Anda di halaman 1dari 86

LAPORAN KASUS

Efusi Pleura ec Parapneumonia, CHF fc II-III, Diabetes Mellitus tipe II

Disusun dalam rangka memenuhi tugas Dokter Internsip

di RSUD BudhiAsih, Jakarta

Disusun oleh:
dr. Dhon Rizal Gusnanda

Narasumber:
dr. Sukaenah, Sp.P

Pembimbing :
Dr.Afifah, Sp.PD

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

ANGKATAN KE I TAHUN 2019

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

BPPSDM KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

JAKARTA 2019
DAFTAR ISI

BAB I. Pendahuluan................................................................................2
BAB II. Laporan Kasus...........................................................................4
Bab III. Tinjauan Pustaka........................................................................16
III.1. Efusi Pleura...........................................................................16
III.2. Penyakit Jantung Kongestif..................................................34
III.3. Diabetes Mellitus Tipe 2……………………………………
Diabetes Mellitus
Bab IV. Analisa Kasus............................................................................52
Daftar Pustaka.........................................................................................54
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 59 tahun
Alamat : Bali Matraman, Manggarai Selatan, Tebet
Agama : Islam
Status perkawinan : Kawin
Suku : Betawi
Pendidikan terakhir : SMA
Tanggal Masuk RS : 14 Desember 2019
Tanggal Pemeriksaan : 15 Agustus 2019
No. Rekam Medik : 899256

II. ANAMNESA
Data diperoleh secara autoanamnesis pada tanggal 15 Agustus 2019.
1. Keluhan Utama
Sesak nafas sejak 5 hari SMRS

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh sesak sejak 5 hari SMRS, sesak dirasakan
terutama malam hari. Sering terbangun di malam hari karena merasa
sesak. Pasien tidur menggunakan 2 bantal agar lebih nyaman, dan sesak
berkurang.
Terdapat batuk berdahak, dengan dahak kental berwarna hijau,
tidak berdarah. Nyeri dada juga sering dirasakan pada saat pasien batuk,
terutama dada kanan. Pasien sering mengeluh keringat dingin di malam
hari, demam di malam hari disangkal, penurunan berat badan tidak
diketahui, kontak dengan pasien dalam pengobatan paru lama tidak
diketahui.
Kedua tungkai juga bengkak selama 5 hari terakhir. Keluhan nyeri
dada yang menjalar hingga lengan dan punggung disangkal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus, dan rutin
minum obat merformin 2x500 mg per hari. Selain itu, pasien juga
memiliki penyakit pembengkakan jantung, namun tidak minum obat.
 
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keluarga disangkal.

5. Riwayat Pengobatan
Pasien saat ini menjalani pengobatan diabetes mellitus rutin minum
obat metformin 2x500 mg per hari. Riwayat alergi obat-obatan juga
disangkal oleh pasien.

6. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku mempunyai kebiasaan merokok sehari 5-6 batang
sejak 20 tahun yang lalu, namun sudah berhenti 5 bulan belakangan ini.
Pasien tidak mengkonsumsi alkohol. Pasien jarang berolahraga.

7. Latar Belakang Sosial dan Pekerjaan


Pasien mengaku sehari-hari pekerjaannya sebagai pedagang.

