Anda di halaman 1dari 28

PRESENTASI KASUS

TB Paru Dengan Pneumonia, DM Tipe II, Malnutrisi

Pembimbing :

dr. H. Mohammad Yanuar Fajar, Sp.P, FISR, FAPSR, MARS

Disusun Oleh :

Zain Maliki

2110221008

SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD PASAR MINGGU

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN


JAKARTA

1
BAB I

STATUS PASIEN

I.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. F

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 51 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status Pernikahan : Menikah

Tanggal Masuk RS : 01-01-2022

Tanggal Periksa : 06-01-2022

Ruang Rawat : Lantai 11 ruang 1113

Pembiayaan : BPJS

I.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Bangsal RSUD Pasar Minggu

a. Keluhan Utama

Batuk berdahak sejak 5 bulan sebelum masuk rumah sakit.

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Batuk berdahak dirasakan sejak lima bulan sebelum masuk rumah sakit.
Batuk dirasa tidak kunjung membaik dan bertambah buruk di malam hari. Satu
minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengaku mulai mengalami sesak
dan batuk yang disertai dahak dan darah yang berwarna merah kental . Pasien
juga sempat mengalami demam saat lima bulan sebelum masuk rumah sakit
pada saat keluhan mulai dirasakan. Sejak lima bulan yang lalu, pasien merasakan

1
penurunan nafsu makan. Pasien saat ini dapat buang air kecil dan buang air besar
dengan baik. Pasien mengaku merasakan penurunan berat badan selama 5 bulan
terakhir. Almarhum suami pasien pernah mengalami keluhan serupa pada tahun
2021. Pasien mengaku tinggal di rumah dengan kondisi tanpa jendela dan
dengan ventilasi yang tidak cukup baik. Pasien mengaku sempat berobat ke
puskesmas dan meminum obat OAT namun berhenti sebelum pengobatan tuntas
dikarenakan pasien merasa mual.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat datang ke IGD (01-01-2022): Pasien datang dengan keluhan batuk


terutama di malam hari sejak 5 bulan yang lalu dengan dahak (+) disertai dengan
darah berwatna merah 1 minggu sejak masuk rumah sakit. Sesak dirasakan sejak
1 pekan sebelum masuk rumah sakit. Nyeri ulu hati (+), Mual (+), muntah (+)
sejak 3 hari SMRS, BAB cair sejak 3 hari SMRS, Nafsu makan menurun, BAK
normal. Pasien sempat pingsan selama 15 menit di hari yang sama sebelum
masuk rumah sakit. Nafas dikatakan perlahan, satu persatu, dan beberapa saat
kemudian pasien Kembali sadar dan sesak berkurang.

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat Kolestrol Tinggi : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat alergi obat : disangkal

Riwayat TB Paru : (+)

Riwayat Penyakit Jantung : disangkal

Riwayat Penyakit Paru : disangkal

Riwayat Penyakit Stroke : disangkal

Riwayat merokok : disangkal

2
e. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat Penyakit Jantung : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat Asma : disangkal

Riwayat Penyakit ginjal : disangkal

Riwayat Stroke : disangkal

f. Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan

Pasien tinggal bersama anaknya dimana pasien sehari harinya adalah


ibu rumah tangga. Pasien mengaku tinggal di rumah dengan kondisi tanpa
jendela dan dengan ventilasi yang tidak cukup baik. Pasien mengatakan jarang
berolahraga.

