Anda di halaman 1dari 31

CASE REPORT

HEMATEMESIS MELENA

Disusun oleh:
Muhamad Wilianto
1102014164

Pembimbing:
dr. Asyraf, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD KABUPATEN BEKASI
PERIODE 19 NOVEMBER 2018 – 26 JANUARI 2019
BAB I LAPORAN
KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. A
Usia : 20 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Karang Asih, Cikarang Utara, Bekasi
Tanggal Masuk RS : 29 November 2018

II. ANAMNESIS
Anamnesis menggunakan teknik auto dan alloanamnesis pada tanggal 29
November 2018 di Bangsal Anggrek 2 RSUD Kabupaten Bekasi.

A. Anamnesis
Keluhan utama : Lemas
Keluhan tambahan : Sesak Nafas, kaki bengkak

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poli Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Bekasi
pada tanggal 29 November 2018 dengan keluhan lemas disertai
dengan sesak nafas dan kaki bengkak selama 1 minggu yang lalu
Pasien mengeluh sesak nafas setelah makan dan membaik apabila
berbaring, sesak nafas tidak mengganggu aktivitas, tidur cukup
dengan satu bantal dan tidak mengganggu tidur saat malam. Pasien
juga mengeluh bengkak di kedua kaki dan semakin membesar apabila
digunakan untuk beraktivitas. Pasien sehari-hari bekerja di pasar
sebagai porter dan mengaku suka mengkonsumi minuman berenergi
seperti extrajoss setiap harinya. BAB normal dan pada BAK sedikit-
sedikit (3x sehari) tanpa disertai nyeri. Keluhan batuk dan demam

1
disangkal oleh pasien. Riwayat mata dan kulit kuning serta BAK
seperti teh disangkal. Riwayat hipertensi dan DM disangkal.

C. Riwayat penyakit dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.

D. Riwayat penyakit keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal seperti pasien. Pasien
menyangkal adanya hipertensi dan DM pada keluarga.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Pemeriksaan Umum :
1. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
2. Kesadaran : Composmentis E4 M6 V5 (GCS: 15)
3. Tanda Vital
Tekanan Darah : 124/75 mmHg
Heart Rate : 96 x/menit
Respiration Rate : 16x/menit
Suhu : 36 °C

B. Pemeriksaan Khusus :
1. Kulit
Coklat, turgor baik
2. Kepala
Normocephal, Rambut tidak mudah dicabut dan berwarna abu-
abu.
3. Mata
Konjungtiva anemis +/+
Sklera ikterik -/-

2
Refleks cahaya langsung +/+, Pupil Isokor
4. Telinga
Tidak ditemukan kelainan dan tidak ada sekret yang keluar dari
liang telinga
5. Hidung
 Tidak ada pernafasan cuping hidung.
 Tidak ditemukan kelainan pada hidung dan tidak ada sekret
yang keluar dari lubang hidung.
6. Mulut
 Tidak ada kelainan
 Bibir tidak sianosis
 Mukosa lidah basah
 Uvula ditengah
 Tonsil T1-T1 tenang
 Faring tidak hiperemis
 Lidah tidak deviasi

7. Leher
 Jugular Vein Pressure (JVP) 5 +2
 Trakea tidak deviasi
 Tidak terdapat adanya pembesaran kelenjar getah bening
 Tidak terdapat adanya pembesaran kelenjar tiroid

8. Thorax
a. Paru
 Inspeksi : Dada simetris normal kiri-kanan pada
gerakan statis dan dinamis. Retraksi
intercostal (-), Retraksi suprasternal (-),
retraksi epigastrial (-).
 Palpasi : Fremitus taktil dan vokal simetris normal
pada kedua lapang paru. Nyeri tekan (-)

3
 Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)

b. Jantung
 Inspeksi : Iktus cordis terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus cordis teraba pada 2 cm lateral
linea midklavikularis sinistra ICS 6, kuat
angkat, tidak ada vibrasi.
 Perkusi :
o Batas jantung kanan : Linea sternalis sinistra ICS 5.
o Batas jantung kiri: Pada 2 cm lateral dari linea
midclavicularis sinistra ICS 6.
o Batas pingang jantung : Linea parasternalis sinistra
ICS 3
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur
sistolik (-), murmur distolik (-), gallop (-)

c. Abdomen
 Inspeksi : Abdomen datar, sikatrik (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
 Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), hepar
dan lien tidak teraba.
 Perkusi : Timpani pada lapang abdomen, shifting
dullnes (-)
d. Ekstremitas
Akral hangat, capillary refilll time (CRT) < 2 detik dan pucat
pada kedua telapak tangan.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

4
Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan :
a. Pemeriksaan Darah

Jenis Pemeriksaan Tanggal 25 Nilai Normal


November 2018
Hematologi
Hemoglobin 10 g/dl 12-16 g/dL
Leukosit 9.000 13.500-10.000/µL
LED 34 <20
Hematokrit 28 35-50
Trombosit 265.000 150-400 ribu/ µL
Kimia Darah
SGOT 21 32 U/L
SGPT 17 <31 U/L
Glukosa Sewaktu 130 <170 mg/dL
Ureum 43 15-45 mg/dL
Kreatinin 1,5 0,5-0,9 mg/dL
Elektrolit
Natrium 137 136-145 mEq
Kalium 5,1 3,3-5,1 mEq
Chlorida 107 98-106 mEq
HIV Negatif Negatif

