Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

CONGESTIVE HEART FAILURE

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Kepanitraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Tentara Tingkat II Dokter Soedjono

Pembimbing :
Kapten (CKM) dr. Ardhestiro H. Putro, Sp.JP. FIHA

Disusun oleh :
Natasya Saraswati
1820221102

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS

CONGESTIVE HEART FAILURE

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Tk.II dr. Soedjono Magelang

Oleh :

Natasya Saraswati
1820221102

Magelang, April 2019


Telah dibimbing dan disahkan oleh,
Dokter pembimbing

Kapten (CKM) dr. Ardhestiro H. Putro, Sp.JP. FIHA

2
BAB I
PENDAHULUAN

I.I LATAR BELAKANG


Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah suatu keadaan
saat terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompensatoriknya.
Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari segala jenis penyakit jantung kongenital
maupun didapat. Penyebab dari gagal jantung adalah disfungsi miokard, endokard,
perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa
dan Amerika, disfungsi miokard yang paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner,
biasanya akibat infark miokard yang merupakan penyebab paling sering pada usia kurang
dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4%
- 2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun.
Prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu
kasus baru per tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit
gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar 400-500 pasien berobat
jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung. Meskipun terapi gagal jantung mengalami
perkembangan yang pesat, angka kematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30- 40%
dari pasien penyakit gagal jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung
yang ringan. Prognosa dari gagal jantung tidak begitu baik bila penyebabnya tidak dapat
diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak
diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal
dalam tahun pertama.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

I.1 Identitas Pasien


Nama : Tn.S
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 50 tahun
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Petani
Alamat : Ketanggung
Tanggal Masuk : 24 Maret 2019
No. CM : 170xxx
Bangsal : Seruni

Anamnesis dilakukan secara : Autoanamnesis dan Alloanamnesis pada tanggal 25 Maret


2019 di Ruang Seruni RST dr. Soedjono Magelang

I.2 Subjektif
Keluhan Utama :
Sesak Napas
Keluhan Tambahan :
Nyeri dada, keringat dingin, sesak napas, nyeri ulu hati, mual,mudah lelah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RST Soedjono Magelang pada tanggal 23 Maret 2019, dengan
keluhan sesak nafas. Sesak nafas sudah dirasakan sejak 10 hari yang lalu. Sesak napas
pertama kali dirasakan ketika pasien sedang berjalan kaki pulang dari sawah. Pasien mengaku
bahwa semakin hari semakin merasakan sesak. Sesak terjadi secara terus menerus, tidak
berkurang pada waktu istirahat. Pasien mengakui bahwa selama sesak nafas tersebut samapai
mengakibatkan adanya gangguan tidur pada pasien. Pasein mengakui bahwa untuk dapat
tidur dengan nyaman pasien harus menggunakan 2 bantal untuk tidur,karena pasien sering
mengalami sesak pada malam hari. Pasien juga mengeluhkan bahwa selama 2 bulan terakhir

4
ini pasien sering mengalami nyeri pada dada kirinya dan merasa mudah lelah ketika berjalan
kaki hendak ke sawah,merasa napasnya menjadi lebih berat. Pasien juga mengeluhkan sering
banyak berkeringat, merasa mual tapi tidak sampai muntah, nyeri perut (-). Pasien juga
memiliki keluhan batuk, tidak berdahak, tidak keluar darah dan batuk yang timbula tidak
dipengaruhi oleh cuaca maupun debu. Demam (-), pasien mengaku bahwa bebrapa kali
sempat mengalami keluhan bengkak pada kakinya. Pasien tidak mengalami keluhan pada
BAB dan BAK nya.
Riwayat Alergi : Disangkal

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien mengakui bahwa 5 tahun yang lalu pasien pernah memiliki riwayat penyakit jantung,
rutin berobat namun tidak sampai tuntas dalam pengobatannya.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Anggota keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa. Pada keluarga tidak ada yang
memiliki riwayat penyakit jantung atau hipertensi.

Riwayat Sosial Ekonomi


a. Community
Pasien tinggal daerah diperkampungan. Rumah satu dengan yang lain berdekatan.
Hubungan antara pasien dengan anggota keluarga lain, tetangga dan keluarga dekat baik.
Jauh dari jalan raya, pabrik, dan kebisingan.
b. Occupational
Pasien adalah sebagai petani, pasien selalu berjalan kaki ketika ke sawah.
c. Personal Habit
Merokok : pasien merokok 1 bungkus per hari.
Minum alkohol : Disangkal.
Olahraga : Tidak penah, hanya aktivitas sehari-hari
Gizi : Makan tidak teratur.

