Disusun oleh:
dr. Dhon Rizal Gusnanda
Narasumber:
dr. Sukaenah, Sp.P
Pembimbing :
Dr.Afifah, Sp.PD
JAKARTA 2019
DAFTAR ISI
BAB I. Pendahuluan................................................................................2
BAB II. Laporan Kasus...........................................................................4
Bab III. Tinjauan Pustaka........................................................................16
III.1. Efusi Pleura...........................................................................16
III.2. Penyakit Jantung Kongestif..................................................34
III.3. Diabetes Mellitus Tipe 2……………………………………
Diabetes Mellitus
Bab IV. Analisa Kasus............................................................................52
Daftar Pustaka.........................................................................................54
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 59 tahun
Alamat : Bali Matraman, Manggarai Selatan, Tebet
Agama : Islam
Status perkawinan : Kawin
Suku : Betawi
Pendidikan terakhir : SMA
Tanggal Masuk RS : 14 Desember 2019
Tanggal Pemeriksaan : 15 Agustus 2019
No. Rekam Medik : 899256
II. ANAMNESA
Data diperoleh secara autoanamnesis pada tanggal 15 Agustus 2019.
1. Keluhan Utama
Sesak nafas sejak 5 hari SMRS
5. Riwayat Pengobatan
Pasien saat ini menjalani pengobatan diabetes mellitus rutin minum
obat metformin 2x500 mg per hari. Riwayat alergi obat-obatan juga
disangkal oleh pasien.
6. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku mempunyai kebiasaan merokok sehari 5-6 batang
sejak 20 tahun yang lalu, namun sudah berhenti 5 bulan belakangan ini.
Pasien tidak mengkonsumsi alkohol. Pasien jarang berolahraga.
Ro Thorax :
- Gambaran sudut kostofrenikus kanang tumpul
4. EKG
V. DIAGNOSIS
• Efusi pleura dextra susp TB Paru Kasus Baru
• CHF fc II-III
• Diabetes Mellitus tipe II
VI. PENATALAKSANAAN
1. Tatalaksana Awal IGD :
Inhalasi ventolin 1 X
Lasix 2 ampul intravena
2. Konsultasi Sp.P:
Diagnostik : cek TCM, kultur sputum gram dan jamur, albumin
Terapi :
a.IVFD Asering 500 cc + lasal 2 cc/24 jam
b. BK III 3 x 1 tablet
c.Ambroxol 3 x 30 mg per oral
3. Konsultasi Sp. JP
Amlodipin 1 x 10 mg per oral
Concor 1 x 2,5 mg per oral
4. Konsultasi Sp.PD
VII. PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
Ad fungsionam : Ad bonam
VIII. RESUME
IX. PEMANTAUAN DI RUANG RAWAT INAP
15 Agustus 2019
S : Pasien masih sesak nafas, batuk sudah berkurang.
O : Vital Sign : TD 120/80 mmHg
N 62 kali/menit
S 36,8OC
RR 20 x/menit
Mata : conjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
Jantung : Bunyi jantung 1-2 reguler, murmur (-)
Pulmo : pengembangan dinding dada simetris kanan=kiri, retraksi (-), suara
dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-) ronki (+/-)
Abdomen : supel (+) Nyeri tekan (-) bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas : akral dingin (-/-/-/-) Oedem (-/-/-/-)
Hasil Laboratorium :
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hematologi
LED 48* mm/jam 0 - 30
Kimia Klinik
GDS 165 mg/dL 70 - 110
AST/SGOT 40 mU/dl < 33
ALT/SGPT 45 mU/dl < 50
Albumin 2.6 g/dL 3.5 – 5.2
Imunoserologi
Anti HIV
Screening rapid test Non Reaktif Non Reaktif
16 Desember 2019
S : Pasien sesak dan batuk sudah berkurang, sedikit mual.
