Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) STAGE V ON HD, HIPOKALEMIA, ANEMIA


e.c CKD, CHRONIC HEART FAILURE e.c HYPERTENSIVE HEART DISEASE,
GASTROENTERITIS AKUT, DAN SYOK HIPOVOLEMIK

Disusun Oleh:

Siti Kamilah Afifah Valerianty


1102018115

Pembimbing:

dr. Donny Gustiawan Koesnadi, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD KABUPATEN BEKASI
13 JUNI – 20 AGUSTUS 2022
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. F
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 19 tahun
Tanggal Lahir : 9 September 2002
Pekerjaan : Siswa
Status Pernikahan : Belum menikah
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Alamat : Kp. Tambun
Tanggal Masuk RS : 2 Juli 2022
Tanggal Pemeriksaan : 2 Juli 2022
Nomor Rekam Medis : 028***

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan ibu pasien
pada hari Sabtu, 2 Juli 2022 di Bangsal Anggrek 2 RSUD Kabupaten Bekasi.

Keluhan Utama
Mual muntah tiap 10 menit sekali sejak 1 hari SMRS.

Keluhan Tambahan
Nyeri pada perut bagian tengah atas dan kiri atas sejak 3 hari SMRS.
BAB cair sebanyak 10-20x sehabis hemodialisa sejak 3 hari SMRS.
Merasa lemas sejak 3 hari SMRS.
Nafas berat 3 sejak hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi pada Sabtu, 2 Juli 2022 dengan
keluhan mual muntah yang semakin memberat 1 hari SMRS. Awalnya mual muntah
dirasakan setelah pasien melakukan hemodialisa pada hari Rabu, 29 Juni 2022.
Kemudian mual muntahnya memberat menjadi setiap habis makan, yang kemudian
semakin memberat lagi 1 hari SMRS dimana pasien mual muntah tiap 10 menit
sekali. Isi muntah berupa sisa makanan dan juga air dengan volume setiap muntah ¼
gelas Aqua (220 ml). Pasien merasa mual setiap mencium bau makanan dan
memuntahkannya setelah makan. Nyeri perut bagian tengah atas dan kiri atas juga
dirasakan oleh pasien sejak pasien muntah setelah hemodialisa 3 hari SMRS.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan BAB cair sebanyak 10-20x sehabis
hemodialisa 3 hari SMRS, yang membuat pasien mengkonsumsi obat diatab 3 kali
sehari. BAB yang dialami pasien berwarna kuning dengan konsistensi cair. Setelah
hemodialisa pada hari rabu, 3 hari SMRS, frekuensi BAB pasien sampai 20x sehari.
Namun saat pasien masuk rumah sakit pada hari sabtu, frekuensi BAB nya berkurang

2
menjadi 10x hari. Dalam 3 hari terakhir, pasien merasa lemas yang membuat pasien
hanya dapat berbaring di tempat tidur.
Pasien juga mengeluhkan nafasnya berat 3 hari SMRS, sehingga pasien agak
kesulitan untuk berbicara dan terlihat sedikit sesak. Pasien juga memiliki riwayat
hipertensi hingga mencapai 200/100 mmHg pada saat kontrol pada tanggal 13 Juni
2022. Pasien rutin meminum obat amlodipine 5 mg satu kali sehari. Pasien
dipindahkan dari bangsal anggrek 2 ke ICU pada hari Minggu, 3 Juli 2022 hingga
Senin, 4 Juli 2022 hingga pasien akhirnya meninggal. Pasien tidak melakukan
Hemodialisa pada hari Sabtu, 2 Juli 2022 dikarenakan tensi pasien yang rendah yaitu
80/50 mmHg. Pasien tidak memiliki riwayat alergi (-) ataupun diabetes mellitus (-).

Riwayat Penyakit Dahulu


(-) Riwayat keluhan serupa
(-) Riwayat pembedahan
(-) Riwayat Penyakit Ginjal
(-) Riwayat Penyakit Jantung
(-) Riwayat Penyakit Paru

Riwayat Pengobatan
Pasien rutin meminum obat Amlodipine 1 x 5 mg selama 1 tahun.
Pasien meminum obat tablet diatab 3 x 600 mg selama 3 hari.

Riwayat Penyakit Keluarga


(-) Riwayat Keluhan Serupa
(+) Riwayat Hipertensi
(-) Riwayat Diabetes Mellitus
(-) Riwayat Penyakit Ginjal
(-) Riwayat Penyakit Jantung

Riwayat Kebiasaan
(+) Riwayat penggunaan alkohol selama 3
tahun (-) Riwayat merokok
(-) Olahraga
(+) Minum minuman berpengawet 5 kali sehari.

III. STATUS GENERALIS


1. Kesadaran : Kompos Mentis (E4V5M6)
2. Keadaan Sakit Umum : Tampak sakit sedang
3. Tanda Vital :
 Tekanan Darah : 80/50 mmHg
(Riwayat 200/100 mmHg pada 13 Juni 2022)
 Nadi : 146 x/menit
 Respirasi 33
 Suhu : 370 C
 SpO2 : 99% (Nasal Canul 3 lpm)
4. Status Gizi

3
 BB : 69 kg
 TB : 168 cm
 IMT : 24.4 kg/m2 (Overweight)
IV. PEMERIKSAAN FISIK
Kepala Normocephal, rambut berwarna hitam, tersebar merata, dan tidak
mudah dicabut.
Wajah Simetris, edema (-), benjolan (-), Gerakan involunter (-)
Mata Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor
(3mm/3mm), RCL (+/+), dan RCTL (+/+).
Hidung Kelainan bentuk (-), deviasi septum (-), sekret (-), krepitasi (-),
darah (-), sekret (-), dan nafas cuping hidung (-).
Mulut Bibir pucat, sianosis (-), faring hiperemis (-), uvula di tengah,
tidak deviasi, papil lidah normal.
Telinga Normotia, otorrhea (-), serumen (-), dan nyeri tekan tragus (-).
Leher Trakea di tengah, pembesaran tiroid (-), pembesaran KGB (-).
Kulit Warna sawo matang, turgor baik, ikterik (-), pucat (-).
Paru-paru - Inspeksi : Normochest, sikatrik (-), pergerakan dada simetris,
diameter AP:T (1:2)
- Palpasi : Fremitus vocal dan fremitus taktil paru kanan dan kiri
simetris, nyeri tekan (-).
- Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru, peranjakan paru hepar
(+) ICS V.
- Auskultasi : Vesikuler (+/+) di seluruh lapang paru, rhonki (-/-),
wheezing (-/-).
Jantung - Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat, sikatrik (-)
- Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis
sinistra.
- Perkusi : Kardiomegali
 Batas jantung kanan pada ICS VI linea parasternalis
dextra.
 Batas pinggang jantung pada ICS V linea midclavicularis
sinistra.
 Batas jantung kiri pada ICS VI linea axillaris anterior
sinistra.
- Auskultasi : Bunyi jantung S1 S2 regular normal, murmur (-),
gallop (-).
- JVP L: 5 + 2.5 cm H20.
Abdomen - Inspeksi : Perut tampak cembung, tidak tampak pergerakan
peristaltik usus, spider navy (-), caput medusa (-), sikatrik (-).
- Auskultasi : Bising usus (+) normal 10 x/menit.
- Perkusi : Tympani pada seluruh lapang abdomen, shifting
dullness (+).
- Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), nyeri tekan
hipokondrium sinistra (+), hepatomegali (-), splenomegali (-),
ballottement (-), dan undulasi (+).
Ekstremitas - Eks. Atas : Akral dingin (+/+), edema (-/-), CRT > 2 detik.

