CASE REPORT
Disusun oleh:
Dwi Permatasari Utomo P., S.Ked (J510215040)
MBIMBING:
dr. Asna Rosida, Sp.PD
Disusun oleh:
Dwi Permatasari Utomo P., S.Ked (J510215040)
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta pada
Pembimbing:
dr. Asna Rosida, Sp.PD ( )
Dipresentasikan dihadapan:
Umur : 74 tahun
Agama : Islam
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama
Nyeri perut sebelah kanan
c. Riwayat DM : disangkal
4. Anamnesis Sistemik
a. Sistem cerebrospinal : nyeri kepala (-), demam (-)
6) Saturasi : 98%
7) Temperatur : 36.2oC
2. Status Lokalis
1) Kepala : Normochepal (+), Konjungtiva anemis(+/+), Sklera
ikterik (+/+), sianosis (-/-), lidah kotor (-)
2) Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),
deviasi trakea (-), JVP (meningkat)
3) Thoraks
a) Pulmo :
3. Perkusi :
a. Batas jantung kanan atas : SIC II linea
parasternalis dextra
b. Batas jantung kanan bawah : SIC IV Midclavicular dextra
c) Abdomen :
1. Inspeksi : Permukaan perut lebih tinggi dari dinding dada, distended
(+), asites (+), sikatriks (-), striae (-)
2. Auskultasi : Suara peristaltik 18x/mnt (+)
3. Palpasi : Nyeri tekan saat palpasi superfisial (+), nyeri tekan
saat deep palpation (+) regio epigastrium dan regio umbilical, undulasi
(+), shifting dullness (+), hepatomegali (-), splenomegali (-)
4. Perkusi : hipertimpani pada abdomen
d) Ekstremitas
ECG
ASSESMENT
Diagnosis Kerja :
- Sirosis hepatis
- Hepatitis B
- Anemia makrositik hiperkromatik, Melena
A. POMR
Hematologi Non
hemoglobin: 9.8 farmakologis:
(L) - Tirah baring
Eritrosit: 2.59 (L) - konsumsi
Hematokrit: 28.7 makanan
(L) tinggi
Trombosit: 97 (L) protein
MCV: 110.9 (H)
MCH: 37.8 (H)
Anamnesis: Hepatitis B - Pemeriksaa Farmakologis - Monitoring
n serologi : keluhan
- kronis - inj. - Monitoring
interferon TTV
Pemeriksaan alfa 5 unit - Monitoring
fisik: (3 kali pemeriksaa
- dalam n
Pemeriksaan seminggu, penunjanga
penunjang diberikan n
HbsAg selama 4-
terkonfirmasi : + 6 bulan)
- Lamivudi
n tab
150mg
2x1
Non
Farmakologis
:
Tirah baring
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SIROSIS HEPATIK
1. DEFINISI
Sirosis hati merupakan tahap akhir proses fibrosis hati diffuse dan
progresif. Keadaan ini terjadi fibrosis dan pembentukan nodul hati yang
disebabkan akibat cedera kronis sehingga terjadi perubahan bentuk lobular
hati yang normaL. Batasan histologis berupa bersifat merata (difusse)
ditandai fibrosis, perubahan bentuk hepar normal ke bentuk abnormal
(bernodul), bersifat irreversible, dan progresivitasnya dalam minggu
sampai tahun.
Sirosis hati mengalami pergantian sel hepatosit menjadi jaringan
parut (fibrosis) sehingga terjadi fungsi hati yang diperantarai oleh sel
hepatosit. Penyakit ini merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis
dan terjadinya pengerasan dari hati yang akan menyebabkan penurunan
fungsi hati dan bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya
penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena
porta yang akhirnya menyebabkan hipertensi portal (Pratiwi et al., 2023)
2. EPIDEMIOLOGI
5. PATOFISIOLOGI
Sirosis hati adalah kondisi yang melibatkan berbagai jenis sel
dalam hati, termasuk hepatosit, sel stelata, sel endotel sinusoidal, dan sel
Kupffer. Sel stelata berperan dalam penyimpanan vitamin A, sementara
sel Kupffer dapat teraktivasi saat terjadi kerusakan hati dan meningkatkan
kadar ROS, NOS, dan iNos, yang merangsang pembentukan mediator
pro-inflamasi. Sel stellata juga berperan dalam produksi kolagen yang
menyebabkan fibrosis hati, dan mereka dapat berdiferensiasi menjadi sel
miofibroblas yang memicu proliferasi, inflamasi, dan fibrogenesis.