O : Vital Sign : TD 120/90 mmHg
N 84 kali/menit
S 36,8OC
RR 20 x/menit
SpO2 98%
Mata : conjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
Jantung : Bunyi jantung 1-2 reguler, murmur (-)
Pulmo : pengembangan dinding dada simetris kanan=kiri, retraksi (-), suara
dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-) ronki (+/-)
Abdomen : supel (+) Nyeri tekan (-) bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas : akral dingin (-/-/-/-) Oedem (-/-/-/-)
Hasil Laboratorium :
Jenis Hasil Satuan Nilai Rujukan
Pemeriksaan
Mikrobiologi
Sediaan Gram
Epitel 20 – 30
PMN 50 – 80 0 - 30
Blastospora Positif* Negatif
Pseudohifa Negatif Negatif
Clue cells Negatif Negatif
Gram Positif Positif* Negatif
Kokus
Gram Negatif Negatif Negatif
Kokus
Gram Negatif Positif* Negatif
Batang
Gram Positif Negatif Negatif
Batang
Gram Negatif Negatif Negatif
Diplokokus Intra
Sel
Gram Negatif Negatif Negatif
Diplokokus Extra
Sel
Sediaan Jamur KOH
Sputum Spora (+)
Blastospora (+)
Kimia Darah
GDS 158* mg/dL 70 - 110
Analisa Gas Darah
Ph 7.50* 7.35 - 7.45
pCO2 22* mmHg 35 - 45
pO2 116* mmHg 80 – 100
Bikarbonat 17* mmol/L 21 – 28
(HCO3)
Total CO2 18* mmol/L 23 – 27
Saturasi O2 99 % 95 – 100
Kelebihan Basa -3.6 mEq/L -2.5 – 2.5
(BE)
18 Desember 2019
S : Sesak berkurang, badan terasa lemas.
O : Vital Sign : TD 120/79 mmHg
N 80 kali/menit
S 36,5 OC
RR 20 x/menit
SpO2 98%
Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Jantung : Bunyi jantung 1-2 reguler, murmur (-)
Pulmo : pengembangan dinding dada simetris kanan=kiri, retraksi (-), suara
dasar vesikuler (+/+), wheezing (+/+) ronki (+/-)
Abdomen : supel (+) Nyeri tekan (-) bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas : akral dingin (-/-/-/-) Oedem (-/-/-/-)
Hasil Laboratorium
Jenis Hasil Satuan Nilai Rujukan
Pemeriksaan
Hematologi
Lengkap
Hemoglobin 10.5* g/Dl 13.2 – 17.3
Hematokrit 31* % 40 – 52
Eritrosit 3.7* juta/ µL 4.4 – 5.9
Leukosit 5.0 ribu/ µL 3,8 – 10,6
Trombosit 336 ribu/ µL 150 – 440
MCV 83.9 Fl 80 – 100
MCH 28.6 pg 26 – 34
MCHC 34.1 g/Dl 32 – 36
RDW 15.1* % < 14
Kimia Klinik
GDS 118* mg/dL 70 – 110
Ureum 78* mg/dL 13-43
Creatinin 1.34* mg/dL <1.2
19 Desember 2019
Ada analisa cairan pleura, dilakukan punksi pleura
S : Sesak berkurang, batuk -.
O : Vital Sign : TD 120/70 mmHg
N 79 kali/menit
S 36,8OC
RR 20 x/menit
SpO2 98%
Mata : conjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
Jantung : Bunyi jantung 1-2 reguler, murmur (-)
Pulmo : pengembangan dinding dada simetris kanan=kiri, retraksi (-), suara
dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-) ronki (-/-)
Abdomen : supel (+) Nyeri tekan (-) bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas : akral dingin (-/-/-/-) Oedem (-/-/-/-)
Hasil Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Cairan Tubuh
Analisa Cairan Pleura
Warna Kuning Kuning Muda
Kejernihan Agak keruh Jernih
Bekuan Negatif Negatif
Jumlah sel 564 < 300
Hitung jenis sel
Limfosit 96 %
Monosit 2 %
Neutrofil 2 %
Glukosa 147* mg/dL 70 – 100
Total Protein 1.75 g/ dL <3
Pulasan Gram Negatif Negatif
Pulasan BTA Negatif Negatif
20 Desember 2019
S : Pasien mengatakan sesak, demam, dan batuk sudah berkurang.
O : Vital Sign : TD 130/80 mmHg
N 62 kali/menit
S 36,8OC
RR 20 x/menit
Mata : conjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
Jantung : Bunyi jantung 1-2 reguler, murmur (-)
Pulmo : pengembangan dinding dada simetris kanan=kiri, retraksi (-), suara
dasar vesikuler (+/+), wheezing (+/+) ronki (-/-)
Abdomen : supel (+) Nyeri tekan (-) bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas : akral dingin (-/-/-/-) Oedem (-/-/-/-)
A : Efusi pleura dextra susp. TB Paru Kasus Baru
CHF fc II-III
Diabetes Mellitus tipe II
P : IVFD Asering/ 24 jam
Injeksi Vicilin 4 x 1 gr
Injeksi Lasix 2 x 1 ampul
Ambroxol 3 x 30 mg per oral
BK III 3 x 1 tablet per oral
Metformin 2 x 500 mg per oral
Amlodipin 1 x 10 mg per oral
Concor 1 x 2,5 mg per oral
Fluconazole 1 x 150 mg per oral
Spironolacton 1 x 50 mg per oral
Vip albumin 3 x 2 tablet per oral
Dr. asep blpl
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
ETIOLOGI
Efusi pleura transudatif merupakan efusi pleura yang berjenis cairan
transudate. Efusi pleura ini disebabkal oleh gagal jantung kongestif, emboli paru,
sirosis hati (penyakit intraabdominal), dialysis peritoneal, hipoalbuminemia, sindrom
nefrotik, glomerulonephritis akut, retensi garam, atau pasca by pass coroner.
