Anda di halaman 1dari 25

IDENTITAS

• Nama : Ny. W

• TTL : Surabaya, 18-11-1957

• Umur : 58 tahun

• Alamat : Warakas,Tanjung priuk

• Masuk RS : 17 November 2015

• No. Kamar : 628

• No. RM :920791

• Dokter : dr.Kuspudji, Sp.PD

ANAMNESIS

• Keluhan utama :

sesak

• Keluhan Tambahan :

Perut membuncit / bengkak, elastisitas kulit berkurang

• Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien Ny.W datang ke UGD Rumah Sakit ISLAM Jakarta (RSIJ Cempaka
putih) pada tanggal 17 november 2015. Pasien mengeluhkan sesak.sesak dirasakan
sejak 3 bulan SMRS. Sesak dirasakan semakin lama semakin memberat dan berkurang
saat posisi pasien miring.Keluhan sesak dirasakan memberat bersamaan dengan perut
yang membuncit. Pasien mengaku semenjak perut membuncit berat badan pasien
meningkat walaupun nafsu makan dan intensitas makan pasien menurun.
Pasien mengatakan kesulitan beraktifitas akibat perut yang membuncit dan
hanya berbaring atau posisi miring di tempat tidur. Kulit pasien semakin hari semakin
kehilangan elastisitasnya, hal ini memperberat pasien melakukan aktifitas.
Pasien mengaku BAK normal tidak ada darah, tidak ada nyeri. BAB normal,
tida ada darah dan tidak ada lendir. Nafsu makan pasien menurun dan badannya juga
terasa lemas. Pasien menyangkal adanya nyeri menelan, batuk dan pilek.
Pasien juga tampak gelisah. Pasien tidak sakit kepala, tidak demam, tidak ada nyeri
sendi atau otot, tidak ada tanda-tanda perdarahan. Pasien mengatakan tidak dapat tidur
dengan nyenyak.
 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien Ny.W sebelumnya pernah dirawat beberapa kali di rumah sakit dengan
keluhan seperti ini. Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit hipertensi yang tidak
terkontrol, karena tidak minum obat dengan teratur. Pasien mengaku tidak memiliki riwayat
penyakit diabetes militus. Pasien juga mengaku memiliki riwayat penyakit ginjal sejak 3
bulan yang lalu.pasien menyangkal adanya riwayat penyakit jantung, riwayat penyakit
asma. Pasien mengaku tidak memiliki alergi obat apapun.
 Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti pasien. Ayah pasien memiliki
riwayat hipertensi disertai diabetes mellitus. Riwayat penyakit jantung, asma,
tuberkulosis, alergi, dan keganasan disangkal.

 Riwayat Alergi
- Tidak ada alergi makanan
- Tidak ada alergi obat-obatan
- Tidak ada alergi debu
- Tidak ada alergi cuaca dingin
 Riwayat Pengobatan
Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan jangka panjang. 3 bln lalu
dirawat di rumah sakit dan sering melakukan cuci darah.
 Riwayat Psikososial

Riwayat merokok dan riwayat mengkonsumsi alkohol disangkal oleh pasien.


Pasien jarang olahraga. Nafsu makan pasien menurun hanya maw makan beberapa
suap karena pasien merasa mual.
PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Pasien tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis

Status Gizi :

BB : 46 kg

TB : 155 cm

Kesimpulan : IMT 19,16 (Normal)

TANDA-TANDA VITAL

Tekanan Darah : 130/80 mmHg

Nadi : 86 x/menit

RR : 18 x/menit

Suhu : 36,6 ºC

STATUS GENERALIS

Kepala : Normocephal, tidak ada depormitas pada kepala.

Mata :

 Pupil : Isokhor
 Refleks cahaya : +/+
 Konjungtiva : Anemis +/+
 Sklera : Ikterik -/-

Hidung :

 Septum deviasi :-
 Sekret : -/-
 Hiperemis : -/-

Telinga :

 Bentuk telinga normal kanan dan kiri


 Mukosa : tidak hiperemis kanan dan kiri
 Serumen : -/-
 Sekret : -/-

Mulut :

 Mukosa bibir kering


 Tidak ada karies pada gigi
 Faring tidak hiperemis

Leher :

 Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening


 Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid

Torax

Paru

Inspeksi :

 Normochest
 Bentuk dada simetris
 Tidak ada retraksi dinding dada

Palpasi :