Perubahan hemodinamik dalam sirosis hati juga dapat menyebabkan
peningkatan tekanan portal dan vasodilatasi arteri splanknikus, yang pada
gilirannya dapat berkontribusi pada asites. Selain itu, dalam sirosis hati,
terjadi peningkatan produksi endotelin-1 (ET-1) dan penurunan produksi
oksida nitrat (NO), yang mengakibatkan peningkatan vasokonstriksi dan
resistensi intrahepatik serta hipertensi porta (Efmisa et al., 2023).
Pada hati normal, pada saat terjadi kerusakan hati akibat infeksi
virus atau hepatotoksik, sel stelata hepatik akan menerima sinyal yang
disekresikan oleh produk hepatosit yang rusak dan sel-sel imun,
menyebabkan sel stelata transdiferensiasi menjadi sel myofibroblast yang
teraktivasi. Aktivasi sel stelata hepatik (HSC) merupakan sumber utama
kolagen di hati dan dapat mensekresi matriks ekstraseluler, inhibitor
jaringan metalloproteinase (inhibitor pertumbuhan jaringan), dan matriks
metalloproteinase (matriksin) secara berlebihan, menyebabkan
remodeling arsitektur hati. Respon lain dari cedera hati yang terjadi yaitu
membuat leukosit bersama sel-sel kupffer menghasilkan senyawa yang
memodulasi aktivasi sel stelata. Monosit dan makrofag akan
memproduksi nitrit oksida (NO) dan sitokin inflamasi, seperti tumor
necrosis factor α yang memiliki kemampuan menstimulasi sel stelata
dalam sintesis kolagen. Selain itu, sel-sel kupffer dapat menstimulasi
sintesis matriks selsel stelata melalui transformasi faktor pertumbuhan-β
(TGF-β) dan spesi oksigen reaktif (William & Hopper., 2011).
6. MANIFESTASI KLINIS
a. Gejala
Sirosis hati memiliki dua tahap utama yaitu tahap awal atau
kompensata, dimana gejala seringkali tidak terlihat atau hanya ringan
seperti perasaan lelah, selera makan berkurang, dan gangguan
seksualitas pada laki-laki, bahkan seringkali tidak memiliki gejala
yang mencolok dan dapat terdeteksi melalui pemeriksaan kesehatan
rutin. Tahap lanjut atau dekompensata, dimana gejala menjadi lebih
parah, termasuk gangguan tidur, demam ringan, gangguan pembekuan
darah, perdarahan, ikterus, dan gangguan mental (Aji & Prajitno.,
2015).
b. Tanda
1) Pembesaran hepar
Pembesaran hepar biasanya terjadi diawal terdeteksinya sirosis.
Hati mengalami pembesaran dan sel-selnya mengandung lemak
7) Penurunan mental
8) Estradiol meningkat
(a) (b)
(c)
Gambar 4. (a) Eritema Palmaris (b) Hasil pemeriksaan pada spider
naevi (c) Muchrche Nails
Pemeriksaan laboratorium LFT (Liver Function Test) digunakan
keradangan atau kerusakan hati akibat berbagai penyebab. SGOT (tanda
nekrosis) meningkat sedikit, SGPT (tanda inflamasi) normal.
Pemeriksaan RFT (Renal Function Test) dan urine lengkap (UL)
didapatkan ikterus, peningkatan SK, gangguan elektrolit jika didapatkan
hepatorenal syndrome (HRS). Pemeriksaan albumin ditemukan
penurunan dan faktor pembekuan darah memanjang. Pemeriksaan SE
(serum elektrolit) untuk mencari sumber eksogen EH, monitoring
penggunaan diuretik. Pemeriksaan protein serum digunakan penurunan
albumin dan gamma globulin mengalami peningkatan. Pemeriksaan gula
darah acak untuk mengetahui hipoglikemia.