Objektif
Pemeriksaan fisik pada 25 maret 2019.
Keadaan Umum : Tampak sesak.
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4 M6 V5.
5
Tanda Vital :
• Tekanan darah : 100/70 mmHg.
• Nadi : 80 x/menit.
• Suhu : 36,8 0C.
• Respirasi : 25 x/menit.
• Saturasi O2 : 98 %
Status Generalis
Kepala :
• Bentuk mesocephal.
• Wajah simetris, tidak terdapat oedem maupun parese.
Mata :
• Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
• Pupil isokor, RCL (+/+), RCTL (+/+).

Telinga :
• Otorrhea (-/-), serumen (-/-), simetris kanan dan kiri (-/-).

Hidung :
• Deviasi septum (-/-), discharge (-/-).
• Nafas cuping hidung (-)

Mulut :
• Bibir tampak kering (-).
• Mukosa mulut lembab
Leher :
• Tidak ada pembesaran KGB leher,
• JVP normal (5 + 2) cmH2O.
Thorax
 Bentuk : Normochest.
 Cor
Inspeksi : Simetris bagian dada kanan dan kiri, ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di linea axilaris sinistra ICS VI
Perkusi : Batas jantung kanan di linea parasternal dextra ICS IV

6
Batas jantung kiri di linea midclavicula ICS V
Pinggang Jantung di linea parasternal sinistra ICS III
Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler, murmur (+), gallop (-)
 Pulmo
Inspeksi :Pergerakan nafas kedua dada simetris, tidak ada sisi yang
tertinggal, tidak terdapat retraksi
Palpasi : Vocal fremitus pada kedua lapang paru simetris
Perkusi : Terdengar sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : Datar.
Auskultasi : BU (+).
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+), undulasi (-), shifting dullness (-),
Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani di seluruh regio abdomen.

Ekstremitas Bawah
Ekstremitas:
● Akral hangat ● CRT < 2 detik.

● Edema - - ● Sianosis - -
- - - -

Daftar Masalah
Dari Anamnesis
1. Sesak Napas
2. Nyeri dada
3. Keringat dingin
4. Kaki sering bengkak
5. Tidur menggunakan 2 bantal
6. Mual
7. Perokok
8. Riwayat HT dan sakit jantung 5 tahu yang lalu

7
Dari Pemeriksaan Fisik
9. Nyeri epigastrium

Hipotesis
1. Angina Pektoris
2. Infark miokard
3. CHF
4. Dispepsia
Planning Diagnostic
1. EKG
2. rontgen thorkas
3. Darah lengkap
4. Echokardiografi

Hasil pemeriksaan darah perifer lengakap 24 Maret 2019


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 15.2 13,1- 17,5 g/dl
Hematokrit 44.0 31-45
Eritrosit 4,5 3.7- 5,8 Juta/µL
Leukosit 7.700 4000-10.000/µL
Trombosit 197.000 154.000-442.000/µL
MCV 96.0 80-100
MCH 33.3 22-34 pq
MCHC 34.6 32-36 g/dl
DIFF COUNT
% Lym 32.0 % 25 – 40
% Mid 6.0 % 2-8
% Gra 62.0 % 50 – 70.
KIMIA KLINIK
Fungsi Ginjal
Ureum 38 17-43 mg/dL
Kreatinin o.80 0.9-1.3 mg/dL
Fungsi Hati
SGOT (AST) 42 <38

8
SGPT (ALT) 33 <40
Gula Darah
Gula Darah sewaktu 122 74-180 mg/dL

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Analisis Gas Darah
CO2 40 %
Temperatur 36 celcius
PH *7.49 7.38-7.42
PCO2 *27.1 38-42
P02 *115.0 75-100
Base excess -3 (-2)- (+3)
Saturasi O2 30.9 26-35 pq
CO2 22 23-27
HCO3 21.0 22-28

Rontgen thoraks AP

Hasil:

- Corakan bronchovascular meningkat

- kedua sisi costaphernicus lancip

- kedua diaphragma licin, dumb diafragma normal

- CTR > 0,56

- Trachea dan mediastinum di tengah

- Tak tampak penebalan hilus

9
- Sistema tulang tak tampak kelainan

Kesan:

