Anda di halaman 1dari 34

PRESENTASI KASUS

ANEMIA GRAVIS EC HEMATEMESIS


HEMATEMESIS EC SUSPECK PECAH VARISES ESOFAGUS, SIROSIS HEPATIS
EC HEPATITIS B, DIABETES MELLITUS

Disusun oleh:
M Joyo Santoso
4112022035

Pembimbing:
dr. Donny Gustiawan, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI PERIODE
31 OKTOBER – 07 JANUARI 2022
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas Kepanitraan Klinik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bekasi
Periode 31 Oktober – 07 Januari 2022

Disusun Oleh:

M Joyo Santoso

4112022035

Telah dibimbing dan disahkan pada Rabu, 30 November 2022

Pembimbing

dr. Donny Gustiawan, Sp.PD

1
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. E
Usia : 52 tahun
Tanggal Lahir : 2 Mei 1971
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Kp. Panderesan, Bentur jaya Kab Bekasi
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Tanggal masuk RS : 16 November 2022
Tanggal pemeriksaan : 20 Juni 2022
No. Rekam Medis : 242***

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara Autoanamnesis dan Alloanamnesis dengan keluarga pasien
pada tanggal 17 Juni 2022 di RSUD Kabupaten Bekasi, Bangsal Anggrek 1 Kamar No. 2
a. Keluhan Utama
Muntah darah berwarna hitam 5 jam SMRS.
b. Keluhan Tambahan
Pusing berdenyut, mual, batuk kering, rasa tidak nyaman di tenggorokan dan
nyeri di ulu hati kurang lebih 1 minggu SMRS.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Ny. E berusia 52 tahun datang ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan
utama muntah darah berwarna hitam cair sebanyak 1 aqua gelas 200ml dengan
frekuensi 4x yaitu 2x pada pagi hari dan 1x pada sore hari dan 1x jam 7 malam.
Pasien sebelum muntah terasa panas di dada. Ketika pasien sudah muntah rasa panas
di dadanya hilang. Pasien mengaku mengalami keluhan tambahan yaitu merasa mual,
mual dirasakan sebelum makan dan sesudah sarapan pagi, Pasien merasa mual
timbulnya secara mendadak yaitu baik tiduran atau sedang berdiri, denga adanya
keluhan mual tersebut pasien tidak nafsu makan sepanjang hari. Pasien juga
mengeluhkan pusing berdenyut, pandangan kabur dan lemas setelah muntah darah.
Pasien juga mengatakan ada batuk kering yang hilang timbul 1 minggu SMRS. Batuk

2
timbul apabila sedang beraktivitas maupun tidak beraktivitas. Pasien mengeluhkan
sedang nyeri ulu hati Ketika pemeriksaan, pasien mengaku sudah lama sekitar kurang
lebih 1 tahun mengeluhkan sering nyeri ulu hati, biasanya timbul jika telat makan.
Pasien mengaku BAB dan BAK dalam batas normal. Demam, nyeri dada, perut
bengkak, kaki bengkak disangkal.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki Riwayat penyakit ini sebelumnya. Riwayat penyakit
jantung, hipertensi, penyakit ginjal, penyakit liver, diabetes disangkal.
e. Riwayat Pengobatan
Pasien sebelum kerumah sakit, pasien sempat memanggil bidan kerumah dan
melakukan cek lab darah, didapatkan hb rendah sehingga bidan menyarankan pasien
untuk pergi ke Rumah Sakit.

Pasien sering meminum promag dan suka meminum obat herbal anti pegel linu
yang dibeli sendiri di apotik.
f. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat DM, hipertensi, penyakit jantung, ginjal, dan liver, diabetes melitus disangkal.
g. Riwayat Pribadi dan Sosial
Kegiatan sehari – hari pasien sebagai ibu rumah tangga dan kadang sebagai buruh
tani.

III. STATUS GENERALIS


Keadaan Umum
a. Kesadaran : kompos mentis (E4V5M6)
b. Keadaan sakit : Sakit sedang

3
c. Tanda-tanda Vital :
 Tekanan darah : 120/70 mmHg
 Nadi : 90x/menit, regular
 Suhu : 36,5C
 Respiration Rate : 20x/menit
 SpO2 : 99% on room air
d. BB/TB/IMT : 60 kg/160 cm/23.4 (overweight)