Pemeriksaan hematologi terutama WBC dilakukan bertujuan untuk
penilaian adanya infeksi, dimana sirosis sangat rentan mengalami infeksi
yang selanjutnya bisa terjadi sepsis. Pemeriksaan darah didapatkan Hb
rendah, anemia normokrom normositer, hipokom mikositer. Pemeriksaan
kadar elektrolit dalam penggunaan diuretik dan pembatasan garam dalam
diet. Pada ensefalopati, kadar natrium <4 meq/L menunjukkan
kemungkinan terjadi sindrom hepatorenal.
Pemeriksaan serologi virus hepatitis seperti HBV meliputi HbsAg,
HbeAg, Anti-HBc, HBV DNA. Test HCV meliputi anti HCV, HCV-
RNA. Pemeriksaan auto-antibodies pada hepatitis autoimun atau primary
biliary cirrhosis meliputi tes ANA, ASMA, dan AMA.
Pemeriksaan penunjang lain bisa berupa USG, pemeriksaan
radiologi, MRI, dan biopsi. Gold standard untuk penyakit hati kronis dan
subakut adalah biopsy hati. Namun pemeriksaan ini telah jarang
digunakan dan digantikan dengan intervensi radiologi. Alasannya
beragam yaitu penurunan kemampuan untuk mempertahankan risiko
biopsi hati seperti perdarahan, kurang tersedianya peralatan endoskopi
untuk membantu biopsi, dan waktu pemulihan yang lama dari pasien
pasca biopsi (Thaha et al., 2020)
8. TATALAKSANA
9. KOMPLIKASI
Keterangan:
Child-Turcotte-Pugh A : 5-6 (prognosis baik)
Child-Turcotte-Pugh B : 7-9 (prognosis sedang)
Child-Turcotte-Pugh C : 10-15 (prognosis buruk)
B. HEPATITIS B
1. DEFINISI
2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi hepatitis B secara global adalah sekitar 3,5%
dari seluruh populasi dunia, atau sekitar 257 juta jiwa. Tingkat
prevalensi tertinggi terdapat di regio Afrika dan Pasifik Barat.
Koinfeksi hepatitis B dan HIV merupakan masalah kesehatan
yang signifikan, dengan prevalensi global sebesar 7,4%, dan
sebagian besar pasien koinfeksi berada di regio sub-Sahara Afrika.
Di Indonesia, hepatitis B juga merupakan masalah
kesehatan yang serius. Prevalensi hepatitis B telah meningkat
selama beberapa tahun terakhir, dan provinsi Nusa Tenggara
Timur memiliki prevalensi tertinggi. Namun, data mengenai
jumlah penderita hepatitis B masih minim karena beberapa faktor
seperti sistem surveilans yang kurang mumpuni. Hepatitis B
kronik dapat berdampak serius pada kesehatan, dengan tingkat
mortalitas yang signifikan. Studi di Amerika Serikat melaporkan
bahwa tingkat mortalitas hepatitis B kronik adalah 21,4 per 1000
orang-tahun, dan pasien dengan hepatitis B kronik memiliki
peningkatan risiko kematian akibat berbagai penyebab, termasuk
gangguan hepar. Anak-anak memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk mengembangkan infeksi kronik hepatitis B, sementara
kebanyakan orang dewasa dapat sembuh dari infeksi akut tanpa
menjadi kronis. Koinfeksi hepatitis B dan HIV juga berdampak
serius pada kesehatan, terutama di regio sub-Sahara Afrika (WHO,
2017; Riskesdas, 2018)
3. ETIOLOGI
4. MANIFESTASI KLINIS
6. PATOGENESIS
7. PATOFISIOLOGI
Gambar 7. Patofisiologi Virus Hepatitis B
9. TATALAKSANA
Tujuan terapi ini untuk mencehah progresivitas penyakit,
mencegah terjadinya sirosis hati (SH) dan karsinoma
hepatoseluler (KHS). Paramater yang harus dicapai yaitu: (PPHI.,
2017)
a. Respon virologik: hlangnya HBV DNA (<105 kopi/mL)
dalam serum dan hilangnya HbeAg dengan atau tanpa muncul
anti Hbe. Induksi menghilangnya HbsAg dan terbentuk anti-
Hbs.