-Bronchitis

- Kardiomegali

EKG:

ECHO:

Diagnosis Kerja
CHF ec MD EF 44%

Planning
Planning Terapi
Farmakologi
1. Captopril 3x 62,5 Mg
2. Nebul 3x1 ( ventolin+ flex)
3. Lasix 2x1
4. Tonicard 2x1
5. Spironolacton 25 mg-0-0
6. Bio Atp 1x1

10
Non Farmakologi
1. Tirah baring
2. Edukasi diet
3. Edukasi posisi tidur yang baik ketika sesak

Planning Monitoring
1. Rawat inap ruang bangsal seruni
2. Keadaan umum dan vital sign
3. EKG
4. Perbaikan gejala dan efek samping obat
Planning Edukasi
1. Tirah Baring
2. Diet rendah garam dan lipid
3. Diet lunak
Prognosis
 Quo ad Vitam : Ad malam.
 Quo ad Functionam : Dubia Ad malam.
 Quo ad Sanationam : Ad malam.

FOLLOW UP BANGSAL
Hari/Tanggal/ Hasil Pemeriksaan Instruksi Dokter
Jam
25 Maret 2019 S : sesak nafas (+), nyeri ulu , mual (+) Therapy:
O: KU/KS : tampak sesak Farmakologi
VS : TD : 90/60 mmHg TX lanjut
N : 88 x/menit Non Farmakologi
R : 28 x/menit 1. Tirah baring
o
S : 36,0 C 2. Edukasi diet
SpO2: 98% (on Nasal Kanul)
Kepala : normochepal.
Mata : CA (-/-), SI (-/-).
Leher : KGB (–) membesar, JVP (n)
Thorax : Simetris, statis & dinamis, retraksi (-)
Pulmo : Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

11
Cor : BJ I-II, irregular, Murmur (+), Galoop (-)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan
epigastrium.
Ekstremitas : akral hangat, edema tungkai (-)
A : CHF, Gastritis
26 Maret 2019 S : sesak (+), nyeri dada (-), nyeri uku hati (-) Planning Therapy :
O : KU/KS : sakit sedang TX lanjut
VS : TD : 110/80 mmHg ECHO
N : 80 x/menit
R : 22 x/menit
S : 36,0o C
SpO2: 97%
Kepala : normochepal.
Mata : CA (-/-), SI (-/-).
Leher : KGB (–) membesar, JVP (n)
Thorax : Simetris, statis & dinamis, retraksi (-)
Pulmo : Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor : BJ I-II, irregular, Murmur (+), Galoop (-)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan
epigastrium.
Ekstremitas : akral hangat, edema tungkai (-)
A : CHF
27 Maret 2019 S : sesak (-) nyeri dada (-), nyeri uku hati (-)
O : KU/KS : sakit sedang Pasien di perbolehkan pulangan
VS : TD : 90/70 mmHg dengan mendapatkan obat pulang
N : 88 x/menit sebagai berikut:
R : 21 x/menit - Ridovect syrp 3x1
S : 36,7o C - Furosemid 40 mg 1x1
SpO2: 98% - Captopril 12,5 mg 3x1
Kepala : normochepal. - spironolactone 1x1
Mata : CA (-/-), SI (-/-). - Bio ATP 1x1
Leher : KGB (–) membesar, JVP (n) - Tonicard 1x1
Thorax : Simetris, statis & dinamis, retraksi (-) Dan kontrol ke poli jantung
Pulmo : Ronkhi (-/-), wheezing (-/-) -
Cor : BJ I-II, irregular, Murmur (+), Galoop (-)
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan
(-)
Ekstremitas : akral hangat, edema tungkai (-)
A : CHF ec EF 44%

12
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Definisi

Ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah jantung ( Cardiac output=co)


dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan Co mengakibatkan volume darah
yang efektif menjadi berkurang. Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks
dimana pasien harus memiliki gejala dan tanda klinis yang objektif dari gangguan struktur
atau fungsi jantung saat istirahat.

III.2 Epidemiologi

Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7% wanita
dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3 – 3,7 per 1000
penderita per tahun. Prevalensi gagal jantung adalah tergantung umur. Menurut penelitian,
gagal jantung jarang pada usia di bawah 45 tahun, tapi menanjak tajam pada usia 75 – 84
tahun. Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat pada usia yang
lebih lanjut dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari gagal jantung akan jelek bila
dasar atau penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung akan
meninggal dunia dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung
berat lebih dari 50 % akan meninggal pada tahun pertama. Di Amerika Serikat, diperkirakan
550.000 kasus baru gagal jantung didiagnosis dan 300.000 kematian disebabkan 14 oleh
gagal jantung setiap tahunnya manakala di Indonesia belum ada data yang pasti.