 Tidak ada nyeri tekan


 Vokal fremitus +/+

Perkusi :
 Sonor diseluruh lapang paru

Auskultasi :

 Vesikular dikedua lapang paru


 Ronkhi -/-
 Wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak di ICS 5 mid clavicula sinistra

Palpasi : Iktus cordis teraba di linea midclavicularis sinistra ICS 5

Perkusi : Batas jantung kanan linea sternalis dekstra ICS 4,

batas jantung kiri dilinea midclavicularis sinistra ICS 5

Auskultasi : BJ 1 dan BJ 2 tunggal, murmur -, gallop –

Abdomen

Inspeksi : Perut tampak cembung, tidak ada skar, tidak ada spider nevi

Auskultasi : Bising usus 5x/menit

Palpasi : undulasi +

Nyeri epigastrium (+)

Perkusi : sulit dilakukan

Ekstremitas Atas : Ekstremitas hangat, RCT ≤ 2 detik, tidak ada edema, elastisitas kulit
berkurang kulit kering

Ekstremitas Bawah : Akral hangat, RCT ≤ 2 detik, tidak ada edema, elastisitas kulit
berkurang kulit kering
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium tanggal 17 November 2015 pukul 14.18 WIB

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Hemoglobin 8,0 g/dL 11,7- 15,5
Leukosit 5,18 10³/uL 3.6- 11,00
Hematokrit 23 % 35-47
Trombosit 163 10³/uL 150-440
Ertitrosit 3,00 10^/uL 3.80-5.20
MCV 75 fL 80-100
MCH 27 pg 26-34
MCHC 35 g/dL 32-36
Albumin 2,3 g/dL 4,0-5,2

RESUME

Pasien Ny.W datang ke UGD Rumah Sakit ISLAM Jakarta (RSIJ Cempaka
putih) pada tanggal 17 november 2015. Pasien mengeluhkan sesak.sesak dirasakan
sejak 3 bulan SMRS. Sesak dirasakan semakin lama semakin memberat dan berkurang
saat posisi pasien miring.Keluhan sesak dirasakan memberat bersamaan dengan perut
yang membuncit. Pasien mengaku semenjak perut membuncit berat badan pasien
meningkat walaupun nafsu makan dan intensitas makan pasien menurun.Kulit pasien
semakin hari semakin kehilangan elastisitasnya, hal ini memperberat pasien melakukan
aktifitas.

Pada pemeriksaan Lab :

Hemoglobin 8,0

Hematokrit 23

Albumin 2,3
DAFTAR MASALAH

1. Anemia
2. Hipoalbumin ec Gagal Ginjal
3. Sesak

ASSESMENT

1. Anemia
S : Badan terasa lemas
O : konjungtiva anemis +/+ dan Hb: 8 g/dl
A : Anemia
P : rencana transfusi
2. Hipoalbumin
S : perut semakin lama semakin membuncit
O : kadar albumin 2,3
A : Hipoalbumin ec gagal ginjal
P : injeksi albumin

3. Sesak
S : sesak semakin lama semakin membuncit seiring dengan membengkaknya tubuh
O :RR :28x/menit
A : dipsneu
P : pemberian oksigen
Rencana pemberian albumin mengurangi sesak akibat asites
FOLLOW UP

Tanggal S O A P

17/11/2015 pasien merasa TD: 120/70 mmHg - Hipokalemia - -IVFD Kidmin :

sesak,dan N : 82x/menit - Aritmia Asering (2:1)

merasa tidak RR: 18x/menit - Infeksi 12 tpm

nyaman dengan Suhu: 36,6ºC Saluran - -Inj. Lasix 2x1

perut Paru : Kemih amp IV

membuncit wheezing -/- - Transfusi darah

nyeri dada -, ronkhi -/- - Memasang

batuk - Hb:8 kateter

Albumin:2,3

18/11/2015 Badan masih TD: 120/70 mmHg - CKD hemodialisa

terasa lemas, N : 80x/menit

keluhan sesak RR: 20x/menit

berkurang . Suhu: 36,5ºC

Paru :

wheezing -/-

ronkhi -/-
BAB II
Pendahuluan

Gagal ginjal kronik (GGK) mengambarkan suatu keadaan ginjal yang abnormal baik
secara struktural maupun fungsinya yang terjadi secara progresif dan menahun, umumnya
bersifat ireversibel. Sering kali berakhir dengan penyakit ginjal terminal yang menyebabkan
penderita harus menjalani dialisis atau bahkan transplantasi ginjal. Penyakit ini sering terjadi,
seringkali tanpa disadari dan bahkan dapat timbul bersamaan dengan berbagai kondisi
(penyakit kardiovaskular dan diabetes).

