HEMATEMESIS MELENA
Disusun oleh:
Yosfikriansyah
1102013313
Pembimbing:
dr. Donny Gustiawan, Sp.PD
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. M S
Usia : 80 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Telaga Murni
Tanggal Masuk RS : 25 November 2018
II. ANAMNESIS
Anamnesis menggunakan teknik auto dan alloanamnesis pada tanggal 27
November 2018 di Bangsal Tulip RSUD Kabupaten Bekasi.
A. Anamnesis
Keluhan utama : Muntah darah
Keluhan tambahan : Buang air besar (BAB) hitam
1
disangkal oleh pasien. Riwayat mata dan kulit kuning serta BAK
seperti teh disangkal.
Pasien sampai saat ini belum berobat kemanapun sampai dilarikan
ke IGD. Pada saat sebelum terjadi BAB hitam, pasien mengonsumsi
obat piroxicam 3 kali dalam sehari untuk menahan rasa sakit pasca
operasi fraktur pergelangan tangan selama 2 minggu. Pasien mengaku
bahwa pasien mengonsumsi obat meloxicam sejak tahun 2013
diminum ketika nyeri pada sendi-sendinya untuk menahan rasa sakit
secara rutin. Keluhan nyeri sendi ini dirasakan oleh pasien rata - rata
3 kali dalam 1 minggu. Pasien memiliki riwayat hipertensi dan
dyspepsia berulang yang biasanya sembuh dengan pemberian antacid.
2
B. Pemeriksaan Khusus :
1. Kulit
Coklat, turgor baik
2. Kepala
Normocephal, Rambut tidak mudah dicabut dan berwarna abu-
abu.
3. Mata
Konjungtiva anemis +/+
Sklera ikterik -/-
Refleks cahaya langsung +/+, Pupil Isokor
4. Telinga
Tidak ditemukan kelainan dan tidak ada sekret yang keluar dari
liang telinga
5. Hidung
Tidak ada pernafasan cuping hidung.
Tidak ditemukan kelainan pada hidung dan tidak ada sekret
yang keluar dari lubang hidung.
6. Mulut
Tidak ada kelainan
Bibir tidak sianosis
Mukosa lidah basah
Uvula ditengah
Tonsil T1-T1 tenang
Faring tidak hiperemis
Lidah tidak deviasi
7. Leher
Jugular Vein Pressure (JVP) 5 +2
Trakea tidak deviasi
Tidak terdapat adanya pembesaran kelenjar getah bening
3
Tidak terdapat adanya pembesaran kelenjar tiroid
8. Thorax
a. Paru
Inspeksi : Dada simetris normal kiri-kanan pada
gerakan statis dan dinamis. Retraksi
intercostal (-), Retraksi suprasternal (-),
retraksi epigastrial (-).
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal simetris normal
pada kedua lapang paru. Nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
b. Jantung
Inspeksi : Iktus cordis terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus cordis teraba pada 2 cm lateral
linea midklavikularis sinistra ICS 6, kuat
angkat, tidak ada vibrasi.
Perkusi :
o Batas jantung kanan : Linea sternalis sinistra ICS 5.
o Batas jantung kiri: Pada 2 cm lateral dari linea
midclavicularis sinistra ICS 6.
o Batas pingang jantung : Linea parasternalis sinistra
ICS 3
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur
sistolik (-), murmur distolik (-), gallop (-)
c. Abdomen
Inspeksi : Abdomen datar, sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
4
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), hepar
dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani pada lapang abdomen, shifting
dullnes (-)
d. Ekstremitas
Akral hangat, capillary refilll time (CRT) < 2 detik dan pucat
pada kedua telapak tangan.