IV. PEMERIKSAAN FISIK


a. Kulit : Kulit tampak pucak (-), ikterik (-), Lesi (-).
b. Kepala : Normochepal, rambut hitam, rambut tidak mudah dicabut
c. Mata : Kongjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor
3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
d. Hidung : septum tidak deviasi, nyeri tekan (-), sekret (-), darah (-)
e. Telinga : normotia, sekret (-), ottorhea (-), gangguan pendengaran (-)
f. Mulut : lidah kotor (-), uvula di medial, faring hiperemis (-), sianosis (-)
g. Leher : Trakea di tengah, tidak ada pembesaran KGB
h. Thorax
i. Paru-paru
 Inspeksi : pergerakan dada simetris, normochest, sikatriks (-), diameter
AP:T (1:2)
 Palpasi : nyeri tekan (+) pada daerah epigastrium, fremitus vocal
dan taktil paru kanan dan kiri . simetris
 Perkusi : sonor diseluruh lapang paru
 Auskultasi : nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
ii. Jantung
 Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS V
 Perkusi :
o Batas jantung kanan : ICS V linea parasternalis dextra

4
o Batas jantung kiri : ICS V linea midclavicular sinistra
o Batas pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
 Auskultasi : BJ I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
i. Abdomen
 Inspeksi : perut tampak datar, sikatriks (-), spider nevi (-)
 Auskultasi : bising usus (+)
 Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak ada perbesaran, tes
undulasi (-), shifting dullnes (-)
 Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
j. Ekstremitas
 Bagian Atas : akral hangat (+/+), edema (-/-), CRT <2 detik
 Bagian Bawah : akral hangat (+/+), edema (-/-), CRT <2 detik

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
16/11 20/06 22/06
DARAH LENGKAP
Hemoglobin 5.1 L 9.8 L 9.5 L g/dL 13.0 - 18.0
Hematokrit 17 L 30 L 29 L % 40.0 - 54.0
Eritrosit 2.28 L 3.92 L 3.8 L 106/L 4.60 - 6.20
MCV 74 fL 80 – 96
MCH 22 pg/mL 28 – 33
MCHC 30 g/dL 33 – 36
Trombosit 156 L 78 L 92 LL 103/L 150 – 450
Leukosit 12.8 4.9 L 4.5 L 103/L 5.0 – 10.0
HITUNG JENIS
Basophil 0 % 0.0 – 1.0
Eosinophil 0 % 1.0 - 6.0
Neutrophil 88 H % 50 – 70

5
Limfosit 11 L % 20 – 40
NLR 8.00 H  5.80
Monosit 1H % 2–9
Laju Endap 30 H mm/jam <10
Darah (LED)
KIMIA KLINIK
SGOT (AST) 53 U/L <38
SGPT (ALT) 42 U/L <41
UREUM KREATININ
Ureum 61 H mg/dL 19 – 44
Kreatinin 0.7 H mg/dL 0.67 – 1.17
eGFR 100.6 L mL/min/1.73m 2
>60
mL/min/1.73m2
Glukosa mg/dL 80 – 170
243
Sewaktu

PAKET ELEKTROLIT
Natrium 146 mmol/L 136 – 146
Kalium 4.7 L mmol/L 3.5 – 5.0
Klorida (Cl) 107 mmol/L 98 – 106
HEMATOLOGI
Golongan A
Darah + (+) Positif
Rhesus
IMUNOLOGI
COVAG
Antigen SARS (-) Negatif
COV-2

6
Hepatitis B (+) Reaktif

7
b. Pemeriksaan Rontgen Thorax

Kesan:
 Trakea ditengah, tidak ada deviasi
 Aorta tidak elongatio, tidak ada sklerotik aorta
 CTR <50%, tidak kardiomegali
 Corakan bronkovaskular <2/3 lapang paru, corakan normal
 Hillus tidak melebar
 Diafragma licin
 Sinus controfrenicus lancip
 Tulang intak
 Jaringan lunak baik
Conclusion:
Cor dan pulmo dalam batas normal

c. Pemeriksaan EKG

8
d. Pemeriksaan USG

VI. RESUME
Ny. E datang ke IGD dengan keluhan muntah darah 5 jam SMRS sebanyak kurang lebih
1 gelas aqua (200 ml) disertai mual yang timbul secara mendadak baik sebelum makan
atau sesudah sarapan pagi, pasien mengeluhkan pusing berdenyut, pandangan kabur dan
lemas setelah muntah darah. Pasien batuk hilang timbul sudah 1 minggu SMRS. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan pada daerah epigastrium, pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan penurunan Hb (5,1gr/dL) , Ht(17%), Eritrosit(2,28106/L),
MCV(74fL), MCH(22pg/mL),MCHC(30gr/dL), Eosinofil (0%),
Limfosit(11%), ,Monosit(1%), LED(30%), peningkatan Leukosit (12,8103/L),
Neutrofil(88%), SGOT(53U/L), SGPT(42U/L), Ureum(61mg/dL), glukosa sewaktu(243).

Pada pemeriksaan USG didapatkan hasil sirosis hepatis dan vena porta melebar.