III.3 Etiolgi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup penting
untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung. Di negara maju penyakit arteri koroner dan
hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi
penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi.
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi: regurgitasi aorta dan defek
septum ventrikel, dan beban akhir yang meningkat pada keadaan dimaan terjadi stenosis aorta

13
dan hipertensi sistemik. Penurunan kontraktilitas miokardium pada infark miokard dan
kardiomiopati.

Terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan memicu terjadinya


perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa:
aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru. Penyebab tersering gagal jantung
kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik,
dan penyakit miokardium primer. Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal
ventrikel kiri, yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis.
Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien dengan
penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan pada pasien dengan
penyakit katup arteri pulmonalis atau trikuspid.

III. 4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat
latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala hanya
muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal jantung, toleransi
terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang
lebih ringan. Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu sesuai
dengan sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.
 Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan gejala yang paling sering
muncul pada gagal jantung, namun merupakan gejala yang tidak spesifik, yang dapat
dipengarui oleh banyak faktor.
 Dyspneu manifestasi dari gagal jantung yang paling umum karena adanya gangguan
pertukaran O2 dan CO2 pada paru kaerna adanya gangguan kongesti vaskular paru

14
yang mengakibatkan terjadinya penurunan tingkat kelenturan paru. Dyspneu yang
terjadi pada saat beraktivitas menunjukan gejala awal dari gagal jantung kiri. Dapat
juga terjadi Paroxysmal Nocturnal Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya edema paru
intertisial. PND merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri
dibandingkan dengan dispnea atau ortopnea.
 Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi
berbaring.
 Timbulnya rhonki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas gagal
jantung, rhonki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru karena pengaruh
gaya gravitasi.
 Dapat terjadi hemoptisis yang terjadi karena perdarahan vena bronkial yang terjadi
akibat distensi vena.
 Gagal jantung kanan dapat menimbulkan gejala dan tanda kongestiv vena sistemik.
Dapat diamati adanya peningkatan tekanan vena jugularis. Karena vena-vena leher
mengalami bendungan. Tekanan vena sentral CVP dapat meningkat secara paradoks
selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat menyesuaikan terhadap
aliran balik vena ke jantung selama inspirasi.
 Edema perifer, edema anarsaka dan asites terjadi karena adanya penimbunan cairan
pada jaringan interstisial

15
III. 5 Klasifikasi
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan
penanganan gagal jantung.

Gagal jantung sering juga diklasifikasikan sebagai gagal jantung dengan penurunan fungsi
sistolik ( fraksi ejeksi) atau dengan gangguan fungsi diastolik ( fungsi sistolik atau fraksi
ejeksi normal) yang selanjutnya akan disebut sebagai Heart Failure with preserved Ejection
(HEPEF). Selain itu Myocardial remodelling juga akan berlanjut dan menimbulkan sindroma
klinis gagal jantung.
III. 6 Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainana multisistem dimana terjadi gangguan pada
jantung, otot skeletal dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan
neurohormonal yang kompleks. Bila jantung mengalami kerusakan yang berat, seperti infark
miokard, maka kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sehingga akan
menimbulkan dua efek utama yaitu penurunan curah jantung dan bendungan di vena yang
menimbulkan oeningkatan tekanan vena jugularis. Sewaktu jantung mulai melemah,
sejumlah respons adaptif lokal mulai terpacu dalam upaya mempertahankan curah jantung.
Respons tersebut mencakup peningkatan aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban
awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme
ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir
normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat. Namun, kelainan

16
kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan
berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin kurang efektif.

1. Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis


Salah satu respons neurohormonal terhadap penurunan cuarh jantung adalah
peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya aktivitas adrenergik
simpatis akan merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik
jantung dan medulla adrenal. Katekolamin akan menyebabkan kontraksi otot jantung
menjadi 5 kali lebih kuat ( efek inotropik positif) dan peningkatan kecepatan dari
irama jantung. Selain itu juga terjadi vasokontrikasi arteri perifer untuk menstabilkan
tekanan arteri dan distribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-
organ yang metabolismenya rendah misalnya kulit dan ginjal,untuk mempertahankan
perfusi ke jantung dan otak. Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke
sisi kanan jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan
hukum Starling. Kadar katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung,
terutama selama latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang
beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja ventrikel.namun pada akhirnya
respons miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun; katekolamin akan
berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel.

2. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron :


Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air
oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme yang mengakibatkan aktivasi
sistem renin angiotensin aldosteron pada gagal jantung masih belum jelas. Namun
17
apapun mekanisme pastinya, penurunan curah jantung akan memulai serangkaian
peristiwa berikut:
 Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus
 Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus.
 Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan
angiotensinI.
 Konversi angotensin I menjadi angiotensin II
 Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjaadrenal.
 Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus.
 Angiotensin II juga menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan
tekanan darah.

3. Hipertrofi ventrikel
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau bertambah
tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan peningkatan kekuatan
kontraksi ventrikel. Awalnya, respon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang
menguntungkan; namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan
gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung. Retensi
cairan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan kontraktilitas menyebabkan
terbentuknya edema dan kongesti vena paru dan sistemik. Vasokontriksi arteri juga
meningkatkan beban akhir dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel;
beban akhir juga meningkat karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung
dan kebutuhan oksigen miokardium juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan
rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium.
Jika peningkatan kebutuhan oksigen tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia

18
miokardium dan gangguan miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang saling
berkaitan ini adalah meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal
jantung.

III.7 Diagnosis
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan
penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax, EKG,
ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker.
Kriteria yang digunakan untuk menegakan gagal jantung kongesti yaitu menggunakan
Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung Kongesti . Diagnosis CHF membutuhkan
adanya minimal 2 kriteria besar atau 1 kriteria utama dalam hubungannya dengan 2 kriteria
minor.
Kriteria Mayor:
 Paroksismal nocturnal dyspnea
 Distensi vena pada leher ( vena jugularis).
 Rales
 Kardiomegali
 Edema paru akut
 Terdengar S3
 Peningkatan tekanan vena sentral (.16 cm H2O di atrium kanan).
 Hepatojugular refluks
Kriteria Minor:
 Bilateral ankle edema

19
 Batuk nokturnal
 Dyspnea pada aktivitas biasa
 Hepatomegali
 Efusi pleura
 Penurunan kapasitas vitam 1/3 dari normal
 Takikardi > 120/ menit.

Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.

Pemeriksaan Penunjang Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung,
pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan.

 Pemeriksaan Laboratorium Rutin Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood


urea nitrogen (BUN), kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan
pemeriksaan gula darah, profil lipid.
 Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk
menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH) atau riwayat MI
(ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan
adanya disfungsi diastolik pada LV. Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan
pada semua pasien yang diduga menderita gagal jantung.Abnormalitas EKG sering
dijumpai pada gagal jantung. Jika EKG normal maka diagnosis gagal jantung
khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil < 10%.

20
 Radiologi untuk mengetahui ukuran jantung dan bentuknya, distensi vena
pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadangkadang efusi pleura. begitu pula keadaan
vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala
pasien.

 Penilaian fungsi LV
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan
menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram 2D/
Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan
fungsi LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup
dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan
dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada
pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai
gagal jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2- D/Doppler juga bernilai
untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting
dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale.
MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi jantung dan
sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan volume LV. Petunjuk
paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi dengan end-
diastolic volume). Karena EF mudah diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan
mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya,
EF memiliki beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF
dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF
meningkat pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri
yang bertekanan rendah. Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (>
50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-
40%).

21
III.9 Penatalaksanaan

penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan secara non


farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun
kronik ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun
penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi.

 TATALAKSANA NON-FARMAKOLOGI

Manajemen perwatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan


pengobatan gagal jantung dan dapat memberik dampak yang bermakna untuk
perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan
prognosis. Menajemen perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-
tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilias fisik, menghindari perilaku yang
dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.

Hal-hal tersebut meliputi:

 Ketaatan pasien berobat


Ketaatan pasien berobat menurunkan angka morbiditas, mortalitas dan kualitas
hidup pasien. Berdasarkan literatur hanya terdapat 20-60% pasien yang taat
pada terapi farmakologi maupun non farmakologi.
 Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setiap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter.
 Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5-2 liter/ hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan
gejala berat yang disertai dengan hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada
semua psien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan
keuntungan klinis.