I.3 Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan umum : Sakit Sedang

Kesadaran : CM GCS: E4V5M6

Tanda Vital

Tekanan Darah : 130/80 mmHg

Laju Nadi : 90x/menit, kuat angkat, reguler

Laju Pernapasan : 25x/menit

Suhu : 36 derajat Celcius

SaO2 : 98% on room air

Status Antropometri

BB : 28 kg

3
TB : 160 cm

IMT : 10.9 (Underweight)

Bentuk kepala : Normocephal, distribusi rambut merata

Konjungtiva : Anemis (-/-)

Sklera : Ikterik (-/-)

Palpebra : Edema (-/-)

Refleks cahaya : Langsung (+/+), tidak langsung (+/+), pupil


isokor 3mm/3mm

Pemeriksaan Telinga

Simetris : (+)

Kelainan bentuk : (-)

Discharge : (-)

Pemeriksaan Hidung

Discharge : (-)

Napas cuping hidung : (-)

Pemeriksaan Mulut

Bibir : sianosis (-), pucat (-), mukosa kering (+), pursed


lips breathing (-)

Lidah : sianosis (-)

Pembesaran KGB: (-)

Deviasi trakea: (-)

Paru

Inspeksi : Pergerakan napas simetris kanan kiri,

Palpasi : Vocal fremitus (+/+), sama pada kedua lapang paru

4
Perkusi : Sonor kedua lapang paru

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBK -/-, RBH +/+,


wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak menonjol

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba melebar ke lateral

Perkusi : Tidak dilakukan

Auskultasi : BJ S1&S2 regular tanpa bunyi jantung tambahan, murmur (-),


gallop (-)

Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : Dinding datar, jaringan parut (-), jejas (-), spider navy (-),
perubahan warna (-),

Auskultasi : Bising usus (+) Normal (12x/menit)

Palpasi : supel, nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak teraba membesar,
nyeri ketok CVA : (-)

Perkusi : Timpani seluruh kuadran abdomen, undulasi (-), shifting


dullness (-)

Pemeriksaan Ekstremitas

Pemeriksaan Ektremitas Superior Ekstremitas Inferior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Edema - - - -

Sianosis - - - -

Koilonychia - - - -

Akral + + + +

5
Hangat

CRT + + + +

<2detik

I.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium (hasil lab 01/01/2022)

Parameter Nilai Satuan Nilai


normal

Darah rutin

Hb 10,1 mg/dL 11.7-15.5

Ht 30 % 35-47

Leukosit 7,6 103/μL 3.6-11.0

Trombosit 396 103/μL 150-440

Eritrosit 3,81 106/μL 3.80-5.20

MCV 80 Fl 80-100

MCH 27 Pg 26-34

MCHC 33 g/dL 32-36

Diabetes

GDS 68 mg/dL 70─180

Fungsi ginjal

Ureum 11 mg/dL <48

Kreatinin 0.61 mg/dL 0.6- 1.30

6
Elektrolit

Natrium 128 mEq/L 135─147

Kalium 3.10 mEq/L 3.50─5.00

Klorida 101 mEq/L 95─105

Hasil pemeriksaan Laboratorium (03-01-2022)

GDS jam 11.30 203 Mg/dl <200, >70

GDS jam 17.00 178 Mg/dl <200, >70

Hasil pemeriksaan Laboratorium (04-01-2022)

GDS jam 06.00 88 Mg/dl <200, >70

Hasil pemeriksaan Xray:

7
I.5 Diagnosis Kerja

8
- TB Paru
- Pneumonia
- Malnutrisi
- DM tipe 2 dengan riwayat hipoglikemia

I.6 Tata Laksana

- OAT 4 KDT 1 x 2 tab PO


- Seftriakson 1 x 2 gram IV Drip
- Omeprazole 1 x 40mg IV Bolus
- Ondansentron 1 x 4mg IV Bolus
- Vit B6 2 x 1 Tab PO
- NaCl 0,9% IV Drip 20 tetes per menit
- Acetylsistein 2x200 mg PO
I.7 Prognosis
- Quo ad vitam: dubia ad bonam
- Quo ad functionam: dubia ad bonam
- Quo ad sanationam: dubia ad bonam

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Tuberkulosis

Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit infeksi pada yang


disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada umumnya Mycobacterium
tuberculosis dapat menyerang paru, namun dapat pula menyerang organ-organ
lain seperti tulang kelenjar getah bening hingga tulang. Penyakit ini merupakan
infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan
yang terinfeksi dan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell mediated
hypersensitivity). Penyakit tuberkulosis yang aktif berpotensi menjadi kronis
hingga menyebabkan kematian apabila tidak segera dilakukan pengobatan yang
efektif (Daniel, 1999). Penyakit tuberculosis terbagi atas tuberkulosis paru dan
tuberkulosis ekstraparu. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Sedangkan tuberkulosis
ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru
misalnya, pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-
lain.