VII. DIAGNOSIS KERJA


 Anemia gravis ec hematemesis
 Hematemesis ec suspeck pecah varises esofagus
 Sirosis hepatis ec hepatitis B
 Diabetes melitus

9
VIII. DIAGNOSIS BANDING
 Anemia defesiensi besi
 Thallasemia
 Anemia penyakit kronis
 Hematemesis ec susp tukak lambung

IX. RENCANA PEMERIKSAAN


 Pemantauan TTV dan KU
 Pemeriksaan H2TL/hari
 Darah lengkap/3 hari
 Endoskopi
 Besi serum
 Pemeriksaan elektrolit
 Pemeriksaan GDS/hari

X. RENCANA PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa

 Edukasi Perubahan gaya hidup dengan diet yang berfungsi mengurangi berat badan dan
mencegah diabetes dapat membantu dalam mengurangi risiko terjadinya sirosis.

Medikamentosa
 kabiven perifer 1206 ml/ 24 jam
 Omeprazole 40mg x2
 Ondasentron 4mg x 3 IV
 Tranexamat 500mg x 3 IV
 Lamivudine 100mg x 1 p.o
 PRC 500cc/hari
 Gliquidone 1x30 mg p.o

10
XI. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : dubia ad bonam

Quo Ad Functionam : dubia ad bonam


Quo Ad Sanactionam : dubia ad bonam

11
BAB II
ANALISIS KASUS

1. Apakah penegakkan diagnosis akhir pada pasien ini sudah benar?


a. Anemia
Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity).
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan masssa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. WHO
menetapkan cut off point anemia sebagai berikut:1
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki dewasa <13 g/dL
Wanita dewasa tidak hamil <12 g/dL
Wanita hamil <11 g/dL

Klasifikasi
Klasifikasi anemia berdasarkan gambaran morfologis dengan melihat indeks eritrosit atau
hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi 3 golongan
1) Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV < 80 fl dan MCH <27 pg
2) Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg
3) Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl

12
Manifestasi Klinis
Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena
iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan
kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan
hemoglobin sampai kadartertentu (Hb<7 g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa
lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki
terasa dingin, sesak napas dan dispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat,
yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di
bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh
penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan
hemoglobin yang berat (Hb <7g/dl). 1

13
Algoritme Penegakkan Diagnosis

Pada kasus pasien ini didapatkan muntah berwarna hitam, nyeri kepala, serta
nyeri pada ulu hati. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 5.1 g/dL,
Hematokrit 17%, Eritrosit 2.28 106/L.
b. Sirosis Hepatis
Definisi
Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang ditandai
oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif Gambaran morfologi
dari SH meliputi fibrosis difus, nodul regeneratif, perubahan arsitektur lobular dan
pembentukan hubungan vaskular intrahepatik antara pembuluh darah hati aferen
(vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika). 1

14
Patogenesis
Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cidera kroniki-reversibel pada parenkim hati
disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera fibrosis), pembentukan
nodul de- generatif ukuran mikronodul sampai makronodul. Hal ini sebagai akibat
adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang retikulin, disertai dengan
deposit jaringanikat, distorsi jaringan vaskular berakibat pembentukan vaskular intra
hepatik antara pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen
(vena hepatika),dan regenerasi nodular parenkim hati sisanya.
Terjadinya fibrosis hati disebabkan adanya aktivasi dari sel stellate hati. Aktivasi ini
dipicu oleh faktor pelepasan yang dihasilkan hepatosit dan sel Kupffer. Sel stellate
merupakan sel penghasil utama matrix ekstraselular (ECM) setelah terjadi cedera
pada hepar. Pembentukan ECM disebabkan adanya pembentuk jaringan mirip
fibroblast yang dihasilkan sel stellate dan dipengaruhi oleh beberapa sitokin seperti
transforming growth factor (i (TGF- P) dan tumor necrosis factors (TNF a).
Deposit ECM di space of Disse akan menyebabkan perubahan bentuk dan memacu
kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian mengubah pertukaran
normal aliran vena porta dengan hepatosit, sehingga material yang seharusnya
dimetabolisasi oleh hepatosit akan langusng masuk ke aliran darah sistemik dan
menghambat material yang diproduksi hati masuk ke darah. Proses ini akan
menimbulkan hipertensi portal dan penurunan fungsi hepatoselular.