4
- Eks. Bawah : Akral dingin (+/+), edema (-/-), CRT > 2 detik.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Laboratorium

20 Juni 2022
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

Hematologi

Darah Lengkap

Hemoglobin L 9,2 g/dL 12.0-16.0


Hematokrit L 26 % 38.0-47.0
Eritrosit L 3,2 10^3/µL 4.20-5.40
Trombosit 193 10^3/µL 150-450
Leukosit 9,8 10^3/µL 5.0-10.0

Ureum Kreatinin
Ureum HH 169 mg/dL 15-40
Kreatinin HH 10,1 mg/dL 0.51-0,95
eGFR LL 6,6 mL/min/1.73m2 >60
Glukosa Sewaktu 92 mg/dL 80-170

Paket Elektrolit
Natrium 137 mmol/L 136-146
Kalium 4,4 mmol/L 3.5-5.0
Klorida (CL) 102 mmol/L 98-106

21 Juni 2022
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

Hematologi

Darah Lengkap

Hemoglobin L 9,3 g/dL 12.0-16.0


Hematokrit L 27 % 38.0-47.0
Eritrosit L 3,31 10^3/µL 4.20-5.40
Trombosit 184 10^3/µL 150-450

5
Leukosit 10,2 10^3/µL 5.0-10.0

Ureum Kreatinin
Ureum HH 131 mg/dL 15-40
Kreatinin HH 8,4 mg/dL 0.51-0,95
eGFR LL 8,3 mL/min/1.73m2 >60
Glukosa Sewaktu 90 mg/dL 80-170

Paket Elektrolit
Natrium 137 mmol/L 136-146
Kalium 4,3 mmol/L 3.5-5.0
Klorida (CL) 99 mmol/L 98-106

03 Juli 2022
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

Hematologi

Darah Lengkap

Hemoglobin LL 6,4 g/dL 12.0-16.0


Hematokrit LL 18 % 38.0-47.0
Eritrosit L 2,26 10^3/µL 4.20-5.40
MCV L 79 fL 80-96
MCH 28 pg/mL 28-33
MCHC 36 g/dL 33-36
Trombosit 242 10^3/µL 150-450
Leukosit 8,9 10^3/µL 5.0-10.0

Hitung Jenis

Basofil 0 % 0.0-1.0
Eosinofil 2 % 1.0-6.0
Neutrofil 64 % 50-70
Limfosit L 13 % 20-40
NLR 4,92 % <=5.80
Monosit H 21 % 2-9
LED H 34 mm/jam <10

6
Kimia Klinik
SGOT(AST) 4 U/L <38
SGPT(ALT) 3 U/L <41

Ureum Kreatinin
Ureum HH 227 mg/dL 15-40
Kreatinin HH 14,9 mg/dL 0.51-0,95
eGFR LL 4,1 mL/min/1.73m2 >60
Glukosa Sewaktu 110 mg/dL 80-170

Paket Elektrolit
Natrium 140 mmol/L 136-146
Kalium L 3.1 mmol/L 3.5-5.0
Klorida (CL) 101 mmol/L 98-106

Analisa Gas Darah


Suhu Tubuh 37.0
pH 7,414 7,350 – 7,450
PCO2 L 21,1 mmHg 35 – 45
PO2 H 241,6 mmHg 83 – 108
HCO3 L 13,6 mmol/L 20 – 24
TCO2 L 14,3 mmol/L 21 – 25
Base Excess L 11,2 mmol/L 3,3 – 1,2
O2CT 97,7 95,0 – 98,0
SBC L 16,8 22 – 26

7
 Pemeriksaan Rontgen Thorax
Tanggal 7 Juni 2022

Temuan:
- Trakea di tengah, tidak deviasi
- CTR > 50%, Kardiomegali
- Corakan bronkovaskular kasar
- Diafragma, sinus costophrenicus, dan tulang dalam kondisi baik.

Kesan : Kardiomegali dan pulmo dalam batas normal.

8
 Pemeriksaan USG Abdomen (8 Juni 2022)

Temuan :
- Hepar : Ukuran tidak membesar, sudut tajam, permukaan rata, echogenitas
parenkim normal, tekstur parenkim homogen halus, kapsul tidak menebal,
tidak tampak bayangan nodul / massa. Vena porta dan vena hepatika tidak
melebar.

9
Tampak koleksi cairan di sekitar hepar dan koleksi cairan minimal pada
supradiafragma kanan.
- Kandung empedu : Besar normal, dinding tidak menebal, tidak tampak
batu/sludge.
- Duktus biliaris intra / ekstrahepatal: tidak melebar, tidak tampak bayangan
hiperekhoik dengan acoustic shadow.
- Spleen : Ukuran tidak membesar, tekstur parenkim homogen halus, tidak
tampak nodul / massa. Vena lienalis tidak melebar. Tampak koleksi cairan di
sekitar spleen.
- Pankreas : Kontur normal tidak tervisualisasi dengan jelas, sehingga sulit
dinilai.
- Ginjal kanan dan kiri: Ukuran mengecil, kontur normal, echogenitas
parenkim meningkat. Batas tekstur parenkim dengan central echocomplek
kurang jelas. Tidak tampak bayangan hiperekhoik dengan acoustic shadow.
Sistem pelvokalises tidak melebar. Ureter tidak terdeteksi.
- Vesica urinaria: Kurang terisi penuh, dinding tidak menebal, reguler, tidak
tampak bayangan hiperekhoik dengan acoustic shadow/massa. Tampak
koleksi cairan pada retrovesika.
- Prostat : Ukuran tidak membesar, tekstur parenkim homogen.
- Scan abdomen : Tidak tampak dilatasi ataupun penebalan pada dinding usus-
usus. Tampak koleksi cairan di antara usus-usus.

Kesan :
- USG hepar, kandung empedu, dan spleen tidak ada kelainan.
- Ascites massif.
- Efusi pleura minimal kanan.
- Proses kronis ginjal bilateral.
- USG vesika urinaria, prostat serta usus-usus saat ini tidak tampak kelainan.