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. STATUS GENERALIS
 Sakit sedang
 Gizi cukup
o BB : 65 kg
o TB : 165 cm
o IMT : 23,9 kg/m2 (normal)
 GCS E4V5M6 Composmentis
Tanda Vital
 Tekanan darah : 140/96 mmHg
 Laju nadi : 92 x/menit
 Laju Nafas : 22 x/menit;
 Suhu : 36,5 0C
 Saturasi oksigen : 97%
2. PEMERIKSAAN FISIS
 Kepala : wajah simetris kanan = kiri, deformitas (-)
 Mata : simetris kanan=kiri, deformitas (-/-), conjungtiva anemis (+/+), sklera
ikterik (-/-)
 Telinga : simetris kanan=kiri, deformitas (-/-). Pendengaran dalam batas
normal
 Hidung : deformitas (-) nafas cuping hidung (-/-) Perdarahan (-), Sekret (-)
 Mulut : bibir sianosis (-) pursed lips (-)
 Leher : simetris kanan=kiri, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, JVP
5 + 1 cm H2O
 Thorax
Inspeksi: simetris kanan=kiri, pengembangan dinding dada simetris
kanan=kiri
 Paru-paru
Palpasi: Fremitus vocal kanan lebih lemah dibandingkan kiri
Perkusi: Paru : redup/ sonor
Auskultasi: suara dasar vesikuler kanan < kiri , Ronki (+/-), wheezing (-/-)
 Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : pekak, batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I/II murni regular, bising (-)
 Abdomen
Inspeksi : datar, ikut gerak napas
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar/lien/ginjal tidak teraba
Perkusis : tympani, ascites (-)
Auskultasi : bising usus (+) kesan normal
 Alat kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan
 Anus dan rectum : tidak dilakukan pemeriksaan
 Ekstremitas : akral hangat, edema pretibial (+/+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium Darah
Tanggal 14 Desember 2019
Jenis Hasil Satuan Nilai Rujukan
Pemeriksaan
Hematologi
Lengkap
Hemoglobin 10.1* g/dL 13.2 - 17.3
Hematokrit 30* % 40 - 52
Eritrosit 3.5* juta/ µL 4.4 – 5.9
Leukosit 4.7 ribu/ µL 3,8 – 10,6
Trombosit 302 ribu/ µL 150 - 440
MCV 85.9 fL 80 - 100
MCH 29.0 pg 26 - 34
MCHC 33.8 g/dL 32 - 36
RDW 15.9* % < 14
Kimia Klinik
GDS 176* mg/dL 70 - 110
Ureum 72* mg/dL 13-43
Creatinin 1.44* mg/dL <1.2
Elektrolit
Natrium 140 mmol/L 135-155
Kalium 4.0 mmol/L 3.6-5.5
Kalium 4.0 mmol/L 3.6-5.5
2. Foto rontgen Thorax

Ro Thorax :
- Gambaran sudut kostofrenikus kanang tumpul
4. EKG

V. DIAGNOSIS
• Efusi pleura dextra susp TB Paru Kasus Baru
• CHF fc II-III
• Diabetes Mellitus tipe II

VI. PENATALAKSANAAN
1. Tatalaksana Awal IGD :
 Inhalasi ventolin 1 X
 Lasix 2 ampul intravena

2. Konsultasi Sp.P:
 Diagnostik : cek TCM, kultur sputum gram dan jamur, albumin
 Terapi :
a.IVFD Asering 500 cc + lasal 2 cc/24 jam
b. BK III 3 x 1 tablet
c.Ambroxol 3 x 30 mg per oral

3. Konsultasi Sp. JP
 Amlodipin 1 x 10 mg per oral
 Concor 1 x 2,5 mg per oral

4. Konsultasi Sp.PD

VII. PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
Ad fungsionam : Ad bonam

VIII. RESUME
IX. PEMANTAUAN DI RUANG RAWAT INAP
 15 Agustus 2019
S : Pasien masih sesak nafas, batuk sudah berkurang.
O : Vital Sign : TD 120/80 mmHg
N 62 kali/menit
S 36,8OC
RR 20 x/menit
Mata : conjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
Jantung : Bunyi jantung 1-2 reguler, murmur (-)
Pulmo : pengembangan dinding dada simetris kanan=kiri, retraksi (-), suara
dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-) ronki (+/-)
Abdomen : supel (+) Nyeri tekan (-) bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas : akral dingin (-/-/-/-) Oedem (-/-/-/-)

Hasil Laboratorium :
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hematologi
LED 48* mm/jam 0 - 30
Kimia Klinik
GDS 165 mg/dL 70 - 110
AST/SGOT 40 mU/dl < 33
ALT/SGPT 45 mU/dl < 50
Albumin 2.6 g/dL 3.5 – 5.2
Imunoserologi
Anti HIV
 Screening rapid test Non Reaktif Non Reaktif