5
Jenis Pemeriksaan Tanggal 25 Nilai Normal
November 2018
Chlorida 107 98-106 mEq
HIV Negatif Negatif
V. RESUME
Seorang laki-laki berusia 80 tahun datang dengan keluhan muntah
darah, BAB hitam, nyeri ulu hati dan lemas. Pasien riwayat meminum
meloxicam rata-rata 3 kali dalam 1 minggu selama 5 tahun ketika sendi
terasa nyeri, piroxicam rutin 3 kali dalam 1 hari selama 2 minggu
sebelum terjadi melena, menyangkal adanya riwayat mata kuning, kulit
kuning dan BAK seperti teh serta memiliki dyspepsia yang berulang.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis (+/+),
bising usus (+) meningkat, tidak terdapat nyeri tekan pada abdomen,
shifting dullness (-) dan pucat pada kedua telapak tangan.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 10 gr/dl, LED 34,
SGOT 21 U/L, SGPT 17 U/L, Ureum 43 mg/dL, Kreatinin 1,5 mg/dl,
Albumin 2,6 gr/dL dan Globulin 2,3 gr/dL serta LED 34 mm/jam.
6
VI. DIAGNOSIS KLINIS
Hematemesis melena e.c. Gastitris erosif
Anemia
Hipoalbuminemia
VIII. PERENCANAAN
1. Rencana Diagnostik
Endoskopi
2. Rencana Terapi
IVFD RL 500 ml / 24 jam
NGT untuk bilas lambung
Inj. Ranitidine 2x50g
Sucralfat syrup 3 x 2 cth sebelum makan
Inj. Asam Tranexamat 3x1amp
Inj. Vit K
Inj. Omeprazole 40mg
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad malam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
8
Menurut Djojoningrat (2011) faktor risiko perdarahan SCBA yaitu,
1. Usia
Perdarah SCBA sering terjadi pada orang dewasa dan risiko meningkat
pada usia > 60 tahun.
2. Jenis kelamin
Kasus perdarahan SCBA lebih sering dialami oleh laki-laki. Penelitian di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 51,4% yang mengalami
perdarahan SCBA berjenis kelamin laki-laki.
3. Penggunaan obat antiinflamasi non steroid (OAINS)
Jenis-jenis OAINS yang sering dikonsumsi adalah ibuprofen, diklofenak,
meloxicam, naproxen, indomethacin, ketoprofen, piroxicam dan ketorolac.
4. Penggunaan obat-obat antiplatelet
Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg per hari) dapat menyebabkan
faktor perdarahan naik menjadi dua kali lipat. Aspirin dapat menyebabkan
ulkus lambung, ulkus duodenum, komplikasi perdarahan dan perforasi pada
lambung. Obat antiplatelet seperti clopidogrel berisiko tinggi apabila
dikonsumsi oleh pasien dengan komplikasi saluran cerna.
5. Merokok
Dari hasil penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko terjadinya
ulkus duodenum, ulkus gaster maupun keduanya. Merokok menghambat
proses penyembuha ulkus, memicu kekambuhan dan meningkatkan risiko
komplikasi.
6. Alkohol
Mengonsumsi alcohol konsentrasi tinggi dapat merusak pertahanan mukosa
lambung terhadap ion hidrogen dan menyebabkan lesi akut mukosa gaster
yang ditandai dengan perdarahan pada mukosa.
7. Riwayat Gastritis
Riwayat gastritis memiliki dampak besar terhadap terjadinya ulkus. Pada
kelompok ini diprediksi risiko terjadi bukan karena sekresi asam tetapi oleh
adanya gangguan dalam mekanisme pertahan mukosa dan proses
penyembuhan.
9
8. Diabetes Melitus (DM)
Beberapa penelitian menyatakan bahwa DM merupakan penyakit komorbid
yang sering ditemui dan menjadi faktor risiko untuk terjadinya perdarahan.
Namun, belum ada penelitian yang menjelaskan mekanisme pasti yang
terjadi pada perdarahan SCBA yang disebabkan oleh DM.
9. Infeksi bakteri Helicobacter pylori
H. pylori merupakan bakteri gram negative berbentuk spiral yang hidup
dibagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung. Beberapa
penelitian di Amerika Serikat menunjukkan tingkat infeksi H. pylori <75%
pada pasien ulkus duodenum. Hasil penelitian di New York 61% dari ulkus
duodenum dan 63% dari ulkus gaster disebabka oleh infeksi H. pylori.