Jenis Pemeriksaan Tanggal 26 Nilai Normal


November 2018
Kimia Klinik
Protein Total 4,9 6,4-8,3 g/dL
Albumin 2,6 3,5-5,2 g/dL
Globulin 2,3 2,5-3,9 g/dL

V. RESUME
Seorang laki-laki berusia 80 tahun datang dengan keluhan muntah
darah, BAB hitam, nyeri ulu hati dan lemas. Pasien riwayat meminum
meloxicam rata-rata 3 kali dalam 1 minggu selama 5 tahun ketika
sendi terasa nyeri, piroxicam rutin 3 kali dalam 1 hari selama 2 minggu
sebelum terjadi melena, menyangkal adanya riwayat mata kuning, kulit
kuning dan BAK seperti teh serta memiliki dyspepsia yang berulang.

5
Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis (+/+),
bising usus (+) meningkat, tidak terdapat nyeri tekan pada abdomen,
shifting dullness (-) dan pucat pada kedua telapak tangan.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 10 gr/dl, LED 34,
SGOT 21 U/L, SGPT 17 U/L, Ureum 43 mg/dL, Kreatinin 1,5 mg/dl,
Albumin 2,6 gr/dL dan Globulin 2,3 gr/dL serta LED 34 mm/jam.

VI. DIAGNOSIS KLINIS


Hematemesis melena e.c. Gastitris erosif
Anemia
Hipoalbuminemia

VII. DIAGNOSIS BANDING


Hematemesis melena e.c. Peptic ulcer

VIII. PERENCANAAN
1. Rencana Diagnostik
 Endoskopi
2. Rencana Terapi
 IVFD RL 500 ml / 24 jam
 NGT untuk bilas lambung
 Inj. Ranitidine 2x50g
 Sucralfat syrup 3 x 2 cth sebelum makan
 Inj. Asam Tranexamat 3x1amp
 Inj. Vit K
 Inj. Omeprazole 40mg

6
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hematemesis adalah muntah darah. Darah bisa dalam bentuk segar (bekuan/
gumpalan atau cairan berwarna merah cerah) atau berubah karena enzim dan
asam lambung menjadi kecoklatan seperti butiran kopi. Melena adalah
keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal dengan bau busuk dan
perdarahannya sejumlah 50-100 ml atau lebih. Hematemesis dan atau Melena
ini menunjukkan perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) yang merupakan
kehilangan darah dalam lumen saluran cerna mulai dari esofagus sampai dengan
duodenum di daerah ligamentum Treitz (Longo et al, 2012).

2.2 Epidemiologi

Kasus-kasus yang terjadi di Indonesia sekitar 70% penyebab SCBA adalah


ruptur varises esofagus. Namun, dengan perbaikan manajemen penyakit hepar
kronik dan peningkatan populasi lanjut usia, proporsi perdarahan ulkus
peptikum diperkirakan bertambah. Kejadian perdarahan SCBA menunjukkan

7
adanya variasi geografis yang besar mulai dari 48-160 kasus per 100.000
penduduk, dengan kejadian tertinggi pada laki-laki dan lanjut usia
(Simandibrata et al, 2012).

Berdasarkan studi retrospektif yang dilakukan pada 4.154 pasien yang


menjalani endoskopi selama tahun 2001-2005 di Pusat Endoskopi Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo Jakarta, sebanyak 807 (20,15%) orang mengalami
perdarahan SCBA. Studi ini juga menunjukkan penyebab tersering dari
perdarahan SCBA adalah pecahnya varises esofagus (280 kasus, 33,4%) diikuti
dengan perdarahan ulkus peptikum (225 kasus, 26,9%), dan gastritis erosif (219
kasis, 26,2%) (Simandibrata et al, 2012).
Menurut Djojoningrat (2011) faktor risiko perdarahan SCBA yaitu,
1. Usia
Perdarah SCBA sering terjadi pada orang dewasa dan risiko meningkat
pada usia > 60 tahun.
2. Jenis kelamin
Kasus perdarahan SCBA lebih sering dialami oleh laki-laki. Penelitian di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 51,4% yang mengalami
perdarahan SCBA berjenis kelamin laki-laki.
3. Penggunaan obat antiinflamasi non steroid (OAINS)
Jenis-jenis OAINS yang sering dikonsumsi adalah ibuprofen, diklofenak,
meloxicam, naproxen, indomethacin, ketoprofen, piroxicam dan ketorolac.
4. Penggunaan obat-obat antiplatelet
Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg per hari) dapat menyebabkan
faktor perdarahan naik menjadi dua kali lipat. Aspirin dapat menyebabkan
ulkus lambung, ulkus duodenum, komplikasi perdarahan dan perforasi pada
lambung. Obat antiplatelet seperti clopidogrel berisiko tinggi apabila
dikonsumsi oleh pasien dengan komplikasi saluran cerna.
5. Merokok
Dari hasil penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko terjadinya
ulkus duodenum, ulkus gaster maupun keduanya. Merokok menghambat

