapat diperbaiki kalau
retina mengalami ablasi. Pembuluh darah retina mempunyai lapisan endotel
yang tidak berlubang yang membentuk sawar darah retina. Lapisan endotel
pembuluh khoroid dapat ditembus. Sawar darah retina sebelah luar terletak
setinggi lapisan epitel pigmen retina.2,3

II. Definisi

Ablasio retina (retinal detachment) adalah pemisahan retina


sensorik, yakni lapisan fotoreseptor (sel kerucut dan batang) dan jaringan
bagian dalam, epitel pigmen retina dibawahnya. Pada keadaan ini sel epitel
pigmen masih melekat erat dengan membran Bruch. Sesungguhnya antara
sel kerucut dan sel batang retina tidak terdapat suatu perlekatan struktural
dengan koroid atau pigmen epitel, sehingga merupakan titik lemah yang
potensial untuk lepas secara embriologis. 1,3,7

Gambar 3.
Ablasio retina (4)

III. Epidemiologi
Penyebab paling umum di seluruh dunia yang terkait dengan ablasio
retina adalah miop, afakia, pseudofakia, dan trauma. Sekitar 40-50% dari
semua pasien dengan ablasio memiliki miop, 30-40% mengalami
pengangkatan katarak, dan 10-20% telah mengalami trauma okuli. ablasio
retina yang terjadi akibat trauma lebih sering terjadi pada orang muda, dan
miop terjadi paling sering pada usia 25-45 tahun. Meskipun tidak ada
penelitian yang menunjukkan untuk terjadinya ablasio retina yang
berhubungan dengan olahraga tertentu (misalnya, tinju dan bungee jumping)
tetapi olahraga tersebut meningkatkan resiko terjadinya ablasio retina.2,8,9
Kejadian ini tidak berubah ketika dikoreksi, meningkat pada pria dengan
trauma okuli. Ablasio retina pada usia kurang dari 45 tahun, 60% laki-laki
dan 40% perempuan.9
Ablasio retina biasanya terjadi pada orang berusia 40-70 tahun. Namun,
cedera paintball pada anak-anak dan remaja merupakan penyebab umum dari
cedera mata, yang termasuk ablasio retina traumatik.9
IV. Klasifikasi

Berdasakan penyebabnya ablasio retina dibagi menjadi:


1. Ablasio Retina Primer (Ablasio Retina Regmatogenosa)
Ablasio regmatogenosa berasal dara kata Yunani rhegma, yang berarti
diskontuinitas atau istirahat . Pada ablasio retina regmatogenosa dimana
ablasi terjadi adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang
antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan
kaca cair (fluid vitreus) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina
ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis
epitel pigmen koroid. Ablasio regmantogenosa spontan biasanya didahului
atau disertai oleh pelepasan korpus vitreum posterior.1,2,8

Faktor predisposisi terjadinya ablasio retina regmatogenosa antara lain:


2,3
a. Usia. Kondisi ini paling sering terjadi pada umur 40 – 60 tahun. Namun
usia tidak menjamin secara pasti karena masih banyak faktor yang
mempengaruhi.
b. Jenis kelamin. Keadaan ini paling sering terjadi pada laki – laki dengan
perbandingan laki : perempuan adalah 3 : 2
c. Miopi. Sekitar 40 persen kasus ablasio retina regmatogenosa terjadi karena
seseorang mengalami miop.
d. Afakia. Keadaan ini lebih sering terjadi pada orang yang afakia daripada
seseorang yang fakia. Pasien bedah katarak diduga akibat vitreus ke
anterior selama atau setelah pembedahan. Lebih sering terjadi setelah
ruptur kapsul, kehilangan vitreus dan vitrektomi anterior. Ruptur kapsul
saat bedah katarak dapat mengakibatkan pergeseran materi lensa atau
sesekali, seluruh lensa ke dalam vitreus.
e. Trauma. Mungkin juga bertindak sebagai faktor predisposisi
f. Fenile Posterior Vitreous Detachment (PVD). Hal ini terkait dengan
ablasio retina dalam kasus banyak.
g. Pasca sindrom nekrosis akut retina dan sitomegalovirus (CMV) retinitis
pada pasien AIDS berupa nekrosis retina dengan formasi istirahat retina
terjadi, kemudian, cairan dari rongga vitreous dapat mengalir melalui
istirahat dan melepas retina tanpa ada hadir traksi vitreoretinal terbuka.
h. Retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer seperti Lattice
degeneration, Snail track degeneration, White-with-pressure and white-
without or occult pressure, acquired retinoschisis
Ablasio retina akan memberikan gejala prodromal terdapatnya gangguan
penglihatan yang kadang – kadang terlihat sebagai tabir yang menutupi
(floaters) akibat dari vitreous cepat degenerasi dan terdapat riwayat adanya
pijaran api (fotopsia) pada lapangan penglihatan akibat sensasi berkedip
cahaya karena iritasi retina oleh gerakan vitreous.1,3
Ablasi retina yang berlokalisasi di daerah superotemporal sangat
berbahaya karena dapat mengangkat macula. Penglihatan akan turun secara
akut bila lepasnya retina mengenai macula lutea. Pada pemeriksaan
funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna pucat dengan
pembuluh darah diatasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna
merah. Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang lepas (ablasi)
bergoyang. Kadang – kadang terdapat pigmen didalam badan kaca. Pada
pupil terdapat adanya defek aferen pupil akibat penglihatan menurun.
Tekanan bola mata rendah dan dapat meninggi bila telah terjadi neovaskuler
glaucoma pada ablasi yang telah lama.1
Gambar 4.

