Anda di halaman 1dari 44

TUGAS ILMIAH KEPANITERAAN KLINIK FK UMS

CASE REPORT

SEORANG PEREMPUAN USIA 74 TAHUN DENGAN SIROSIS HATI EC


HEPATITIS B

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Pendidikan Dokter


Umum Stase Ilmu Penyakit Dalam

Disusun oleh:
Dwi Permatasari Utomo P., S.Ked (J510215040)

MBIMBING:
dr. Asna Rosida, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD DR.


HARJONO KABUPATEN PONOROGO FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2023
HALAMAN ENGESAHANCASE REPORT

SEORANG PEREMPUAN USIA 74 TAHUN DENGAN SIROSIS HATI EC


HEPATITIS B

Disusun oleh:
Dwi Permatasari Utomo P., S.Ked (J510215040)

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta pada

Pembimbing:
dr. Asna Rosida, Sp.PD ( )

Dipresentasikan dihadapan:

dr. Asna Rosida, Sp.PD ( )


BAB 1
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M

Umur : 74 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Dukuh, Bulu

Agama : Islam

Tanggal Pemeriksaan : 11 September 2023

B. ANAMNESIS

1. Keluhan utama
Nyeri perut sebelah kanan

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang perempuan berusia 72 tahun datang ke IGD RSUD Dr. Harjono
ponorogo pada tanggal 10 September 2023 dengan keluhan nyeri perut, perut
membesar dan terasa penuh sejak 2 minggu lalu. Pasien juga mengaku sudah
pernah 2x mengalami penyakit seperti ini namun kali ini kambuh lagi dan perut
mulai membesar lagi. Pasien mengatakan keluhan pasien memberat saat berjalan
lama dan mereda saat beristirahat.
Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah mual, muntah darah sejak
masuk rumah sakit, muntah sebanyak 3x dengan volume muntah ½ gelas aqua
jika ditotal muntah pasien sampai 300 ml. Keluhan lain yaitu BAB berdarah
dengan konsistensi lembek sebanyak 3x.
Selama satu minggu pasien tidak nafsu makan, lemas dan udem pada
kedua kakinya.Keluhan seperti demam (-), pusing (-), sesak (-),keringat dingin (-),
alergi obat (-). BAK lancar, tidak nyeri saat BAK dan tidak berdarah.
3. Riwayat Kebiasaan
a) Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat Sakit Serupa : diakui

b. Riwayat Hipertensi : disangkal

c. Riwayat Diabetes Melitus : disangkal

d. Riwayat Alergi : disangkal

e. Riwayat penyakit jantung : disangkal

b) Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat Sakit Serupa : disangkal

b. Riwayat Hipertensi : disangkal

c. Riwayat DM : disangkal

d. Riwayat penyakit jantung : disangkal

4. Anamnesis Sistemik
a. Sistem cerebrospinal : nyeri kepala (-), demam (-)

b. Sistem respirasi : batuk (-), sesak (-)

c. Sistem kardiovaskuler : nyeri dada (-), berdebar-


debar (-)

d. Sistem digestivus : mual (+), muntah darah


(+), nafsu makan turun (+), nyeri ulu hati (-)
e. Sistem urogenital : BAB berdarah (+), BAK
dbn

f. Sistem musculoskeletal : edema ekstremitas atas (-/-),


edema tungkai pada ekstremitas bawah kanan dan kiri (+/+)
g. Sistem integument : akral hangat (+), gatal (-),
ikterik (-)
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
1) Kesadaran : Compos Mentis

2) Keadaan Umum : Lemah

3) Tekanan Darah : 100/60mmHg

4) Heart Rate : 98 x / menit

5) Respirasi Rate : 20 x / menit

6) Saturasi : 98%

7) Temperatur : 36.2oC

2. Status Lokalis
1) Kepala : Normochepal (+), Konjungtiva anemis(+/+), Sklera
ikterik (+/+), sianosis (-/-), lidah kotor (-)
2) Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),
deviasi trakea (-), JVP (meningkat)
3) Thoraks

a) Pulmo :

1. Inspeksi: Bentuk dada normochest, pengembangan dada kanan


dan kiri sama
2. Palpasi : Fremitus dada kanan sama dengan dada kiri sama

3. Perkusi: Sonor pada semua lapang paru

4. Auskultasi : vesikuler di semua lapang paru, suara tambahan


ronchi (-/-), wheezing (-/-)
b) Jantung :

1. Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

2. Palpasi : Iktus kordis kuat angkat

3. Perkusi :
a. Batas jantung kanan atas : SIC II linea
parasternalis dextra
b. Batas jantung kanan bawah : SIC IV Midclavicular dextra

c. Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra


d. Batas jantung kiri bawah : SIC IV linea
axillaris sinistra
4. Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, bising jantung (-)

c) Abdomen :
1. Inspeksi : Permukaan perut lebih tinggi dari dinding dada, distended
(+), asites (+), sikatriks (-), striae (-)
2. Auskultasi : Suara peristaltik 18x/mnt (+)
3. Palpasi : Nyeri tekan saat palpasi superfisial (+), nyeri tekan
saat deep palpation (+) regio epigastrium dan regio umbilical, undulasi
(+), shifting dullness (+), hepatomegali (-), splenomegali (-)
4. Perkusi : hipertimpani pada abdomen
d) Ekstremitas

1. Atas : Edema (-/-), akral hangat(+/+),


CRT <2 detik (+/+),
2. Bawah : Edema (+/+), akral hangat (+/+), CRT <2 detik
(+/+)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hematologi Darah Lengkap (10/09/2023)

Parameter Hasi Nilai normal Satuan


l
Darah Lengkap
Hemoglobin 9.8 L 13.2-17.3 g/dL
(Hb)
Eritrosit (RBC) 2.59 L 4.4 - 5.9 10˄6/μL
Leukosit 4.75 4.1 – 10,9 10˄3/μL
(WBC)
Hematokrit 28.7 L 36,0 – 56,0 %
Trombosit 97 L 150 -450 10˄3/μL
(PLT)
MCV 110.9 L 80,0 – 100,0 fL

MCH 37.8 H 28,0 – 36,0 Pg


MCHC 33.3 31,0 – 37,0 g/dL
RDW-CV 12.8 10,0 – 16,5 %
PDW 15.9 12,0 – 18,0 %
MPV 9.3 5,0 – 10,0 fL
PCT 0.091 0,10 – 1,00 %
Hitung jenis (diff)
Eosinofil H – 6,0
13.30,0 %
Basofil 0.4 0,0 – 2,0 %
Neutrofil 56.5 42,0 – 85,0 %
Limfosit 20.1 11,0 – 49,0 %
Monosit 9.7 0,0 – 9,0 %
H
Neutrofil 2.68 10˄3/μL
absolut
Limfosit 0.96 10˄3/μL
absolut
NLR 2.80
Kimia Klinik
Glukosa Strip 131
Kimia Klinik (10/09/2023)
Parameter Hasil Nilai Satuan
normal
Kimia Klinik
Trigeliserida 80 20-200 mg/dL
LDL-Kolesterol 106 <130 mg/dL
Ureum 21.4 10-50 mg/dL
Creatinin 0.82 0.6 - 1.3 mg/dL
Asam Urat 6.3 H 2.6 - 6.0 mg/dL
SGOT 15 0 - 35 u/L
SGPT 14 0 - 35 u/L
Alkali Fosfatase 91 30 - 120 u/L
Bilirubin Total 0.22 0.2 - 1.2 mg/dL
Bilirubin Direk 0.17 0 - 0.50 mg/dL
Bilirubin Indirek 0.05 0.1 - 0.7 mg/dL

ECG

Hasil : Normal axis

ASSESMENT
Diagnosis Kerja :
- Sirosis hepatis
- Hepatitis B
- Anemia makrositik hiperkromatik, Melena
A. POMR