10
 Pemeriksaan EKG

Interpretasi :
 Irama dasar : Sinus, regular
 Heart rate : 1500/10 = 150 kali/menit
 Aksis jantung : Normoaxis
 P wave : Durasi 0,12 s, Tinggi 0,4 mv (Right Atrium Enlargement)
 PR interval : Durasi 0,16 s
 QRS complex : Durasi 0,08 s
 ST segmen : Isoelektrik
 T wave : Normal, gelombang T pada lead precordial < 10 mm dan
pada lead ekstremitas : 35 mm
 Sokolow Iyon : S V1 + R V5 / V6 < 35
= 10 + 18 = 28
Kesan = Sinus Takikardi, Right Atrium Enlargement, Left Ventricular
Hypertrophy

VI. RESUME
Tn. F (19 tahun) datang dengan keluhan mual muntah tiap 10 menit sekali 1 hari
SMRS. Mual muntah dimulai setelah pasien melakukan hemodialisa 3 hari sebelum
masuk IGD. Mual muntah juga terjadi setiap habis pasien makan, dan frekuensi nya
bertambah banyak menjadi 10 menit sekali sejak 1 hari SMRS. Keluhan lain yang
dirasakan pasien berupa nyeri pada perut bagian tengah atas dan kiri atas 3 hari
SMRS.

11
BAB cair sebanyak 10-20x sehabis hemodialisa 3 hari SMRS. Lemas dan nafas berat
3 hari SMRS. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah yang
sebelumnya tinggi (200/100 mmHg) pada saat pasien dirawat sebelumnya yaitu
tanggal 13 Juni 2022, yang menurun drastis menjadi 80/50 mmHg pada tanggal 2 Juli
2022. Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi sejak 1 tahun yang lalu. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, nyeri tekan epigastrium dan
hipokondrium sinistra, undulasi (+), kardiomegali, JVP 5 + 2.5 cm H20, CTR > 2
detik, dan akral teraba dingin. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya
penurunan hemoglobin, hematokrit, eritrosit, dan eGFR yang sudah berlangsung
selama lebih dari 3 bulan. Ditemukan juga peningkatan urem serum, kreatinin serum,
dan kalium yang rendah. Pada pemeriksaan Rontgen Thorax ditemukan kesan
kardiomegali. Pada pemeriksaan USG Abdomen ditemukan kesan ukuran ginjal
kanan dan kiri mengecil dan batas korteks & medulla ginjal yang sudah tidak jelas.

VII. DIAGNOSIS KERJA


 Chronic Kidney Disease (CKD) Stage V (on HD)
 Anemia e.c Chronic Kidney Disease (CKD)
 Chronic Heart Failure e.c Hypertensive Heart Disease
 Gastroenteritis Akut
 Syok Hipovolemik

VIII. RENCANA PEMERIKSAAN


 Observasi Keadaan Umum dan Tanda-Tanda Vital
 Pemeriksaan H2TL/24 jam
 Pemeriksaan ureum kreatinin per hari
 Pemeriksaan paket elektrolit per hari
 Urinalisis
 Pemeriksaan retikulosit
 Pemeriksaan ferritin serum

IX. RENCANA PENATALAKSANAAN


a. Non-medikamentosa
 Diet rendah protein dan rendah garam (protein diberikan 0,6 – 0,8/kg.bb/hari)
 Diet kaya kalium (50-100 mEq/hari)
 KCl 20 mEq 3 – 4 kali sehari IV
 Transfusi Eritropoietin 1unit (500 cc) sampai Hb 8 gr/dl.
 Hemodialisa

b. Medikamentosa
 Golongan Diuretik Kuat : Furosemide IV 2 x 20 mg
 Golongan Antagonis Kalsium (Calcium Channel Blocker) : Amlodipin 1 x 5 mg
 Asam folat 3x1 mg
 Ranitidine 2x 50 mg IV
 Ondansetron 3 x 4 mg IV
 Metronidazole 3 x 500 mg IV

12
 Natrium Bikarbonat 3 x 500 mg
 CaCO3 3 x 500 mg
 New Diatab 3x 600 mg

X. PROGNOSIS
 Quo Ad Vitam : ad malam
 Quo Ad Functionam : ad malam
 Quo Ad Sanationam : ad malam

ANALISA KASUS
1) Apakah penegakkan diagnosis akhir pada pasien ini sudah benar?
Chronic Kidney Disease (CKD) Stage V on HD
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penurunan progresif fungsi ginjal yang bersifat
irreversible. Menurut guideline The National Kidney Foundation’s Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (NFK KDOQI), PGK didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
persisten dengan karakteristik adanya kerusakan struktural atau fungsional (seperti
mikroalbuminuria/proteinuria, hematuria, kelainan histologis ataupun radiologis), dan
atau menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) menjadi <60 ml/menit/1.73m2 selama
sedikitnya 3 bulan.

Menuru KDIGO 2012, ada 5 staging dari Chroning Kidney Disease:


Stage 1: eGFR >/ 90 ml/menit/1,73 m2 (normal atau tinggi)
Stage 2 (ringan): eGFR 60-89 ml/menit/1,73 m2 (menurun ringan)
Stage 3a: eGFR 45-59 ml/menit/1,73 m2 (menurun ringan-sedang)
Stage 3b: eGFR 30-44 ml/menit/1,73 m2 (menurun sedang-berat)
Stage 4: eGFR 15-29 ml/menit/1,73 m2 (menurun berat)
Stage 5 (gagal ginjal): eGFR </ 15 ml/menit/1,73 m2 => udah butuh renal replacement
therapy (RRT) atau hemodialisa (untuk prolong life dan memperlambat kerusakan fungsi
ginjal lebih lanjut).

Kriteria CKD menurut KDIGO 2012 adalah sebagai berikut (salah satu dari kriteria
berikut ini yang sudah dialami selama > 3 bulan) :
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, berupa kelainan struktual atau fungsional yang dapat
dideteksi melalui :
 albuminuria (AER ≥ 30 mg/24jam; ACR ≥ 30 mg/g [≥3 mg/mmol]),
 abnormalitas sedimen urin,
 gangguan elektrolit atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus,
 kelainan pada pemeriksaan histologi,
 kelainan struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan radiologi, dan
 riwayat transplantasi ginjal.
2. Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG < 60 ml/menit/1,73 m2) dalam waktu > 3
bulan, dengan atau tanpa kelainan struktural ginjal.

Pendekatan Diagnostik
a. Anamnesis

13
Meliputi :
 Sesuai dengan penyakit yang mendasari, seperti diabetes melitus, infeksi traktus
urinarius, hipertensi, hiperurikemi, dan lain sebagainya.
 Sindrom uremia, terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, pericarditis,
kejang-kejang sampai koma.
 Gejala komplikasi seperti hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit.

b. Pemeriksaan Laboratorium
Meliputi :
 Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
 Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung dengan rumus Kockcroft- Gault.
 Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar haemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hyponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic.
 Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.

c. Gambaran Radiologis

 USG Abdomen bisa ditemukan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, ada hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.