Ablasio retina tipe regmatogenosa, arah panah menunjukkan horseshoe tear (7)

2. Ablasio Retina Sekunder (Non regmatogenosa)


i. Ablasio Retina Eksudatif
Ablasio retina eksudatif terjadi akibat adanya penimbunan cairan
eksudat di bawah retina (subretina) dan mengangkat retina. Penimbunan
cairan subretina terjadi akibat ekstravasasi cairan dari pembuluh retina dan
koroid. Penyebab Ablasio retina eksudatif dibagi menjadi dua yaitu
penyakit sistemik yang meliputi Toksemia gravidarum, hipertensi renalis,
poliartritis nodosa. Sedangkan penyakit mata meliputi akibat inflamasi
(skleritis posterior, selulitis orbita), akibat penyakit vascular (central
serous retinophaty, and axudative retinophaty of coats, akibat neoplasma
(malignant neoplasma koroid dan retinoblastoma), akibat perforasi bola
mata pada operasi intraokuler.1,2,3
Gejala klinis ablasio retina eksudatif antara lain:3

a. Tidak adanya photopsia, lubang / air mata, lipatan dan


undulations.
b. Ablasio retina eksudatif halus dan cembung. Pada puncak
tumor itu biasanya bulat dan tetap dan bisa menunjukkan
gangguan pigmen.
c. Kadang-kadang, pola pembuluh retina mungkin terganggu
akibat adanya neovaskularisasi di puncak tumor.
d. Pergeseran cairan ditandai dengan mengubah posisi daerah
terpisah dengan gravitasi adalah ciri khas yang dari detasemen
retina eksudatif.
e. Pada tes transillumination satu ablasio sederhana muncul
transparan sedangkan ablasio padat.

Gambar 5.
Ablasio retina tipe eksudatif akibat dari hasil metastase karsinoma payu dara (6)

ii. Ablasio retina traksi


Pada ablasio ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan jaringan
parut pada korpus vitreus (badan kaca). Pada badan kaca terdapat jaringan
fibrosis yang dapat disebabkan diabetes melitus proliferative, trauma, dan
perdarahan badan kaca akibat bedah atau infeksi. Tipe ini juga dapat terjadi
sebagai komplikasi dari ablasio retina regmatogensa.1,2,3
Ablasio retina tipe regmatogenosa yang berlangsung lama akan membuat
retina semakin halis dan tipis sehingga dapat menyebabkan terbentuknya
proliferatif vitreotinopathy (PVR) yang sering ditenukan pada tipe
Regmetogenosa yang lama. PVR juga dapat terjadi kegagalan dalam
penatalaksanaan ablasio retina regmatogenosa. Pada PVR, epitel pigmen retina,
sel glia, dan sel lainya yang berada di dalam maupun di luar retina pada badan
vitreus akan membentuk membrane. Kontraksi dari membrane tersebut akan
menyebabkan retina tertarik ataupun menyusut, sehingga dapat mengakibatkan
terdapatnya robekan baru atau brkembang menjadi ablasio retina traksi.1,2,3,6
Gambar 6.
Ablasio retina traksi dengan proliferatif vitreoretinopati (6)