A : Efusi pleura dextra susp. TB Paru Kasus Baru


CHF fc II-III
Diabetes Mellitus tipe II
P : IVFD Asering/ 24 jam
Ambroxol 3 x 30 mg per oral
BK III 3 x 1 tablet per oral
Metformin 2 x 500 mg per oral
Amlodipin 1 x 10 mg per oral
Concor 1 x 2,5 mg per oral
Fluconazole 1 x 150 mg per oral

 16 Desember 2019
S : Pasien sesak dan batuk sudah berkurang, sedikit mual.
O : Vital Sign : TD 120/90 mmHg
N 84 kali/menit
S 36,8OC
RR 20 x/menit
SpO2 98%
Mata : conjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
Jantung : Bunyi jantung 1-2 reguler, murmur (-)
Pulmo : pengembangan dinding dada simetris kanan=kiri, retraksi (-), suara
dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-) ronki (+/-)
Abdomen : supel (+) Nyeri tekan (-) bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas : akral dingin (-/-/-/-) Oedem (-/-/-/-)

Hasil Laboratorium :
Jenis Hasil Satuan Nilai Rujukan
Pemeriksaan
Mikrobiologi
Sediaan Gram
Epitel 20 – 30
PMN 50 – 80 0 - 30
Blastospora Positif* Negatif
Pseudohifa Negatif Negatif
Clue cells Negatif Negatif
Gram Positif Positif* Negatif
Kokus
Gram Negatif Negatif Negatif
Kokus
Gram Negatif Positif* Negatif
Batang
Gram Positif Negatif Negatif
Batang
Gram Negatif Negatif Negatif
Diplokokus Intra
Sel
Gram Negatif Negatif Negatif
Diplokokus Extra
Sel
Sediaan Jamur KOH
Sputum Spora (+)
Blastospora (+)
Kimia Darah
GDS 158* mg/dL 70 - 110
Analisa Gas Darah
Ph 7.50* 7.35 - 7.45
pCO2 22* mmHg 35 - 45
pO2 116* mmHg 80 – 100
Bikarbonat 17* mmol/L 21 – 28
(HCO3)
Total CO2 18* mmol/L 23 – 27
Saturasi O2 99 % 95 – 100
Kelebihan Basa -3.6 mEq/L -2.5 – 2.5
(BE)

A : Efusi pleura dextra susp. TB Paru Kasus Baru


CHF fc II-III
Diabetes Mellitus tipe II
P : IVFD Asering/ 24 jam
Ambroxol 3 x 30 mg per oral
BK III 3 x 1 tablet per oral
Metformin 2 x 500 mg per oral
Amlodipin 1 x 10 mg per oral
Concor 1 x 2,5 mg per oral
Fluconazole 1 x 150 mg per oral
 17 Desember 2019
S : Pasien mengatakan sesak, dan batuk sudah berkurang.
Konsul Sp.PD
O : Vital Sign : TD 130/80 mmHg
N 62 kali/menit
S 36,8OC
RR 20 x/menit
Mata : conjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
Jantung : Bunyi jantung 1-2 reguler, murmur (-)
Pulmo : pengembangan dinding dada simetris kanan=kiri, retraksi (-), suara
dasar vesikuler (+/+), wheezing (+/+) ronki (+/-)
Abdomen : supel (+) Nyeri tekan (-) bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas : akral dingin (-/-/-/-) Oedem (-/-/-/-)
Hasil Laboratorium :
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Kimia Klinik
GDS 150* mg/dL 70 – 110

A : Efusi pleura dextra susp. TB Paru Kasus Baru


CHF fc II-III
Diabetes Mellitus tipe II
P : IVFD Asering/ 24 jam
Injeksi Vicilin 4 x 1 gr
Injeksi Lasix 2 x 1 ampul
Ambroxol 3 x 30 mg per oral
BK III 3 x 1 tablet per oral
Metformin 2 x 500 mg per oral
Amlodipin 1 x 10 mg per oral
Concor 1 x 2,5 mg per oral
Fluconazole 1 x 150 mg per oral
Spironolacton 1 x 50 mg per oral
Vip albumin 3 x 2 tablet per oral