Problem Assessment Plannin Planning Planning


g Terapi Mo
Diagno nitoring
sis
Anamnesis: Sirosis - USG Medika Monitori
hepatis abdomen mentos ng
- Nyeri perut dekonjungsat a: Keluhan
- Perut a
- Inf Pz 20 Monitori
membesar
tpm ng TTV
- Perut
terasa - inj
Monitorin
penuh Aminousin
g hasil
- Nafsu hepar I
laboratori
makan - inj. ranitidin
um
menurun 2x1
- propanolol
tab 2x5mg
Pemeriksaan - spironolakto
n 2x100mg
fisik: - curcuma
3x1
- Permukaan
perut lebih Non
tinggi dari medika
dinding dada mentosa:
- Nyeri tekan
deep - Tirah baring
palpation (+) - parasentesis
regio diet rendah
epigastrium Na <2 gram
dan regio
umbilical
- Distended (+)
- Acites (+)
- Shifting
dulness
Anamnesis: Anemia - serum iron - Monitori
makrositik - pemeriksaa Medikamentos ng
- lemas hiperkromik n feses a keluhan
- mual dan + melena - total iron - B12 1x50 - Monitori
muntah darah binding mcg PO ng TTV
dan BAB capacity - PRC 1 - Monitori
darah (TIBC) kantong ng hasil
- endoskopi - inj. vit K lab
Pemeriksaan 2x1 - Reaksi
fisik: - inj. asam setelah
traksenamat PRC
- konjungtiva 3x1
anemis (+) - inj.
- sklera ikterik ondansentro
(+) n 3x1

Hematologi Non
hemoglobin: 9.8 farmakologis:
(L) - Tirah baring
Eritrosit: 2.59 (L) - konsumsi
Hematokrit: 28.7 makanan
(L) tinggi
Trombosit: 97 (L) protein
MCV: 110.9 (H)
MCH: 37.8 (H)
Anamnesis: Hepatitis B - Pemeriksaa Farmakologis - Monitoring
n serologi : keluhan
- kronis - inj. - Monitoring
interferon TTV
Pemeriksaan alfa 5 unit - Monitoring
fisik: (3 kali pemeriksaa
- dalam n
Pemeriksaan seminggu, penunjanga
penunjang diberikan n
HbsAg selama 4-
terkonfirmasi : + 6 bulan)
- Lamivudi
n tab
150mg
2x1

Non
Farmakologis
:
Tirah baring
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. SIROSIS HEPATIK
1. DEFINISI
Sirosis hati merupakan tahap akhir proses fibrosis hati diffuse dan
progresif. Keadaan ini terjadi fibrosis dan pembentukan nodul hati yang
disebabkan akibat cedera kronis sehingga terjadi perubahan bentuk lobular
hati yang normaL. Batasan histologis berupa bersifat merata (difusse)
ditandai fibrosis, perubahan bentuk hepar normal ke bentuk abnormal
(bernodul), bersifat irreversible, dan progresivitasnya dalam minggu
sampai tahun.
Sirosis hati mengalami pergantian sel hepatosit menjadi jaringan
parut (fibrosis) sehingga terjadi fungsi hati yang diperantarai oleh sel
hepatosit. Penyakit ini merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis
dan terjadinya pengerasan dari hati yang akan menyebabkan penurunan
fungsi hati dan bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya
penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena
porta yang akhirnya menyebabkan hipertensi portal (Pratiwi et al., 2023)

2. EPIDEMIOLOGI

Sirosis hati dijumpai di seluruh negara termasuk Indonesia.


Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki
dibandingkan dengan kaum wanita. Insidensi penyakit sangat meningkat
sejak Perang Dunia II, sehingga sirosis menjadi salah satu penyebab
kematian yang paling menonjol. Peningkatan ini sebagian disebabkan
oleh insidensi hepatitis virus, namun yang lebih bermakna adalah karena
asupan alkohol yang sangat meningkat. Kejadian sirosis hati untuk tiap
negara berbeda-beda19.Menurut data World Health Organization (WHO)
tahun 2008, penyakit sirosis hati merupakan penyebab kematian ke -18
dunia, dengan jumlah kematian 664.775 kasus (Silaban et al., 2020).
3. ETIOLOGI

Penyebab sirosis hati meliputi penyakit hepatitis B dan C, penyakit hati


alkoholik, dan penyakit hati lemak non-alkoholik (NAFLD/Non-
Alcoholic Fatty Liver). Penyebab lain dari sirosis hati seperti
hemokromatosis, penyakit Wilson, sirosis bilier primer, alpha-1
antitripsin deficiency, kolangitis sklerosis primer, hepatitis autoimun,
obesitas, hepatotoksik, drug induced disease, dan infeksi parasit (Efmisa
et al., 2023)
4. ANATOMI DAN FISIOLOGI HEPAR
a. Anatomi Hepar
Hepar adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2 -
1,8 kg atau kurang lebih 25% berat badan orang dewasa. Hepar
terbagi dalam dua belahan utama, lobus kanan dan lobus kiri. Hepar
mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Sirkulasi vena porta
yang menyuplai 75% dari suplai asinus memegang peranan penting
dalam fisiologi hepar, terutama dalam hal metabolisme karbohidrat,
protein dan asam lemak (Sherwood., 2016).

Gambar 1. Anatomi Hepar

Hepar terletak di bagian atas rongga abdomen di sebelah kanan


bawah diafragma dan dilindungi oleh beberapa costa. Hepar memiliki
dua lobus utama, yaitu lobus kanan dan lobus kiri, dengan permukaan
atasnya cembung dan terletak di bawah diafragma, sedangkan
permukaan bawahnya tidak rata dan memiliki lekukan seperti fisura
transversus. Hepar dibagi menjadi empat lobus (kanan, kiri, kaudata,
dan kuadrata) yang terdiri dari lobulus-lobulus hati. Lobulus hepar
adalah unit fungsional dasar hati, terdiri atas sel-sel hati berbentuk
kubus yang diatur dalam lapisan-lapisan dan terhubung oleh lamina
hepatica. Lamina terdapat ruang berisi vena-vena kecil dan kanalikuli
biliaris kecil yang mengalir ke duktus biliaris di dalam septum
fibrosa. Lobulus hepar terbentuk mengelilingi vena sentralis dan
memiliki kanal portal yang berisi vena porta, arteri hepatica, dan
duktus empedu kecil. Hepar memiliki dua jenis persediaan darah,
yaitu yang datang melalui arteri hepatica dan yang melalui vena porta
(Sherwood., 2016).
Hepar menerima pasokan darah dari dua sumber utama yaitu
arteri hepatica (yang membawa darah beroksigen tinggi) dan vena
porta (yang membawa darah dari saluran pencernaan). Darah dari
arteri hepatica masuk ke hati dan membentuk jaringan kapiler yang
kemudian mengalir ke vena hepatica, mengandung oksigen tinggi,
dan mengalir keluar dari hati. Darah dari vena porta, yang
mengandung oksigen lebih rendah karena beberapa oksigen telah
diambil oleh limpa dan usus, berinteraksi dengan sel-sel hati melalui
kapiler sinusoid. Pembuluh-pembuluh darah kecil ini membentuk
lamina hepatica di antara sel-sel hati. Darah dari kapiler portal dan
arteri hepatica dioksigenasi dan disalurkan ke vena kecil di tengah
masing-masing lobulus hati (Sherwood., 2016).
Jalur persyarafan hepar dipersyarafi oleh system simpatis dan
parasimpatis. Saraf-saraf mencapai hepar melalui flexus hepaticus,
sebagian besar melalui flexus coeliaci, yang juga menerima cabang-
cabang dari nervus vagus kanan dan kiri serta dari nervus phrenicus
kanan (Sherwood., 2016).