Implementasi Teori pada Kasus:

Pada pasien ini (Tn. F), didapatkan adanya penurunan fungsi ginjal berupa tingginya
kadar ureum dalam tubuh/uremia, yaitu 227 mg/dL (N: 15-40 mg/dL) dan juga kadar
kreatinin serum yang meningkat yaitu 14,9mg/dL (N: 0,51-0,95 mg/dL) dan penurunan
laju filtrasi glomerulus (eGFR) <15 ml/menit/1,73 m2 yaitu 4,1 ml/menit/1,73 m2 yang
sudah berlangsung selama lebih dari 3 bulan.

Pada pemeriksaan penunjang (USG Abdomen) didapatkan ukuran ginjal kanan dan kiri
yang sudah mengecil, dan batas antara korteks dan medulla ginjal yang sudah tidak jelas,
menandakan bahwa Tn. F sudah mengalami CKD.

Pada pasien ini juga terdapat sindrom uremia, yang ditandai dengan adanya mual-muntah
tiap 10 menit sekali, lemas, dan letalergi.

Terdapat penyakit yang mendasari yaitu hipertensi yang sudah berlangsung selama 1
tahun, yang sudah berkembang menjadi gagal jantung/chronic heart disease.

Hipokalemia

14
Hipokalemia adalah keadaan konsentrasi kalium darah di bawah 3,5 mEq/L yang
disebabkan oleh berkurangnya jumlah kalium total tubuh atau adanya gangguan
perpindahan ion kalium ke dalam sel.
Kalium (K+) memainkan peran kunci dalam menjaga fungsi sel normal.1 K+
adalah kation intraseluler utama, 98% kalium tubuh ditemukan intraseluler dan hanya 2%
di ekstraseluler. Hampir semua sel memiliki pompa Na-K-ATPase yang berfungsi
memompa natrium (Na+) keluar dari sel dan menarik K+ ke dalam sel, sehingga
menciptakan gradien K+ membran sel (K+ dalam > K+ luar) untuk menjaga perbedaan
potensial antar membran. Kalium ekstraseluler berlebihan (hiperkalemia) menurunkan
aksi potensi membran, sementara hipokalemia menyebabkan hiperpolarisasi dan tidak
responsifnya membran.

Hipokalemia dapat disebabkan oleh :


1. Deplesi Kalium Non Renal
Hipokalemia bisa merupakan manifestasi deplesi cadangan kalium tubuh. Dalam
keadaan normal, kalium total tubuh diperkirakan 50 mEq/kgBB dan kalium plasma
3,5- 5 mEq/L. Asupan K+ yang sangat kurang dalam diet menghasilkan deplesi
cadangan kalium tubuh. Kompensasi ginjal berupa pengurangan ekskresi K+ hanya
akan terpicu pada kondisi hipokalemia berat. Berkurangnya asupan sampai <10
mEq/hari menghasilkan defisit kumulatif sebesar 250-300 mEq (kira-kira 7-8%
kalium total tubuh) dalam 7—10 hari.9 Setelah periode tersebut, kehilangan lebih
lanjut dari ginjal minimal. Pada umumnya, seorang dewasa mengonsumsi sekitar 85
mmol kalium per hari, sementara lansia yang tinggal sendiri atau dalam kondisi
lemah tidak mendapat cukup kalium dalam diet. Diare merupakan penyebab tersering
hipokalemia.

2. Deplesi Kalium Renal


Diuretik adalah penyebab utama deplesi kalium renal akibat obat, karena peningkatan
pada tuba Na+ distal dan laju alir tubulus distal, selain hiperaldosteronisme sekunder.
Diuretik golongan tiazida memiliki efek lebih besar pada konsentrasi K+ plasma
daripada diuretik loop. Efek diuretik tiazida sebagian besar disebabkan oleh
penghambatan kotransporter Na-Cl di sel tuba kolektivus distal yang memicu
penambahan Na+ masuk melalui electrogenic amiloride-sensitive epithelial Na+
channels (ENaC), meningkatkan perbedaan potensial lumen-negatif, dan
meningkatkan sekresi K+. Kondisi ini berlawanan dengan terjadinya hiperkalsiuria
pada penggunaan diuretik loop; peningkatan kalsium sebagai respons terhadap
diuretik loop menghambat ENaC pada sel utama, sehingga mengurangi perbedaan
potensial lumen-negatif dan mengurangi ekskresi K + distal.

Implementasi Teori pada Kasus:

Pada pasien ini, kadar kalium nya dibawah normal, yaitu 3,1 mEq/L yang disebabkan
oleh deplesi kalium dari mual muntah pasien yang berlangsung sejak 3 hari SMRS dan
semakin berat sejak 1 hari SMRS dimana pasien mengalami mual muntah tiap 10 menit
sekali.

Anemia e.c Chronic Kidney Disease (CKD)

15
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Parameter yang paling umum dipakai untuk
menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh
hematokrit dan hitung eritrosit.

Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun
keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan
penurunan ebrat badan dan disebut anemia pada penyakit kronis. Pada umumnya, anemia
pada penyakit kronis ditandai oleh kadar Hb berkisar 7-11 g/dL, kadar Fe serum menurun
disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe yang tinggi di jaringan serta produksi sel darah
merah berkurang.

Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom stress hematologik
(haematologic stress syndrome), dimana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena
kerusakan jaringan akibat infeksi atau inflamasi. Sitokin dapat menyebabkan sekuestrasi
makrofag sehingga mengikat lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di
limpa, menekan produksi eritropoeitin oleh ginjal, serta menyebabkan perangsangan
inadekuat pada eritropoiesis di sumsum tulang.

Klasifikasi anemia berdasarkan gambaran morfologis dibagi menjadi tiga golongan :

1) Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV <80 fl dan MCH <27 pg


2) Anemia normokromik normositer, bila MCV 80- 95 fl dan MCH 27-34 pg
3) Anemia makrositer, bila MCV >95 fl

Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologic:

16
Kriteria anemia pada penyakit gagal ginjal kronis :

- Manifestasinya umumnya ringan atau sedang, sering kali gejalanya tertutup oleh gejala
penyakit dasarnya karena kadar Hb sekitar 7-11 gr/dL umumnya asimtomatik.
- Disertai rasa lemah dan penurunan berat badan
- Kadar haemoglobin berkisar 7-11 g/dL
- Kadar Fe serum menurun dan TIBC yang rendah
- Cadangan Fe yang tinggi dijaringan
- Produksi sel darah merah

berkurang Pendekatan diagnosis

a. Anamnesis

Gejala umum anemia (sindrom anemia) adalah gejala yang timbul pada setiap kasus
anemia apapun penyebabnya dan muncul ketika penurunan hemoglobin sampai kadar
tertentu (Hb <7 g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga
mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas, dan
dispepsia.

b. Pemeriksaan fisik :
- Umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat

c. Pemeriksaan laboratorium :
- Umumnya adalah anemia normokrom-normositer atau hipokrom ringan (MCV jarang
<75 fL)
- Anemia ringan dan tidak progresif (haemoglobin jarang <90 g/L) 3⁄4 keparahan
terkait dengan keparahan penyakit.
- Nilai retikulosit absolut dalam batas normal atau sedikit meningkat
- Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi sine qua non untuk diagnosis
anemia penyakit kronis
- Kadar TIBC rendah
- Konsentrasi transferrin menurun
- Feritin serum meningkat
- Besi cadangan sumsum tulang (retikuloendotelial) normal, tetapi besi
eritroblas berkurang.