 18 Desember 2019
S : Sesak berkurang, badan terasa lemas.
O : Vital Sign : TD 120/79 mmHg
N 80 kali/menit
S 36,5 OC
RR 20 x/menit
SpO2 98%
Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Jantung : Bunyi jantung 1-2 reguler, murmur (-)
Pulmo : pengembangan dinding dada simetris kanan=kiri, retraksi (-), suara
dasar vesikuler (+/+), wheezing (+/+) ronki (+/-)
Abdomen : supel (+) Nyeri tekan (-) bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas : akral dingin (-/-/-/-) Oedem (-/-/-/-)

Hasil Laboratorium
Jenis Hasil Satuan Nilai Rujukan
Pemeriksaan
Hematologi
Lengkap
Hemoglobin 10.5* g/Dl 13.2 – 17.3
Hematokrit 31* % 40 – 52
Eritrosit 3.7* juta/ µL 4.4 – 5.9
Leukosit 5.0 ribu/ µL 3,8 – 10,6
Trombosit 336 ribu/ µL 150 – 440
MCV 83.9 Fl 80 – 100
MCH 28.6 pg 26 – 34
MCHC 34.1 g/Dl 32 – 36
RDW 15.1* % < 14
Kimia Klinik
GDS 118* mg/dL 70 – 110
Ureum 78* mg/dL 13-43
Creatinin 1.34* mg/dL <1.2

A : Efusi pleura dextra susp. TB Paru Kasus Baru


CHF fc II-III
Diabetes Mellitus tipe II
P : IVFD Asering/ 24 jam
Injeksi Vicilin 4 x 1 gr
Injeksi Lasix 2 x 1 ampul
Ambroxol 3 x 30 mg per oral
BK III 3 x 1 tablet per oral
Metformin 2 x 500 mg per oral
Amlodipin 1 x 10 mg per oral
Concor 1 x 2,5 mg per oral
Fluconazole 1 x 150 mg per oral
Spironolacton 1 x 50 mg per oral
Vip albumin 3 x 2 tablet per oral

 19 Desember 2019
Ada analisa cairan pleura, dilakukan punksi pleura
S : Sesak berkurang, batuk -.
O : Vital Sign : TD 120/70 mmHg
N 79 kali/menit
S 36,8OC
RR 20 x/menit
SpO2 98%
Mata : conjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
Jantung : Bunyi jantung 1-2 reguler, murmur (-)
Pulmo : pengembangan dinding dada simetris kanan=kiri, retraksi (-), suara
dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-) ronki (-/-)
Abdomen : supel (+) Nyeri tekan (-) bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas : akral dingin (-/-/-/-) Oedem (-/-/-/-)

Hasil Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Cairan Tubuh
Analisa Cairan Pleura
Warna Kuning Kuning Muda
Kejernihan Agak keruh Jernih
Bekuan Negatif Negatif
Jumlah sel 564 < 300
 Hitung jenis sel
 Limfosit 96 %
 Monosit 2 %
 Neutrofil 2 %
Glukosa 147* mg/dL 70 – 100
Total Protein 1.75 g/ dL <3
Pulasan Gram Negatif Negatif
Pulasan BTA Negatif Negatif

A : Efusi pleura dextra susp. TB Paru Kasus Baru


CHF fc II-III
Diabetes Mellitus tipe II
P : Pungsi pleura dextra
IVFD Asering/ 24 jam
Injeksi Vicilin 4 x 1 gr
Injeksi Lasix 2 x 1 ampul
Ambroxol 3 x 30 mg per oral
BK III 3 x 1 tablet per oral
Metformin 2 x 500 mg per oral
Amlodipin 1 x 10 mg per oral
Concor 1 x 2,5 mg per oral
Fluconazole 1 x 150 mg per oral
Spironolacton 1 x 50 mg per oral
Vip albumin 3 x 2 tablet per oral
Dr. ronally blpl