Etiologi

15
Manifestasi Klinis
Sebagian besar penderita yang datang ke klinik biasanya sudah dalam stadium
dekompensata, disertai adanya komplikasi seperti perdarahan varises, peritonitis
bakterlal spontan, atau ensefalopati hepatis. Gambaran klinis dari penderita SH
adalah mudah lelah, anoreksi, berat badan menurun, atropi otot, ikterus, spider
angiomata, splenomegali, asites, caput medusae, palmar eritema, white nails,
ginekomasti, hilangnya rambut pubis dan ketiak pada wanita, asterixis (flapping
tremor), foetor hepaticus, dupuytren's contracture (sirosis akibat alkohol).1

16
Pemeriksaan Laboratorium1
Pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada sirosis hepatis:

17
Pemeriksaan laboratorium lain untuk mencari penyebabnya
 Serologi virus hepatitis
o HBV : HbSAg, HBeAg, Anti HBc, HBV-DNA
o HCV : Anti HCV HCV-RNA
 Auto antibodi (ANA, ASM, Anti-LKM) untuk autoimun hepatitis
 Saturasi transferin dan feritinin untuk hemokromatosis
 Ceruloplasmin dan Copper untuk penyakit Wilson Alpha 1-antitrypsin
 AMA untuk sirosis bilier primer
 Antibodi ANCA untuk kolangitis sklerosis primer

Komplikasi2

Prognosis
Perjalanann alamiah SH tergantung pada sebab dan penanganan etiologi yang
mendasari penyakit. Beberapa sistem skoring dapat digunakan untuk menilai
keparahan SH dan menentukan prognosisnya. Sistem skoring ini antara lain skor
Child Turcotte Pugh (CTP) dan Model end stage liver Disease (MELD), yang
digunakan untuk evaluasi pasien dengan rencana transplantasi hati.1

18
Penderita SH dikelompokkan menjadi CTP-A (5-6 poin), CTP-B (7-9 poin) dan
CTP- C (10-15 poin). Penderita SH dengan CTP kelas A menunjukkan penyakit
hatinya terkompensasi baik, dengan angka kesintasan berturut- turut 1 tahun dan 2
tahun sebesar 100%, dan 85%. Sedang CTP kelas B angka kesintasan berturut-turut 1
tahun dan 2 tahunnya sebesar 81% dan 60%. Kesintasan penderita SH dengan Child-
Turcott-
Pugh kelas C 1 tahun dan 2 tahun berturut-turut adalah 45% dan 35%.1

c. Hepatitis B
Definisi
Virus Hepatitis B merupakan virus DNA yang termasuk golongan Hepadnaviridae,
yang mempunyai empat buah open reading frame: inti, kapsul, polimerase, dan X.
Gen inti mengkode protein nukleokapsid yang penting dalam membungkus virus dan
HBeAg. Gen permukaan mengkode protein pre-SI, pre-S2, dan protein S. Gen X
mengkode protein X yang berperan penting dalam proses karsinogenesis. Sampai saat
ini terdapat delapan genotipe virus hepatitis B: genotipe A, B, C, D, E, F, G, H.
Genotipe B dan C paling banyak ditemukan di Asia.
Pathogenesis
Patogenesis infeksi virus hepatitis melibatkan respons imun humoral dan selular.
Virus bereplikasi di dalam hepatosit, dimana virus tersebut tidak bersifat sitopatik,
sehingga yang membuat kerusakan sel hati dan manifestasi klinis bukan disebabkan
oleh virus yang menyerang hepatosit, tetapi oleh karena respon imun yang dihasilkan
oleh tubuh.
19
Respon antibodi terhadap antigen permukaan berperan dalam eliminasi virus. Respon
sel T terhadap selubung, nukleokapsid, dan antigen polimerase berperan dalam
eliminasi sel yang terinfeksi.

Gambaran Klinis
Masa inkubasi virus hepatitis B adalah 1-4 bulan. Setelah masa inkubasi, pasien
masuk ke dalam periode prodromal, dengan gejala konstitusional, berupa malaise,
anoreksia, mual, muntah, mialgia, dan mudah lelah. Pasien dapat mengalami
perubahan rasa pada indra pengecap dan perubahan sensasi bau-bauan. Sebagian
pasien dapat mengalami nyeri abdomen kuadran kanan atas atau nyeri epigastrium
intermiten yang ringan sampai moderat.

Penunjang Pemeriksaan Infeksi Hepatitis B

d. Trombositopenia

Dalam evaluasi trombositopenia, langkah awal yang penting adalah melihat kembali
apusan darah tepi untuk menyingkirkan pseudotrombositopenia, terutama pada pasien
tanpa penyebab trombositopenia yang jelas. Pseudotrombositopenia adalah suatu
artefak in vitro yang dihasilkan oleh aglutinasi trombosit melalui antibodi- antibodi
(umumnya IgG, tetapi juga IgM dan IgA) saat kandungan kalsium ber- kurang akibat
penampungan darah dalam ethylenediamine tetraacetic (EDTA); oleh