Implementasi Teori pada Kasus:


Pada pasien ini, didapatkan kadar hemoglobin yang sangat rendah, yaitu 6,4 gr/dL (N:
12.0-
16.0 gr/dL) dan hematokrit yang juga menurun kadarnya yaitu 18% (N: 38.0-47.0%). MCV
pasien hanya menurun sedikit yaitu 79 fl (N: 80-96), sedangkan MCH dalam kadar normal

17
yaitu 28 pg/mL (N: 28-33). Oleh karena itu, anemia pada pasien ini merupakan anemia
normokrom-normositer, yaitu anemia pada gagal ginjal kronik.

Chronic Heart Disease (CHF)


Menurut Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung PERKI 2020, Gagal jantung dapat
didefinisikan sebagai abnormalitas dari struktur jantung atau fungsi yang menyebabkan
kegagalan dari jantung untuk mendistribusikan oksigen ke seluruh tubuh. Secara klinis, gagal
jantung merupakan kumpulan gejala yang kompleks dimana seseorang memiliki tampilan
berupa: gejala gagal jantung; tanda khas gagal jantung dan adanya bukti obyektif dari
gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat.

18
Klasifikasi gagal jantung dapat dijabarkan melalui dua kategori yakni kelainan struktural
jantung atau berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional dari New York
Heart Association (NYHA).

Hypertensive Heart Disease


Penyakit jantung hipertensi adalah sejumlah kondisi kelainan klinis atau struktural
jantung seperti hipertrofi ventrikel kiri, penyakit jantung koroner, dan penyakit jantung
kronis yang disebabkan oleh hipertensi arterial. Pada tahap awal penyakit jantung
hipertensi kebanyakan pasien tidak ada keluhan.

Kriteria diagnosis :
1. Pemeriksaan fisik : sesuai kriteria JNC VII 2. Fototoraks : kardiomegali
3. EKG : LVH
4. Ekokardiografi : LVH, disfungsi diastolik
Pendekatan diagnosis :
a. Anamnesis :
- Pusing, kepala berat
- Cepat lelah
- Berdebar-debar
- Tanpa keluhan
b. Pemeriksaan fisik :

19
TDS 140-159 mmHg atau TDD 90-99 mmHg (Stadium I)
TDS ≥160 mmHg atau TDD ≥100 mmHg (Stadium II)

Implementasi Teori pada Kasus:


Pada pasien ini, ditemukan adanya aritmia jantung (sinus takikardi), kardiomegali, dan
left ventricular hypertrophy pada EKG. Tn. F juga memiliki riwayat tekanan darah tinggi
hingga mencapai 200/100 mmHg pada 13 Juni 2022, kemudian pada rontgen thorax juga
ditemukan adanya CTR >50% yang menandakan adanya pembesaran jantung/kardiomegali
yang memperkuat diagnosis hypertensive heart disease pada pasien ini.

Gastroenteritis Akut
Gastroenteritis adalah suatu keadaan dimana terdapat inflamasi pada bagian mukosa dari
saluran gastrointestinal ditandai dengan diare dan muntah. Diare adalah buang air besar
dengan frekuensi yang meningkat dari biasanya atau lebih dari tiga kali sehari dengan
konsistensi feses yang lebih lembek atau cair (kandungan air pada feses lebih banyak dari
biasanya yaitu lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Gastroenteritis akut adalah diare
dengan onset mendadak dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam sehari disertai dengan
muntah dan berlangsung kurang dari 14 hari.
Anamnesis:
-Waktu dan frekuensi diare
-Bentuk tinja
-Keluhan lain yang menyertai seperti nyeri abdomen, demam, mual muntah, penurunan berat
badan
-Obat-obatan: laksan, antibiotika, imunosupresan
-Makanan/minuman
Pemeriksaan fisik
-Keadaan umum, status dehidrasi
Pemeriksaan penunjang
-Pemeriksaan tinja, darah, urin
-Pemeriksaan anatomi usus sesuai indikasi: barium enema/colon in loop (didahului BNO),
kolonoskopi, ilenoskopi, dan biopsy, usg abdomen, dan CT scan abdomen.

Implementasi Teori pada Kasus:

Pada pasien ini, didapatkan BAB cair sebanyak 10-20x sehabis hemodialisa sejak 3 hari
SMRS. BAB yang dialami pasien berwarna kuning dengan konsistensi cair. Sesuai dengan
kriteria diare akut/gastroenteritis akut, BAB cair yang terjadi bersifat akut (<14 hari) dengan
frekuensi lebih dari 3 kali dalam sehari, dimana pada pasien ini 10-20x/hari yang disertai
dengan mual muntah yang semakin memberat menjelang pasien masuk rumah sakit.

Syok Hipovolemik
Syok dikategorikan sebagai akibat dari hipoperfusi organ dan hipoksia jaringan, ditandai
dengan adanya penurunan tekanan darah arteri, takikardi, takipnea, akral dingin, perubahan
status mental, oliguria, dan asidosis laktat. Walaupun hipotensi biasanya ditemukan pada
pasien syok, namun belum ada angka pasti mengenai tekanan darahnya. Syok dapat terjadi
dari menurunnya curah jantung, penurunan resistensi vaskuler sistemik. Tiga kategori utama
dari

20
syok adalah hipovolemik, kardiogenik, dan tingginya curah jantung/rendahnya resistensi
vaskuler sistemik.
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan
metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh
yang serius seperti, perdarahan yang masif, trauma atau Iuka bakar yang berat (syok
hipovolemik}, infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik}, sepsis akibat bakteri
yang tak terkontrol (syok septik}, tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik)
atau akibat respons imun (syok anafilaktik).

2) Apakah penyebab keluhan pada pasien ini?