5. PATOFISIOLOGI
Sirosis hati adalah kondisi yang melibatkan berbagai jenis sel
dalam hati, termasuk hepatosit, sel stelata, sel endotel sinusoidal, dan sel
Kupffer. Sel stelata berperan dalam penyimpanan vitamin A, sementara
sel Kupffer dapat teraktivasi saat terjadi kerusakan hati dan meningkatkan
kadar ROS, NOS, dan iNos, yang merangsang pembentukan mediator
pro-inflamasi. Sel stellata juga berperan dalam produksi kolagen yang
menyebabkan fibrosis hati, dan mereka dapat berdiferensiasi menjadi sel
miofibroblas yang memicu proliferasi, inflamasi, dan fibrogenesis.
Perubahan hemodinamik dalam sirosis hati juga dapat menyebabkan
peningkatan tekanan portal dan vasodilatasi arteri splanknikus, yang pada
gilirannya dapat berkontribusi pada asites. Selain itu, dalam sirosis hati,
terjadi peningkatan produksi endotelin-1 (ET-1) dan penurunan produksi
oksida nitrat (NO), yang mengakibatkan peningkatan vasokonstriksi dan
resistensi intrahepatik serta hipertensi porta (Efmisa et al., 2023).

Gambar 2. Patogenesis sirosis hati.

Pada hati normal, pada saat terjadi kerusakan hati akibat infeksi
virus atau hepatotoksik, sel stelata hepatik akan menerima sinyal yang
disekresikan oleh produk hepatosit yang rusak dan sel-sel imun,
menyebabkan sel stelata transdiferensiasi menjadi sel myofibroblast yang
teraktivasi. Aktivasi sel stelata hepatik (HSC) merupakan sumber utama
kolagen di hati dan dapat mensekresi matriks ekstraseluler, inhibitor
jaringan metalloproteinase (inhibitor pertumbuhan jaringan), dan matriks
metalloproteinase (matriksin) secara berlebihan, menyebabkan
remodeling arsitektur hati. Respon lain dari cedera hati yang terjadi yaitu
membuat leukosit bersama sel-sel kupffer menghasilkan senyawa yang
memodulasi aktivasi sel stelata. Monosit dan makrofag akan
memproduksi nitrit oksida (NO) dan sitokin inflamasi, seperti tumor
necrosis factor α yang memiliki kemampuan menstimulasi sel stelata
dalam sintesis kolagen. Selain itu, sel-sel kupffer dapat menstimulasi
sintesis matriks selsel stelata melalui transformasi faktor pertumbuhan-β
(TGF-β) dan spesi oksigen reaktif (William & Hopper., 2011).

Apabila infeksi virus tersebut selalu masuk ke dalam hati melalui


berbagai faktor selama bertahun-tahun, maka akan mengakibatkan
kerusakan yang terus-menerus dan dapat mengakibatkan nekrosis sel hati.
Apabila keadaan ini dibiarkan, dapat membuat hati mempunyai
regenerasi yang abnormal dan aktivasi sel stellata terus-menerus
sehingga, akan terjadi pembentukan jaringan fibrotik dan pembentukan
nodul yang membuat hati tampak membesar (William & Hopper., 2011).

6. MANIFESTASI KLINIS
a. Gejala
Sirosis hati memiliki dua tahap utama yaitu tahap awal atau
kompensata, dimana gejala seringkali tidak terlihat atau hanya ringan
seperti perasaan lelah, selera makan berkurang, dan gangguan
seksualitas pada laki-laki, bahkan seringkali tidak memiliki gejala
yang mencolok dan dapat terdeteksi melalui pemeriksaan kesehatan
rutin. Tahap lanjut atau dekompensata, dimana gejala menjadi lebih
parah, termasuk gangguan tidur, demam ringan, gangguan pembekuan
darah, perdarahan, ikterus, dan gangguan mental (Aji & Prajitno.,
2015).

b. Tanda
1) Pembesaran hepar
Pembesaran hepar biasanya terjadi diawal terdeteksinya sirosis.
Hati mengalami pembesaran dan sel-selnya mengandung lemak

Gambar 3. Perbedaan hepar normal dan sirosis hati. Pada sirosis


terbentuk jaringan parut di atas area jaringan normal

2) Timbulnya portal obstruksi dan asites


Portal obstruksi dan asites merupakan manifestasi akhir
dari sirosis yang disebabkan gagalnya fungsi hati yang sudah
kronik. Darah yang dibawa dari organ pencernaan dikumpulkan di
vena portal dan dibawa ke hati, namun karena sirosis hati tidak
membawa darah, maka digantikan oleh limpa dan saluran GI dan
membuat organ tersebut mengalami kongesti pasif kronik. Hal
tersebut menyebabkan darah menjadi stagnan dan mengubah
fungsi usus besar. Produksi asites dikarenakan cairan banyak
mengandung protein yang diakumulasikan di lubang peritoneal
dan dapat terdengar suara dullness.

3) Hipertensi portal (HP)


Penyebab HP diperkirakan adanya peningkatan resistensi
intrahepatik terhadap aliran darah akibat adanya nodul
degeneratif, peningkatan aliran splanik sekunder akibat
vasodilatasi pada splanchnic vascular bed, aktivasi sistem RAAS
karena retensi Na dan air. Vena portal mendapatkan darah dari
usus, limpa, pankreas, kandung empedu yang berasal dari v.
mesenterika superior, v. lienalis dengan v. mesenterika inferior,
dan v. gastrika sinistra.

Faktor utama yang berkontribusi terjadinya hipertensi


portal adalah resistensi vaskular yang disebabkan oleh kesulitan
aliran darah vena portal masuk ke vena hepatika dan peningkatan
aliran darah splanknik (sindrom hiperdinamik). Distorsi struktur
pembuluh darah intrahepatik, akibat fibrosis, pengerasan, dan
trombosis pembuluh darah, dianggap sebagai penyebab utama
peningkatan resistansi pembuluh darah intrahepatik (IHVR).
IHVR ini disebabkan oleh peningkatan produksi vasokonstriktor
dan penurunan pelepasan vasodilator. Endotelin (ET) merupakan
vasokonstriktor penting dalam peningkatan tonus pembuluh darah
pada fibrosis hati, sedangkan nitric oxide (NO) yang merupakan
vasodilator diproduksi sangat kurang dalam kondisi fibrosis. Stres
oksidatif intrahepatik adalah penyebab utama penurunan ekspresi
eNOS (endothelial nitric oxide synthase) dan produksi NO. Selain
itu, terjadi peningkatan degradasi NO, yang mengurangi
bioavailabilitas NO. Pada pembuluh darah splanknik, terjadi
peningkatan NO dan penurunan reaktivitas terhadap
vasokonstriktor, yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
splanknik. Hal ini mengakibatkan peningkatan aliran darah ke
dalam sistem vena porta. Perubahan metabolik, seperti reaksi stres
oksidatif, peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi, dan mediator
vasoaktif endogen, juga berperan dalam patofisiologi hipertensi
portal.

4) Varises pada gastrointestinal

Varises pada GI akibat sirosis menyebabkan rupture, perdarahan,


dan distensi pembuluh darah.

5) Edema pada ekstremitas

Edema pada ekstremitas diakibatkan produksi aldosterone yang


berlebihan karena sodium dan retensi air serta ekskresi kalium.

6) Defisiensi vitamin dan anemia

Defisiensi vitamin dan anemia disebabkan tidak adekuatnya


pembentukan, penggunaan, dan penempatan vitamin seperti
vitamin A, C, dan K. Fungsi hati menjadi terganggu karena
masukan nutrisi tidak adekuat.

7) Penurunan mental

Sirosis mengakibatkan terjadinya kelemahan mental seperti


penurunan kemampuan kognitif, pola bicara, orientasi lingkungan,
dan kebiasaan sehari - hari mengalami gangguan.