b. Respon biokimiawi: SGPT normal
c. Respon histologis: turunnya nekroinflamasi dan tidak ada
progresi fibrosis
Indikasi Terapi
a. Prinsip terapi Hepatitis B Kronik
Pada hepatitis B kronik dengan nilai alanin transferase
(ALT) normal, dapat dilakukan pemeriksaan pencitraan untuk
mengukur kerusakan jaringan hepar. Sementara itu, pada pasien
dengan nilai ALT yang meningkat atau berfluktuasi, biopsi hepar
perlu dilakukan untuk mengetahui perlunya pengobatan
antivirus. Antivirus diberikan jika ada fibrosis hepar signifikan
(F2 atau lebih) (Pyrsopoulus, 2021).
Hepatitis B kronik dengan HbeAg (+) jika HBV DNA >2
x 104 IU/ml dan ALT >2x batas normal. HbeAg (-) jika HBV
DNA >2 x 103 IU/ml dan ALT >2x batas normal. Penderita yang
menunjukkan adanya replikasi virus dengan ALT normal atau
sedikit meningkat secara persisten tanpa sirosis dan fibrosis tidak
perlu diterapi, cukup monitoring tiap 3 bulan. Indikasi terapi
untuk penderita hepatitis B non-sirosis yaitu: (PPHI., 2017).
1). Indikasi terapi hepatitis B dengan HbeAg positif non-
sirosis
2). Indikasi terapi hepatitis B dengan HbeAg negatif non-sirosis
b. Medikamentosa
Tujuan pengobatan ialah untuk menekan replikasi virus
hepatitis B, mereduksi inflamasi hepar, dan mencegah progresi
ke sirosis hepatis dan karsinoma hepatoseluler (Pyrsopoulus,
2021; PPHI., 2017)
1) Interferon (IFN) alfa
IFN alfa ini bertujuan sebagai imunomodulator,
antiproliferatif, dan antifibrotik pada pasien dengan fungsi hati
yang masih baik. Durasi pemberian selama 24 atau 48 minggu.
Sediaan interferon dibedakan pada dewasa dan anak-anak.
Peginterferon alfa-2a diperuntukkan bagi pasien dewasa,
sedangkan peginterferon alfa-2b diberikan pada anak-anak.
Dosis dewasa adalah 180 mcg setiap minggu. Untuk anak-anak
di atas 1 tahun, dosis interferon adalah 6 juta IU/m2 yang
diberikan 3 kali seminggu. Penambahan pegilated interferon alfa
(PEG IFN) dapat menimbulkan senyawa IFN mempunyai umur
paruh jauh lebih tinggi dibanding IFN biasa. Dosis PEG INF-2a
diberikan secara subkutan 90-180 mikrogram/minggu (48
minggu) dan PEG INF-2b sebesar 1-1,5
mikrogram/kgBB/minggu (Pyrsopoulus, 2021).
2) Analog Nukleostida (AN)
Terapi AN seringkali harus jangka panjang (seumur hidup).
Kemampuan menekan HBV DNA dalam 1 tahun sedikit
lebih tinggi daripada IFN, namun kemampuan serokonversi
HbsAg dalam 1 tahun lebih rendah daripada IFN. Respon
jangka panjang cukup sering kambuh bila terapi tidak
dilanjutkan dan AN dapat digunakan pada sirosis
dekompensata.
3) Entecavir
Entecavir diberikan dengan dosis 0,5 mg setiap harinya
untuk dewasa dan anak-anak di atas 2 tahun dengan berat
badan di atas 30 kg dan belum pernah mendapat terapi.
Selain itu, entecavir diberikan berdasarkan berat badan anak
(Pyrsopoulus, 2021)
4) Tenovir (TNF)
Tenovir memiliki profil resistensi cukup baik sehingga
efektif pada pasien yang mengalami resistensi obat lain.
Kontraindikasi pemberian ini pada pasien gangguan ginjal.
Pemberian dosis 300 mg/hari per oral.
5) Lamivudin (LAM)
LAM berfungsi untuk menghambat enzim reverse
transkriptase dengan menghambat produksi HBV baru dan
mencegah infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi.
Pemberian LAM 1 minggu dapat menurunkan HBV DNA
sebesar 95% dan 8 minggu akan tidak terdeteksi dengan
metode non-PCR. Pemberian dosis 100 mg sehari sekali
secara per oral.