Keseimbangan asam basa tubuh diatur oleh ginjal dengan menyesuaikan keluaran
ion hidrogen (asam) dan ion bikarbonat (basa) melalui urine sesuai dengan kebutuhan.
Selain itu, ada juga organ paru yang dapat menyesuaikan laju ekskresi CO2 sebagai
penghasil ion hidrogen.
Istilah keseimbangan asam basa merujuk kepada regulasi akurat [H+] bebas
(yaitu, ion hidrogen yang tidak terikat) dalam cairan tubuh. Tiga lini pertahanan terhadap
perubahan [H+] bekerja untuk mempertahankan [H+] di cairan tubuh:
(1) sistem dapar kimiawi
(2) mekanisme pernapasan untuk mengontrol pH
Sistem pernapasan berperan penting dalam keseimbangan asam basa melalui
kemampuannya mengubah ventilasi paru dengan mengatur ekskresi CO2, penghasil
asam.
(3) mekanisme ginjal untuk mengontrol pH
Ginjal mengontrol pH cairan tubuh dengan menyesuaikan tiga faktor +-
yang saling berkaitan, yaitu ekskresi H , ekskresi HCO3 , dan sekresi ammonia (NH3).
Pada pasien dengan CKD, ginjal tidak dapat memproses H+ dalam jumlah normal yang
dihasilkan oleh asam-asam non-karbonat dari proses-proses metabolik sehingga H+ mulai
menumpuk dicairan tubuh. Ginjal juga tidak dapat menahan HCO3- dalam jumlah
memadai untuk menyangga beban asam yang normal. Kondisi ini disebut dengan asidosis
metabolic.
Dalam kondisi asidosis metabolik, peningkatan [H+] arteri akibat proses
metabolic merangsang pusat pernapasan di batang otak untuk meningkatkan ventilasi
paru (frekuensi pernapasan). Seiring dengan peningkatan kecepatan dan kedalaman
napas, maka semakin banyak CO2 dihembuskan keluar. Jadi, meningkatkan frekuensi
pernapasan dalam kasus ini sesak napas merupakan kompensasi paru untuk mengatasi
gangguan pada ginjal.

Etiologi Syok Hipovolemik


Syok hipovolemik adalah tergangguanya sistem sirkulasi akibat dari volume
darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat perdarahan yang
masif atau kehilangan plasma darah.

21
Patofisiologi Syok Hipovolemik
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan
menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inlah yang menimbulkan penurunan curah
jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa kejad
ian pada beberapa organ:

Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan
otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus gastrointestinal.
Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi tetapi
kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan energi . Sehingga keduanya
sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi
iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak.
Ketika tekanan arterial rata -rata (mean arterial pressure/ MAP) jatuh hingga <60
mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan
terganggu.

Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan
kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonom tubuh yang
mengatur perfusi serta substrak lain.

Kardiovaskular
Tiga variabel seperti; pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi)
ventrikel dan kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup.
Curah jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali volume sekuncup
dan frekuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang
pada akhirnya menurunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung
sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan curah jantung.

22
Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan
absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati di dalam usus.
Hal ini memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan metabolisme dan bukan
memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung.

Ginjal
Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi
terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak
terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan
pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras angiografi.
Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air.
Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk
mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama dengan aldosteron dan
vasopresin bertanggung jawab terhadap menurunnya produksi urin.

Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan


hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan. Diagnosis akan sulit bila
perdarahan tak ditemukan dengan jelas atau berada dalam traktus gastrointestinal atau
hanya terjadi penurunan jumlah plasma dalam darah. Setelah perdarahan maka biasanya
hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun sampai terjadi gangguan kompensasi
atau terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit di awal tidak menjadi
pegangan sebagai adanya perdarahan. Kehilangan plasma ditandai dengan
hemokonsentrasi, kehilangan cairan bebas ditandai dengan hipernatremia. Temuan
terhadap hal ini semakin meningkatkan kecurigaan adanya hipovolemia.
Harus dibedakan syok akibat hipovolemik dan akibat kardiogenik karena
penatalaksanaan yang berbeda. Keduanya memang memiliki penurunan curah jantung
dan mekanisme kompensasi simpatis. Tetapi dengan menemukan adanya tanda syok
kardiogenik seperti distensi vena jugularis, ronki dan gallop 53 maka semua dapat
dibedakan.

TATALAKSANA
Ketika syok hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus dilakukan adalah
menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernapasan dan
diberikan resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intra vena atau cara lain yang
memungkinkan seperti pemasangan kateter CVP (central venous pressure) atau jalur
intraarterial. Cai ran yang diberikan adalah garam isotonus yang ditetes dengan cepat
(hati- hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau dengan cairan garam seimbang seperti
Ringer's laktat (RL) dengan jarum infus yang terbesar. Tak ada bukti medis tentang
kelebihan pemberian cairan koloid pada syok hipovolemik. Pemberian 2 - 4 L dalam 20 -
30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik .
Guna mengetahui cairan sudah memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan
tekanan pengisian ventrikel dapat dilakukan pemeriksaan tekanan baji paru dengan
menggunakan kateter Swan-Ganz. Bila hemodinamik tetap tak stabil, berarti perdarahan
atau kehilangan cairan belum teratasi. Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar
hemoglobin </10 g/dl perlu penggantian darah dengan transfusi . Jenis darah transfusi
tergantung kebutuhan.

23
Disarankan agar darah yang digunakan telah menjalani tes cross-match (uji silang), bila
sangat darurat maka dapat digunakan Packed red eels tipe darah yang sesuai atau 0-
negatif. Pada keadaaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan, dukungan
inotropik dengan dopamin, vasopressin atau dobutamin dapat dipertimbangkan untuk
mendapa~kan kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah dicukupi dahulu.
Pemberian norepinefrin infus tidak banyak memberikan manfaat pada hipovolemik.
Pemberian nalokson bolus 30 mcg/kg dalam 3 -5 menit dilanjutkan 60 mcg/kg dalam 1
jam dalam dekstros 5% dapat membantu meningkatkan MAP.
Selain resusitasi cairan, saluran pernapasan harus dijaga. Kebutuhan oksigen
pasien harus terpenuhi dan bila dibutuhkan intubasi dapat dikerjakan. Kerusakan organ
akhir jarang terjadi dibandingkan dengan syok septik atau traumatik. Kerusakan organ
dapat terjadi pada susunan saraf pusat, hati dan ginjal dan ingat gagal ginjal merupakan
komplikasi yang penting pada syok ini.

3) Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah adekuat?