8
proses penyembuha ulkus, memicu kekambuhan dan meningkatkan risiko
komplikasi.
6. Alkohol
Mengonsumsi alcohol konsentrasi tinggi dapat merusak pertahanan mukosa
lambung terhadap ion hidrogen dan menyebabkan lesi akut mukosa gaster
yang ditandai dengan perdarahan pada mukosa.
7. Riwayat Gastritis
Riwayat gastritis memiliki dampak besar terhadap terjadinya ulkus. Pada
kelompok ini diprediksi risiko terjadi bukan karena sekresi asam tetapi oleh
adanya gangguan dalam mekanisme pertahan mukosa dan proses
penyembuhan.
8. Diabetes Melitus (DM)
Beberapa penelitian menyatakan bahwa DM merupakan penyakit komorbid
yang sering ditemui dan menjadi faktor risiko untuk terjadinya perdarahan.
Namun, belum ada penelitian yang menjelaskan mekanisme pasti yang
terjadi pada perdarahan SCBA yang disebabkan oleh DM.
9. Infeksi bakteri Helicobacter pylori
H. pylori merupakan bakteri gram negative berbentuk spiral yang hidup
dibagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung. Beberapa
penelitian di Amerika Serikat menunjukkan tingkat infeksi H. pylori <75%
pada pasien ulkus duodenum. Hasil penelitian di New York 61% dari ulkus
duodenum dan 63% dari ulkus gaster disebabka oleh infeksi H. pylori.
10. Chronic kidney disease (CKD)
Patogenesis perdarahan saluran cerna pada CKD masih beum jelas, diduga
faktor yang berperan antara lain efek uremia terhadap mukosa saluran
cerna, disfungsi trombosit akibat uremia, hipergastrinemia, penggunaan
antiplatelet dan antikoagulan, serta heparinisasi pada saat dialisis.
11. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan disfungsi endotel sehingga mudah terkena jejas.

12. Chronic heart failure (CHF)

9
Penelitian yang ada mengatakan bahwa CHF dapat meningkatkan faktor
risiko perdarahan SCBA sebanyak 2 kali lipat.

2.3 Etiologi

Ulkus peptikum merupakan penyebab paling umum dari perdarahan saluran


cerna bagian atas yaitu sekitar 50%. Penyebab lainnya yaitu gastropati (OAINS,
alkohol, stres, dll), robekan mallory-weis, esofagitis, varises esofagus,
neoplasma, dll.

Tabel 2.3.1. Penyebab Saluran Cerna Bagian Atas


(Sumber: Longo et al. 2012)

a. Ulkus Peptikum
Perdarahan merupakan penyulit ulkus peptikum yang paling sering
terjadi, sedikitnya ditemukan pada 15-25% kasus selama perjalanan
penyakit. Walaupun ulkus disetiap tempat dapat mengalami perdarahan,
namun tempat perdarahan tersering adalah dinding posterior bulbus
duodenum, karena ditempat ini dapat terjadi erosi arteri
pankreatikoduodenalis atau arteria gastroduodenalis. Tiga faktor utama
dalam patogenesis ulkus adalah H. pylori, OAINS, dan pH asam
(Bunnet, et al. 2015).

1
b. Varises Esofagus
Esophagus bagian bawah merupakan saluran kolateral penting yang
timbul akibat sirosis dan hipertensi portal. Vena esophagus daerah leher
mengalirkan darah ke vena azigos dan hemiazigos, dan dibawah
diagfragma vena esophagus masuk kedalam vena gastrika sinistra.
Hubungan antara vena porta dan vena sistemik memungkinkan pintas
dari hati pada kasus hipertensi portal. Aliran kolateral melalui vena
esofagus menyebabkan terbentuk varises esophagus (vena varikosa
esophagus). Vena yang melebar ini dapat pecah, menyebabkan
perdarahan yang bersifat fatal (Tripathi, et al. 2015).

c. Gastritis Erosif
Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan
mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronik, difus, atau local.
Banyak sekali etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya gastritis,
antara lain endotoksin bakteri, kafein, alcohol, aspirin, OAINS, dan
stress lebih sering dianggap sebagai penyebab gastritis akut (Bunnet, et
al. 2015).

d. Esofagitis
Esofagitis merupakan peradangan pada lapisan esofagus atau
kerongkongan yang berisiko menimbulkan kerusakan jaringan-jaringan
esofagus. Esofagitis yang dapat menyebabkan perdarahan ialah
esofagitis refluks kronis. Esofagitis refluks kronis merupakan bentuk
esofagitis yang paling sering ditemukan secara klinis. Gangguan ini
disebabkan oleh sfingter esophagus bagian bawah yang bekerja dengan
kurang baik dan refluks asam lambung atau getah alkali usus ke dalam
esophagus yang berlangsung dalam waktu yang lama. Sekuele yang
terjadi akibat refluks adalah peradangan, perdarahan, dan pembentukan

1
jaringan parut dan striktur (Bunnet, et al. 2015).

e. Sindroma mallory-weis
Hematemesis atau melena yang secara khas mengikuti yaitu
muntah-muntah berat yang berlangsung beberapa jam atau hari, dapat
ditemukan satu atau beberapa laserasi mukosa lambung mirip celah yang
biasanya berada di sisi lambung pada gastroesofageal junction (Bunnet,
et al. 2015).

Penyebab lain yang jarang terjadi adalah duodenitis erosif,


neoplasma, aortoenteric fistulas, gastric antral vascular ectasia
(watermelon stomach), dieulafoy's lesion, prolapse gastropathy,
hemobilia atau hemosuccus pancreaticus (perdarahan dari ductus biliaris
atau ductus pancreaticus) (Bunnet, et al. 2015).
Faktor risiko penggunaan OAINS pada gastritis erosif dan peptic
ulcer sangat dipengaruhi oleh usia >65 tahun, riwayat penyakit peptic
ulcer, penyakit jantung, pemakaian jangka panjang OAINS dan dosis
yang tinggi (Drini, 2017).