Efusi pleura yang jenis cairannya merupakan suatu eksudat dinamakan efusi
pleura eksudatif. Eksudat terjadi akibat peradangan atau infiltrasi pada pleura atau
jaringan yang berdekatan dengan pleura. Kerusakan pada dinding kapiler darah
menyebabkan terbentuknya cairan kaya protein yang keluar dari pembuluh darah juga
dapat menyebabkan efusi pleura eksudatif.
Penyebab efusi pleura eksudatif adalah neoplasma, infeksi, penyakit jaringan
ikat, penyakit intraabdominal, dan imunologik.
1. Neoplasma
Neoplasma penyebab efusi pleura meliputi karsinoma bronkogenik (dalam
keadaan ini, jumlah leukosit biasanya > 2.500/mL, sebagian terdiri dari
limfosit, sel maligna, dan sering terjafi reakumulasi setelah torakosentesis),
tumor metastasis (lebih sering berasal dari karsinoma mammae, lebih sering
bilateral jika dibandingkan dengan karsinoma bronkogenik akibat penumbatan
pembuluh limfe atau penyebaran ke pleura), limfoma, mesothelioma, dan
tumor jinak ovarium (sindrom Meig)
2. Infeksi
Infeksi merupakan penyebab efusi pleura eksudatif. Mikroorganisme
penyebabnya dapat berupa bakteri, virus, mikoplasma, atau mikobakterium.
Efusi pleura eksudatif jarang disebabkan oleh bakteri penyebab pneumonia
akut. Pada pasien di klinik, hanya 5% kasus efusi pleura yang disebabkan oleh
pneumokokus pneumonia, jumlah cairan efusinya sedikit dan sifatnya sesaat.
Efusi seperti ini disebut efusi parapneumotik karena bakterinya sendiri tidak
perlu masuk ke dalam rongga pleura untuk menyebabkan terjadinya efusi
pleura. Efusi pleura eksudatif yang mengandung mikroorganisme dalam
jumlah banyak beserta dengan nanah disebut empyema. Pneumonia yang
disebabkan oleh virus atau mikoplasma kadang-kadang menyebabkan
terjadinya efusi pleura.
Efusi pleura karena tuberculosis paru (pasca primer) merupakan suatu reaksi
hipersensitivitas yang terjadi kemudian (delayed hypersensitivity reaction).
Efusi pleura ini selalu bersifat unilateral, tampak seperti transudate, tetapi jika
diperiksa, terbukti berupa eksudat dengan kadar glukosa rendah, leukosit
berjumlah 1.000-2.000/mL dengan dominasi limfosit, kadang-kadang
ditemukan sel mesotel (2%), dan sel neutrophil ditemukan pada awal
perjalanan penyakit. Mikobakterium jarang ditemukan pada pemeriksaan
mikroskopik langsung, sedangkan pada pemeriksaan kultur hanya 25% yang
positif. Banyak efusi yang dapat sembuh dengan sendirinya, akan tetapi efusi
yang menimbulkan gejala memerlukan terapi torakosentesis.
3. Penyakit Jaringan Ikat
Lupus eritomatosus sistemik, dan artritis rheumatoid sering menyebabkan
efusi pleura.
4. Penyakit Intraabdominal
Penyakit intraabdominal tidak hanya menyebabkan efusi pleura transudatif,
tetapi juga eksudatif tergantung kepada jenisnya. Kasus pasca bedah rongga
abdomen, perforasi usus, penyakit hepatobiliar yang menyebabkan abses
subdiafragmatika dapat menyebabkan efusi pleura eksudatif. Yang sering
ditemukan adalah abses hepar karena amoeba.
5. Imunologik
Efusi pleura yang penyebabnya imunologik meliputi efusi rematoid, efusi
lupus, efusi sarkoidosis, granulomatosis Wegener, pasca cedera jantung,
emboli paru, paru uremik, sinrom Meig.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Keluhan yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa penuh dalam
dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak, berupa nyeri
dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab
seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi
(kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk berdahak. Berat
badan menurun pada neoplasma, ascites pada sirosis hepatis.