II.2 Etiologi

Tuberkulosis disebabkan infeksi oleh bakteri Mycobacterium


tuberculosis. Dinding bakteri ini tersusun oleh komponen lipid dan lapisan
peptidoglikan. Lipid inilah yang menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Mycobacterium tuberculosis dapat
hidup sebagai parasit intraseluler di dalam sitoplasma makrofag tubuh. Sifat lain
bakteri ini adalah aerob, sehingga bagian apex pada paru merupakan tempat
predileksi penyakit tuberkulosis (Bahar, 2007).

II.3 Patogenesis

Meskipun seringkali muncul sebagai infeksi paru, TB merupakan


penyakit yang dapat menyerang multi-sistem organ. Cara penyebaran utama dari

10
kuman TB adalah melalui droplet aerosol yang terinhalasi. Kemampuan tubuh
dalam membatasi dan mengeliminasi infeksi dari TB bergantung pada keadaan
imunitas, factor genetik, dan tipe infeksi yang diidap yakni primer atau
sekunder. Kuman TB memiliki factor virulensi yang mampu mempersulit
system imun manusia yakni berupa asam mikolat pada kapsul bakteri TB.

Kontak pertama kuman M. Tuberkulosis dengan sel inang memicu


terjadinya tuberculosis primer. TB primer tersebut sering menempati bagian
tengah dari paru dan membentuk focus Ghon. Pada mayoritas manusia yang
terinfeksi, focus Ghon memasuki fase laten yang disebut sebagai tuberculosis
laten.

Tuberkulosis laten dapat terreaktivasi bila terdapat keadaan imunosupresi


pada manusia yang terinfeksi. Pada Sebagian manusia yang terinfeksi, pajanan
pertama oleh kuman TB dapat langsung menimbulkan penyakit TB aktif bila
terdapat keadaan malnutrisi, keadaan imunosupresi, dan imunodefisiensi.

Pada Tuberkulosis laten yang tereaktivasi, keadaan ini disebut sebagai


tuberculosis sekunder. Lesi pada tuberculosis sekunder seringkali menempati
apeks paru kecuali pada tuberculosis sekunder pasien dengan
imunosupresi/imunodefisiensi.

Pada tuberculosis terjadi hipersensitivitas tipe-4 yang mendasari


penyakit. Kuman TB dapat menstimulasi limfosit-T dan sel CD4+ dan
menginduksi rekrutmen dan aktivasi dari makrofag. Proses tersebut dimediasi
oleh produksi sitokin, terutama interferon-gamma.

Makrofag yang telah teraktivasi akan membentuk multinucleated giant


cell dan membentuk sel epiteloid. Giant cell tersebut berperan dalam
mengoptimalkan fungsi fagositosis dari makrofag dan nantinya akan membentuk
granuloma Bersama limfosit yang mengelilingi kuman M. TB. Sedangkan sel
epiteloid nantinya akan berperan dalam memproduksi sitokin salah satunya IL-4,
IL-6, dan TNF-alpha. Tampilan dari granuloma pada tuberculosis berupa
kaseosa disebabkan oleh tingginya asam mikoat pada dinding sel kuman TB.