 20 Desember 2019
S : Pasien mengatakan sesak, demam, dan batuk sudah berkurang.
O : Vital Sign : TD 130/80 mmHg
N 62 kali/menit
S 36,8OC
RR 20 x/menit
Mata : conjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
Jantung : Bunyi jantung 1-2 reguler, murmur (-)
Pulmo : pengembangan dinding dada simetris kanan=kiri, retraksi (-), suara
dasar vesikuler (+/+), wheezing (+/+) ronki (-/-)
Abdomen : supel (+) Nyeri tekan (-) bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas : akral dingin (-/-/-/-) Oedem (-/-/-/-)
A : Efusi pleura dextra susp. TB Paru Kasus Baru
CHF fc II-III
Diabetes Mellitus tipe II
P : IVFD Asering/ 24 jam
Injeksi Vicilin 4 x 1 gr
Injeksi Lasix 2 x 1 ampul
Ambroxol 3 x 30 mg per oral
BK III 3 x 1 tablet per oral
Metformin 2 x 500 mg per oral
Amlodipin 1 x 10 mg per oral
Concor 1 x 2,5 mg per oral
Fluconazole 1 x 150 mg per oral
Spironolacton 1 x 50 mg per oral
Vip albumin 3 x 2 tablet per oral
Dr. asep blpl
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 EFUSI PLEURA


ANATOMI DAN FISIOLOGI PLEURA
Pleura dibentuk oleh jaringan mesodermal. Pembungkus ini dapat dibedakan
menjadi; pleura viseralis yang melapisi paru dan pleura parietalis yang melapisi
dinding dalam hemitoraks. Diantara kedua pleura, terbentuk ruang yang disebut
rongga yang berisi cairan pleura dalam jumlah yang sangat sedikit 0,1-0,2 ml/kgBB,
hanya berupa lapisan cairan pleura setebal 10-20 µm yang menyelaputi kedua belah
pleura. Cairan ini secara tidak langsung dapat memisahkan lapisan pleura viseralis
dengan pleura parietalis agar tidak saling bersinggungan.
Cairan pleura masuk ke dalam rongga pleura dari dinding dada (pelura
parietalis) dan mengalir meninggalkan rongga pleura menembus pleura viseralis
untuk masuk ke dalam aliran limfa.
Tekanan hidrostatik di kapiler sistemik (dinding dada) besarnya 30 cm H 2O.
Tekanan negatif di dalam rongga pleura adalah -5 cm H2O. Berarti perbedaan tekanan
antara kapiler sistemik dan rongga pleura adalah 35 cm H2O. Tekanan osmotik koloid
di kapiler sistemik (dinding dada) besarnya 34 cm H2O. Tekanan osmotik koloid di
rongga pleura adalah 8 cm H2O. Perbedaan tekanan osmotik koloid antara kapiler
sistemik dengan tekanan osmotik koloid di rongga pleura adalah 26 cm H 2O. Cairan
cenderung mengalir dari daerah bertekanan osmotik rendah kea rah daerah
bertekanan osmotik tinggi. Berdasarkan perbedaan tekanan osmotik, seharusnya
cairan di dalam rongga pleura cenderung mengalir dari rongga pleura ke dinding
dada. Akan tetapi, karena tekanan hidrostatik dari dinding dada kearah rongga pleura
lebih besar, yaitu 35 cm H 2O, cairan dari dinding dada akan masuk ke dalam rongga
pleura.
DEFINISI
Efusi pleura adalah penumpukan cairan yang abnormal dalam rongga pleura
akibat peningkatan produksi cairan dan atau berkurangnya absorbsi oleh kelenjar
limfe.
Terdapat dua jenis cairan pada efusi pleura, yaitu transudate dan eksudat.
Untuk membedakan transudate dan eksudat digunakan kriteria Light, yaitu cairan
efusi dikatakan transudate jika memenuhi dua dari tiga kriteria :
1. Rasio kadar protein cairan efusi pleura/kadaar protein serum < 0.5
2. Rasio kadar LDH cairan efusi pleura/kadar LDH serum < 0.6
3. Kadar LDH cairan efusi pleura < 2/3 batas atas nilai normal kadar LDH
serum