8) Estradiol meningkat

Tanda yang akan muncul adanya spider angioma, ginekomasti,


atrofi testis dan penurunan libido, impotensi, alopesia pada dada,
dan axilla palmar eritrema.
9) Peningkatan MSH

Tanda yang akan muncul adanya hiperpigmentasi kulit.


10) Hipoalbumin

Tanda yang terlihat adanya perubahan kuku, muerche’s line


(gambaran pita putih horizontal yang memisahkan warna kulit
normal), terry’s nail, dan clubbing.
11) Dymethyl sulfide meningkat

Tanda yang akan muncul seperti faktor hepatikus


12) Bilirubin meningkat (sekurang-kurangnya 2-3 mg/d) yang ditandai
adanya ikterus
13) Enchepalopati hepatikum yang ditandai adanya asterixis atau
flepping tremor
14) Atrofi otot karena fungsi hepar sebagai glukoneogenesis
terganggu, maka akan mengambil cadangan glikogen dari otot
7. DIAGNOSIS

Anamnesis didapatkan beberapa gejala yang dapat mengarah pada


keluhan subjektif seperti lemas pada seluruh tubuh, mual dan muntah,
penurunan nafsu makan, berat badan menurun, nyeri perut, gatal, gusi
berdarah, atrofi otot, dan komplikasi sirosis hepatik lainnya. Keluhan
terkait kegagalan fundamental seperti ikterus, acites, splenomegali,
hematemesis, melena, dan anemia.
Pemeriksaan fisik yang terkait dengan kegagalan fungsi hati dan
hipertensi porta, diantaranya perut yang membesar dan shifting dullness
(+) terkait asites, hepar tidak teraba karena fibrosis, bengkak pada kedua
kaki, air kencing yang berwarna seperti teh, ikterus pada sklera dari kedua
mata, nyeri perut yang disertai dengan melena, dan gangguan tidur juga
dialami pasien.
Pemeriksaan spider naevi merupakan pemeriksaan dengan menekan
pada central spider menggunakan pulpen dan spider menghilang. Ketika
dilepaskan akan memancarkan ekstensi merah seperti jaring laba-laba.
Pemeriksaan biasanya dilakukan pada leher, dada, dan wajah. Eritema
palmaris dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon estrogen.
Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan
dengan warna normal kuku, diperkirakan akibat hipoalbuminemia.

(a) (b)

(c)
Gambar 4. (a) Eritema Palmaris (b) Hasil pemeriksaan pada spider
naevi (c) Muchrche Nails
Pemeriksaan laboratorium LFT (Liver Function Test) digunakan
keradangan atau kerusakan hati akibat berbagai penyebab. SGOT (tanda
nekrosis) meningkat sedikit, SGPT (tanda inflamasi) normal.
Pemeriksaan RFT (Renal Function Test) dan urine lengkap (UL)
didapatkan ikterus, peningkatan SK, gangguan elektrolit jika didapatkan
hepatorenal syndrome (HRS). Pemeriksaan albumin ditemukan
penurunan dan faktor pembekuan darah memanjang. Pemeriksaan SE
(serum elektrolit) untuk mencari sumber eksogen EH, monitoring
penggunaan diuretik. Pemeriksaan protein serum digunakan penurunan
albumin dan gamma globulin mengalami peningkatan. Pemeriksaan gula
darah acak untuk mengetahui hipoglikemia.
Pemeriksaan hematologi terutama WBC dilakukan bertujuan untuk
penilaian adanya infeksi, dimana sirosis sangat rentan mengalami infeksi
yang selanjutnya bisa terjadi sepsis. Pemeriksaan darah didapatkan Hb
rendah, anemia normokrom normositer, hipokom mikositer. Pemeriksaan
kadar elektrolit dalam penggunaan diuretik dan pembatasan garam dalam
diet. Pada ensefalopati, kadar natrium <4 meq/L menunjukkan
kemungkinan terjadi sindrom hepatorenal.
Pemeriksaan serologi virus hepatitis seperti HBV meliputi HbsAg,
HbeAg, Anti-HBc, HBV DNA. Test HCV meliputi anti HCV, HCV-
RNA. Pemeriksaan auto-antibodies pada hepatitis autoimun atau primary
biliary cirrhosis meliputi tes ANA, ASMA, dan AMA.
Pemeriksaan penunjang lain bisa berupa USG, pemeriksaan
radiologi, MRI, dan biopsi. Gold standard untuk penyakit hati kronis dan
subakut adalah biopsy hati. Namun pemeriksaan ini telah jarang
digunakan dan digantikan dengan intervensi radiologi. Alasannya
beragam yaitu penurunan kemampuan untuk mempertahankan risiko
biopsi hati seperti perdarahan, kurang tersedianya peralatan endoskopi
untuk membantu biopsi, dan waktu pemulihan yang lama dari pasien
pasca biopsi (Thaha et al., 2020)
8. TATALAKSANA

Penatalaksanaan kasus sirosis hepatis diberikan bertujuan untuk


mengurangi progresivitas dari penyakit. Menghindarkan bahan-bahan
yang dapat menambah kerusakaan hati, pencegahan dan penanganan
komplikasi merupakan prinsip dasar penanganan kasus sirosis (Efmisa
et al., 2023; PPHI., 2017)

a. Terapi spesifik saat terjadi komplikasi


1) Asites
Pengobatan awal berupa pembatasan garam makanan. Terapi dimulai
dengan spironolakton pada dosis mulai dari 100 sampai 400
mg/hari. Furosemid dapat ditambahkan (40-160 mg/hari) jika
spironolakton tidak berhasil memperbaiki retensi cairan (LEVEL I).
Terapi albumin untuk mencegah gagal ginjal dan pemberian
sefoktaksim dosis 2g intravena dua kali per hari (LEVEL II).
2) Hipertensi portal (HP)
Terjadi peningkatan vena hepatika > 5 mmHg, gradien tekanan portal
>10-20 mmHg, dan komplikasi HP. Beta bloker non-selective
efektif dalam mengurangi risiko perdarahan dengan cara
menurunkan heart rate sebesar 25% (LEVEL I). Endoscopic band
ligation diindikasikan untuk pasien yang rentan pada perdarahan
berisiko-tinggi dan bagi mereka yang telah mengalami perdarahan
(LEVEL I).

TIPS (transjugular intrahepatic portosystemic shunt)


merupakan pilihan lain untuk pasien yang sebelumnya mengalami
gagal pengobatan medikamentosa dan acites refrakter (LEVEL II).
Efek sampingnya terjadi ensefalopati hepatikum.
3) Ensefalopati hepatik
Pemberian L-ornithine L-aspartate (LOLA) salah satu
imunonutrisi yang berasal dari protein dapat digunakan sebagai
agen penurun kadar amonia darah pada penyakit ensefalopati yang
berhubungan dengan sirosis hati. LOLA dapat meningkatkan status
mental dan menurunkan kadar ammonia dalam serum dan cairan
spinal. Pemberian LOLA selama 7 hari pada pasien sirosis dengan
EH menurunkan amonia dan memperbaiki status mental.
4) Infeksi
Antibiotika lini pertama mencakup kuinolon dan sefalosporin (LEVEL
III)
5) Pemberian cairan dextrose 5% untuk menghidrasi pasien
6) Pemberian infus albumin tiap 5 liter (25 gr albumin) untuk
diberikan pada pasien hepatorenal syndrome, sepsis, dan
replacement post paracentesis.
b. Terapi supportif
Pemberian kalori yang cukup serta mengatasi komplikasi yang mungkin
ditemui seperti hipoglikemia, perdarahan saluran cerna dan keseimbangan
elektrolit serta pencegahan perburukan kondisi pasien, dan penilaian
rekurensi ensefalopati hepatik.
c. Latihan
Beberapa kegunaan latihan teratur setiap hari bagi pederita sirosis hepar
adalah dengan mencegah kekakuan pada otot dan sendi, mengurangi
tingkat edema maupunn asites, mencegah terjadi dekubitus (Jogja Liver
Cirrhosis, 2012).