Di Indonesia, dari data yang didapatkan berdasarkan serum kreatinin yang abnormal,
diperkirakan pasien dengan GGK ialah sekitar 2000/juta penduduk.
GGK atau sering disebut juga penyakit ginjal kronik (Chronic kidney disease) memiliki
prevalensi yang sama baik pria maupun wanita dan sangat jarang ditemukan pada anak-anak,
kecuali dengan kelainan genetic, seperti misalnya pada Sindroma Alport ataupun penyakit
ginjal polikistik autosomal resesif.

Terdapat perubahan paradigma dalam pengelolaan GGK karena adanya data-data


epidemiologi yang menunjukan bahwa pasien dengan gangguan fungsi ginjal ringan sampai
sedang lebih banyak daripada mereka yang dengan stadium lanjut, sehingga upaya
penatalaksanaan lebih ditekankan kearah diagnosis dini dan upaya preventif. Selain itu
ditemukan juga bukti-bukti bahwa intervensi atau pengobatan pada stadium dini dapat
mengubah prognosa dari penyakit tersebut. Terlambatnya penanganan pada penyakit gagal
ginjal kronik berhubungan dengan adanya cadangan fungsi ginjal yang bisa mencapai 20%
diatas nilai normal, sehingga tidak akan menimbulkan gejala sampai terjadi penurunan fungsi
ginjal menjadi 30% dari nilai normal.
GGK sering berhubungan dengan anemia. Anemia pada GGK muncuk ketika klirens
kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh. Anemia akan menjadi lebih
berat lagi apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk lagi, tetapi apabila penyakit ginjal telah
mencapai stadium akhir, anemia akan secara relatif menetap. Anemia pada GGK terutama
diakibatkan oleh berkurangnya eritropoietin. Anemia merupakan kendala yang cukup besar
bagi upaya mempertahankan kualitas hidup pasien GGK.
BAB II