10. Chronic kidney disease (CKD)
Patogenesis perdarahan saluran cerna pada CKD masih beum jelas, diduga
faktor yang berperan antara lain efek uremia terhadap mukosa saluran
cerna, disfungsi trombosit akibat uremia, hipergastrinemia, penggunaan
antiplatelet dan antikoagulan, serta heparinisasi pada saat dialisis.
11. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan disfungsi endotel sehingga mudah terkena jejas.
2.3 Etiologi
10
Tabel 2.3.1. Penyebab Saluran Cerna Bagian Atas
(Sumber: Longo et al. 2012)
a. Ulkus Peptikum
Perdarahan merupakan penyulit ulkus peptikum yang paling sering
terjadi, sedikitnya ditemukan pada 15-25% kasus selama perjalanan
penyakit. Walaupun ulkus disetiap tempat dapat mengalami perdarahan,
namun tempat perdarahan tersering adalah dinding posterior bulbus
duodenum, karena ditempat ini dapat terjadi erosi arteri
pankreatikoduodenalis atau arteria gastroduodenalis. Tiga faktor utama
dalam patogenesis ulkus adalah H. pylori, OAINS, dan pH asam
(Bunnet, et al. 2015).
b. Varises Esofagus
Esophagus bagian bawah merupakan saluran kolateral penting yang
timbul akibat sirosis dan hipertensi portal. Vena esophagus daerah leher
mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos, dan dibawah
diagfragma vena esophagus masuk kedalam vena gastrika sinistra.
Hubungan antara vena porta dan vena sistemik memungkinkan pintas
dari hati pada kasus hipertensi portal. Aliran kolateral melalui vena
11
esofagus menyebabkan terbentuk varises esophagus (vena varikosa
esophagus). Vena yang melebar ini dapat pecah, menyebabkan
perdarahan yang bersifat fatal (Tripathi, et al. 2015).
c. Gastritis Erosif
Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan
mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronik, difus, atau local.
Banyak sekali etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya gastritis,
antara lain endotoksin bakteri, kafein, alcohol, aspirin, OAINS, dan
stress lebih sering dianggap sebagai penyebab gastritis akut (Bunnet, et
al. 2015).
d. Esofagitis
Esofagitis merupakan peradangan pada lapisan esofagus atau
kerongkongan yang berisiko menimbulkan kerusakan jaringan-jaringan
esofagus. Esofagitis yang dapat menyebabkan perdarahan ialah
esofagitis refluks kronis. Esofagitis refluks kronis merupakan bentuk
esofagitis yang paling sering ditemukan secara klinis. Gangguan ini
disebabkan oleh sfingter esophagus bagian bawah yang bekerja dengan
kurang baik dan refluks asam lambung atau getah alkali usus ke dalam
esophagus yang berlangsung dalam waktu yang lama. Sekuele yang
terjadi akibat refluks adalah peradangan, perdarahan, dan pembentukan
jaringan parut dan striktur (Bunnet, et al. 2015).
e. Sindroma mallory-weis
Hematemesis atau melena yang secara khas mengikuti yaitu
muntah-muntah berat yang berlangsung beberapa jam atau hari, dapat
ditemukan satu atau beberapa laserasi mukosa lambung mirip celah yang
biasanya berada di sisi lambung pada gastroesofageal junction (Bunnet,
et al. 2015).
12
Penyebab lain yang jarang terjadi adalah duodenitis erosif,
neoplasma, aortoenteric fistulas, gastric antral vascular ectasia
(watermelon stomach), dieulafoy's lesion, prolapse gastropathy,
hemobilia atau hemosuccus pancreaticus (perdarahan dari ductus biliaris
atau ductus pancreaticus) (Bunnet, et al. 2015).
Faktor risiko penggunaan OAINS pada gastritis erosif dan peptic
ulcer sangat dipengaruhi oleh usia >65 tahun, riwayat penyakit peptic
ulcer, penyakit jantung, pemakaian jangka panjang OAINS dan dosis
yang tinggi (Drini, 2017).