11
Oleh karena itu nekrosis kaseosa digunakan sebagai istilah nekrosis
granulomatosa pada keadaan TB.

II.5 Diagnosis

Diagnosis Klinis TB ditegakkan berdasarkan adanya temuan gejala pada


pasien. Gejala klinis pasien yang diperhatikan adalah adanya gejala batuk terus
menerus yang dapat disertai dahak selama lebih dari 3 pekan. Gejala tambahan
meliputi batuk darah, rasa sesak dan nyeri dada, badan lemah, adanya penurunan
nafsu makan, malaise, hingga adanya berkeringat di malam hari. Gejala khas
demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non produktif atau produktif atau
menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercakdarah), sakit dada karena
pleuritis dan sesak sering ditemukan. Gejala umum lainnya adalah pasien lebih
suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada.
Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah
saat pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup
sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki,
suara pernafasan bronkial, pleural friction rub.

II.5 Pemeriksaan Fisik

Pada TB dapat ditemukan beberapa hasil pemeriksaan fisik meliputi


adanya konjungtiva yang anemis, demam subfebris, dan adanya penurunan berat
badan. Seringkali pasien TB tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan fisik.
Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan
retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi
pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam pernapasan,
ditemukan suara pekak pada lapang paru, dan pada auskultasi ditemukan suara
napas lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB
sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan
radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.

II.6 Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis pada pasien TB memiliki keuntungan terutama


pada kasus anak dimana pada pemeriksaan sputum ditemukan hasil negatif. Pada

12
pemeriksaan radiologis berupa foto torax, ditemukan lesi TB berupa gambaran
infiltrate pneumonia yang umumnya terdapat di apeks paru. Dapat juga terdapat
gambaran konsolidasi yang disebut juga sebagai tuberculoma. Pada stadium TB
yang sudah lanjut, sering didapatkan bermacam-macam gambaran radiologis
seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan
emfisema.

II.7 Pemeriksaan Bakteriologis

Pada Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan


ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan
dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif (Depkes RI, 2006).
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut,
yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. Bilahasil
rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita
TB BTA positif. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan
dahak SPS diulangi. Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik
spektrum luas (misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu.
Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi
pemeriksaan dahak SPS. Bila hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita
tuberculosis BTA positif. Bila hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto
rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB diman bila hasil rontgen
mendukung TB, maka didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen
positif. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, maka penderita tersebut bukan
TB.

Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006), sebagaimana
bisa dilihat di bawah ini:

13
Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria pada
pasien TB paru menjadi:

1. Pasien dengan sputum BTA positif adalah pasien yang pada pemeriksaan
sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang kurangnya pada 2 kali
pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang
sesuai dengan gambaran TB aktif /1 sediaan sputumnya positif disertai biakan
yang positif
2. Pasien dengan sputum BTA negatif adalah pasien yang pada
pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali,
tetapi pada biakannya positif (Bahar, 2007).

14
II. 8 Tipe Penderita Tuberkulosis

Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu


sebagai berikut:
a. Kasus baru Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT
atau sudah pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

b. Kambuh (relaps) Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya


pernah mendapat pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali lagi berobat dengan pemeriksaan dahak BTA positif.

c. Pindahan (transfer in) Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang
mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke
kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah
(form TB. 09).

d. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) Setelah lalai (pengobatan
setelah default / drop out) adalah pasien yang sudah berobat paling kurang 1
bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif.

e. Gagal Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
atau pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA negatif rontgen
positif pada akhir bulan kedua pengobatan.

f. Kasus kronis Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.

g. Tuberkulosis resistensi ganda Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis


yang menunjukkan resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT
lainnya (Depkes RI, 2006).

II. 9 Terapi

15
Obat-obat TB terdiri atas 2 jenis regimen, yaitu obat lini pertama dan
obat lini kedua. Kedua lini obat ini bertujuan untuk menghentikan pertumbuhan
kuman TB, pengurangan kuman TB yang dorman dan pencegahan resistensi
kuman TB terhadap antibiotik. Obat-obatan lini pertama terdiri dari Isoniazid,
Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lini dua
mencakup 17 Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid,
Clofazimine, Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Obat lini
kedua ini dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus dengan kuman TB yang
bersifat multi-drug resistance. Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada
keadaan hamil antara lain Isoniazid, Rifampisin, dan Etambutol.