9. KOMPLIKASI

Komplikasi dari kolelitiasis adalah sebagai berikut: (Thaha et al., 2020)


a. Peradangan kandung empedu yang menyebabkan kolesistitis
b. Penyumbatan saluran empedu yang mengakibatkan infeksi saluran
empedu dan penyakit kuning
c. Penyumbatan saluran pankreas yang dapat menyebabkan pankreatitis
d. Kanker kantong empedu
e. Hipertensi portal
f. Varises gastroesofagus
g. Peritonitis bakterial
h. Enselopati hepatikum
10. PENCEGAHAN
Pencegahan sirosis hati agar tidak terjadi kerusakan lanjut yaitu: (Setiati et al.,
2014)
a. Istirahat tempat tidur sampai perbaikan ikterus, asites, dan demam
b. Diet seimbang dan multivitamin. Diet protein sesuai jumlah albumin dan
status kesadaran
c. Mengatasi infeksi dengan antibiotik
d. Pemberian retriksi cairan PU + 500-800cc. jika asites sudah berkurang
bisa ditambahkan art, namun jika terjadi direstriksi akan menimbulkan
AKI (Acute Kidney Injury).
e. Menghindari obat-obatan hepatotoksik, alkohol, dan NSAIDs
f. Memperbaiki keadaan gizi, bila perlu dengan pemberian asam amino
esensial berantai cadangan dan glukosa
g. Dilarang makan dan minum bahan yang mengandung alkohol.
11. PROGNOSIS
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi
etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang
menyertai. Prognosis sirosis hati dapat diukur dengan kriteria Child Turcotte-
Pugh. Kriteria Child-Turcotte-Pugh merupakan modifikasi dari kriteria Child
Pugh, banyak digunakan oleh para ahli hepatologi saat ini. Kriteria ini
digunakan untuk mengukur derajat kerusakan hati dalam menegakkan
prognosis kasus-kasus kegagalan hati kronik (Adi & Prajitno, 2015).

Keterangan:
Child-Turcotte-Pugh A : 5-6 (prognosis baik)
Child-Turcotte-Pugh B : 7-9 (prognosis sedang)
Child-Turcotte-Pugh C : 10-15 (prognosis buruk)
B. HEPATITIS B
1. DEFINISI

Virus hepatitis B (HBV) merupakan anggota famili


Hepadnavirus, genus orthohepadna virus. Hepatitis B merupakan
infeksi pada hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV)..
Infeksi Virus Hepatitis B ditularkan oleh pasien yang terinfeksi
melalui cairan tubuh seperti cairan sperma, air liur, darah atau
produk darah, lendir alat kelamin wanita, darah menstruasi, dan
cairan tubuh lainnya. Penyebab lain jika sudah kronis meliputi
penyakit hepar kronis, sirosis hati, dan karsinoma hepatoseluler
(Yulia, 2019)

2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi hepatitis B secara global adalah sekitar 3,5%
dari seluruh populasi dunia, atau sekitar 257 juta jiwa. Tingkat
prevalensi tertinggi terdapat di regio Afrika dan Pasifik Barat.
Koinfeksi hepatitis B dan HIV merupakan masalah kesehatan
yang signifikan, dengan prevalensi global sebesar 7,4%, dan
sebagian besar pasien koinfeksi berada di regio sub-Sahara Afrika.
Di Indonesia, hepatitis B juga merupakan masalah
kesehatan yang serius. Prevalensi hepatitis B telah meningkat
selama beberapa tahun terakhir, dan provinsi Nusa Tenggara
Timur memiliki prevalensi tertinggi. Namun, data mengenai
jumlah penderita hepatitis B masih minim karena beberapa faktor
seperti sistem surveilans yang kurang mumpuni. Hepatitis B
kronik dapat berdampak serius pada kesehatan, dengan tingkat
mortalitas yang signifikan. Studi di Amerika Serikat melaporkan
bahwa tingkat mortalitas hepatitis B kronik adalah 21,4 per 1000
orang-tahun, dan pasien dengan hepatitis B kronik memiliki
peningkatan risiko kematian akibat berbagai penyebab, termasuk
gangguan hepar. Anak-anak memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk mengembangkan infeksi kronik hepatitis B, sementara
kebanyakan orang dewasa dapat sembuh dari infeksi akut tanpa
menjadi kronis. Koinfeksi hepatitis B dan HIV juga berdampak
serius pada kesehatan, terutama di regio sub-Sahara Afrika (WHO,
2017; Riskesdas, 2018)

3. ETIOLOGI

Gambar 5. Struktur Virus Hepatitis B


Virus ini memiliki tiga antigen spesifik yaitu antigen
surface, envelope, dan core. Hepatitis B surface antigen (HbsAg)
merupakan komplek antigen yang ditemukan pada permukaan
VHB, dahulu disebut dengan Australia (Au) antigen atau hepatitis
assosiated antigen (HAA). Antigen ini menunjukan infeksi akut
atau karier kronis yaitu lebih dari 6 bulan. Hepatitis B core antigen
(HbcAg) merupakan antigen spesifik yang berhubungan dengan
27 nm inti pada VHB (Han et al., 2019). Antigen ini tidak
terdeteksi secara rutin dalam serum penderita infeksi VHB karena
hanya berada di hepatosit. Hepatitis B envelope antigen (HbeAg)
merupakan antigen yang lebih dekat hubungannya dengan
nukleokapsid VHB. Antigen ini bersikulasi sebagai protein yang
larut diserum. Antigen ini timbul bersamaan atau segera setelah
HbsAg dan hilang beberapa minggu sebelum HbsAg hilang (Dwi,
2019).

4. MANIFESTASI KLINIS

Hepatitis B sulit dikenali karena gejala-gejalanya tidak


langsung terasa dan bahkan ada yang sama sekali tidak muncul,
karena itulah banyak orang yang tidak menyadari bahwa dirinya
telah terinfeksi. Beberapa gejala umum hepatitis B antara lain :
(Yulia, 2020)

a. Kehilangan nafsu makan.