a. Non-medikamentosa
 Diet rendah protein
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG £60 ml/menit, sedangkan
diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Pemantauan
terhadap protein penting untuk dilakukan karena kelebihan protein tidak akan disimpan
didalam tubuh, tetapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang akan di
ekskresikan melalui ginjal. Dengan membatasi asupan protein maka akan mengakibatan
berkurangnya sindrom uremia, mencegah perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang akan meningkatkan
progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga dapat mencegah
terjadinya hiperfosfatemia karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang
sama.
Jumlah protein yang diberikan pada pasien yang sudah dan sedang diterapi
hemodialisis adalah 1 – 1,2 gram/kgBB/hari.
 Diet kaya kalium
Pada pasien ini, kalium rendah yaitu 3,1 mmol/L (N: 3,5-5 mmol/L). Pada hipokalemia
ringan, dapat diberikan KCl oral 20 mEq 3 – 4 kali sehari dan edukasi diet kaya kalium.
Makan makanan yang mengandung kalium rata-rata 50-100 mEq/hari (contoh makanan
tinggi kalium termasuk kismis, pisang, aprikot, jeruk, alpukat, kacang-kacangan, dan
kentang).
 Transfusi Eritropoietin 1 unit (500 cc)
Transfusi diberikan jika Hb <6 g/dL. Jenis transfusi yang dipakai adalah Eritropoietin.
Eritropoietin merupakan faktor pertumbuhan sel darah merah yang diproduksi terutama
oleh ginjal dalam sel peritubular dan tubuli proksimal. Eritropoietin terutama
diindikasikan untuk anemia pada pasien gagal ginjal kronik karena dapat meningkatkan
hematokrit, haemoglobin, dan mengurangi/menghindarkan kebutuhan tranfusi. Pasien
yang mendapatkan perhatian pada terapi EPO adalah pasien dengan hipertensi tidak
terkendali
24
(sistolik 180 mmHg, diastolik 110 mmHg), hiperkoagulasi, dan beban cairan berlebih.
Kontra indikasi untuk terapi EPO adalah pasien yang hipersensitif terhadap EPO.
 Hemodialisa
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG
<15 ml/menit.
Indikasi dilakukan hemodialisa (salah satu) :
 Asidosis metabolik yang ditandai dengan pH <7.1
Pada pasien CKD dapat terjadi asidosis metabolik dikarenakan adanya peningkatan kadar
ureum yang bersifat asam.
 Gangguan elektrolit kalium (hiperkalemia) mencapai K >6.5 mEq/L.
 Intoksikasi, contohnya intoksikasi opioid dan intoksikasi alkohol.
 Overload cairan hingga mengalami edema pulmo.
 Terjadi komplikasi uremic pericarditis atau uremic encephalopathy.
 CKD stage V dengan LFG <15 mL/Min/1.73 m
Pada pasien terdapat peningkatan kadar ureum sehingga terjadi asidosis metabolik,
hiperkalemia, dan LFG pasien adalah 1.8 mL/Min/1.73 m

1. b. Medikamentosa

 Golongan Diuretik kuat : Furosemide IV 2 x 20 mg

Bekerja dengan meningkatkan ekskresi natrium, air, dan klorida sehingga menurunkan
volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya, terjadi penurunan curah jantung dan
tekanan darah.

• Golongan tiazid

Golongan tiazid umumnya kurang efektif pada gangguan fungsi ginjal, dapat
memperburuk fungsi ginjal, dan pada pemakaian lama dapat menyebabkan
hiperlipidemia. Oleh karena itu, untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal disarankan
untuk menggunakan diuretik kuat.

• Diuretik kuat -> furosemide Diuretik kuat digunakan pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal

(kreatinin serum >2,5 mg/dL) karena memberikan efek hiperkalsuiuria dan menurunkan
kalsium darah.

 Golongan Antagonis kalsium (Calcium Channel Blocker) : Amlodipin 1 x 5 mg

Pemberian CCB pada pasien penyakit ginjal menahun dengan hipertensi dapat
menurunkan tekanan darah secara efektif. CCB juga hanya sedikit yang diekskresi dalam
bentuk utuh lewat ginjal sehingga tidak perlu penyesuaian dosis pada gangguan fungsi
ginjal.

25
 Asam folat 3x1 mg

Pasien penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis biasanya akan diberikan terapi asam
folat. Asam folat berperan dalam pemulihan dan pemeliharaan hematopoiesis normal.
Proses hematopoiesis adalah proses sumsum tulang membuat sel darah merah sesuai
dengan yang dibutuhkan oleh tubuh. Proses inilah yang akan membutuhkan vitamin B12
dan Asam folat.

Proses ini dapat berjalan baik dengan bantuan eritropoietin. Eritropoietin adalah hormon
yang merangsang pembuatan sel darah merah yang diproduksi oleh ginjal. Ginjal yang
sehat biasanya akan memproduksi eritropoetin, yang menstimulasi sumsum tulang untuk
memproduksi sel-sel darah merah yang dibutuhkan untuk membawa oksigen ke organ-
organ vital. Ginjal yang tidak normal biasanya tidak bisa memproduksi eritropoetin
dalam jumlah yang cukup. Akibatnya sumsum tulang hanya memproduksi sedikit sel
darah merah.

Sehingga dengan penggunaan asam folat yang dapat membantu pemulihan hematopoiesis
maka dapat membantu meningkatkan kadar hemoglobin.

 Ranitidine 2 x 50 mg IV

Ranitidine merupakan antagonis histamin dari reseptor H2 yang bekerja untuk


menghambat sekresi asam lambung. Ranitidin bekerja menghambat reseptor histamin H2
secara selektif dan reversibel. Reseptor histamine terdapat pada sel parietal di lambung
yang mensekresi asam lambung. Adanya histamine akan mengaktifkan pompa proton
(H+/K+ + ATPase) yang akan membentuk cAMP dan merangsang sel parietal untuk
membentuk asam lambung. Dengan adanya antihistamine (ranitidine), maka jumlah
cAMP intrasel akan berkurang sehingga sekresi asam lambung oleh sel parietal dapat
dihambat.

 Natrium bikarbonat 3 x 500 mg

Asidosis metabolik adalah gangguan keseimbangan asam-basa yang menyebabkan


penurunan kadar bikarbonat dalam plasma dan terjadi penurunan pH akibat tidak
normalnya ginjal dalam mengekskresikan ion H+. Natrium Bikarbonat adalah Alkalizing
Agent yang digunakan untuk mengatasi asidosis metabolik pada pasien penyakit ginjal
kronis dengan meningkatkan kadar bikarbonat dan meningkatkan pH darah.

26
TUGAS TAMBAHAN/PR

1. KRITERIA LVH

Penyebab terbanyak dari left ventricular hypertrophy adalah stenosis aorta,


regurgitasi aorta, hipertensi, kardiomiopati, dan kontraksi aorta. Terdapat
beberapa kriteria pada EKG, yang secara umum mempunyai spesifistas yang
tinggi untuk diagnosis, namun kurang sensitif.

Kriteria EKG pada LVH:

Sokolow-Lyon criteria

(RV5 atau RV6) + (SV1 atau SV2) > 35 mm atau

RaVL > 11 mm

Kriteria Sokolow-Lyon’s adalah kriteria yang paling sering digunakan, meskipun


mempunyai sensitivitas terendah (20%) dari semua kriteria. Namun spesifisitas
nya tinggi (>85%).

Cornell-voltage criteria

Laki-laki: S (V3) + R di (aVL) > 28 mm

Perempuan: S (V3) + R (aVL) > 20 mm

Sensitivitas 42%, spesifisitas 95%.

Cornell product criteria

27

(RaVL + SV3) , durasi QRS > 2440 mVms

Merupakan kriteria terbaik, dengan sensitivitas 51% dan spesifisitas 95%.

Perubahan EKG pada LVH

Pemanjangan gelombang R pada V5, V6, I, dan aVL, serta gelombang S yang
dalam pada V1 dan V2, yang menandakan adanya LVH.