V. Diagnosis

Ablasio retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


oftalmologi dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Gejala umum pada ablasio retina yang sering dikeluhkan
penderita adalah:
a. Floaters (terlihatnya benda melayang – laying) yang terjadi karena
adanya kekeruhan di vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang
lepas atau degenerasi vitreus itu sendiri.1,2,3
b. Photopsi/light flashes (kilatan cahaya), tanpa adanya sumber
cahaya di sekitarnya, yang umumnya terjadi sewaktu mata
digerakkan dalam keremangan cahaya atau dalam keadaan gelap.3
c. Penurunan tajam penglihatan, penderita mengeluh penglihatannya
sebagian seperti tertutup tirai yang semakin lama semakian luas.
Pada keadaan yang telah lanjut, dapat terjadi penurunan tajam
penglihatan yang berat.1,3,6
Pada ablasio regmatogenosa, pada tahap awal masih relative
terlokalisir, tetapi jika hal tersebut tidak diperhatikan oleh penderita maka
akan berkembang menjadi lebih berat jika berlangsung sedikit sedikit demi
sedikir menuju ke arah makula. Keadaan ini juga tidak menimbulkan rasa
sakit tiba- tiba kehilangan penglihatan terjadi ketika kerusakannya sudah
parah. Pasien seperti biasanya mengeluhkan kemunculan tiba – tiba awan
gelap atau kerudung didepan mata.2,3
Selain itu perlu di anamnesa adanya faktor predisposisi yang
menyebakan teradi ablasio retina seperti adanya riwayat trauma, riwayat
pembedahan sebelumnya seperti ekstraksi katarak, pengangkatan korpus
alienum inoukler, riwayat penyakit mata sebelumnya (uveitis, perdarahan
vitreus, amblopia, galukoma, dan retinopati diabetik). Riwayat keluarga
dengan sakit mata yang sama serta penyakit serta panyakit sistemik yang
berhubungan dengan ablasio retina (diabetes melitus, tumor, sickle cell
leukimia, eklamsia, dan prematuritas).1,2,3
2. Pemeriksaan oftalmoskopi
Adapun tanda – tanda yang dapat ditemukan pada keadaan ini
antar lain :
a. Pemeriksaan visus. Dapat terjadi penurunan tajam penglihatan
akibat terlibatnya makula lutea atau kekeruhan media refrakta atau
badan kaca yang menghambat sinar masuk. Tajam penglihatan
akan sangat terganggu bila makula lutea ikut terangkat. 1,2,3
b. Tekanan intraokuler biasanya sedikit lebih atau mungkin normal.1,3
c. Pemeriksaan funduskopi. Merupakan salah satu cara terbaik untuk
mendiagnosa ablasio retina dengan menggunakan oftalmoskop
indirek binokuler. Pada pemeriksaan ini retina yang mengalami
ablasio tampak sebagai membran abu – abu merah muda yang
menutupi gambaran vaskuler koroid. Jika terdapat akumulasi
cairan pada ruang subretina, didapatkan pergerakkan undulasi
retina ketika mata bergerak. Pembuluh darah retina yang terlepas
dari dasarnya berwarna gelap, berkelok – kelok dan membengkok
di tepi ablasio. Pada retina yang terjadi ablasio telihat lipatan –
lipatan halus. Satu robekan pada retina terlihat agak merah muda
karena terdapat pembuluh koroid dibawahnya. 1,3,6
d. Electroretinography (ERG) adalah dibawah normal atau tidak ada.3
e. Ultrasonography mngkonfirmasikan diagnosis. Ini adalah nilai
khusus pada pasien media berkabut terutama dihadapan padat
katarak.3
VI. Penatalaksanaan

Tujuan utama bedah ablasi adalah untuk menemukan dan


memeperbaiki semua robekan retina, digunakan krioterapi atau laser untuk
menimbulkan adhesi antara epitel pigmen dan retina sensorik sehingga
mencegah influks cairan lebih lanjut kedalam ruang subretina,
mengalirkan cairan subretina ke dalam ke luar, dan meredakan traksi
vitreoretina.2,3
Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah pembedahan. Prinsip
bedah pada ablasio retina yaitu :6
1. Menemukan semua bagian yang terlepas
2. Membuat iritasi korioretinal pada sepanjang masing-masing daerah
retina yang terlepas.
3. Menguhubungkan koroid dan retina dalam waktu yang cukup untuk
menghasilkan adhesi dinding korioretinal yang permanen pada daerah
subretinal.
Pada pembedahan ablasio retina dapat dilakukan dengan cara :
1. Scleral buckling
Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina rematogenosa
terutama tanpa disertai komplikasi lainnya. Prosedur meliputi lokalisasi posisi
robekan retina, menangani robekan dengan cryoprobe, dan selanjutnya
dengan scleral buckle (sabuk). Sabuk ini biasanya terbuat dari spons silikon
atau silikon padat. Ukuran dan bentuk sabuk yang digunakan tergantung
posisi lokasi dan jumlah robekan retina. Pertama – tama dilakukan cryoprobe
atau laser untuk memperkuat perlengketan antara retina sekitar dan epitel
pigmen retina. Sabuk dijahit mengelilingi sklera sehingga terjadi tekanan
pada robekan retina sehingga terjadi penutupan pada robekan tersebut.
Penutupan retina ini akan menyebabkan cairan subretinal menghilang secara
spontan dalam waktu 1-2 hari. 2,3,6