b. Mual dan muntah.
c. Nyeri di perut bagian bawah.
d. Sakit kuning (dilihat dari kulit dan bagian putih mata yang
menguning)
e. Gejala yang mirip pilek, misalnya lelah, nyeri pada tubuh,
dan sakit kepala
Manifestasi klinis hepatitis B yang sudah kronik
dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
a. Hepatitis B kronik masih aktif
Pada HbsAg (+) dengan HBV DNA >105 kopi/ml, kenaikan
SGPT menetap. Biopsi didapatkan keradangan hati aktif.
Pada HbsAg (-) akan lebih berbahaya karena tidak
terdeteksi. Hal ini terjadi karena adanya mutasi pada daerah
precore dari genom HBV yang menyebabkan HbeAg tidak
produksi.
b. Carrier HBV inaktif
Hasil HbsAg (+) dengan titer HBV DNA rendah <105
kopi/ml. SGPT normal dan tidak ada keluhan
5. SIKLUS HIDUP VIRUS
Siklus hidup HBV terdiri dari 3 tahap. Siklus hidup ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu usia, jenis kelamin,
kondisi imun, dan koinfeksi dengan virus lain. Adapun tahap-
tahapnya, yaitu: (Pyrsopoulus, 2021)
a. Fase Imunotolerans (Immune Tolerance)
Pada masa anak atau dewasa muda, sistem imun tubuh toleran
terhadap HBV sehingga konsentrasi virus dalam darah tinggi
tetapi tidak terjadi keradangan hati, sehingga HBV sedang fase
replikatif dengan titer HbsAg sangat tinggi, HbeAg (+), anti-
Hbe (-), HBV dna tinggi dan SGPT normal. Periode inkubasi
berlangsung selama 2-4 minggu pada orang dewasa sehat,
sedangkan pada bayi baru lahir, durasi periode ini bisa
berlangsung selama beberapa dekade. Pada tahap ini, replikasi
virus aktif terus terjadi meskipun tidak tampak adanya
peningkatan nilai aminotransferase dan tanpa gejala yang
muncul
b. Fase Imun Aktif (Immune Active / Immune Clearance)
Pada tahap ini, terjadi proses nekroinflamasi dan kenaikan
SGPT, penderita mulai kehilangan toleransi imun. HBeAg
mulai dapat teridentifikasi pada serum, sedangkan nilai DNA
HBV menurun pada individu yang mengalami klirens virus.
Tahap ini berdurasi selama 3-4 minggu yang dikenal juga
dengan periode simptomatik. Pada pasien dengan infeksi
kronik, tahap ini bisa berlangsung selama 10 tahun atau lebih
c. Fase pengidap inaktif (nonreplikatif/residual)
Pada fase ini terdapat serokonversi HbeAg, baik secara spontan
atau karna pengobatan. HbsAg rendah, HbeAg (-), anti Hbe (+),
SGPT normal, HBV DNA rendah, dan sebagian besar sudah
mengalami sirosis.
d. Fase reaktivasi
Pada tahap ini, terjadi karena teraktivasinya dari fase residual,
sehingga didapatkan HBV DNA naik >2000 IU/ml dan
inflamasi hati kembali terjadi
Parameter untuk mengukur replikasi HBV biasanya adalah
HbsAg meningkat, HbeAg meningkar, anti-Hbe (-), dan HBV
DNA menigkat. Metode PCR (hibridasi dan amplifikasi sinyal)
mempunyai batas kemampuan mendeteksi 105 kopi/ml. Jika HBV
DNA tidak terdeteksi dengan metode non-PCR maka akan
dianggap tidak aktif (Aji & Prajitno, 2015).

6. PATOGENESIS

Individu yang terinfeksi hepatitis hasil HbsAg tetap positif


sepanjang hidupnya dan akan mengalami hepatitis B kronis (95%
jika terinfeksi sejak lahir dan 5% saat dewasa). Derajat keparahan
hepatitis tergantung konsentrasi HBV dan respon imun. Semakin
besar resoon imun, maka semakin besar pula kerusakan hati,
sebaliknya jika tubuh toleran makan tidak terjadi kerusakan.
Penularan virus hepatitis melalui parenteral dan menembus
membran mukosa, terutama berhubungan seksual. Penanda
HBsAg telah diidentifikasi pada hampir setiap cairan tubuh dari
orang yang terinfeksi yaitu saliva, air mata, cairan seminal, cairan
serebrospinal, asites, dan air susu ibu. Virus Hepatitis B dapat
dideteksi pada semua sekret dan cairan tubuh manusia, dengan
konsentrasi tertinggi pada serum (Setiati et al., 2014).

Gambar 6. Patogenesis Virus Hepatitis B


Infeksi Virus Hepatitis B (VHB) dimulai dengan
masuknya VHB ke dalam tubuh secara parenteral. Siklus replikasi
VHB dalam hati melibatkan enam tahap, yaitu:

a. Attachment: VHB menempel pada reseptor permukaan sel


hati menggunakan protein pre-S1, pre-S2, poly-HSA, dan
SHBs.
b. Penetration: Virus masuk ke dalam hepatosit melalui
endositosis, membawa partikel core berisi HBcAg, enzim
polimerase, dan DNA VHB.
c. Uncoating: DNA VHB harus mengalami perubahan menjadi
fully double stranded DNA dan membentuk covalently closed
circular DNA (cccDNA), yang menjadi template transkripsi.
d. Replication: Terjadi transkripsi dengan menghasilkan
berbagai mRNA, yang digunakan untuk menghasilkan
komponen protein VHB seperti core, HBeAg, dan enzim
polimerase.
e. Re-Assembly: Pregenom RNA, HBcAg, dan enzim
polimerase dienkapsulasi menjadi partikel core di sitoplasma,
membentuk virion-virion yang masuk kembali ke nukleus.
f. Release: DNA VHB disintesis melalui reverse transcriptase,
dan partikel core mengalami maturasi genom oleh protein
HBsAg dalam retikulum endoplasmik sebelum dilepaskan
dari sel.

Selama siklus ini, kode genetik VHB memerintahkan sel


hati untuk membentuk protein-protein komponen VHB, yang
menyebabkan infeksi VHB dan berpotensi menyebabkan
penyakit hepatitis B.

7. PATOFISIOLOGI
Gambar 7. Patofisiologi Virus Hepatitis B

Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus


Hepatitis B (VHB). VHB melekat pada reseptor spesifik di
membran sel hati dan kemudian menembus ke dalam sitoplasma
sel hati. Setelah melepas mantelnya, nukleokapsid VHB
menembus dinding sel hati. Asam nukleat VHB akan berintegrasi
dengan DNA hospes dan memerintahkan sel hati untuk membuat
protein bagi virus baru. Virus Hepatitis B dilepaskan ke peredaran
darah, dan respons imun penderita terhadap infeksi dapat
menyebabkan kerusakan hati yang kronis. Proses replikasi virus
sendiri tidak langsung bersifat toksik terhadap sel, dan banyak
pembawa VHB tidak menunjukkan gejala yang signifikan. Respon
imun host, terutama respon seluler terhadap protein VHB,
berperan penting dalam klirens virus dan juga dapat menyebabkan
kerusakan hepatoseluler. Respon imun host melibatkan
pengenalan fragmen peptida VHB oleh Limfosit T sitotoksik
CD8+, yang kemudian menghancurkan sel hati yang terinfeksi
secara langsung (Setiati et al., 2014).
8. DIAGNOSIS
Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu digali riwayat
transmisi seperti pernah transfusi, seks bebas, riwayat sakit kuning
sebelumnya. Pemeriksaan fisik didapatkan ikterus,
splenomegali, dan acites. Pemeriksaan penunjang terdiri dari
pemeriksaan laboratorium, USG abdomen dan Biopsi hepar.
Pemeriksaan laboratorium pada HBV terdiri dari pemeriksaan
biokimia seperti DL, LFT, AFP, bilirubin, albumin, globulin
serum, FH, RFT, GDA. Pemeriksaan penanda virus meliputi
HbsAg kuantitatif, HbeAg dan Anti Hbe, dan HBV DNA
(PAPDI., 2014).
Pemeriksaan penunjang lain meliputi pemeriksaan USG
abdomen tampak gambaran hepatitis kronis, selanjutnya pada
biopsi hepar dapat menunjukkan gambaran peradangan dan
fibrosis hati. Metode dalam menegakkan diagnosis hepatitis B
sangat diperlukan untuk dapat melakukan manajemen terapi
dengan tepat, pada hepatitis pemeriksaan lebih diutamakan pada
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan imunologi terhadap VHB
meliputi: (Yulia, 2020)
a. Pemeriksaan hepatitis B surface Antigen (HBsAG) dan anti-
HBs.
Pemeriksaan HBsAg bermanfaat untuk menetapkan hepatitis
B akut, timbul dalam darah enam minggu setelah infeksi dan
menghilang setelah tiga bulan.
b. HbcAg dan anti-HBc
Pada infeksi akut, anti-HBc didominasi oleh kelompok IgM
dan merupakan marker infeksi akut VHB. IgM anti-HBc akan
menurun kadarnya pada saat fase penyembuhan dan IgG anti-
HBc akan meningkat. Pada sebagian pasien IgM anti-HBc
tetap terdeteksi dalam jumlah yang kecil pada infeksi kronik
VHB. Pada eksaserbasi infeksi VHB kronik, IgM anti-HBc
akan meningkat sehingga menyerupai infeksi akut VHB.
c. HBeAg dan anti-Hbe
HBeAg yang positif menandakan bahwa virus sedang aktif
dalam replikasi
d. Pemeriksaan HBV DNA
Terdeteksinya HBV DNA merupakan tanda viremia dan
status infeksi virus hepatitis B