20
karenaituapusandarahuntukmenghitung jumlahtrombosithendaknyadaridarahyang
ditampung dalam sodium citrate (tabung dengan tutup biru), heparin (tabung dengan
tutup hijau), atau idealnya dari darah segar tanpa antikoagulan.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan darah rutin/lengkap, dan


penilaian ulang apusan darah tepi me- rupakan komponen penting dalam evaluasi
awal pasien trombositopenia. Apakah pasien sedang menjalani terapi tertentu. Pada
kelainan-kelainan bawaan yang jarang, berkurangnya produksi trombosit umumnya
disebabkan oleh kelainan sumsum tulang yang juga mem- pengaruhi produksi sel
darah merah dan/ atau sel darah putih. Mielodisplasia dapat bermanifestasi sebagai
trombositopenia saja, oleh karena itu, sumsum tulang harus diperiksa pada pasien-
pasien usia di atas 60 tahun dengan trombositopenia saja. Walaupun trombositopenia
bawaan jarang dijumpai, diperlukan hasil hitung trombosit sebelumnya dan riwayat
keluarga menyangkut trombositopenia. Riwayat minum obat pada pasien harus
diketahui, termasukobattanparesepdanjamu,karena obat-obatan adalah penyebab
tersering trombositopenia.

Pemeriksaan fisik menunjukkan pembesaran limpa, penyakit hepar kronik, dan


kelainan- kelainan yang mendasari lainnya. Splenomegali ringan sampai sedang
mungkin sulit ditemu- kan akibat bentuk tubuh dan/atau obesitas tetapi dapat dengan
mudah diketahui dengan ultrasonografi abdomen.

Hipersplenisme/Sekuestrasi Trombosit

Splenomegali akibat berbagai sebab dapat menyebabkan sekuestrasi elemen-elemen


darah sampai menghasilkan sitopenia. Ciri khas utama hipersplenisme adalah (a)
splenomegali; (b) berkurangnya jumlah satu atau lebih elemen darah di sirkulasi yang
berkaitan dengan peningkatan prekursornya; dan (c) koreksi sitopenia setelah
splenektomi. Splenomegali hampir selalu merupakan akibat kelainan-kelainan lain
(Tabel 9), paling sering diakibatkan sirosis dengan hipertensi porta. Trombositopenia
umumnya bersifat sedang dan kadarnya jarang berada di bawah 40.000/μL. Pada
kebanyakan kasus, terapi spesifik untuk trombositopenia tidak diperlukan. Transfusi
trombosit tidak efektif sebab trombosit yang ditransfusikan juga akan
disekuestrasikan dalam limpa. Terapi ditujukan pada sebab yang mendasari
splenomegali. Walaupun splenektomi dapat mengoreksi trombositopenia, manfaatnya
harus diperhitungkan dan dibandingkan dengan risiko-risiko potensial splenektomi,
termasuk risiko infeksi jangka panjang. Splenektomi, embolisasi splenik, atau radiasi
splenik dapat dipertimbangkan pada kasus- kasus tertentu.

21
e. Diabetes melitus
Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.1

Kriteria Diagnosis DM

22
Langkah Diagnostik DM dan TTGO

2. Apakah penyebab keluhan pada pasien ini?


a. Hematemesis
Perdarahan saluran cerna bagian atas digambarkan sebagai kehilangan darah dari
sumber gastrointestinal di atas ligamen Treitz. Hal ini dapat bermanifestasi sebagai

23
hematemesis, yang dapat berupa emesis merah terang atau emesis bubuk kopi,
hematochezia, atau melena.
Varises gastroesofagus merupakan kolateral portosistermik yang paling
penting.Pecahnya varises esophagus (VE) mengakibatkan perdarahan varises yang
berakibat fatal.Varises ini terdapat sekitar 50% penderita SH dan berhubungan
dengan derajat keparahan SH. Empat puluh persen penderita SH dan 85% penderita
SH dengan Child C mempunyai VE. Diagnosis VE ditegakkan
denganesofagogastroduodenoskopi, sehingga perlu dilakukan skrining untuk
mengetahui adanya VE pada semua penderita SH yang didiagnosis pertama kali.1
3. Apakah tatalaksana pada pasien ini sudah adekuat?

a. kabiven perifer 1206/24 jam


Nutrisi parenteral untuk pasien dewasa ketika nutrisi oral atau enteral tidak
memungkinkan, tidak mencukupi atau dikontraindikasikan.
b. Omeprazole 40mg 2x IV
Omeprazole merupakan penghambat pompa proton yang mampu menghambat sekresi
asam lambung, yang digunakan untuk mengatasi penyakit peptic dan untuk mencegah
perdarahan berulang pada saluran cerna bagian atas.
c. Ondasentron 4mg 3x IV
Pemberian obat ini digunakan sebagai antiemetic. Ondancentron merupakan
antagonis reseptor 5-HT3 (reseptor yang membantu memodulasi kontraksi dan
relaksasi otot polos pada saluran pernafasan dan gastrointestinal dan pembuluh darah,
rangsangan muntah, timbulnya perubahan mood dan induksi tidur).5
d. Tranexamat 500mg 3x IV
antifibrinolitik yang memiliki potensi untuk meningkatkan stabilitas bekuan darah
dan menurunkan resiko perdarahan kembali
e. Lamivudine 1 tab 1x p.o
Lamivudine (3TC) adalah analog sitosin dengan aktivitas in vitro terhadap HIV-1 dan
HBV. Bioavailabilitas oral melebihi 80% dan tidak tergantung pada makanan. Cairan