Tinjauan Pustaka

Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan umunya berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis maupun transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom
klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada
penyakit gagal ginjal kronik.
GGK sering berhubungan dengan anemia. Anemia pada GGK muncuk ketika klirens
kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh. Anemia akan menjadi lebih
berat lagi apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk lagi, tetapi apabila penyakit ginjal telah
mencapai stadium akhir, anemia akan secara relatif menetap. Anemia pada GGK terutama
diakibatkan oleh berkurangnya eritropoietin. Anemia merupakan kendala yang cukup besar
bagi upaya mempertahankan kualitas hidup pasien GGK.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau
lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
A. ANATOMI GINJAL
Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di belakang
rongga abdomen, satu di setiap sisi kolumna vertebralis sedikit diatas garis pinggang.
Setiap ginjal diperdarahi oleh arteri renalis dan vena renalis, yang masing – masing
masuk dan keluar ginjal dilekukan medial yang menyebabkan organ ini berbentuk
seperti buncis. Ginjal mengolah plasma yang mengalir masuk ke dalamnya untuk
menghasilkan urin yang kemudian mengalir ke sebuah rongga pengumpul sentral
(pelvis renalis) yang terletak pada bagian dalam sisi medial di pusat (inti) kedua ginjal.
Lalu dari situ urin disalurkan ke dalam ureter, sebuah duktus berdinding otot polos yang
keluar dari batas medial dekat dengan pangkal (bagian proksimal) arteri dan vena
renalis. Terdapat dua ureter, yang menyalurkan urin dari setiap ginjal ke sebuah
kandung kemih. Kandung kemih ( buli – buli) yang menyimpan urin secara temporer,
adalah sebuah kantung berongga yang dapat diregangkan dan volumenya disesuaikan
dengan mengubah – ubah status kontraktil otot polos di dindingnya. Secara berkala,
urin dikosongkan dari kandung kemih keluar tubuh melalui sebuah saluran, uretra.
Bagian – bagian sistem kemih diluar ginjal memiliki fungsi hanya sebagai saluran untuk
memindahkan urin keluar tubuh. Setelah terbentuk di ginjal, komposisi dan volume urin
tidak berubah pada saat urin mengalir ke hilir melintasi sisi sistem kemih.
Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional berukuran
mikroskopik yang dikenal sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain oleh jaringan
ikat. Susunan nefron di dalam ginjal membentuk dua daerah khusus : daerah sebelah
luar yang tampak granuler ( korteks ginjal) dan daerah bagian dalam yang berupa
segitiga – segitiga bergaris – garis, piramida ginjal, yang secara kolektif disebut medula
ginjal. Setiap nefron terdiri dari komponen vaskuler dan komponen tubulus, yang
keduanya secara struktural dan fungsional berkaitan erat.
Komponen vaskuler dari nefron diantara lain :
- Arteriol aferen
merupakan bagian dari arteri renalis yang sudah terbagi – bagi menjadi
pembuluh – pembuluh halus dan berfungsi menyalurkan darah ke kapiler
glomerulus
- Glomerulus
suatu berkas kapiler berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat terlarut
dari darah yang melewatinya
- Arteriol eferen
Tempat keluarnya darah yang tidak difiltrasi ke dalam komponen tubulus
meninggalkan glomerulus dan merupakan satu – satunya arteriol di dalam tubuh
yang mendapat darah dari kapiler
- Kapiler peritubulus
Merupakan arteriol eferen yang terbagi – bagi menjadi serangkaian kapiler yang
kemudian membentuk jalinan mengelilingi sistem tubulus untuk memperdarahi
jaringan ginjal dan berperan dalam pertukaran cairan di lumen tubulus. Kapiler
– kapiler peritubulus menyatu membentuk venula yang akhirnya mengalir ke
vena renalis, temoat darah meninggalkan ginjal
Komponen tubulus dari setiap nefron adalah saluran berrongga berisis cairan yang
terbentuk oleh satu lapisan sel epitel, di antara lain :
- Kapsula Bowman
Suatu invaginasi berdinding rapat yang melingkupi glomerulus untuk
mengumpulkan cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerulus
- Tubulus proksimal
Seluruhnya terletak di dalam korteks dan sangat bergelung (berliku – liku) atau
berbelit si sepanjang perjalanannya. Tubulus proksimal menerima cairan yang
difiltrasi dari kapsula bowman
- Lengkung henle
Lengkung tajam atau berbentuk U atau yang terbenam ke dalam medula. Pars
desendens lengkung henle terbenam dari korteks ke dalam medula, pars
assendens berjalan kembali ke atas ke dalam korteks. Pars assendens kembali
ke daerah glomerulus dari nefronnya sendiri, tempat saluran tersebut melewati
garpu yang dibentuk oleh arteriol aferen dan arteriol eferen. Dititk ini sel – sel
tubulus dan sel – sel vaskuler mengalami spesialisasi membentuk aparatus
jukstaglomerulus yang merupakan suatu struktur yang berperan penting dalam
mengatur fungsi ginjal.
- Tubulus distal
Seluruhnya terletak di korteks. Tubulus distal menerima cairan dari lengkung
henle dan mengalirkan ke dalam duktus atau tubulus pengumpul
- Duktus atau tubulus pengumpul
Suatu duktus pengumpul yang menerima cairan dari beberapa nefron yang
berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula untuk
mengosongkan cairan yang kini telah berubah menjadi urin ke dalam pelvis
ginjal
Terdapat 2 jenis nefron yaitu nefron korteks dan nefron jukstamedula yang
dibedakan berdasarkan lokasi dan panjang sebagian strukturnya. Nefron korteks
merupakan jenis nefron yang paling banyak dijumpai dan lengkung tajam dari nefron
korteks hanya sedikit terbenam ke dalam medula. Sebaliknya, nefron jukstamedula
terletak di lapisan dalam korteks di dekat medula dan lengkungnya terbenam jauh ke
dalam medula. Selain itu, kapiler peritubulus nefron jukstamedula membentuk
lengkung vaskuler tajam yang dikenal sebagai vasa rekta, yang berjalan berdampingan
erat dengan lengkung henle. Susuna paralel dan karakteristik permeabilitas dan
transportasi lengkung henle dan vasa rekta berperan penting dalam kemampuan ginjal
menghasilkan urin dalam berbagai konsentrasi tergantung kebutuhan tubuh.
Fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar
ditujukan untuk mempertahankan kestabilan lingkungan cairan eksternal :
1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh
2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk Na+, Cl-, K+,
HCO3-, Ca++, Mg++, SO4=, PO4= dan H+
3. Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui
peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan garam dan H2O
4. Membantu memelihara keseimbangan asam – basa tubuh, dengan menyesuaikan
pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin
5. Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) berbagai cairan tubuh, terutama
melalui pengaturan keseimbangan H2O
6. Mengeksresikan (eliminasi) produk – produk sisa (buangan) dari metabolisme
tubuh. Misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zat – zat
sisa tersebut bersifat toksik, terutama bagi otak
7. Mengeksresikan banyak senyawa asing. Misalnya obat, zat penambah pada
makanan, pestisida, dan bahan – bahan eksogen non-nutrisi lainnya yang berhasil
masuk ke dalam tubuh
8. Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang pembentukan
sel darah merah
9. Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi berantai yang
penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya

B. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa
setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron
yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran
setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian seterusnya,
keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal
Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan aktivitas
aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin dan
hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. (2)
Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi : (5)
- Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan
produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit
menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan
kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu GGK
dapat menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum) yang
sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik pada
GGK akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi pendek,
pada keadaan normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat
mempunya efek inhibisi eritropoiesis
- Sesak nafas
Menurut saya disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I.
Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga
menyebabkan retensi NaCl dan air  volume ekstrasel meningkat
(hipervolemia)  volume cairan berlebihan  ventrikel kiri gagal memompa
darah ke perifer  LVH  peningkatan tekanan atrium kiri  peningkatan
tekanan vena pulmonalis  peningkatan tekanan di kapiler paru  edema paru
 sesak nafas

- Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan
kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan
kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada
gagal ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan
sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat
melalui urin. Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila
penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis metabolik.
Asidosis metabolik dpaat menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual,
muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik
adalah pernapasan kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk
meningkatkan eksresi karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis
- Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I.
Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan
tekanan darah.
- Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh
ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.

- Hiperurikemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam darah
(hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan pengendapan
kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat membengkak, meradang
dan nyeri
- Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon
peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus
ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah
nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi
air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler.
Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa
kram, diare dan muntah.
- Hiperfosfatemia
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga
fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya terlampaui,
fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium fosfat yang sukar
larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit (
berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)
- Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan
hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga
memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi tulang
(osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam
plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun
terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma tidak
berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada insufisiensi
ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi
fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan
konsentrasi Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk
pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-
menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin
melepaskan lebih banyak PTH. Kelaina yang berkaitan dengan hipokalsemia
adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan hiperparatiroidisme sekunder.
Karena reseptor PTH selain terdapat di ginjal dan tulang, juga terdapat di
banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel darah dan gonad), diduga PTH
berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di organ tersebut.
Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga berperan dalam
menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini
merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi
penurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus,
hal ini memperberat keadaan hipokalsemia
- Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma meningkat,
maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal sehingga
mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan konsentrasi ion
H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi hidrogen,
sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga menyebabkan
hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini berkaitan dengan sistem
saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga dapat menyebabkan
kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam, gangguan motilitas saluran
cerna dan kelainan mental.
- Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan
ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi. Proteinuria
glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang melibatkan
glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan permeabilitas
glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul
protein berukuran besar seperti albumin dan immunoglobulin akan bebas
melewati membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadi
pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebu dengan sindrom nefrotik.
- Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia pada
GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat terjadi
akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke aliran darah
dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan
mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang
dari 10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan
menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas
seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik.
Gangguan pada serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi
dan menyebabkan koma uremikum.

C. DIAGNOSIS
 GEJALA KLINIS
Pada gagal ginjal kronik, gejala – gejalanya berkembang secara perlahan. Pada
awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dari
pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka lama
kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada
stadium ini, penderita menunjukkan gejala – gejala fisik yang melibatkan kelainan
berbagai organ seperti :
- Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor uremik
- Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit
- Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya konsentrasi
menurun, insomnia, gelisah
- Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema
- Gangguan kelamin : libido menurun, nokturia, oligouria
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan
lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal
(renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

 GAMBARAN LABORATORIUM
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG
c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik
d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria

 GAMBARAN RADIOLOGIS(2)
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio – opak
b) Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
c) Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi

 BIOPSI DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI GINJAL


Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan dan bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang sudah
diberikan. Kontraindikasi pada ukuran ginjal yang mengecil, ginjal polikistik,
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal
nafas, dan obesitas.
D. KOMPLIKASI
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut :
- Hiperkalemia
- Asidosis metabolik
- Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan CHF )
- Kelainan hematologi (anemia)
- Osteodistrofi renal
- Gangguan neurologi ( neuropati perifer dan ensefalopati)
- Tanpa pengobatan akan terjadi koma uremik