2.4 Patofisiologi
13
Gambar 2.4.1. Mekanisme Pembentukan Luka pada Gaster
(Sumber: Turner, J. R. 2010)
14
Ulkus peptikum (tukak lambung) dibedakan dari gastritis erosif oleh
kedalaman lesi, dengan ulkus peptikum yang sudah menembus mukosa. Ulkus
yang dikelilingi oleh mukosa yang meradang mengisyaratkan bahwa
sebelumnya telah terjadi gastritis terlebih dahulu (Turner, J. R. 2010).
Prostaglandin diketahui dapat meningkatkan aliran darah mukosa serta
sekresi bikarbonat dan mukus serta merangsang perbaikan dan pembaharuan sel
mukosa. Karena itu, defisiensi prostaglandin akibat pemberian obat anti
inflamasi non-steroid (OAINS) atau gangguan lain dapat mempermudah
timbulnya gastritis erosif dan ulkus peptikum (Bunnet, N. W 2015).
15
Merokok merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya ulkus peptikum.
Merokok memicu kekambuhan, menghambat proses penyembuhan dan respon
terapi sehingga memperparah komplikasi ulkus kearah perforasi (Turner, J.R.
2010).
2.5 Diagnosis
Menurt Adi P. (2014) langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran
cerna adalah menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada
status hemodinamik. Pemeriksaannya meliputi:
a. Tekanan darah dan nadi
b. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
c. Ada tidaknya vasokontriksi perifer (akral dingin)
d. Kelayakan nafas
e. Tingkat kesadaran
f. Produksi urin (0,5-1 cc/kgBB per jam)
16
c. Darah segar pada aspirasi pipa nasogastrik
d. Hipotensi persisten
e. Dalam 24 jam menghabiskan transfusi darah melebihi
800-1000 ml
ANAMNESIS
PEMERIKSAAN FISIK
17
(pecahnya varises esofagus, asites, splenomegali), ikterus, edema
tungkai dan sakral, spider nevi, eritema palmarum, ginekomasti,
venektasi dinding perut (caput medusa).
Tanda-tanda anemia : pucat, koilonikia, telangiektasia
Tanda-tanda keganasan : limfadenopati, organomegali (hepatomegali,
splenomegali), penurunan berat badan, anoreksia, rasa lemah.
Pemeriksaan abdomen : untuk mengetahui adanya nyeri tekan, distensi,
atau massa. Adanya nyeri tekan epigastrik merupakan tanda ulkus
peptikum, dan adanya hepatosplenomegali meningkatkan kemungkinan
varises.
Pemeriksaan rektal untuk massa, darah, melena, dan darah samar pada
feses. Warna feses ini mempunyai nilai prognostik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
18
Auskultasi usus Hiperaktif Normal
Tabel 2.5.1. Perbedaan Perdarahan SCBA dengan SCBB
(Sumber: Adi, P. 2014)
Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi merupakan gold standard. Tindakan endoskopi
selain untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi. Prosedur ini tidak perlu
dilakukan segera (bukan prosedur emergensi), dapat dilakukan dalam kurun
waktu 12 - 24 jam setelah pasien masuk dan keadaan hemodinamik stabil.
Tidak ada keuntungan yang nyata bila endoskopi dilakukan dalam keadaan
darurat. Dengan pemeriksaan endoskopi ini lebih dari 95% pasien-pasien
dengan hemetemesis, melena atau hematemesis –melena dapat ditentukan lokasi
perdarahan dan penyebab perdarahannya. Kadar Hb minimal untuk dilakukan
endoskopi adalah 8 mg/dL dengan keadaan hemodinamik stabil (Turner, J.R.
2010)
Lokasi dan sumber perdarahan
Esofagus :Varises, erosi, ulkus, tumor
Gaster : Erosi, ulkus, tumor, polip, angiodisplasia, dilafeuy, varises,
gastropati kongestif
Duodenum :Ulkus, erosi, tumor, divertikulitis
19
A.
B.
C.