2.4 Patofisiologi

Lumen gaster memiliki pH yang asam. Kondisi ini berkontribusi dalam


proses pencernaan tetapi juga berpotensi merusak mukosa gaster. Beberapa
mekanisme telah terlibat untuk melindungi mukosa gaster. Musin yang
disekresi sel-sel foveola gastrica membentuk suatu lapisan tipis yang mencegah
partikel makanan besar menempel secara langsung pada lapisan epitel. Lapisan
mukosa juga mendasari pembentukan lapisan musin stabil pada permukaan
epitel yang melindungi mukosa dari paparan langsung asam lambung, selain itu
memiliki pH netral sebagai hasil sekresi ion bikarbonat sel-sel epitel
permukaan. Suplai vaskular ke mukosa gaster selain mengantarkan oksigen,
bikarbonat, dan nutrisi juga berfungsi untuk melunturkan asam yang berdifusi
ke lamina propia. Gastritis akut atau kronik dapat terjadi dengan adanya

1
dekstruksi mekanisme-mekanisme protektif tersebut (Turner, J. R. 2010).

Gambar 2.4.1. Mekanisme Pembentukan Luka pada Gaster


(Sumber: Turner, J. R. 2010)

Agen korosif (asam dan pepsin) yang dikeluarkan oleh lambung


berperan utama dalam tukak lambung, tukak duodenum dan gastritis erosif akut.

1
Setiap penyakit ini memiliki patogenesis tersendiri tetapi tumpang tindih
dengan tema umum sekresi berlebih asam atau penurunan pertahanan mukosa.
H. pylori dapat menyebabkan penyakit asam-peptik melalui beragam
mekanisme termasuk mengubah transduksi sinyal dan menurunkan pertahanan
mukosa. H. pylori merupakan patogen yang sangat umum dan angka infeksinya
lebih tinggi di negara miskin dengan sanitasi yang kurang baik. Rute
penyebaran dari orang ke orang kemungkinan besar adalah melalui fecal-oral.

Ulkus peptikum (tukak lambung) dibedakan dari gastritis erosif oleh


kedalaman lesi, dengan ulkus peptikum yang sudah menembus mukosa. Ulkus
yang dikelilingi oleh mukosa yang meradang mengisyaratkan bahwa
sebelumnya telah terjadi gastritis terlebih dahulu (Turner, J. R. 2010).
Prostaglandin diketahui dapat meningkatkan aliran darah mukosa serta
sekresi bikarbonat dan mukus serta merangsang perbaikan dan pembaharuan sel
mukosa. Karena itu, defisiensi prostaglandin akibat pemberian obat anti
inflamasi non-steroid (OAINS) atau gangguan lain dapat mempermudah
timbulnya gastritis erosif dan ulkus peptikum (Bunnet, N. W 2015).

Pada orang yang sudah lanjut usia pembentukan musin berkurang


sehingga rentan terkena gastritis dan perdarahan saluran cerna. OAINS dan obat
antiplatelet dapat mempengaruhi proteksi sel (sitoproteksi) yang umumnya
dibentuk oleh prostaglandin atau mengurangi sekresi bikarbonat yang
menyebabkan meningkatnya perlukaan mukosa gaster. Infeksi Helicobacter
pylori yang predominan di antrum akan meningkatkan sekresi asam lambung
dengan konsekuensi terjadinya tukak duodenum. Inflamasi pada antrum akan
menstimulasi sekresi gastrin yang merangsang sel parietal untuk meningkatkan
sekresi lambung (Turner, J. R. 2010).

Perlukaan sel secara langsung juga dapat disebabkan konsumsi alkohol


yang berlebih. Alkohol merangsang sekresi asam sehingga menyebabkan
perlukaan mukosa saluran cerna. Penggunaan zat-zat penghambat mitosis pada

1
terapi radiasi dan kemoterapi menyebabkan kerusakan mukosa menyeluruh
karena hilangnya kemampuan regenerasi sel. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit komorbid pada
perdarahan SCBA dan menjadi faktor risiko perdarahan SCBA. Pada pasien
DM terjadi perubahan mikrovaskuler salah satunya adalah penurunan
prostasiklin yang berfungsi mempertahankan mukosa lambung sehingga mudah
terjadi perdarahan. Gastritis kronik dapat berlanjut menjadi ulkus peptikum.
Merokok merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya ulkus peptikum.
Merokok memicu kekambuhan, menghambat proses penyembuhan dan respon
terapi sehingga memperparah komplikasi ulkus kearah perforasi (Turner, J.R.
2010).