24
serebrospinal rata-rata: rasio plasma lamivudine adalah 0,1-0,2. Waktu paruh serum
adalah 2,5 jam, sedangkan waktu paruh intraseluler dari senyawa trifosforilasi adalah
11-14 jam. Lamivudine sebagian besar dieliminasi dalam urin oleh sekresi kation
organik aktif. Efek samping jarang terjadi tetapi termasuk sakit kepala, pusing,
insomnia, kelelahan, mulut kering, dan ketidaknyamanan gastrointestinal. Karena
aktivitasnya melawan HBV, eksaserbasi HBV dapat terjadi jika terapi dihentikan atau
dihentikan pada pasien koinfeksi HIV dan HBV. Karena emtricitabine dan
lamivudine dapat memilih untuk mutasi M184V/I, agen-agen ini tidak boleh
digunakan bersama- sama. Tingkat lamivudine dapat meningkat bila diberikan
dengan trimetoprim- sulfametoksazol. Lamivudine dan zalcitabine dapat menghambat
fosforilasi intraseluler satu sama lain; oleh karena itu, penggunaan bersamaan mereka
harus dihindari jika memungkinkan.

25
Daftar Pustaka

1. Suhendro. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta:Interna
Publishing.
2. Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, dan Loscalzo J (2015).
Harrison's Principles of Internal Medicine. Edisi 19. New York NY, McGraw Hill
Education.
3. Nathania, M. (2019). Hipokalemia - Diagnosis dan Tatalaksana. CDK. Vol. 46 no. 2. <
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/viewFile/519/304>
4. Amir Syarif & Elysabeth. (2007). Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta; Balai Penerbit
FK UI.
5. Ye, Jiang & Ponnudurai, Rex & Schaefer, Rebecca. (2001). Ondansetron: A Selective 5‐
HT3 Receptor Antagonist and Its Applications in CNS‐Related Disorders. CNS drug
reviews. 7. 199-213. 10.1111/j.1527-3458.2001.tb00195.x.
6. Makama, Jerry. (2010). Uses and hazards of nasogastric tube in gastrointestinal diseases:
An update for clinicians. Annals of Nigerian Medicine. 4. 37. 10.4103/0331-3131.78269.
7. Villeneuve, J. P., Condreay, L. D., Willems, B., Pomier-Layrargues, G., Fenyves, D.,
Bilodeau, M., Leduc, R., Peltekian, K., Wong, F., Margulies, M., & Heathcote, E. J.
(2000). Lamivudine treatment for decompensated cirrhosis resulting from chronic
hepatitis B. Hepatology (Baltimore, Md.), 31(1), 207–210.
https://doi.org/10.1002/hep.510310130 Nathania, M. (2019). CDK-273/ vol. 46 no. 2
8. Ng, William & Jerath, Angela & Wasowicz, Marcin. (2015). Tranexamic acid: A clinical
review. Anaesthesiology intensive therapy. 47. 10.5603/AIT.a2015.0011.
9. Mitchell, O., Feldman, D. M., Diakow, M., & Sigal, S. H. (2016). The pathophysiology
of thrombocytopenia in chronic liver disease. Hepatic medicine : evidence and research,
8, 39–50. https://doi.org/10.2147/HMER.S74612
10. Sianipar, N. (2014). Trombositopenia dan Berbagai Penyebabnya. CDK-217/vol.41 no. 6.
< http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/viewFile/1128/837>