Gambar 2.6.1. A. Esofagitis Erosif. B. Gastritis Erosif. C. Ulkus Peptikum
(Sumber: Turner, J. R. 2010)
20
Aktivitas perdarahan Kriteria endoskopis
Forest I a - perdarahan aktif Perdarahan arteri menyembur
Forest I b – perdarahan aktif Perdarahan merembes
Forest II - perdarahan berhenti dan Gumpalan darah pada dasar ulkus atau
masih terdapat sisa-sisa perdarahan terlihat pembuluh darah
Forest III – perdarahan berhenti tanpa
Lesi tanpa ada sisa perdarahan
sisa perdarahan
Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari Nasogastric Tube
(NGT). Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan tidak aktif,
aspirat berwarna merah marun menandakan perdarahan masif sangat mungkin
perdarahan arteri seperti halnya warna feses maka warna aspirat pun dapat
memprediksi mortalitas pasien. Walaupun demikian pada sekitar 30% pasien
dengan perdarahan tukak duodeni ditemukan adanya aspirat yang jernih pada
NGT (Kim, J. et al. 2012)
2.6 Penatalaksanaan
21
Gambar 2.7.1. Algoritma Tatalaksana Perdarahan SCBA
(Sumber: Adi, P. 2014)
A. STABILISASI HEMODINAMIK
Resusitasi yang dilakukan adalah pemberian cairan intravena dan
suplementasi oksigen, koreksi koagulopati berat dan transfusi darah
pada saat dibutuhkan. Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan
infus cairan kristaloid dan pasang monitor CVP (central venous
pressure). Tujuannya untuk memulihkan tanda-tanda vital dan
mempertahankan tetap stabil. Penderita dengan perdarahan 500 – 1000
cc perlu diberi infus Dextrose 5%, Ringer laktat atau Nacl 0,9% (Adi, P.
2014)
22
B. TERAPI NON-ENDOSKOPIS
Pemasangan NGT (Nasogastric Tube)
23
baik (Alwi, I. 2017).
Asam traneksamat merupakan obat golongan antifibrinolitik yang
bekerja mengurangi perdarahan dengan cara menghambat aktivitas
plasminogen menjadi plasmin pada pembekuan darah. Karena
plasmin berfungsi mendegradasi fibrin, maka asam traneksamat
bekerja menghambat degradasi fibrin, yang berujung pada
meningkatnya aktivitas pembekuan darah. Dosis asam traneksamat
yang digunakan adalahh 0,5-1 gram 3 kali sehari (Alwi, I. 2017).
24
Untuk Pasien Varises:
Vasopressin
Menghentikan perdarahan saluran cerna bagian atas lewat efek
vasokostriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran dan
tekanan vena porta menurun. Dapat digunakan pada pasien
perdarahan akut varises esofagus. Terdapat dua bentuk sediaan
yaitu, pitresin (vasopressin murni) dan preparat pituitary gland
(vasopressin dan oxcytocin). Pemberian vasopressin dengan
mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose
5%, diberikan 0.5-1 mg/menit/iv selama 20-60 menit dan dapat
diulang tiap 3-6 jam, atau setelah pemberian pertama dilanjutkan
per infus 0.1-0.5 U/menit. Vasopressin dapat memberikan efek
samping berupa insufisiensi koroner mendadak, maka disarankan
bersamaan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin IV dengan dosis
awal 40 mcg/menit kemduaian secara titrasi dinaikkan sampai
maksimal 400 mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan
sistolik diatas 90 mmHg. Hal ini dilakukan untuk mencegah
insufisiensi aorta mendadak (Alwi, I. 2017).
25
C. TERAPI ENDOSKOPIS
Tujuan terapi endoskopik adalah untuk menghentikan
perdarahan aktif dan mencegah perdarahan ulang. Beberapa teknik,
termasuk injeksi, ablasi dan mekanik telah dikembangkan. Pemilihan
tindakan dapat disesuaikan dengan penampakan fokus perdarahan dan
risiko terkait untuk kejadian perdarahan persisten dan rekuren. Terapi
ini ditujukan untuk perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak
dengan pembuluh darah yang tampak (Adi, P. 2014)
Terapi endoskopis yang relatif mudah dan tanpa banyak
peralatan pendukung ialah penyuntikan submukosa sekitar titik
perdarahan menggunakan adrenalin 1:10000 sebanyak 0.5-1 ml tiap
kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak
melebihi 1 ml. Keberhasilan terapi endoskopis mencapai di atas 95%
dan tanpa terapi tambahan, perdarahan ulang frekuensinya sekitar 15-
20% (Simandibrata, 2012)
Pilihan pertama untuk mengatasi varises esofagus adalah ligasi
varises. Terapi pilihan adalah hemostasis endoskopi. Ligasi varises
mengurangi efek samping dari pemakaian sklerosan, serta lebih
menurunkan frekuensi terjadinya ulserasi dan striktur. Bila ligasi sulit
dilakukan, skeloterapi dapat digunakan sebagai terapi alternatif.