Tabel 1. Jenis Obat OAT

Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar


dapat mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah
menerapkan strategi DOTS dimana tenaga Kesehatan berfungsi secara ketat
mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannya. Oleh karena itu
WHO juga telah menetapkan regimen pengobatan standar yang membagi pasien
menjadi 4 kategori berbeda menurut definisi kasus tersebut.

16
Tabel 2. Panduan Alternatif untuk Setiap Kategori Pengobatan

17
Tabel 3. Dosis Obat yang dipakai di Indonesia

Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD telah merumuskan pemakaian obat
kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai terapi TB untuk menggantikan panduan
obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS. Paduan OAT ini disediakan
dalam bentuk paket untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan pengobatan pasien hingga tuntas.. Tablet OAT-KDT ini adalah
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet. Dosisnya (jumlah tablet yang
diminum) disesuaikan dengan berat badan pasien, panduan ini dikemas dalam 1
paket untuk 1 pasien dalam 1 kali masa pengobatan.

Tabel 4. Dosis Panduan OAT KDT Kategori I: 2(RHZE)/4(RH)3

Tabel 5. Dosis Panduan OAT KDT Kategori II:


2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3

Pada beberapa obat OAT, dilaporkan dapat menimbulkan beberapa efek


samping obat antara lain:

18
Tabel 6. Efek Samping OAT

World Health Organization (1993) menjelaskan bahwa hasil pengobatan


penderita tuberkulosis paru dibedakan menjadi :

a. Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif 2 kali
atau lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir pengobatannya.

b. Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai jadwal


yaitu selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya 1 kali follow up
dengan hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir pengobatan.

c. Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan
seterusnya sebelum akhir pengobatan atau BTA-nya masih positif pada akhir
pengobatan. Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA

19
terkhir masih positif. Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif
pada bulan ke-2 dari pengobatan

d. Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari 2


bulan sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.

e. Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa melihat


sebab kematiannya.

II. 10 Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pengobatan Bayupurnama (2007) menjelaskan bahwa terdapat


beberapa metode yang bisa digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru:
a. Klinis: pasien melakukan control dalam kurun waktu 1 pekan pertama,
selanjutnya 2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai
akhir pengobatan. Secara klinis dilakukan penilaian mengenao keluhan-keluhan
pasien seperti batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah,
hingga penambahan berat badan.

b. Bakteriologis: dilakukan setelah 2-3 minggu pengobatan dan sputum BTA


mulai menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali
sebulan. WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan
pada akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru
yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi
pasien yang mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif,
sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Bila BTA
positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), maka pasien yang sebelumnya
telah sembuh mengalami kekambuhan.

c. Radiologis: foto kontrol dapat dibuat pada akhir pengobatan perbandingan bila
timbul kasus kekambuhan pada pasien. Jika keluhan pasien tidak berkurang
(misalnya tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis dinilai gambaran TB
paru dan adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena perubahan gambaran
radiologis tidak berubah secepat perubahan gambaran bakteriologis, evaluasi foto
dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.