Gambar 7.
Spons silikon dijahit pada bola mata untuk menekan sklera di atas robekan retina setelah
drainase cairan sub retina dan dilakukan crioterapi (10)

Gambar 8.
Penekanan yang didapatkan dari spons silikon, retina sekarang melekat kembali dan
traksi pada robekan retina oleh vitreus dihilangkan (10)
2. Retinopeksi pneumatik
Retinopeksi pneumatik merupakan metode yang juga sering digunakan
pada ablasio retina regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada
bagian superior retina. Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan
menyuntikkan gelembung gas ke dalam rongga vitreus. Gelembung gas ini
akan menutupi robekan retina dan mencegah pasase cairan lebih lanjut melalui
robekan. Jika robekan dapat ditutupi oleh gelembung gas, cairan subretinal
biasanya akan hilang dalam 1-2 hari. Robekan retina dapat juga dilekatkan
dengan kriopeksi atau laser sebelum gelembung disuntikkan. Pasien harus
mempertahankan posisi kepala tertentu selama beberapa hari untuk
meyakinkan gelembung terus menutupi robekan retina.3,6

Gambar 9.
Setelah pengangkatan gel vitreus pada drainase cairan sub retina, gas fluorokarbon inert
disuntikan ke dalam rongga vitreus (10)

i. Vitrektomi
Merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio akibat
diabetes, dan juga pada ablasio regmatogenosa yang disertai traksi vitreus atau
perdarahan vitreus. Cara pelaksanaannya yaitu dengan membuat insisi kecil pada
dinding bola mata kemudian memasukkan instruyen ingá cavum vitreous melalui
pars plana. Setelah itu dilakukan vitrektomi dengan vitreus cutre untuk
menghilangkan berkas badan kaca (viteuos stands), membran, dan perleketan –
perleketan. Teknik dan instruyen yang digunakan tergantung tipe dan penyebab
ablasio. Lebih dari 90% lepasnya retina dapat direkatkan kembali dengan teknik-
teknik bedah mata modern, meskipun kadang- kadang diperlukan lebih dari satu
kali operasi.3,6
VII. Prognosis
Prognosis dari penyakit ini berdasarkan pada keadaan makula sebelum dan
sesudah operasi serta ketajaman visualnya. Jika, keadaannya sudah melibatkan
makula maka akan sulit menghasilkan hasil operasi yang baik, tetapi dari data
yang ada sekitar 87 % dari operasi yang melibatkan makula dapat mengembalikan
fungsi visual sekitar 20/50 lebih kasus diman makula yang terlibat hanya sepertiga
atau setengah dari makula tersebut.6
Pasien dengan ablasio retina yang melibatkan makula dan
perlangsungannya kurang dari 1 minggu, memiliki kemungkinan sembuh post
operasi sekitar 75 % sedangkan yang perlangsungannya 1-8 minggu memiliki
kemungkinan 50 %.3
Dalam 10-15 % kasus yang dilakukan pembedahan dengan ablasio retina
yang melibatkan makula, kemampuan visualnya tidak akan kembali sampai level
sebelumnya dilakukannya operasi. Hal ini disebabkan adanya beberpa faktor
seperti irreguler astigmat akibat pergeseran pada saat operasi, katarak progresif,
dan edema makula. Komplikasi dari pembedahan misalnya adanya perdarahan
dapat menyebabkan kemampuan visual lebih menurun.6
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2010. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta. p.1-10, 183-6
2. Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. 2000. Oftalmologi umum (General
ophthalmology) edisi 17. EGC: Jakarta. p. 12-199
3. Khurana. Diseases of retina in comprehensive ophthalmology 4th edition.
New Age International Limited Publisher: India. p. 249- 279.
4. Junqueira LC, Jose C. Histologi Dasar Teks & Atlas. Edisi 10. Jakarta:
EGC; 2007. Hal. 470-464
5. Reynolds,J. Olitsky,S. Anatomy and Physiology of Retina In : Pediatric

retina. 2011. Springer-verlag : Berlin Heidelberg. Page 39-50.

6. American Academy Ophtalmology. Retina and Vitreous: Section 12 2007-


2008. Singapore: LEO; 2008. p. 9-299
7. Lang, GK. Ophtalmology, A Pocket Textbook Atlas. 2nd Edition.
2006.Thieme. Germany. p. 305-344.
8. Sundaram venki. Training in Ophthalmology. 2009. Oxford university
press: New York. P.118-119
9. Larkin, L. Gregory. Retinal Detachment.[serial online] 8th septembe 2010
[cited 19th June 2012]. Available from :
http//emedicine.medscape.com/article/1226426
10. James, Bruce, dkk. Oftalmologi Lecture Notes. 2003. Erlangga: Jakarta. p.
117-7

Anda mungkin juga menyukai