2.5 Diagnosis

Menurt Adi P. (2014) langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran
cerna adalah menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada
status hemodinamik. Pemeriksaannya meliputi:
a. Tekanan darah dan nadi
b. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
c. Ada tidaknya vasokontriksi perifer (akral dingin)
d. Kelayakan nafas
e. Tingkat kesadaran
f. Produksi urin (0,5-1 cc/kgBB per jam)

Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskular


akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil dengan tanda-tanda
sebagai berikut:
a. Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP < 70 mmHg) dengan
frekuensi nadi > 100 menit
b. Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik
turun > 20 mmHg
c. Frekuensi nadi ortostatik meningkat > 15 / menit
d. Akral dingin

1
e. Kesadaran menurun
f. Anuria atau oliguri (produksi urin < 30 ml/jam)

Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai kondisi


hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan:
a. Hematemesis
b. Hematokezia
c. Darah segar pada aspirasi pipa nasogastrik
d. Hipotensi persisten
e. Dalam 24 jam menghabiskan transfusi darah melebihi
800-1000 ml

ANAMNESIS

Pada anamnesis menurut Adi, P. (2014) yang perlu ditekankan adalah:


 Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar
 Riwayat perdarahan sebelumnya
 Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain
 Penggunaan obat-obatan terutama anti infamasi non-steroid dan anti
koagulan
 Kebiasaan minum alkohol
 Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, dispepsia, demam
berdarah, demam tifoid, CKD, DM, hipertensi dan alergi obat-obatan
 Riwayat konsumsi obat-obatan terutama OAINS dan obat asam urat
 Riwayat mengkonsumsi jamu-jamuan
 Riwayat transfusi sebelumnya

PEMERIKSAAN FISIK

Dalam pemeriksaan fisik, menurut Djojoningrat, D. (2011) yang pertama


harus dilakukan adalah penilaian ABC, pasien-pasien dengan hematemesis yang
masif dapat mengalami aspirasi atau sumbatan jalan nafas, hal ini sering ini

1
sering dijumpai pada pasien usia tua dan pasien yang mengalami penurunan
kesadaran.
 Tanda-tanda syok : takikardia, akral dingin dan lembab, takipnu,
oliguria, penurunan kesadaran, hipotensi ortostatik, JVP (Jugular Vein
Pressure) meningkat.
 Tanda-tanda penyakit hati kronis dan sirosis : hipertensi portal
(pecahnya varises esofagus, asites, splenomegali), ikterus, edema
tungkai dan sakral, spider nevi, eritema palmarum, ginekomasti,
venektasi dinding perut (caput medusa).
 Tanda-tanda anemia : pucat, koilonikia, telangiektasia
 Tanda-tanda keganasan : limfadenopati, organomegali (hepatomegali,
splenomegali), penurunan berat badan, anoreksia, rasa lemah.
 Pemeriksaan abdomen : untuk mengetahui adanya nyeri tekan, distensi,
atau massa. Adanya nyeri tekan epigastrik merupakan tanda ulkus
peptikum, dan adanya hepatosplenomegali meningkatkan kemungkinan
varises.
 Pemeriksaan rektal untuk massa, darah, melena, dan darah samar pada
feses. Warna feses ini mempunyai nilai prognostik

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut Adi, P. (2014) Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan:

a. EKG (terutama pada pasien berusia > 40 tahun)


b. BUN, kreatinin serum pada perdarahan SCBA pemecahan darah oleh
kuman usus akan mengakitbakan kenaikan BUN, sedangkan kreatinin
serum tetap normal atau sedikit meningkat
c. Elektrolit (Na, K, Cl); perubahan elektrolit bisa terjadi karena
perdarahan, transfusi, atau kumbah lambung

Perbedaan Perdarahan SCBA dan SCBB:

1
Perdarahan SCBA Perdarahan SCBB
Manifestasi klinik pada Hematemesis dan atau Hematokezia
umumnya melena
Aspirasi Berdarah Jernih
nasogastrik
Rasio > 35 < 35
(BUN/kreatinin)
Auskultasi usus Hiperaktif Normal
Tabel 2.5.1. Perbedaan Perdarahan SCBA dengan SCBB
(Sumber: Adi, P. 2014)

Endoskopi

Pemeriksaan endoskopi merupakan gold standard. Tindakan endoskopi


selain untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi. Prosedur ini tidak perlu
dilakukan segera (bukan prosedur emergensi), dapat dilakukan dalam kurun
waktu 12 - 24 jam setelah pasien masuk dan keadaan hemodinamik stabil.
Tidak ada keuntungan yang nyata bila endoskopi dilakukan dalam keadaan
darurat. Dengan pemeriksaan endoskopi ini lebih dari 95% pasien-pasien
dengan hemetemesis, melena atau hematemesis –melena dapat ditentukan lokasi
perdarahan dan penyebab perdarahannya. Kadar Hb minimal untuk dilakukan
endoskopi adalah 8 mg/dL dengan keadaan hemodinamik stabil (Turner, J.R.
2010)
Lokasi dan sumber perdarahan
 Esofagus :Varises, erosi, ulkus, tumor
 Gaster : Erosi, ulkus, tumor, polip, angiodisplasia, dilafeuy, varises,
gastropati kongestif
 Duodenum :Ulkus, erosi, tumor, divertikulitis

1
A.

B.

C.
Gambar 2.6.1. A. Esofagitis Erosif. B. Gastritis Erosif. C. Ulkus Peptikum
(Sumber: Turner, J. R. 2010)

Tujuan pemeriksaan endoskopi selain untuk menemukan penyebab serta asal


perdarahan , juga untuk menentukan aktivitas perdarahan. Forest membuat
klasifikasi perdarahan ulkus peptikum atas dasar temuan endoskopi yang
bermanfaat untuk menentukan tindakan selanjutnya.