22
 Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas IMT > 30 kg/M2 dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas
hidup.
 Tatalaksana Farmakologi
Tujuan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tindakan prevenif dan
pencegahan perburukan penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam
tatalaksana penyakit jantung.
 Angotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
bermanfaat untuk menekan aktivitas neurohormonal, ACEI harus diberikan
pada pasien gagal jantung kecuali pasien yang memiliki kontraindikasi dalam
pemberian ACE. ACEI harus diberikan pada semua pasien dengan gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel ≤ 40 %. Penggunaan ACE
bertujuan untuk memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
terjadinya peruburkan gagal jantung dan meningkatkan angka kelangsungan
hidup. ACEI dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema, oleh sebab itu
pemberian ACE di mulai dengan pemberian dengan dosis yang rendah
 Indikasi pemberian ACEI Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40% dengan
atau tanpa gejala.
 Kontraindikasi:
- Riwayat angioedema
- Stenosis renal bilateral
- Kadar kalium serum > 2,0mmol/L
- Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
- Stenosis aorta yang berat
 Penyekat Beta
Memiliki manfaat seperti ACEI. Harus diberikan pada semua pasien dengan
gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%. Penyekat β
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perburkan dan
meningkatkan kualitas hidup. Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian

23
dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung.
Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas
fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol
atau metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan
diuretik.
Indikasi:
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%
 Memiliki gejala ringan sampai berat
 Sudah mendapatkan ACEI/ARB
 Pasien stabil secara klinis ( tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada
kebutuhan inotropik iv dan tidak ada tanda retensi cairan.

Kontraindikasi:

 Asma
 Blok AV (atrioventikular) derajat 2 dan 3, sinus bradikardi < 50
kali/menit
 ANTAGONIS ALDOSTERON
Penambahan obat antagonis aldosteron diberikan pada semua pasien
dengan fraksi ejeksi ≤ 35% dan gagal jantung simtomatik berat (kelas
fungsional III-IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal
berat.
Indikasi pemberian:
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%
 Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III-IV NYHA)
 Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB.

Kontraindikasi

 Serum keratinin > 2,5 mg/dL


 Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
 Kombinasi ACEI dan ARB.
 ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)
ARB direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40% yang tetap simtomatik walaupun sudah

24
diberikan ACEI dan penyekat β dengan dosis maksimal,di
rekomendasikan sebagai alternatif pada pasien dengan intoleran ACEI.
Indikasi pemberian ARB
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%
 Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai
berat ( kelas fungsional II-IV NYHA) yang intoleran terhadap ACEI
 ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia,
dan hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak
menyebabkan batuk.
Kontraindikasi:
 Pada pasien yang diterapi dengan ACEI dan antagonis aldosterone
bersamaan
 Sama seperti ACEI kecuali angioedem
 Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serila ketika ARB
digunakan bersama ACEI.

 Digoksin

Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat


digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walau pun obat lain
seperti beta blocker lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik,
fraksi ejeksi ventrikel kiri dengan irama sinus digoksin dapat mengurangi
gejala tersebut.

25
 DIURETIK

Direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atay


gejala kongesti. Tujuan dari pemberian obat diuretik adalah untuk mencapai
euvolemi dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai
dengan kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi dan resistensi. Cara
pemberian diuretik pada gagal jantung yaitu dengan:

 Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum
elektrolit
 Pemberian diuretik pada saat sebelum makan
 Sebagian besar pasien mendapatkan terapi diuretik loop dibandingkan
tiazid karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik
loop. Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan
edema resistensi

III.10 Prognosis

Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat berkembang,


tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun bervariasi dari 5%

26
pada pasien stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala berat dan
progresif. Prognosisnya lebih buruk jika disertai dengan disfungsi ventrikel kiri berat (fraksi
ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen
maksimal < 10 ml/kg/menit), insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan katekolamin
plasma yang meningkat. Sekitar 40-50% kematian akibat gagal jantung adalah mendadak.
Meskipun beberapa kematian ini akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan
akibat infark miokard akut atau bradiaritmia yang tidak terdiagnosis. Kematian lainnya
adalah akibat gagal jantung progresif atau penyakit lainnya. Pasien-pasien yang mengalami
gagal jantung stadium lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif
yang sangat cermat.

27
BAB IV
ANALISIS KASUS

28

Anda mungkin juga menyukai