6) Adenovir (ADV)
Mekanisme fungsi dari adenovir sama seperti LAM. ADV
jarang resistensi daripada LAM. Pemberian dosis 10 mg
sehari sekali secara per oral.
c. Rekomedasi terapi
1) Lini pertama: PEG IFN, Entecavir, dan tenocavir
2) Terapi alternatif: Lamivudine, Adenovir atau Telbivudin
3) Terapi aman bagi ibu hamil: Telbivudin dan tenovir. Untuk
mencegah transmisi perinatal diberikan HBIg 0,5 mg dalam
12 jam setelah lahir dan vaksinasi
d. Monitoring
Bertujuan untuk memprediksi hasil pengobatan, menduga adanya
resistensi obat, merubah strategi pengobatan, dan menghentikan
pengobatan. Monitoring DL, SGPT, HBV DNA, HbeAg, dan
anti-Hbe dilakukan setiap 3-6 bulan. Monitoring HbeAg, HBV
DNA, dan SGPT setiap 1 bulan pada 3 bulan pertama terapi
dihentikan, kemudian tiap 3 bulan.
e. Penghentian Pengobatan
a) PEG IFN jika sudah mencapai 48x pemberian atau jika
ada efek samping.
b) Analog nukleusida: pada HbsAg + dapat dihentikan
setelah periode konsolidasi pengobatan. Periode
konsolidasi dapat memperpanjang pengobatan hingga
kadar ALT normal secara persisten dan HBV DNA tidak
terdeteksi minimal 1 tahun. Pada HbeAg (+) dengan
sirosis dan HbeAg (-) direkomendasikan untuk
meneruskan terapi sampai seumur hidup.
f. Resistensi Obat
Resistensi Strategi
Resistensi LAM Tambah ADV, stop LAM, ganti
TNF
Resistensi ADV Stop ADV, ganti TNF/ETV
Resistensi ETV Tambah ADV, stop ETV, ganti TNF
Resistensi Ldt Tambah ADV, stop Ldt, ganti TNF
Resistensi TNF Tambah ETV, Ltv / LAM
Resistensi beberapa jenis obat Kombinasi ETV dan TNF
10. PENCEGAHAN
g. Imunisasi
Imunisasi adalah salah satu bentuk upaya pencegahan
transmisi (penularan) hepatitis B. Saat ini terdapat dua jenis
imunisasi yang tersedia, yaitu imunisasi aktif dan imunisasi
pasif. Imunisasi aktif dicapai dengan pemberian vaksin
hepatitis B. Vaksin diberikan dengan 3 dosis terpisah dengan
interval 0,1 dan 6 bulan. Pemberian 3 dosis vaksin ini akan
mampu melindungi tubuh dari infeksi hepatitis B dengan
tingkat keberhailan > 90 % selama lebih dari 20 tahun.
Pemberian vaksis hepatitis B direkomendasikan pada individu
yg berisiko tinggi terinfeksi VHB, diantaranya : individu
terpapar produk darah pada kerjanya, pasien ginjal yang
menjalani cuci darah, orang yang berumah tangga atau kontak
seksual dengan penderita hepatitis B, tinggal di daerah
endemis hepatitis B, petugas kesehatan, dan anak yang lahir
dari ibu dg hepatitis B. Imunisasi pasif digunakan hepatitis B
immune globulin (HBIg), dapat memberikan proteksi secara
cepat dan biasanya diberikan segera setelah bayi lahir bila
ibunya penderita infeksi hepatitis B kronis (PPHI., 2017).
h. Pencegahan umum.
Hepatitis B adalah penyakit yang ditularkan melalui
kontak dengan cairan tubuh pasien, seperti darah dan produk
darah, air liur, cairan vagina, cairan sperma, dan cairan tubuh
lainnya. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah :
menggunakan sarung tangan bagi tenaga medis yang kontak
dengan penderita, sterilisasi instrument dan alat kesehatan
dengan benar, penyuluhan dan pembinaan bagi penggunan
obat untuk tidak memakai jarum suntik bergantian,
menghindari memakai alat yang diduga dapat menularkan
VHB ( sikat gigi, sisir, pisau cukur), memakai kondom bila
pasangan mengidap VHB, dan skrining ibu hamil yang
berisiko tinggi terifeksi (PPHI., 2017).