1
Aktivitas perdarahan Kriteria endoskopis
Forest I a - perdarahan aktif Perdarahan arteri menyembur
Forest I b – perdarahan aktif Perdarahan merembes
Forest II - perdarahan berhenti dan Gumpalan darah pada dasar ulkus atau
masih terdapat sisa-sisa perdarahan terlihat pembuluh darah
Forest III – perdarahan berhenti tanpa
Lesi tanpa ada sisa perdarahan
sisa perdarahan

Tabel 2.6.2. Kriteria Forest


(Sumber: Adi, P. 2014)

Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari Nasogastric Tube
(NGT). Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan tidak aktif,
aspirat berwarna merah marun menandakan perdarahan masif sangat mungkin
perdarahan arteri seperti halnya warna feses maka warna aspirat pun dapat
memprediksi mortalitas pasien. Walaupun demikian pada sekitar 30% pasien
dengan perdarahan tukak duodeni ditemukan adanya aspirat yang jernih pada
NGT (Kim, J. et al. 2012)
2.6 Penatalaksanaan

2
Gambar 2.7.1. Algoritma Tatalaksana Perdarahan SCBA
(Sumber: Adi, P. 2014)

A. STABILISASI HEMODINAMIK
Resusitasi yang dilakukan adalah pemberian cairan intravena dan
suplementasi oksigen, koreksi koagulopati berat dan transfusi darah
pada saat dibutuhkan. Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan
infus cairan kristaloid dan pasang monitor CVP (central venous
pressure). Tujuannya untuk memulihkan tanda-tanda vital dan
mempertahankan tetap stabil. Penderita dengan perdarahan 500 – 1000
cc perlu diberi infus Dextrose 5%, Ringer laktat atau Nacl 0,9% (Adi, P.
2014)

Pemberian transfusi darah menurut Adi, P. (2014) pada perdarahan


saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan berikut ini:
a. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil
b. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan
jumlahnya 1 liter atau lebih.
c. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan Hb < 10 & atau
hematokrit < 30%.
d. Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang
menurun.

Pertimbangkan Intensive Care Unit (ICU) apabila:


 Pasien dalam keadaan syok
 Pasien dengan penyakit komorbid serius, yang membutuhkan
transfusi darah multipel atau dengan akut abdomen
(Adi, P. 2014)

2
B. TERAPI NON-ENDOSKOPIS
 Pemasangan NGT (Nasogastric Tube)

Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama


dilakukan adalah kumbang lambung melalui pipa nasogastrik. Kumbah
lambung ini sangat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan endoskopi
dan dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah perdarahan.

Pemasangan pipa nasogastrik ini dilakukan pada perdarahan yang


diduga masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik.
NGT bertujuan untuk mencegah distensi lambung, aspirasi, dekompresi
dan menilai perdarahan (Alwi, I. 2017)
Pada semua kasus perdarahan saluran cerna disarankan untuk
pemasangan pipa nasogastrik, kecuali pada perdarahan kronik dengan
hemodinamik stabil atau yang sudah jelas perdarahan SCBB. Sekiranya
sejak awal tidak ditemukan darah pada cairan aspirasi, dianjurkan pipa
nasogastrik tetap terpasang sampai 12 atau 24 jam. Bila dalam kurun
waktu tersebut hanya ditemukan cairan empedu dapat dianggap bukan
perdarahan SCBA (Alwi, I. 2017).

Untuk Pasien Non-Varises:

 Pemberian Vitamin K dan Anti-fibrinolitik


Vitamin K dapat dipertimbangkan karena berguna untuk
meningkatkan biosintesis beberapa faktor pembekuan darah yaitu
protombin, faktor VII, faktor IX dan faktor X yang berlangsung di
hati. Namun pemberian vitamin K pada penyakit hepatoselular
seperti sirosis hati, dapat terjadi hipoprotombinemia karena sel hati
tidak dapat membentuk faktor-faktor pembekuan darah sehingga
pemberian vitamin K biasanya tidak akan memberikan hasil yang

2
baik (Alwi, I. 2017).
Asam traneksamat merupakan obat golongan antifibrinolitik yang
bekerja mengurangi perdarahan dengan cara menghambat aktivitas
plasminogen menjadi plasmin pada pembekuan darah. Karena
plasmin berfungsi mendegradasi fibrin, maka asam traneksamat
bekerja menghambat degradasi fibrin, yang berujung pada
meningkatnya aktivitas pembekuan darah. Dosis asam traneksamat
yang digunakan adalahh 0,5-1 gram 3 kali sehari (Alwi, I. 2017).

 Obat anti sekresi asam


Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan
bermanfaat untuk mencegah perdarahan ulang SCBA karena ulkus
peptikum adalah proton pump inhibitor dosis tinggi. Pemberian
diawali dengan bolus omeprazol 80 mg/iv dilanjutkan per infus 8
mg/kgBB/jam selama 72 jam.