9. TATALAKSANA
Tujuan terapi ini untuk mencehah progresivitas penyakit,
mencegah terjadinya sirosis hati (SH) dan karsinoma
hepatoseluler (KHS). Paramater yang harus dicapai yaitu: (PPHI.,
2017)
a. Respon virologik: hlangnya HBV DNA (<105 kopi/mL)
dalam serum dan hilangnya HbeAg dengan atau tanpa muncul
anti Hbe. Induksi menghilangnya HbsAg dan terbentuk anti-
Hbs.
b. Respon biokimiawi: SGPT normal
c. Respon histologis: turunnya nekroinflamasi dan tidak ada
progresi fibrosis

Indikasi Terapi
a. Prinsip terapi Hepatitis B Kronik
Pada hepatitis B kronik dengan nilai alanin transferase
(ALT) normal, dapat dilakukan pemeriksaan pencitraan untuk
mengukur kerusakan jaringan hepar. Sementara itu, pada pasien
dengan nilai ALT yang meningkat atau berfluktuasi, biopsi hepar
perlu dilakukan untuk mengetahui perlunya pengobatan
antivirus. Antivirus diberikan jika ada fibrosis hepar signifikan
(F2 atau lebih) (Pyrsopoulus, 2021).
Hepatitis B kronik dengan HbeAg (+) jika HBV DNA >2
x 104 IU/ml dan ALT >2x batas normal. HbeAg (-) jika HBV
DNA >2 x 103 IU/ml dan ALT >2x batas normal. Penderita yang
menunjukkan adanya replikasi virus dengan ALT normal atau
sedikit meningkat secara persisten tanpa sirosis dan fibrosis tidak
perlu diterapi, cukup monitoring tiap 3 bulan. Indikasi terapi
untuk penderita hepatitis B non-sirosis yaitu: (PPHI., 2017).
1). Indikasi terapi hepatitis B dengan HbeAg positif non-
sirosis
2). Indikasi terapi hepatitis B dengan HbeAg negatif non-sirosis

b. Medikamentosa
Tujuan pengobatan ialah untuk menekan replikasi virus
hepatitis B, mereduksi inflamasi hepar, dan mencegah progresi
ke sirosis hepatis dan karsinoma hepatoseluler (Pyrsopoulus,
2021; PPHI., 2017)
1) Interferon (IFN) alfa
IFN alfa ini bertujuan sebagai imunomodulator,
antiproliferatif, dan antifibrotik pada pasien dengan fungsi hati
yang masih baik. Durasi pemberian selama 24 atau 48 minggu.
Sediaan interferon dibedakan pada dewasa dan anak-anak.
Peginterferon alfa-2a diperuntukkan bagi pasien dewasa,
sedangkan peginterferon alfa-2b diberikan pada anak-anak.
Dosis dewasa adalah 180 mcg setiap minggu. Untuk anak-anak
di atas 1 tahun, dosis interferon adalah 6 juta IU/m2 yang
diberikan 3 kali seminggu. Penambahan pegilated interferon alfa
(PEG IFN) dapat menimbulkan senyawa IFN mempunyai umur
paruh jauh lebih tinggi dibanding IFN biasa. Dosis PEG INF-2a
diberikan secara subkutan 90-180 mikrogram/minggu (48
minggu) dan PEG INF-2b sebesar 1-1,5
mikrogram/kgBB/minggu (Pyrsopoulus, 2021).
2) Analog Nukleostida (AN)
Terapi AN seringkali harus jangka panjang (seumur hidup).
Kemampuan menekan HBV DNA dalam 1 tahun sedikit
lebih tinggi daripada IFN, namun kemampuan serokonversi
HbsAg dalam 1 tahun lebih rendah daripada IFN. Respon
jangka panjang cukup sering kambuh bila terapi tidak
dilanjutkan dan AN dapat digunakan pada sirosis
dekompensata.
3) Entecavir
Entecavir diberikan dengan dosis 0,5 mg setiap harinya
untuk dewasa dan anak-anak di atas 2 tahun dengan berat
badan di atas 30 kg dan belum pernah mendapat terapi.
Selain itu, entecavir diberikan berdasarkan berat badan anak
(Pyrsopoulus, 2021)
4) Tenovir (TNF)
Tenovir memiliki profil resistensi cukup baik sehingga
efektif pada pasien yang mengalami resistensi obat lain.
Kontraindikasi pemberian ini pada pasien gangguan ginjal.
Pemberian dosis 300 mg/hari per oral.
5) Lamivudin (LAM)
LAM berfungsi untuk menghambat enzim reverse
transkriptase dengan menghambat produksi HBV baru dan
mencegah infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi.
Pemberian LAM 1 minggu dapat menurunkan HBV DNA
sebesar 95% dan 8 minggu akan tidak terdeteksi dengan
metode non-PCR. Pemberian dosis 100 mg sehari sekali
secara per oral.
6) Adenovir (ADV)
Mekanisme fungsi dari adenovir sama seperti LAM. ADV
jarang resistensi daripada LAM. Pemberian dosis 10 mg
sehari sekali secara per oral.
c. Rekomedasi terapi
1) Lini pertama: PEG IFN, Entecavir, dan tenocavir
2) Terapi alternatif: Lamivudine, Adenovir atau Telbivudin
3) Terapi aman bagi ibu hamil: Telbivudin dan tenovir. Untuk
mencegah transmisi perinatal diberikan HBIg 0,5 mg dalam
12 jam setelah lahir dan vaksinasi
d. Monitoring
Bertujuan untuk memprediksi hasil pengobatan, menduga adanya
resistensi obat, merubah strategi pengobatan, dan menghentikan
pengobatan. Monitoring DL, SGPT, HBV DNA, HbeAg, dan
anti-Hbe dilakukan setiap 3-6 bulan. Monitoring HbeAg, HBV
DNA, dan SGPT setiap 1 bulan pada 3 bulan pertama terapi
dihentikan, kemudian tiap 3 bulan.
e. Penghentian Pengobatan
a) PEG IFN jika sudah mencapai 48x pemberian atau jika
ada efek samping.
b) Analog nukleusida: pada HbsAg + dapat dihentikan
setelah periode konsolidasi pengobatan. Periode
konsolidasi dapat memperpanjang pengobatan hingga
kadar ALT normal secara persisten dan HBV DNA tidak
terdeteksi minimal 1 tahun. Pada HbeAg (+) dengan
sirosis dan HbeAg (-) direkomendasikan untuk
meneruskan terapi sampai seumur hidup.
f. Resistensi Obat
Resistensi Strategi
Resistensi LAM Tambah ADV, stop LAM, ganti
TNF
Resistensi ADV Stop ADV, ganti TNF/ETV
Resistensi ETV Tambah ADV, stop ETV, ganti TNF
Resistensi Ldt Tambah ADV, stop Ldt, ganti TNF
Resistensi TNF Tambah ETV, Ltv / LAM
Resistensi beberapa jenis obat Kombinasi ETV dan TNF