26
LAMPIRAN

1. Indikasi pemasangan NGT pada pasien hematemesis melena

27
2. Indikasi pasien diberi lamivudine
Lamivudin adalah suatu enantiomer (-) dari 3' tiasitidin yang merupakan suatu analog
nukleosid. Nukleosid berfungsi sebagai bahan pembentuk pregenom, shingga analog
nukleosid bersaing dengan nukleosid asli. Lamivudin berkhasiat menghambat enzim
reverse transkriptase yang berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA menjadi DNA
yang terjadi dalam replikasi VHB. Lamivudin menghambat produksi VHB baru dan
mencegah terjadinya infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi, tetapi tidak
mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi karena pada sel-sel yang telah terinfeksi DNA
VHB ada dalam keadaan convalent closed circular (cccDNA). Karena itu setelah obat
dihentikan, titer DNA VHB akan kembali lagi seperti semula karena sel-sel yang
terinfeksi akhirnya memproduksi virus baru lagi. Lamivudin adalah analog nukleosid oral
dengan aktivitas antivirus yang kuat. Kalau diberikan dalam dosis 100 mg tiap hari,
lamivudin akan menurunkan konsentrasi DNA VHB sebesar 95% atau lebih dalam waktu
1 minggu. Dengan metode hibridisasi, DNA VHB tidak bisa dideteksi lagi dengan
metode non PCR dalam waktu 8 minggu tetapi masih dapat dideteksi dengan metode
PCR. Setelah dihentikan selama 2 minggu, konsentrasi DNA akan kembali positif dan
mencapai konsentrasi sebelum terapi.
Penelitian nnenunjukkan bahwa lannivudin dapat dipakai pada pasien sirosis
dekompensata dengan DNA VHB yang positif. Sebagian besar pasien nnengalanni
perbaikan penyakit hati dan penurunan Child-Turcotte-Pugh (CTP) yang disertai dengan
penurunan kebutuhan transplantasi hati pada pasien-pasien sirosis yang nnendapatkan
terapi lamivudin sedikitnya selama 6 bulan. Sebagian pasien yang mendapat terapi
lamivudin tetap mengalami progresi penyakit hati sehingga tetap memerlukan
transplantasi hati. Sebagian lagi meninggal setelah mendapat terapi lamivudin selama
beberapa bulan pertama.
Suatu penelitian yang dilakukan pada 154 orang pasien sirosis yang mendapat lamivudin
menunjukkan bahwa pasien-pasien dengan sirosis yang relatif lebih ringan mendapat
manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan pasien sirosis berat. Data dari penelitian
ini sangat menyarankan bahwa pengobatan lamivudine bermanfaat pada pasien dengan
sirosis dekompensasi dan hepatitis B replikatif kronis, tetapi manfaat jangka panjangnya
tetap tidak pasti.

28
3. Kapan kalium dikoreksi dengan menggunakan KCl atau obat oral?
 Oral. Penggantian kalium secara oral paling aman tetapi kurang ditoleransi karena
iritasi lambung. Pada hipokalemia ringan (kalium 3—3,5 mEq/L) dapat diberikan

KCl oral 20 mEq 3 – 4 kali sehari 5 dan edukasi diet kaya kalium. Makanan

mengandung cukup kalium dan menyediakan 60 mmol kalium. 14 Kalium fosfat


dapat diberikan pada pasien hipokalemia gabungan dan hipofosfatemia. Kalium
bikarbonat atau kalium sitrat harus dipertimbangkan pada pasien dengan penyulit
asidosis metabolik. Pada hipokalemia dengan hipomagnesemia, koreksi defisiensi
Mg2+ perlu dilakukan bersamaan. Mengingat distribusi kalium ke dalam
kompartemen intraseluler tidak langsung, defisit harus dikoreksi bertahap selama
24-48 jam dengan pemantauan konsentrasi plasma K+ rutin untuk menghindari
overrepletion sementara dan hiperkalemia transien
 Jalur intravena harus dibatasi hanya pada pasien yang tidak dapat menggunakan

jalur enteral atau dalam komplikasi berat (contohnya paralisis dan aritmia). K +-Cl
harus selalu diberikan dalam larutan garam, bukan dekstrosa, karena peningkatan

insulin yang diinduksi dekstrosa dapat memperburuk hipokalemia. 1,8 Pemberian

dekstrosa bisa menyebabkan penurunan sementara K+ serum sebesar 0,2—1,4

mmol/L karena stimulasi pelepasan insulin oleh glukosa.9 Dosis intravena perifer

biasanya 20-40 mmol K+-Cl- per liter. Konsentrasi lebih tinggi dapat

menyebabkan nyeri lokal flebitis kimia, iritasi, dan sklerosis. 13 Pada kondisi
hipokalemia berat (<2,5 mmol/L) dan/atau memiliki tanda gejala kritis, K+-Cl
intravena dapat diberikan melalui vena sentral dengan laju 10-20 mmol/ jam.
Volume besar normal saline bisa menyebabkan kelebihan beban cairan. Jika ada

aritmia jantung, larutan K+ lebih pekat diberikan melalui vena sentral dan
pemantauan EKG.