Pada perdarahan SCBA, antasida, sitoprotektor (sukralfat), dan


antagonis reseptor H2 dapat diberikan untuk penyembuhan lesi
mukosa penyebab perdarahan.
Obat golongan antagonis reseptor H2 (simetidin, ranitidin,
famotidin, nizatidin) menghmabat secara kompetitif ikatan
histamin dengan reseptor H2 sehingga mengurangi konsentrasi
cAMP intraseluler dan mengurangi sekresi asam lambung.
Obat golongan proton pump inhibitor bekerja dengan mengikat
sistem enzim H+K+ ATP-ase dari sel parietal dan menghambat
masuknya atau menekan ion hidrogen ke dalam lumen lambung.
Sedangkan sukralfat bekerja dengan cara berikatan dengan
glikoprotein pada mukosa lambung dan membentuk barier yang
menghalangi difusi HCl serta mencegah degradasi oleh pepsin.
(Alwi, I. 2017)

2
Untuk Pasien Varises:

 Somatostatin dan analognya (ocreotide)


Somatostatin dan analognya (ocreotide) diketahui dapat
menurunkan aliran darah splanknik. Dapat digunakan untuk
perdarahan varises esofagus dan perdarahan nonvarises. Octreotide
dapat menghambat sekresi asam dan pepsin sekaligus mengurangi
aliran darah mukosa gastroduodenal. Pemberian diawali dengan
bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per infus 250 mcg/jam selama 12-24
jam atau sampai perdarahan berhenti, sedangkan untuk octreotide
0,1 mg/2 jam sampai peradarahan berhenti atau bila mampu
diteruskan 3 hari setelah skleroterapi atau ligasi varises esofagus
(Alwi, I. 2017).

 Vasopressin
Menghentikan perdarahan saluran cerna bagian atas lewat efek
vasokostriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran dan
tekanan vena porta menurun. Dapat digunakan pada pasien
perdarahan akut varises esofagus. Terdapat dua bentuk sediaan
yaitu, pitresin (vasopressin murni) dan preparat pituitary gland
(vasopressin dan oxcytocin). Pemberian vasopressin dengan
mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose
5%, diberikan 0.5-1 mg/menit/iv selama 20-60 menit dan dapat
diulang tiap 3-6 jam, atau setelah pemberian pertama dilanjutkan
per infus 0.1-0.5 U/menit. Vasopressin dapat memberikan efek
samping berupa insufisiensi koroner mendadak, maka disarankan
bersamaan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin IV dengan dosis
awal 40 mcg/menit kemduaian secara titrasi dinaikkan sampai
maksimal 400 mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan
sistolik diatas 90 mmHg. Hal ini dilakukan untuk mencegah
insufisiensi aorta mendadak (Alwi, I. 2017).

2
C. TERAPI ENDOSKOPIS
Tujuan terapi endoskopik adalah untuk menghentikan
perdarahan aktif dan mencegah perdarahan ulang. Beberapa teknik,
termasuk injeksi, ablasi dan mekanik telah dikembangkan. Pemilihan
tindakan dapat disesuaikan dengan penampakan fokus perdarahan dan
risiko terkait untuk kejadian perdarahan persisten dan rekuren. Terapi
ini ditujukan untuk perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak
dengan pembuluh darah yang tampak (Adi, P. 2014)
Terapi endoskopis yang relatif mudah dan tanpa banyak
peralatan pendukung ialah penyuntikan submukosa sekitar titik
perdarahan menggunakan adrenalin 1:10000 sebanyak 0.5-1 ml tiap
kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut (98%) tidak
melebihi 1 ml. Keberhasilan terapi endoskopis mencapai di atas 95%
dan tanpa terapi tambahan, perdarahan ulang frekuensinya sekitar 15-
20% (Simandibrata, 2012)
Pilihan pertama untuk mengatasi varises esofagus adalah ligasi
varises. Terapi pilihan adalah hemostasis endoskopi. Ligasi varises
mengurangi efek samping dari pemakaian sklerosan, serta lebih
menurunkan frekuensi terjadinya ulserasi dan striktur. Bila ligasi sulit
dilakukan, skeloterapi dapat digunakan sebagai terapi alternatif.
Pasien dengan ulkus dengan dasar bersih diberikan diet lunak dan
dipulangkan setelah endoskopi dengan syarat hemodinamik stabil, Hb
cukup stabil dan tidak ada masalah kesehatan lain (Kim, J. 2012; Adi,
P. 2014)

D. TERAPI RADIOLOGI
Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap
berlangsung dan belum bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi
endoskopi dinilai gagal dan pembedahan sangat berisiko. Tindakan
hemostasis yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin atau

2
embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontraindikasi dan fasilitas
dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS
(Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt) untuk mengalihkan
aliran darah di vena porta apabila pengikatan varises tidak bisa
mengatasi perdarahan (Kim, J. 2012)

E. TERAPI PEMBEDAHAN
Pembedahan dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi
dan radiologi dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak
awal dalam bentuk tim multidisipliner pada pengelolaan kasus
perdarahan SCBA untuk menentukan waktu yang tepat kapan tindakan
bedah sebaiknya dilakukan (Adi, P. 2014)

2.1. KOMPLIKASI
Komplikasi yang bisa terjadi pada perdarahan saluran cerna
adalah timbulnya anemia, pneumoni aspirasi, koma hepatikum, syok
hipovolemik yang dapat diikuti dengan gagal ginjal akut. Bila
berlangsung terus-menerus, hal tersebut dapat menyebabkan kegagalan
multi organ dan kematian (Adi, P. 2014)

2.2. PROGNOSIS
Skala prognostik dapat ditentukan berdasarkan gejala klinis,
hasil laboratorium dan hasil endoskopi untuk membedakan pasien
dengan risiko rendah dengan pasien yang memiliki risiko perdarahan
berulang. Banyak faktor yang mempengaruhi prognosis penderita
seperti faktor umur, kadar Hb, tekanan darah selama perawatan, dan
lain-lain. Faktor risiko terjadinya perdarahan berulang pada perdarahan
saluran cerna bagian atas non-variceal: (Wilkins, T. 2012)