2. Pemeriksaan Fidik
Diantara dinding dada dan paru dipisahkan oleh cairan, transmisi suara pada
perkusi maupun pada auskulatasi akan terganggu. Tingkat gangguan transmisi
suara tergantung pada jumlah cairan di dalam rongga pleura. Jika jumlah
cairan pleura kurang dari 300 mL, cairan ini belum menimbulkan gejala pada
pemeriksaan fisik. Jika jumlah cairan telah mencapai 500 mL, baru dapat
ditemukan gejala berupa gerak dada yang melambat atau terbatas saat
inspirasi pada sisi yang mengandung akumulasi cairan. Fremitus taktil juga
berkurang pada dasar paru posterior. Suara perkusi menjadi pekak dan suara
napas pada auskultasi terdengar melemah walaupun sifatnya masih vesikular.
Jika akumulasi cairan melebihi 1000 mL, sering terjadi saat atelektasis pada
paru bagian bawah. Ekspansi dada saat inspirasi pada bagian yang
mengandung timbunan cairan menjadi terbatas sedangkan sela iga melebar
dan menggembung. Pada auskultasi di atas batas cairan, sering didapatkan
suara bronkovesikuler yang dalam, sebab suara ini ditransmisikan oleh
jaringan paru yang mengalami atelectasis. Pada daerah ini juga dapat
ditemukan fremitus vocal dan egofoni yang bertambah jelas. Jika akumulasi
cairan melebihi 2000 mL, cairan ini dapat menyebabkan seluruh paru menjadi
kolaps kecuali bagian apeks. Sela iga semakin melebar, gerak dada pada
inspirasi sangat terbatas, suara napas, fremitus taktil maupun fremitus vocal
sulit didengar karena sangat lemah. Selain itu terjadi pergeseran mediastinum
kea rah ipsilateral dan penurunan letak diafragma.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Gambaran Rontgen
Kelainan pada foto rontgen PA baru akan terlihat jika akumulasi cairan
pleura telah mencapai 300 mL. Pada mulanya, cairan berkumpul pada
dasar hemitoraks di antara permukaan inferior paru dan diafragma
inferior paru dan diafragma terutama di sebelah posterior, yaitu di sinus
pleura yang dalam. Jika cairan pleura terus bertambah banyak, cairan
akan menuju sinus kostofrenikus posterior dan ke lateral, dan akhirnya ke
anterior. Jika cairan masih terus bertambah banyak, cairan akan menuju
ke atas, yaitu ke daerah paru yang cekung, dan menguncup ke atas.
Diafragma dan sinus kostofrenikus akan tidak terlihat jika cairan
mencapai 1000 mL. Jika pada foto PA efusi pleura tampak tidak jelas,
dapat dilakukan foto lateral decubitus.
b. Torakosentesis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara mengambil cairan di rongga
pleura dengan cara pungsi pleura atau torakosentesis atau pleural tapping.
Pungsi pleura dilakukan dengan cara menusukkan jarum pungsi atau
abbocath di antara dua iga. Agar tidak mencederai pembuluh darah dan
saraf, penusukan dilakukan di batas atas iga, karena di bawah iga terdapat
pembuluh darah dan saraf. Setelah pengeluaran cairan pleura, baik untuk
diagnosis maupun untuk terapi selesai dilakukan, jarum pungsi atau
abbocath dicabut. Jika pengeluaran untuk terapi memerlukan jangka
waktu yang lebih lama, tindakan ini disebut drainase dan dilakukan
dengan teknik under water sealed drainage. Cairan yang terdapat di
dalam rongga pleura secara umum disebut efusi pleura. Efusi pleura
berupa nanah disebut empyema, jika berupa darah disebut hemotoraks
atau hematotoraks, jika berisi cairan kulis disebut kilotoraks.
d. Analisis Cairan Pleura
Cairan pleura secara makroskopik diperiksa warna, turbiditas, dan
baunya.Transudat biasanya jernih transparan, berwarna kuning jerami,
dan tidak berbau. Cairan pleura yang menyerupai susu biasanya
mengandung kilus berbau. Cairan pleura yang berbau busuk dan
mengandung nanah biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri anaerob,
cairan yang berwarna kemerahan biasanya mengandung darah, jika
berwarna coklat biasanya karena amebiasis. Sel darah putih dalam jumlah
banyak, dan peningkatan kolesterol atau trigliserida akan membuat cairan
pleura menjadi keruh (turbid). Setelah dilakukan proses sentrifugasi,
supernatant empyema menjadi jernih dan berwarna kuning, sedangkan
efusi kilotoraks akan tetap seperti berawan setelah dilakukan sentrifugasi.