20
II. 11 Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus
respiratorius dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat
mengganggu pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru. Berdasarkan
tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu pneumonia-
masyarakat (community-acquired pneumonia/CAP), apabila infeksinya terjadi di
masyarakat; dan pneumonia-RS atau pneumonia nosokomial (hospital-acquired
pneumonia/HAP), bila infeksinya didapat di lingkungan fasilitas kesehatan.
II. 12 Etiologi Pneumonia
a. Bakteri
Pneumonia bakterial dibagi menjadi dua bakteri penyebabnya yaitu:
1. Typical organisme
Penyebab pneumonia berasal dari gram positif berupa :
- Streptococcus pneumonia : merupakan bakteri anaerob fakultatif. Bakteri
patogen ini di temukan pneumonia komunitas rawat inap di luar ICU sebanyak
20-60%, sedangkan pada pneumonia komunitas rawat inap di ICU sebanyak 33%.
- Staphylococcus aureus : bakteri anaerob fakultatif. Pada pasien yang diberikan
obat secara intravena (intravena drug abusers) memungkan infeksi kuman ini
menyebar secara hematogen dari kontaminasi injeksi awal menuju ke paru-paru.
Kuman ini memiliki daya tahan paling kuat, apabila suatu organ telah terinfeksi
kuman ini akan timbul tanda khas, yaitu peradangan, nekrosis dan pembentukan
abses.
- Methicillin-resistant S. Aureus (MRSA) memiliki dampak yang besar dalam
pemilihan antibiotik.
- Enterococcus (E. faecalis, E faecium) : organisme streptococcus grup D yang
merupakan flora normal usus.
Penyebab pneumonia yang berasal dari gram negatif sering menyerang
pada pasien immunocompromised atau pasien yang di rawat di rumah sakit dan
dirawat di rumah sakit dalam waktu yang lama dan dilakukan pemasangan
endotracheal tube. Beberapa contoh bakteri gram negatif dibawah adalah :
- Pseudomonas aeruginosa : bakteri anaerob, bentuk batang dan memiliki bau
yang sangat khas.

21
- Klebsiella pneumonia : bakteri anaerob fakultatif, bentuk batang tidak berkapsul.
Pada pasien alkoholisme kronik, diabetes atau PPOK (Penyakit Paru Obstruktif
Kronik) dapat meningkatkan resiko terserang kuman ini.
- Haemophilus influenza : bakteri bentuk batang anaerob dengan berkapsul atau
tidak berkapsul. Jenis kuman ini yang memiliki virulensi tinggu yaitu
encapsulated type B (HiB).
b. Virus
Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui droplet, biasanya
menyerang pada pasien dengan imunodefisiensi. Diduga virus penyebabnya
adalah cytomegalivirus, herpes simplex virus, varicella zooster virus.
c. Fungi
Infeksi pneumonia akibat jamur biasanya disebabkan oleh jamur oportunistik,
dimana spora jamur masuk kedalam tubuh saat menghirup udara. Organisme yang
menyerang adalah Candida sp. , Aspergillus sp. , Cryptococcus neoformans.
II. 13 Klasifikasi Pneumonia
Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya:
1. Community-Acquired Pneumonia
Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksius ini sering di
sebabkan oleh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia (Penicillin sensitive and
resistant strains ), Haemophilus influenza (ampicillin sensitive and resistant
strains) and Moraxella catarrhalis (all strains penicillin resistant). Ketiga bakteri
tersebut dijumpai hampir 85% kasus CAP. CAP biasanya menular karena masuk
melalui inhalasi atau aspirasi organisme patogen ke segmen paru atau lobus paru-
paru. Pada pemeriksaan fisik sputum yang purulen merupakan karakteristik
penyebab dari tipikal bakteri, jarang terjadi mengenai lobus atau segmen paru.
Tetapi apabila terjadi konsolidasi akan terjadi peningkatan taktil fremitus, nafas
bronkial. Komplikasi berupa efusi pleura yang dapat terjadi akibat infeksi H.
Influenza , emphyema terjadi akibat infeksi Klebsiella , Streptococcus grup A, S.
Pneumonia . Angka kesakitan dan kematian infeksi CAP tertinggi pada lanjut usia
dan pasien dengan imunokompromis. Resiko kematian akan meningkat pada CAP
apabila ditemukan faktor komorbid berupa peningkatan respiratory rate, hipotensi,
demam, multilobar involvement, anemia dan hipoksia.