11. PROGNOSIS
Prognosis pada kasus hepatomegali sangat tergantung pada
penyebabnya. Jika penyebabnya dapat diatasi dan tidak terjadi
kerusakan permanen pada hati, maka prognosisnya dapat baik.
Namun, jika terjadi kerusakan permanen pada hati atau
komplikasi yang lebih serius, maka prognosisnya dapat buruk.
(Aji & Prajitno., 2015)
BAB III
PEMBAHASAN
A. SIROSIS HATI
Pasien adalah seorang perempuan 74 tahun, dari hasil anamnesis pasien
mengakui bahwa sudah pernah dua kali mengalami sakit serupa. Sirosis hati
inilah yang menjadi komplikasi dari penyakit hepatitis B pada pasien.
Dari anamnesis, pasien mengeluhkan nyeri perut, perut membesar dan
terasa penuh selama 2 minggu yang lalu. Gejala lain yang timbul ada mual,
muntah darah sebanyak 3x, dan buang air besar (BAB) berdarah konsistensi
lembek sebanyak 3x. Hasil pemeriksaan radiologi terdapat edemo pulmo.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema tungkai pada ekstremitas bawah
kanan dan kiri.
Hasil pemeriksaan laboratorium, hemoglobin sebesar 9,8 g/dL. Hasil
pemeriksaan tersebut menunjukkan adanya gejala anemia, yaitu kondisi tubuh
kekurangan eritrosit normal. Trombosit sebesar 97x10˄3/μL yang berarti
kondisi trombositopenia, yaitu penurunan trombosit dibawah normal.
Sirosis Hati merupakan keadaan terjadinya fibrosis dan pembentukan
nodul hati yang disebabkan secara sekunder akibat cedera kronis sehingga
terjadi perubahan organisasi lobu-lar hati yang normaL. Sirosis hati
merupakan tahap akhir dari penyakit hati kronis dan dapat menyebabkan
penurunan fungsi hati serta perubahan bentuk hati normal, disertai dengan
peningkatan tekanan pada pembuluh darah dan gangguan aliran darah vena
porta yang berujung pada hipertensi portal. Penyebab sirosis hati berbeda-
beda di berbagai negara, dengan konsumsi alkohol, hepatitis C, dan NAFLD
(Non-Alcoholic Fatty Liver Disease). Proses patofisiologi sirosis hati
melibatkan berbagai jenis sel dalam hati, termasuk hepatosit, sel stelata, sel
endotel sinusoidal, dan sel Kupffer, yang semuanya berperan dalam
perkembangan penyakit ini. Gejala klinis sirosis hati meliputi kelelahan,
kehilangan nafsu makan, mual, penurunan berat badan, dan tanda-tanda fisik
seperti asites, hepatomegali, splenomegali, dan tanda lainnya. Tatalaksana
sirosis hati melibatkan pencegahan komplikasi, penanganan komplikasi yang
sudah ada, dan terapi spesifik untuk mengatasi masalah seperti asites,
hipertensi portal, ensefalopati hepatik, dan infeksi
Adi, S. dan Prajitno, J, H. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:1132-53
Dwi Yulia. (2019). Virus Hepatitis B Ditinjau dari Aspek Laboratorium. Jurnal
Kesehatan Andalas, 8(4), 247–254
Han, E. S., & goleman, daniel; boyatzis, Richard; Mckee, A. (2019). Situasi Penyakit
Hepatitis B di Indonesia. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9),
1689–1699
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan
Indonesia. 2021.
Sherwood, L. 2016. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 9. Jakarta: EGC.
Thaha, R., Yunita, E. and Sabir, M., 2020. SIROSIS HEPATIS. Jurnal Medical
Profession (Medpro), 2(3), pp.166-175.
Tripathi N, Mousa OY. Hepatitis B. StatPearls, Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2022.
Yulia, Dwi. 2019. Virus Hepatitis B Ditinjau dari Aspek Laboratorium. Jurnal
Kesehatan Andalas, 8(4)
World Health Organization. Global hepatitis report 2017. Geneva: World Health
Organization; 2017