Penambahan 1 mL darah pada sejumlah volume cairan pelura sudah
cukup untuk menyebabkan perubahan warna menjadi kemerahan karena
darah tersebut mengandung 5.000-1.000 sel eritrosit. Efusi pleura yang
mengandung cukup banyak darah (100.000 eritrosit/mL) menimbulkan
dugaan adanya trauma, keganasan atau emboli paru. Cairan pleura yang
kental dan mengandung darah biasanya disebabkan karena keganasan.
Jika hematrokrit cairan pleura melebihi 50% dari hematocrit darah
perifer, dapat dikatakan sebagai hematoraks.
e. Pemeriksaan Mikroskopi dan Sitologi
Jika didapatkan seldarah putih sebanyak > 1.000/mL, hal ini
mengarahkan diagnosis kepada eksudat. Jika sel darah putih >
20.000/mL, keadaan ini menunjukkan empiema. Neutrophil menunjukkan
kemungkinan adanya pneumonia, infark paru, tuberculosis paru fase wal,
atau pankreatitis. Limfosit dalam jumlah banyak mengarahkan kepada
tuberculosis, limfoma atau keganasan. Jika pada torakosentesis
didapatkan banyak eosinophil, tuberculosis dapat disingkirkan.
f. Pemeriksaan Kimia dan pH
Dilakukan pemeriksaan glukosa, amilasi, dan enzim-enzim lain.
Pemeriksaan pH cairan pleura harus menggunakan mesin untuk
memeriksa gas darah karena pemeriksaan dengan menggunakan pH-meter
dan stik pH tidak cukup akurat untuk keperluan ini. Hasil aspirasi cairan
pleura tetap disimpan di dalam siring, kemudian dimasukkan ke dalam
termos es, dan segera diperiksa di laboratorium.
TATA LAKSANA
Tujuan penatalaksanaan efusi pleura adalah terlebih dahulu meringankan
gejala simptomatik dengan cara mengeluarkan akumulasi cairan dari kavum pleura
dan menangani penyebab dari efusi pleura. Pemilihan terapi biasanya bergantung
pada jenis efusi pleura, jumlah efusi pleura dan penyakit yang mendasari.
Jika efusi disebabkan oleh infeksi maka diberikan antibiotic. Selain itu juga dapat
dilakukan aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis,
aspirasi juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik.
Klasifikasi
Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart Association (NYHA).
Tabel 2. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan NYHA
Klasifikasi Fungsional NYHA
(Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik)
Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari – hari tidak
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi
II aktivitas sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik. Berkurang dengan
III istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari – hari
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas Tidak dapat melakukan aktivitas sehari – hari tanpa adanya kelelahan.
IV Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan
akan semakin meningkat.
Klasifikasi Derajat Gagal Jantung berdasarkan American College of Cardiology dan
American Heart Association.
PATOFISIOLOGI
1. Struktur Jantung yang Gagal
Heart failure (HF) adalah sindrom klinis kompleks yang sebagian
disebabkan oleh perubahan patologis pada struktur dan fungsi miokardium. Pada
awal abad keenam belas, ahli anatomi mengenali kelainan struktural karakteristik
jantung pasien yang meninggal karena HF. Jantung yang gagal ditemukan
membesar pada otopsi, dengan peningkatan massa karena penebalan dinding
ventrikel dan/atau dilatasi rongga ventrikel. Pola sebelumnya dikenal sebagai
hipertrofi konsentris dan yang terakhir disebut hipertrofi eksentrik (Gambar 3.2).
Osler dan lainnya menyimpulkan bahwa hipertrofi eksentrik biasanya dikaitkan
dengan penurunan fungsi kontraktil jantung dan menandakan prognosis yang
lebih buruk. Kami sekarang tahu bahwa hipertrofi konsentris berkembang
sebagai respons awal adaptif terhadap pembebanan tekanan kronis, konsisten
dengan Hukum LaPlace di mana tekanan internal meningkat untuk meningkatkan
tegangan (tegangan) dinding yang menghasilkan ekspansi kompensasi ketebalan
dinding (Gambar 8.3). Hipertrofi eksentrik dapat timbul dari pembebanan
volume kronis, kardiomiopati primer, atau dapat berkembang pada jantung
terhipertrofi yang terpapar oleh ketegangan dinding yang terus meningkat. Dasar-
dasar molekuler dari hipertrofi patologis telah dijelaskan pada abad ini sejak
pengamatan Osler dan telah sangat berharga dalam memahami HF.