10. PENCEGAHAN
g. Imunisasi
Imunisasi adalah salah satu bentuk upaya pencegahan
transmisi (penularan) hepatitis B. Saat ini terdapat dua jenis
imunisasi yang tersedia, yaitu imunisasi aktif dan imunisasi
pasif. Imunisasi aktif dicapai dengan pemberian vaksin
hepatitis B. Vaksin diberikan dengan 3 dosis terpisah dengan
interval 0,1 dan 6 bulan. Pemberian 3 dosis vaksin ini akan
mampu melindungi tubuh dari infeksi hepatitis B dengan
tingkat keberhailan > 90 % selama lebih dari 20 tahun.
Pemberian vaksis hepatitis B direkomendasikan pada individu
yg berisiko tinggi terinfeksi VHB, diantaranya : individu
terpapar produk darah pada kerjanya, pasien ginjal yang
menjalani cuci darah, orang yang berumah tangga atau kontak
seksual dengan penderita hepatitis B, tinggal di daerah
endemis hepatitis B, petugas kesehatan, dan anak yang lahir
dari ibu dg hepatitis B. Imunisasi pasif digunakan hepatitis B
immune globulin (HBIg), dapat memberikan proteksi secara
cepat dan biasanya diberikan segera setelah bayi lahir bila
ibunya penderita infeksi hepatitis B kronis (PPHI., 2017).
h. Pencegahan umum.
Hepatitis B adalah penyakit yang ditularkan melalui
kontak dengan cairan tubuh pasien, seperti darah dan produk
darah, air liur, cairan vagina, cairan sperma, dan cairan tubuh
lainnya. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah :
menggunakan sarung tangan bagi tenaga medis yang kontak
dengan penderita, sterilisasi instrument dan alat kesehatan
dengan benar, penyuluhan dan pembinaan bagi penggunan
obat untuk tidak memakai jarum suntik bergantian,
menghindari memakai alat yang diduga dapat menularkan
VHB ( sikat gigi, sisir, pisau cukur), memakai kondom bila
pasangan mengidap VHB, dan skrining ibu hamil yang
berisiko tinggi terifeksi (PPHI., 2017).
11. PROGNOSIS
Prognosis pada kasus hepatomegali sangat tergantung pada
penyebabnya. Jika penyebabnya dapat diatasi dan tidak terjadi
kerusakan permanen pada hati, maka prognosisnya dapat baik.
Namun, jika terjadi kerusakan permanen pada hati atau
komplikasi yang lebih serius, maka prognosisnya dapat buruk.
(Aji & Prajitno., 2015)
BAB III

PEMBAHASAN

A. SIROSIS HATI
Pasien adalah seorang perempuan 74 tahun, dari hasil anamnesis pasien
mengakui bahwa sudah pernah dua kali mengalami sakit serupa. Sirosis hati
inilah yang menjadi komplikasi dari penyakit hepatitis B pada pasien.
Dari anamnesis, pasien mengeluhkan nyeri perut, perut membesar dan
terasa penuh selama 2 minggu yang lalu. Gejala lain yang timbul ada mual,
muntah darah sebanyak 3x, dan buang air besar (BAB) berdarah konsistensi
lembek sebanyak 3x. Hasil pemeriksaan radiologi terdapat edemo pulmo.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema tungkai pada ekstremitas bawah
kanan dan kiri.
Hasil pemeriksaan laboratorium, hemoglobin sebesar 9,8 g/dL. Hasil
pemeriksaan tersebut menunjukkan adanya gejala anemia, yaitu kondisi tubuh
kekurangan eritrosit normal. Trombosit sebesar 97x10˄3/μL yang berarti
kondisi trombositopenia, yaitu penurunan trombosit dibawah normal.
Sirosis Hati merupakan keadaan terjadinya fibrosis dan pembentukan
nodul hati yang disebabkan secara sekunder akibat cedera kronis sehingga
terjadi perubahan organisasi lobu-lar hati yang normaL. Sirosis hati
merupakan tahap akhir dari penyakit hati kronis dan dapat menyebabkan
penurunan fungsi hati serta perubahan bentuk hati normal, disertai dengan
peningkatan tekanan pada pembuluh darah dan gangguan aliran darah vena
porta yang berujung pada hipertensi portal. Penyebab sirosis hati berbeda-
beda di berbagai negara, dengan konsumsi alkohol, hepatitis C, dan NAFLD
(Non-Alcoholic Fatty Liver Disease). Proses patofisiologi sirosis hati
melibatkan berbagai jenis sel dalam hati, termasuk hepatosit, sel stelata, sel
endotel sinusoidal, dan sel Kupffer, yang semuanya berperan dalam
perkembangan penyakit ini. Gejala klinis sirosis hati meliputi kelelahan,
kehilangan nafsu makan, mual, penurunan berat badan, dan tanda-tanda fisik
seperti asites, hepatomegali, splenomegali, dan tanda lainnya. Tatalaksana
sirosis hati melibatkan pencegahan komplikasi, penanganan komplikasi yang
sudah ada, dan terapi spesifik untuk mengatasi masalah seperti asites,
hipertensi portal, ensefalopati hepatik, dan infeksi

Hepatitis B adalah infeksi hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B


(HBV), yang dapat menyebabkan peradangan, pembengkakan hati, dan
kerusakan hati. Virus hepatitis B adalah virus DNA yang dapat
menyebabkan infeksi pada hati. Virus ini memiliki antigen permukaan
hepatitis B (HBsAg), antigen inti hepatitis B (HbcAg), dan antigen "e"
hepatitis B (HBeAg), yang semuanya dapat memicu respons antibodi yang
spesifik. Hepatitis B seringkali sulit didiagnosis karena gejalanya tidak
selalu terasa. Beberapa gejala umum meliputi kehilangan nafsu makan,
mual, muntah, nyeri perut bagian bawah, sakit kuning (jaundice), dan gejala
mirip pilek. Paparan virus hepatitis B dapat menyebabkan respons imun
yang merusak hepatosit (sel hati). Virus ini tidak secara langsung merusak
sel hati, tetapi kerusakan disebabkan oleh respons imun tubuh yang
menyerang sel-sel yang terinfeksi. Diagnosis hepatitis B melibatkan
pemeriksaan berbagai antigen dan antibodi terkait virus hepatitis B,
termasuk HBsAg, anti-HBs, HBcAg, anti-HBc, HBeAg, anti-HBe, dan
pemeriksaan DNA virus hepatitis B. Pengobatan hepatitis B tergantung pada
jenis infeksi (akut atau kronik) dan tingkat kerusakan hati. Terapi antiviral
seperti interferon dan entecavir dapat digunakan untuk mengurangi replikasi
virus dan meredakan peradangan
DAFTAR PUSTAKA

Adi, S. dan Prajitno, J, H. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.

Bestari, M, B. 2012. Jogja Liver Cirrhosis: Paradigma Baru Penatalaksanaan Sirosis


Hati. PGTKI Press: Yogyakarta.

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:1132-53

Dwi Yulia. (2019). Virus Hepatitis B Ditinjau dari Aspek Laboratorium. Jurnal
Kesehatan Andalas, 8(4), 247–254

Han, E. S., & goleman, daniel; boyatzis, Richard; Mckee, A. (2019). Situasi Penyakit
Hepatitis B di Indonesia. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9),
1689–1699

Gozali, A, P. 2020. Diagnosis, Tatalaksana, dan Pencegahan Hepatitis B dalam


Kehamilan. CDK Journal, Vol 47 (5).

Kesehatan Kementerian Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2018.

PPHI. 2017. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia.


Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia: Jakarta.

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan
Indonesia. 2021.

Pyrsopoulos NT. Hepatitis B. Medscape, 2021.

Silaban, B.P., Lumongga, F. and Silitonga, H., 2020. KARAKTERISTIK PENDERITA


SIROSIS HATI. JKM, 13(2), pp.85-91.

Sherwood, L. 2016. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 9. Jakarta: EGC.

Thaha, R., Yunita, E. and Sabir, M., 2020. SIROSIS HEPATIS. Jurnal Medical
Profession (Medpro), 2(3), pp.166-175.
Tripathi N, Mousa OY. Hepatitis B. StatPearls, Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2022.

Yulia, Dwi. 2019. Virus Hepatitis B Ditinjau dari Aspek Laboratorium. Jurnal
Kesehatan Andalas, 8(4)

William, L, & Hopper, P. 2011. Understanding medical surgical nursing 4th

edition. Philadelphia: Davis Company

World Health Organization. Global hepatitis report 2017. Geneva: World Health
Organization; 2017

Anda mungkin juga menyukai