22
2. Hospital-Acquired Pneumonia
Berdasarkan America Thoracic Society (ATS) , pneumonia nosokomial ( lebih
dikenal sebagai. Hospital-acquired pneumonia atau Health care-associated
pneumonia ) didefinisikan sebagai pneumonia yang muncul setelah lebih dari 48
jam di rawat di rumah sakit tanpa pemberian intubasi endotrakeal . Terjadinya
pneumonia nosokomial akibat tidak seimbangnya pertahanan inang dan
kemampuan kolonisasi bakteri sehingga menginvasi traktus respiratorius bagian
bawah. Bakteria yang berperan dalam pneumonia nosokomial adalah P.
Aeruginosa , Klebsiella sp, S. Aureus, S.pneumonia. Penyakit ini secara signifikan
akan mempengaruhi biaya rawat di rumah sakit dan lama rawat di rumah sakit.
ATS membagi pneumonia nosokomial menjadi early onset (biasanya muncul
selama 4 hari perawatan di rumah sakit) dan late onset (biasanya muncul setelah
lebih dari 5 hari perawatan di rumah sakit). Pada early onset pneumonia
nosokomial memili prognosis baik dibandingkan late onset pneumonia
nosokomial; hal ini dipengaruhi pada multidrug-resistant organism sehingga
mempengaruhi peningkatan mortalitas. Pada banyak kasus, diagnosis pneumonia
nosokomial dapat diketahui secara klinis, serta dibantu dengan kultur bakteri;
termasuk kultur semikuantitatif dari sample bronchoalveolar lavange (BAL).
3. Ventilator-Acquired Pneumonia
Pneumonia berhubungan dengan ventilator merupakan pneumonia yang terjadi
setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi trakea. Ventilator adalah alat yang
dimasukan melalui mulut atau hidung, atau melalu lubang di depan leher. Infeksi
dapat muncul jika bakteri masuk melalui lubang intubasi dan masuk ke paru-paru.
II. 14 Faktor Resiko
Beberapa kelompok yang mempunyai faktor risiko lebih tinggi untuk terkena
pneumonia antara lain :
a. Usia lebih dari 65 tahun
b. Riwayat merokok
c. Paralisis laringeal
d. Malnutrisi
e. Pasien dengan penyakit paru seperti asma, PPOK dan emfisema
f. Diabetes Mellitus

23
g. Penyakit pernapsan kronik (COPD, asma kistik fibrosis)
h. Kanker
i. Trakeostomi dan pemakaian endotrakeal tube
j. Tindakan Bedah pada regio abdominal atau toraks
k. Fraktur tulang iga
l. AIDS, pengobatan immunosuppresan dan pasien immunocompromised.
II. 15 Diagnosis Pneumonia
1. Chest X-ray: teridentifikasi adanya penyebaran (misal: lobus dan bronkhial);
dapat juga menunjukkan multiple abses/infiltrat, empiema (staphilococcus);
penyebaran atau lokasi infiltrasi (bakterial)
2. Analisis gas darah: abnormalitas mungkin timbul tergantung dari luasnya
kerusakan paru-paru.
3. Pemeriksaan darah lengkap: leukositosis biasanya timbul, meskipun nilai
pemeriksaan darah putih rendah pada infeksi. Penilaian derajat keparahan
penyakit pneumonia komunitas dapat dilakukan dengan menggunakan sistem
skor. Tabel 9 menunjukkan sistem skor pada pneumonia komunitas.

Berdasarkan kesepakatan Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI), kriteria


yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia adalah:
a. Skor PORT lebih dari 70

24
b. Bila skor PORT kurang dari 70 maka penderita tetap perlu rawat inap bila di
jumpai salah satu dari kriteria dibawah ini:
- Frekuensi nafas > 30 kali/menit
- PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
- Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
- Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
- Tekanan sistolik < 90mmHg
- Tekanan diastolik < 60 mmHg (PDPI, 2003).

25
II. 16 Tata Laksana

26
Daftar Pustaka

 Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.
 Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam
Edisi 13 Volume 2. Jakarta : EGC : 799-808.
 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Pneumonia. Jakarta: PDPI.
 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Tuberkulosis. Jakarta: PDPI.
 Solá, Ernesto et al. “Diabetes mellitus: an important risk factor for
reactivation of tuberculosis.” Endocrinology, diabetes & metabolism case
reports vol. 2016 (2016): 16-0035. doi:10.1530/EDM-16-0035

27

Anda mungkin juga menyukai