4.
5. Gambar 3.6. Algoritma diagnosis HF onset non-akut
6.
c. Diagnosis gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang dipertahankan (heart
failure with preserved ejection fraction, HFpEF)
Diagnosis HFpEF tetap menantang. LVEF normal dan tanda-tanda dan
gejala gagal jantung (gambar 2) sering tidak spesifik dan tidak membedakan
dengan baik antara gagal jantung dan kondisi klinis lainnya. Bagian ini
merangkum rekomendasi praktis yang diperlukan untuk diagnosis yang tepat
dari entitas klinis ini dalam praktik klinis.
Diagnosis HFpEF kronis, terutama pada pasien lansia tipikal dengan
komorbiditas dan tidak ada tanda-tanda jelas kelebihan cairan sentral, rumit
dan standar emas yang divalidasi tidak ada. Untuk meningkatkan spesifisitas
mendiagnosis HFpEF, diagnosis klinis perlu didukung oleh tindakan objektif
disfungsi jantung saat istirahat atau selama berolahraga. Diagnosis HFpEF
membutuhkan kondisi berikut untuk dipenuhi:
a) Adanya gejala dan / atau tanda-tanda HF (gambar 2)
b) EF “yang tersedia” (didefinisikan sebagai LVEF ≥50% atau 40-49%
untuk HFmrEF)
c) Peningkatan kadar NP (BNP>35 pg/mL dan/atau NT-proBNP>125
pg/mL)
d) Bukti obyektif dari perubahan fungsional dan struktural jantung lainnya
yang mendasari gagal jantung (untuk perincian, lihat di bawah)
e) Jika terjadi ketidakpastian, uji tekanan atau tekanan pengisian LV yang
meningkat yang diukur secara invasif mungkin diperlukan untuk
mengonfirmasi diagnosis (untuk perincian, lihat di bawah).
3.6. Tatalaksana
Tabel. Tujuan pengobatan gagal jantung kronik
Prognosis Menurunkan mortalitas
Morbiditas Meringankan gejala dan tanda
Memperbaiki kualitas hidup
Menghilangkan edema dan retensi
cairan
Meningkatkan kapasitas aktifitas fisik
Mengurangi kelelahan dan sesak
nafas
Mengurangi kebutuhan rawat inap
Menyediakan perawatan akhir hayat
Pencegahan Timbulnya kerusakan miokard
Perburukan kerusakan miokard
Remodelling miokard
Timbul kembali gejala dan akumulasi
cairan
Rawat inap
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2008.
Gambar. Strategi pengobatan pada pasien gagal jantung kronik simptomatik
(NYHA fc II-IV). Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2012
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012.
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012
DIGOKSIN
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik,
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat
mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka
kelangsungan hidup. Cara pemberian digoksin pada gagal jantung.
DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai
status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin,
yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau
reistensi.
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya.
beberapa menit setelah makan dan kembali turun ke nilai dasar dalam waktu 3
dan protein (Price & Lorraine, 2007). Diabetes melitus (DM) adalah keadaan
hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf
dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan
3.2 Etiologi
bertambahnya usia harapan hidup dengan individu >40 tahun, obesitas, kurangnya
aktifitas fisik, diet tinggi gula, riwayat keluarga diabetes melitus, dislipidemia,
riwayat melahirkan bayi >4 kg dan riwayat diabetes melitus pada saat kehamilan
(Depkes RI,2008). Banyak orang yang berpotensi terkena diabetes melitus tipe 2
untuk dignosis diabetes melitus tipe 2 (Sutanto,2010). Pada diabetes melitus tipe
2, pada awalnya kelainan terletak pada jaringan perifer (resistensi insulin) dan
kemudian disusul dengan disfungsi sel beta pankreas, defek pada fase pertama
sekresi insulin, yaitu antara lain, sekresi insulin oleh pankreas mungkin cukup
reseptor cukup tetapi kualitas reseptornya jelek sehingga kerja insulin tidak
glukosa endogen dan ambilan glukosa oleh jaringan pun menjadi tidak seimbang.