2
ENDOSKOPIS KLINIS
 Perdarahan aktif  Usia > 65 tahun
 Ukuran ulkus > 2 cm  Status kesehatan yang buruk
 Lokasi ulkus terdapat di  Memiliki penyakit peyerta
dinding duodenum posterior  Konsentrasi Hb awal yang rendah
atau kurvatura bagian posterior  Membutuhkan transfusi
 Terdapat darah segar pada pemeriksaan d
pada muntahan atau aspirasi nasogastrik
 Syok / Sepsis
 Peningkatan konsentrasi urea, kreatinin
serum aminotransferasi

27
BAB III PEMBAHASAN
KASUS

3.1 Apa diagnosis pada pasien ini ?


Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
Menurut Longo (2012) 4 besar penyebab terjadinya perdarahan saluran
pencernaan atas yaitu peptic ulcer, varises esofagus, mallory-weiss
syndrome dan gastritis erosif. Pada pasien ini didapatkan muntah darah yang
tidak masif, memiliki riwayat nyeri ulu hati berulang, penggunaan OAINS
selama 2 minggu rutin dan sebelumnya rata – rata meminum OAINS 1
minggu 3 kali selama 5 tahun, sering mengeluhkan nyeri ulu hati yang
berulang dan usia yang sudah lebih dari 65 tahun. Jadi, saya dapat
menyimpulkan penyebab perdarahan pada pasien ini yaitu gastritis erosif
dan diagnosis banding peptic ulcer karena penggunaan OAINS jangka
panjang sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Drini (2017).
Pada pasien ditemukan juga tidak adanya riwayat mata kuning, kulit
kuning dan BAK seperti teh yang menguatkan diagnosis dengan
menyingkirkan adanya sirosis hepar pada pasien.
Pada pemeriksaan fisik yang dapat menunjang diagnosis pasien ini yaitu
adanya bising usus yang meningkat.
Pemeriksaan penunjang untuk menentukan penyebab perdarahan antara
gastritis erosif dan peptic ulcer yaitu dengan pemeriksaan endosokopi.

3.2 Bagaimana penanganan pada pasien ini ?


Pasien diberikan:
 Infus RL 500cc untuk menanggulangi kekurangan cairan dari pasien.
 Pemasangan NGT untuk mengurangi atau mencegah distensi
lambung, aspirasi, dekompresi dan menilai perdarahan.
 Inj. Ranitidine untuk penyembuhan lesi mukosa akibat perdarahan.
 Sucralfat diberikan untuk membentuk barier yang menghalangi difusi
HCL.
 Inj. Omeprazole untuk menghambat masuknya atau menekan ion
hidrogen ke dalam lumen lambung.
 Inj. As. Tranexamat dan Vit.K untuk menghentikan perdarahan.

2
DAFTAR PUSTAKA

Adi, P. 2014. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Dalam


Sudoyo, A. W. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing; 1873-1880

Albeldawi, M., Qadeer, M. A., et al. 2010. Managing acute upper GI


bleeding, preventing bleeding: current policies and future perspectives.
Cleveland: Cleveland Clinical Journal Medicine; 77: 131-142

Alwi, I., Salim, S. 2017. Panduan Praktis Klinis: Penatalaksanaan di


Bidang
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 176-181

Bunnet, N. W., et al. 2015. Penyakit Gastrointestinal. Dalam Ganong, W.F.


Patofisiologi Penyakit Edisi 5. Jakarta: EGC; 397-401
Djojoningrat, D. 2011. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
(Hematemesis Melena). Dalam: Rani, A. A. Buku Ajar Gastroenterologi
Edisi
1. jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 33-44
Drini, M., 2017. Peptic ulcer disease and non-steroidal anti-inflammatory
drugs. Australian Prescriber; 40(3): 91-93

El-Tawil, A. M., 2012. Trends on Gastrointestinal Bleeding and Mortality:


Where are we standing?. Birmingham: World Journal of Gastroenterology;
18: 1154-1158
Kim, J., et al. 2012. Management and Prevention of Upper GI bleeding. USA:
PSAP-Gastroenterology and Nutrition; 7-26

Longo, D. L., et al. 2012. Chapter 47 Gastrointestinal Bleeding on


Harrison’s Manual of Medicine 18th Edition. New York: McGraw Hill;
261-264

Simandibrata, M., et al. 2012. Konsensus Nasional Penatalaksanaan


Perdarahan Saluran Cerna Atas Non Varises di Indonesia. Jakarta:
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia

Siregar, L., Aziz, A., et al. 2011. Clinical profile and outcome of non-
variceal upper gastrointestinal bleeding in relation to timing of endoscopic
procedure in patient undergoing elective endoscopy. Jakarta: Divisi
Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas
Indonesia;12-3: 140- 145

Soll, A.H., et al. 2009. Peptic Ulcer Disease in Yamada’s Textbook


of
Gastroenterology. 5th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 936-946
2
Tripathi, D., et al. 2015. UK guidelines on the management of the
variceal haemorrhage in cirrhotic patients. UK: BMJ Publishing Group; 1-
25
Turner, J. R., 2010. The Gastrointestinal Tract dalam Robbins and Cotran
Pathologis Basis of Disease. 8th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders Inc;
763-770

Wilkins, T., Khan, N., et al. 2012. Diagnosis and Management of Upper
Gastrointestinal Bleeding. Georgia: Georgia Health Sciences University; 85-
5: 469-476

Anda mungkin juga menyukai