2. KRITERIA SYOK SEPSIS & SYOK HIPOVOLEMIK

SYOK SEPSIS

Sepsis merupakan respons sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen atau
toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses
inflamasi. Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang saat ini
digunakan di klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam konsensus American
College ofChest Physician dan Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992
yang mendefinisikan sepsis, sindroma respons inflamasi sistemik (systemic
inflammatory response syndrome/SIRS), sepsis berat dan syok/renjatan septik.

Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang


menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu
metabolisme sel jaringan. Terdapat berbagai sebab terjadinya syok seperti

28
perdarahaan, infark miokard, anafilaksis, emboli paru dan yang cukup sering
ditemukan adalah syok septik.

Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah


(tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan tekanan darah
sistolik lebih dari 40 mmHg) disertai tanda kegagalan sirkulasi, meskipun telah
dilakukan resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk
mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ.

Syok septik merupakan keadaan gawat darurat yang memerlukan


penanganan segera oleh karena semakin cepat syok dapat teratasi, akan
meningkatkan keberhasilan pengobatan dan menurunkan risiko kegagalan organ
dan kematian. Oleh karena itu strategi penatalaksanaan syok septik yang tepat dan
optimal perlu diketahui untuk mendapatkan hasil yang diharapkan.

Penatalaksanaan syok septik merupakan bagian dari penatalaksanaan


sepsis yang komprehensif, mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi,
eliminasi sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan,
terapi antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau
renjatan, vasopresor dan inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ,
gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila terjadi respons imun maladaptif
pejamu terhadap infeksi.

Penatalaksaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi


yang perlu dilakukan segera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam
6 jam pertama, dimulai sejak pasien tiba unit gawat darurat. Tindakan mencakup
airway: a). breathing; b). circulation; c). oksigenisasi, terapi cairan (kristaloid
dan/atau koloid), vasopresor/inotropik dan transfusi bila diperlukan. Pemantauan
dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena
sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan
produksi urin >0,5 ml/kg/jam.

Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi
atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfus i.
Traspor (delivery) oksigen ke jaringan dapat pula terganggu akibat keadaan
hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan curahjantung. Kadar
hemoglobin yang rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oksigen
oleh eritrosit menurun. Traspor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh
gangguan perfusi akibat disfungsi vaskular, mikrotrombus dan gangguan
penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.

SYOK HIPOVOLEMIK

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan


hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul

29
akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius seperti, perdarahan yang masif,
trauma atau Iuka bakar yang berat (syok hipovolemik}, infark miokard luas atau
emboli paru (syok kardiogenik}, sepsis akibat bakteri yang tak terkontrol (syok
septik}, tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat
respons imun (syok anafilaktik).
Perdarahan akan menurunkan tekanan peng1s1an pembuluh darah rata-
rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inlah yang
menimbulkan penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di bawah
normal akan menimbulkan beberapa kejad ian pada beberapa organ:
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-
perdarahan serta perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam
kecepatan timbulnya syok. Respons fisiologi yang normal adalah
mempertahankan perfusi terhadap otak dan jantung sambil memperbaiki volume
darah dalam sirkulasi dengan efektif. Disini akan terjadi peningkatan kerja
simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormon stres serta
ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan menggunakan
cairan intersisial, intraselular dan menurunkan produksi urin.
Hipovolemia ringan (<20% volume darah) menimbulkan takikardia ringan
dengan sedikit gejala yang tampak, terutama pada penderita muda yang sedang
berbaring (Tabel 2). Pada hipovolemia sedang (20-40% dari volume darah) pasien
menjadi lebih cemas dan takikardia lebih jelas, meski tekanan darah bisa
ditemukan normal pada posisi berbaring, namun dapat ditemukan dengan jelas
hipotensi ortostatik dan takikardia. Pada hipovolemia berat maka gejala klasik
syok akan muncul, tekanan darah menurun drastis dan tak stabil walau posisi
berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung.
Perfusi ke susunan saraf pusat dipertahankan dengan baik sampai syok bertambah
berat. Penurunan kesadaran adalah gejala penting. Transisi dari syok hipovolemik
ringan ke berat dapat terjadi bertahap atau malah sangat cepat, terutama pada
pasien usia lanjut dan yang memiliki penyakit berat di mana kematian
mengancam. Dalam waktu yang sangat pendek dari terjadinya kerusakan akibat
syok maka dengan resusitasi agresif dan cepat.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Bakta, I Made. Pendekatan terhadap Pasien Anemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jul: 2575 – 2582.
2. Bartel B, Gau E. Fluid and electrolyte management. In: Johnson TJ. Critical care
pharmacotherapeutics. 1st ed. Burlington (MA): Jones & Bartlett Learning, LLC; 2015.
p. 11 – 13.
3. Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed. New York: McGraw-Hill; 2014.
4. Hersunarti, N., Siswanto, B. B., Erwinanto, Nauli, S. E., Lubis, A. C., Wiryawan, N.,
Dewi,
P. P., Hasanah, D. Y., & Pratikto, R. S. (2020). Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung
PERKI 2020. Indonesian Journal of Cardiology, 1–139.
5. Kardalas E, Paschou SA, Anagnostis P, Muscogiuri G, Siasos G, Vryonidou A.
Hypokalemia: A clinical update. Endocr Connect. 2018;7(4): 135–46.
6. Kidney disease: Improving global outcomes (KDIGO) CKD-MBD update work group.
KDIGO 2017 Clinical Practice Guideline Update for the diagnosis, evaluation,
prevention, and treatment of chronic kidney disease–mineral and bone disorder (CKD-
MBD). Kidney Int Suppl. 2017;7:1–59. (2017). Kidney International Supplements, 7(3).
https://doi.org/10.1016/j.kisu.2017.10.001
7. NKF-KDIGO. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and
management of chronic kidney disease. ISN. 2013; 3(1):1–163.
8. Riddle, M., DuPont, H. and Connor, B. (2016). ACG Clinical Guideline: Diagnosis,
Treatment, and Prevention of Acute Diarrheal Infections in Adults. The American
Journal of Gastroenterology, 111(5), pp.602-622
9. Supandiman, I., Heri Fadjari. Anemia pada Penyakit Kronis. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jul:
2642
– 2645.
10. Suwitra, K. Penyakit Ginjal Kronik. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jul: 2159 – 2165.
11. Yogiantoro, M. Pendekatan Klinis Hipertensi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jul: 2259 – 2283.
12. Zantac, Zantac 150 maximum strength (ranitidine) dosing, indications, interactions,
adverse effects, and more. Zantac, Zantac 150 Maximum Strength (ranitidine) dosing,
indications, interactions, adverse effects, and more. (2020, April 1). Retrieved July 8,
2022, from https://reference.medscape.com/drug/zantac-ranitidine-342003#10

31

Anda mungkin juga menyukai