Pasien dengan ulkus dengan dasar bersih diberikan diet lunak dan
dipulangkan setelah endoskopi dengan syarat hemodinamik stabil, Hb
cukup stabil dan tidak ada masalah kesehatan lain (Kim, J. 2012; Adi,
P. 2014)
D. TERAPI RADIOLOGI
Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap
berlangsung dan belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi
endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat berisiko. Tindakan
hemostasis yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin atau
26
embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontraindikasi dan fasilitas
dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS
(Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt) untuk mengalihkan
aliran darah di vena porta apabila pengikatan varises tidak bisa
mengatasi perdarahan (Kim, J. 2012)
E. TERAPI PEMBEDAHAN
Pembedahan dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi
dan radiologi dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak
awal dalam bentuk tim multidisipliner pada pengelolaan kasus
perdarahan SCBA untuk menentukan waktu yang tepat kapan tindakan
bedah sebaiknya dilakukan (Adi, P. 2014)
2.1. KOMPLIKASI
Komplikasi yang bisa terjadi pada perdarahan saluran cerna
adalah timbulnya anemia, pneumoni aspirasi, koma hepatikum, syok
hipovolemik yang dapat diikuti dengan gagal ginjal akut. Bila
berlangsung terus-menerus, hal tersebut dapat menyebabkan kegagalan
multi organ dan kematian (Adi, P. 2014)
2.2. PROGNOSIS
Skala prognostik dapat ditentukan berdasarkan gejala klinis,
hasil laboratorium dan hasil endoskopi untuk membedakan pasien
dengan risiko rendah dengan pasien yang memiliki risiko perdarahan
berulang. Banyak faktor yang mempengaruhi prognosis penderita
seperti faktor umur, kadar Hb, tekanan darah selama perawatan, dan
lain-lain. Faktor risiko terjadinya perdarahan berulang pada perdarahan
saluran cerna bagian atas non-variceal: (Wilkins, T. 2012)
27
ENDOSKOPIS KLINIS
Perdarahan aktif Usia > 65 tahun
Ukuran ulkus > 2 cm Status kesehatan yang buruk
Lokasi ulkus terdapat di Memiliki penyakit peyerta
dinding duodenum posterior Konsentrasi Hb awal yang rendah
atau kurvatura bagian posterior Membutuhkan transfusi
Terdapat darah segar pada pemeriksaan
dubur, pada muntahan atau aspirasi
nasogastrik
Syok / Sepsis
Peningkatan konsentrasi urea, kreatinin
atau serum aminotransferasi
28
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
29
DAFTAR PUSTAKA
Siregar, L., Aziz, A., et al. 2011. Clinical profile and outcome of non-
variceal upper gastrointestinal bleeding in relation to timing of endoscopic
procedure in patient undergoing elective endoscopy. Jakarta: Divisi
Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas
Indonesia;12-3: 140- 145
30
Tripathi, D., et al. 2015. UK guidelines on the management of the variceal
haemorrhage in cirrhotic patients. UK: BMJ Publishing Group; 1-25
Turner, J. R., 2010. The Gastrointestinal Tract dalam Robbins and Cotran
Pathologis Basis of Disease. 8th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders Inc;
763-770
Wilkins, T., Khan, N., et al. 2012. Diagnosis and Management of Upper
Gastrointestinal Bleeding. Georgia: Georgia Health Sciences University; 85-
5: 469-476
31