E. PENATALAKSANAAN(2)
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi
terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG untuk
mngetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
3) Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah :
o Pembatasan asupan protein
Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam tubuh tetapi di
pecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama
dieksresikan melalui ginjal selain itu makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion anorganik lainnya
juga dieksresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada penderita gagal ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lainnya dan
mengakibatkan sindrom uremia. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat
selalu berasal dari sumber yang sama dan untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
LGF ml/menit Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25 – 60 0,6 – 0,8/kg/hari, < 10 g
termasuk > 0,35 gr/kg/hr
nilai biologi tinggi
5 -25 0,6 – 0,8/kg/hari, < 10 g
termasuk > 0,35 gr/kg/hr
protein nilai biologi tinggi
atau tambahan 0,3 g asam
amino esensial atau asam
keton
<60(sind.nefrotik) 0,8/kg/hari (+1 gr protein/ < 9 g
g proteinuria atau 0,3 g/kg
tambahan asam amino
esensial atau asam keton

o Terapi farmakologi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi (ACE inhibitor) disamping bermanfaat untuk
memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerular dan hipertrofi glomerulus
4) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Dengan cara pengendalian DM, pengendalian hipertensi, pengedalian
dislipidemia, pengedalian anemia, pengedalian hiperfosfatemia dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
5) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi
- Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin < 10 g% atau
hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar besi
serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/ total iron binding capacity,
feritin serum), mencari sumber perdarahan morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis,dll. Pemberian eritropoitin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Sasaran hemoglobin adalah 11 – 12
g/dl.
- Osteodistrofi renal
Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :
i. Mengatasi hiperfosfatemia
 Pembatasan asupan fosfat 600 – 800 mg/hari
 Pemberian pengikat fosfat, seperti garam, kalsium, alluminium
hidroksida, garam magnesium. Diberikan secara oral untuk
menghambat absorpsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam
kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3)
dan calcium acetate
 Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat menghambta
reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer
hidrokhlorida.
ii. Pemberian kalsitriol
Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah
normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal
karena dapat meningkatkan absorpsi fosfat dan kaliun di saluran
cerna sehingga mengakibatkan penumpukan garam calcium
carbonate di jaringan yang disebut kalsifikasi metastatik,
disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang
berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.
iii. Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya edema
dan kompikasi kardiovaskular sangat perlu dilakukan. Maka air
yang masuk dianjurkan 500 – 800 ml ditambah jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asuapannya adalah kalium dan
natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia
dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu,
pemberian obat – obat yang mengandung kalium dan makanan
yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi.
Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 – 5,5 mEq/lt. Pembatasan
natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan
edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan
dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.
6) Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15 ml/mnt.
Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

F. PROGNOSIS
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk,
kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini,
bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri. Selain itu,
biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan
menimbulkan gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat. (3)
BAB III

KESIMPULAN

Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang progresif dan ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Dan ditandai dengan adanya uremia
( retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah)

Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe 1 dan
tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Kondisi lain yang dapat menyebabkan gangguan pada ginjal
antara lain penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%) merupakan penyakit ketiga
tersering penyebab gagal ginjal kronik.

Pada gagal ginjal kronik, gejala – gejalanya berkembang secara perlahan. Pada awalnya
tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dari pemeriksaan
laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi
peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini, penderita
menunjukkan gejala – gejala fisik yang melibatkan kelainan berbagai organ seperti kelainan
saluran cerna (nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor uremik), kelainan kulit (urea
frost dan gatal di kulit), kelainan neuromuskular (tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah), kelainan kardiovaskular (hipertensi, sesak nafas,
nyeri dada, edema), kangguan kelamin (libido menurun, nokturia, oligouria)

Diagnosis gagal ginjal kronik dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang
diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologis, serta pemeriksaan biopsi dan histopatologi ginjal

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi terapi spesifik terhadap penyakit


dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat perburukan fungsi
ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi
terhadap penyakit komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2001. p. 463 – 503.

2. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.

Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p. 1035 – 1040.

3. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit

Dalam UPH.

4. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and

stratification, New York National Kidney Foundation, 2002.

5. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.

Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. p. 110 – 115.

Anda mungkin juga menyukai