(saluran cerna dan hati) dan jaringan perifer terutama otot lurik serta menekan
produksi glukosa endogen. Sebagian besar glukosa (80-85%) yang terambil oleh
jaringan perifer akan terkonsentrasi pada otot lurik. Toleransi glukosa akan tetap
insulin. Jadi, sel beta pankreas yang masih berfungsi normal mampu menduga
tipe 2 berupa resistensi insulin dan penurunan fungsi sekretorik sel-sel beta.
peningkatan produksi glukosa oleh hati serta penurunan ambilan glukosa oleh
tidak mampu lagi menyerap balik glukosa yang tersaring sehingga glukosa akan
jaringan perifer, terutama otot rangka, mengakibatkan produksi glukosa oleh hati
menjadi tidak terbendung, sementara ambilan dan penggunaan glukosa berkurang.
Mekanisme tersebut terjadi terkait dengan defek pengikatan reseptor insulin atau
diperberat oleh peningkatan kadar asam lemak bebas dalam darah dan berdampak
lebih buruk pada kinerja sel-sel beta dalam menyekresikan insulin/ lipotoksisitas
(Arisman,2010).
3.4 Diagnosis
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan
darah utuh (whole blood), vena, ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan
glukometer.
Table 3.2 Tabel kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
(pre diabetes)
Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa,
merupakan tahapan sementara menuju DM (pre diabetes). Kedua keadaan
tersebut juga merupakan faktor resiko untuk terjadinya DM dan penyakit
kardiovaskular dikemudian hari.
Bagan 3.1 Langkah diagnostic DM dan gangguan toleransi glukosa
3.5 Penatalaksanaan
penyandang diabetes.
- Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda
pengendalianglukosa darah.
DM.
darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan.
3. Latihan jasmani
- Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama
dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari dua macam obat yaitu Repaglinid (derivat
asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin).
Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial
(PERKENI, 2011). Repaglinid, obat ini diberikan
dengan dosis 0,25-4 mg sesaat sebelum makan dengan
dosis maksimum 16 mg/hari (Katzung, 2011).
2) Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidinedion berikatan pada
PeroxisomeProliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-
g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa diperifer.Tiazolidinedion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas
I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan
juga pada gangguan faal hati.Pada pasien yang
menggunakan Tiazolidinedion perlu dilakukan pemantauan
faal hati secara berkala (PERKENI, 2011). Terdapat dua
tiazolidinedion kini tersedia yaitu pioglitazon dan
rosiglitazon. Pioglitazion dapat diberikan sekali sehari
dengan dosis awal 15-30 mg. Rosiglitazon diberikan sehari
atau dua kali sehari dengan dosis 4-8 mg (Katzung, 2011).
3) Penghambat glukoneogenesis (biguanida)
Metformin, obat ini mempunyai efek utama
mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di
samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes yang obesitas.
Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan
hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian
metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan
memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat
tersebut (PERKEN, 2011). Dosis metformin yang diberikan
setelah makan sekali sehari berkisar dari 500 mg sampai
maksimum sebesar 2,25 g/hari (Katzung, 2011).
4) Penghambat Glukosidase Alfa (Akarbose)
Penghambat glukosidase alfa seperti akarbose dan
miglitol, diberikan sekali sehari dengan dosis 25-100 mg
sesaat sebelum menelan suapan pertama makanan (Katzung,
2011).Obat ini bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa
diusus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan
efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling
sering ditemukan ialah kembung dan flatulens (PERKENI,
2011).
5) DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu
hormonpeptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.
Peptidaini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan
yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1
merupakan perangsang kuat pelepasan insulin dan sekaligus
sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun
demikian,secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim
dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-
(9,36)-amide yang tidak aktif.Sekresi GLP-1 menurun pada
DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional
dalam pengobatan DM tipe 2.Peningkatan konsentrasi GLP-
1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat
kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4) atau memberikan
hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis)
(PERKENI, 2011). Eksentid merupakan inkretin pertama
yang tersedia untuk mengobati diabetes. Eksentid sebagai
suatu analog sintetik polipeptida 1 yang menyerupai
glikagon (GLP-1). Obat ini disuntikkan secara subkutan
dalam waktu 60 menit sebelum makan, terapi dimulai pada
dosis 5 mcg dua kali sehari, dengan dosis maksimum 10
mcg dua kali sehari. Sitagliptin adalah suatu inhibitor
dipeptidil peptidase-4 (DPP-4), obat ini diberikan dengan
dosis sebesar 100 mg yang diberikan per oral sekali sehari
(Katzung, 2011).
b. Suntikan insulin
Pada beberapa kondisi saat kebutuhan insulin sangat
meningkat akibat adanya, Penurunan berat badan yang cepat,
hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik,
hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan
asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres
berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan
dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang
berat, kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO (PERKENI,
2011).