4. Indikasi pemberian traneksamat


Tujuan utama TXA adalah untuk mengurangi perdarahan perioperatif dan kebutuhan
transfusi baik pada bedah jantung maupun non-jantung. Ada manfaat yang jelas baik dari
perspektif mortalitas-morbiditas dan ekonomi-biaya. Dalam meta-analisis baru-baru ini
29
terhadap lebih dari 100 RCT yang membandingkan TXA vs tanpa TXA atau plasebo
pada

30
lebih dari 10.000 pasien yang menjalani operasi, terdapat banyak bukti bahwa TXA
mengurangi kemungkinan transfusi sebesar 38%. Selain itu, meta-analisis kumulatif
menunjukkan bahwa bukti ini telah tersedia selama lebih dari 10 tahun. Meskipun
penelitian yang sama menunjukkan bahwa lebih sedikit kematian terjadi pada kelompok
TXA (RR 0,61, 95% CI 0,38 hingga 0,98), ini menjadi tidak pasti ketika analisis dibatasi
pada uji coba dengan penyembunyian yang memadai. Demikian pula, Cochrane Review
tentang efek antifibrinolitik pada kehilangan darah dan transfusi darah alogenik
menemukan bahwa TXA secara signifikan mengurangi transfusi darah sebesar 39%,
mewakili pengurangan risiko absolut sebesar 18%. Namun, TXA tidak terkait dengan
penurunan mortalitas di semua operasi.
Penggunaan TXA pada perdarahan saluran cerna bagian atas ditinjau dalam meta-analisis
Cochrane, dan meskipun penggunaan TXA vs kontrol mengurangi risiko kematian,
efeknya hilang dalam analisis subkelompok bertingkat untuk kontrol bias dan dalam
analisis sekuensial. Tidak ada manfaat seperti itu yang ditunjukkan dalam TXA vs terapi
anti-ulkus lainnya. Meskipun lima kasus serius dari kejadian tromboemboli terjadi pada
kelompok TXA, ini tidak signifikan secara statistik. Tidak ada RCT yang ditemukan
untuk menilai penggunaan TXA pada perdarahan saluran cerna bagian atas pada penyakit
hati. Penggunaan TXA pada hemoptisis dari penyebab apa pun ditinjau oleh Cochrane
Collaboration, dan TXA vs kontrol secara signifikan mengurangi waktu perdarahan
(perbedaan rata-rata 19,47 jam), tanpa perbedaan dalam efek samping.

5. Jelaskan kenapa terjadi trombositopenia pada sirosis hepatis


Trombositopenia adalah kelainan hematologi yang paling umum ditemui pada pasien
dengan penyakit hati kronis (CLD). Selain menjadi indikator penyakit lanjut dan
prognosis buruk, sering mencegah intervensi penting. Secara historis, trombositopenia
telah dikaitkan dengan hipersplenisme, yang merupakan peningkatan pengumpulan
trombosit di limpa yang diperbesar oleh splenomegali kongestif sekunder akibat
hipertensi portal. Selama dekade terakhir, bagaimanapun, telah ada kemajuan yang
signifikan dalam pemahaman tentang trombopoiesis, yang, pada gilirannya, telah
menyebabkan peningkatan pemahaman tentang trombositopenia pada sirosis. Beberapa
faktor berkontribusi terhadap perkembangan trombositopenia dan ini secara luas dapat
dibagi menjadi faktor-faktor yang

31
menyebabkan penurunan produksi, sekuestrasi limpa, dan peningkatan destruksi. Depresi
kadar trombopoietin pada CLD, bersama dengan supresi sumsum tulang secara langsung,
menghasilkan penurunan laju produksi trombosit. Trombopoietin mengatur produksi dan
pematangan trombosit dan terganggu pada CLD. Penekanan sumsum tulang dapat
disebabkan oleh virus, alkohol, kelebihan zat besi, dan obat-obatan. Hasil sekuestrasi
limpa dari hipersplenisme. Peningkatan laju destruksi trombosit pada sirosis juga terjadi
melalui sejumlah jalur: peningkatan tegangan geser, peningkatan fibrinolisis, translokasi
bakteri, dan infeksi yang mengakibatkan peningkatan laju agregasi trombosit, sedangkan
penyakit autoimun dan peningkatan titer imunoglobulin antiplatelet mengakibatkan
penghancuran trombosit akibat sistem imunologik.

Pasien sirosis dengan trombositopenia memiliki kadar TPO sirkulasi yang lebih rendah
dibandingkan dengan jumlah trombosit normal. Peran kunci yang dimainkan oleh TPO dalam
trombositopenia CLD disorot oleh interaksi antara TPO dan trombosit selama periode
perioperatif transplantasi hati: Tingkat TPO sering tidak terdeteksi pada pasien dengan sirosis
sebelum transplantasi dan meningkat segera setelah transplantasi, yang diikuti oleh peningkatan
jumlah trombosit perifer dan normalisasi kadar TPO dan jumlah trombosit pada sebagian besar
pasien dalam 14 hari.

32
33

Anda mungkin juga menyukai