Jenis dan lama kerja insulin Berdasar lama kerja, insulin
terbagi menjadi empat jenis, yakni:
o Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
o Insulin kerja pendek (short acting insulin)
o Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
o Insulin kerja panjang (long acting insulin)
o Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed
insulin).
usus(acarbose).
kebutuhan.
2. Pemeriksaan A1C
3.6 Komplikasi
mayor yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular kronik / jangka
disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+)
c. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah
sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja
obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk
lebih lama.
menurunnya kesadaran.
a) Mikroangiopati
Merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan
arteriola retina (retinopati diabetikum), glomerulus ginjal (nefropati
diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetikum), otot-otot
serta kulit. Terdapat kaitan yang kuat antara hiperglikemia dengan
insidens dan berkembangnya retinopati. Manifestasi dini retinopati
berupa mikroaneurisma atau pelebaran sakular yang kecil dari
arteriola retina. Akibatnya, perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan
parut retina dapat mengakibatkan kebutaan. Neuropati disebabkan
oleh gangguan jalur poliol akibat defisiensi insulin. Terdapat
penimbunan sorbitol sehingga mengakibatkan pembentukan katarak
dan dapat mengakibatkan kebutaan (Price & Lorraine, 2007).
b) Makroangiopati
Gangguan vaskular ini dapat disebabkan karena penimbunan
sorbitol dalam intima vaskular, hiperlipoproteinemia, kelainan
pembekuan darah. Pada akhirnya makroangiopati diabetik ini akan
mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri
perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang
disertai klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstremitas serta
insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena arteri koronaria dan
aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokard.
Tn. S 61 tahun datang dengan keluhan sesak sejak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit. Sesak terutama malam hari, dan membaik jika pasien posisi duduk
dibandingkan saat berbaring. Keluhan juga disertai batuk berdahak selama 1 minggu,
dengan dahak kental berwarna hijau. Kedua tungkai juga bengkak sejak 5 hari
terakhir.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi pernafasan 22 kali per menit,
saat di palpasi vocal fremitus kanan lebih lemah dibandingkan kiri. Saat diperkusi
terdengar bising ketok redup pada paru kanan dan sonor pada paru kiri. Pada
auskultasi didapatkan penurunan suara nafas vesikuler dan ronkhi pada paru kanan.
Sesak nafas, vocal fremitus yang melemah, bising ketok redup, serta penurunan suara
nafas vesikuler dan ronkhi pada paru kanan dapat disebabkan oleh efusi pleura.
Cairan dalam rongga pleura tersebut menghalangi getaran suara mencapai dinding
toraks.
Penegakan diagnosis efusi pleura diperkuat dengan hasil radiologi, yang
menunjukkan adanya gambaran sudut kostofrenikus kanan pada foto toraks postero-
anterior. Dari hasil kultur dahak didapatkan adanya infeksi bakteri gram positif kokus
dan bakteri gram negatif batang. Hal ini dapat mengindikasikan adanya infeksi dari
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza, atau Staphylococcus aureus,
karena ketiga bakteri ini merupakan penyebab terbanyak dari infeksi paru-paru. Oleh
sebab itu, diberikan pula pengobatan antibiotic berupa Ampicillin Sulbactam.
Ampicilin Sulbactam yaitu kombinasi dari ampisilin yang merupakan penisilin
spectrum luas pertama, efektif untuk melawan bakteri gram negative dan gram postif
dengan sulbaktam yang menghambat lactamase beta, sehingga memperluas spectrum.
Selain bakteri, didapatkan juga adanya infeksi jamur dengan ditemukannya spora dan
blastospora sehingga pasien juga diberikan obat anti jamur yaitu fluconazole.
Pasien diberikan drip lasal 2cc dalam Asering 500cc/24 jam. Lasal merupakan
obat bronkodilator agonis beta-2 adrenergik yang digunakan pada kasus obstruksi
bronkus. Pasien diberikan ambroxol yang merupakan mukolitik untuk dapat
mengencerkan secret di saluran pernapasan.
Selain keluhan sesak nafas, pasien juga memiliki keluhan kedua tungkai
membengkai. Hal ini menunjukkan adanya gagal jantung dimana terjadi resitensi
cairan dijaringan. Pasien diberikan injeksi furosemide yang merupakan obat diuretic,
obat utama untuk mengatasi gagal jantung yang selalu disertai dengan kelebihan
cairan yang bermanifestasi sebagai kongesti paru atau edema perifer. Furosemid
merupakan diuretic kuat, dimana penggunaannya bertujuan untuk mengurangi
volume cairan ekstrasel, sehingga keluhan edema perifer akan berkurang. Pasien juga
dibe