ETIOLOGI
Efusi pleura transudatif merupakan efusi pleura yang berjenis cairan
transudate. Efusi pleura ini disebabkal oleh gagal jantung kongestif, emboli paru,
sirosis hati (penyakit intraabdominal), dialysis peritoneal, hipoalbuminemia, sindrom
nefrotik, glomerulonephritis akut, retensi garam, atau pasca by pass coroner.
Efusi pleura yang jenis cairannya merupakan suatu eksudat dinamakan efusi
pleura eksudatif. Eksudat terjadi akibat peradangan atau infiltrasi pada pleura atau
jaringan yang berdekatan dengan pleura. Kerusakan pada dinding kapiler darah
menyebabkan terbentuknya cairan kaya protein yang keluar dari pembuluh darah juga
dapat menyebabkan efusi pleura eksudatif.
Penyebab efusi pleura eksudatif adalah neoplasma, infeksi, penyakit jaringan
ikat, penyakit intraabdominal, dan imunologik.
1. Neoplasma
Neoplasma penyebab efusi pleura meliputi karsinoma bronkogenik (dalam
keadaan ini, jumlah leukosit biasanya > 2.500/mL, sebagian terdiri dari
limfosit, sel maligna, dan sering terjafi reakumulasi setelah torakosentesis),
tumor metastasis (lebih sering berasal dari karsinoma mammae, lebih sering
bilateral jika dibandingkan dengan karsinoma bronkogenik akibat penumbatan
pembuluh limfe atau penyebaran ke pleura), limfoma, mesothelioma, dan
tumor jinak ovarium (sindrom Meig)
2. Infeksi
Infeksi merupakan penyebab efusi pleura eksudatif. Mikroorganisme
penyebabnya dapat berupa bakteri, virus, mikoplasma, atau mikobakterium.
Efusi pleura eksudatif jarang disebabkan oleh bakteri penyebab pneumonia
akut. Pada pasien di klinik, hanya 5% kasus efusi pleura yang disebabkan oleh
pneumokokus pneumonia, jumlah cairan efusinya sedikit dan sifatnya sesaat.
Efusi seperti ini disebut efusi parapneumotik karena bakterinya sendiri tidak
perlu masuk ke dalam rongga pleura untuk menyebabkan terjadinya efusi
pleura. Efusi pleura eksudatif yang mengandung mikroorganisme dalam
jumlah banyak beserta dengan nanah disebut empyema. Pneumonia yang
disebabkan oleh virus atau mikoplasma kadang-kadang menyebabkan
terjadinya efusi pleura.
Efusi pleura karena tuberculosis paru (pasca primer) merupakan suatu reaksi
hipersensitivitas yang terjadi kemudian (delayed hypersensitivity reaction).
Efusi pleura ini selalu bersifat unilateral, tampak seperti transudate, tetapi jika
diperiksa, terbukti berupa eksudat dengan kadar glukosa rendah, leukosit
berjumlah 1.000-2.000/mL dengan dominasi limfosit, kadang-kadang
ditemukan sel mesotel (2%), dan sel neutrophil ditemukan pada awal
perjalanan penyakit. Mikobakterium jarang ditemukan pada pemeriksaan
mikroskopik langsung, sedangkan pada pemeriksaan kultur hanya 25% yang
positif. Banyak efusi yang dapat sembuh dengan sendirinya, akan tetapi efusi
yang menimbulkan gejala memerlukan terapi torakosentesis.
3. Penyakit Jaringan Ikat
Lupus eritomatosus sistemik, dan artritis rheumatoid sering menyebabkan
efusi pleura.
4. Penyakit Intraabdominal
Penyakit intraabdominal tidak hanya menyebabkan efusi pleura transudatif,
tetapi juga eksudatif tergantung kepada jenisnya. Kasus pasca bedah rongga
abdomen, perforasi usus, penyakit hepatobiliar yang menyebabkan abses
subdiafragmatika dapat menyebabkan efusi pleura eksudatif. Yang sering
ditemukan adalah abses hepar karena amoeba.
5. Imunologik
Efusi pleura yang penyebabnya imunologik meliputi efusi rematoid, efusi
lupus, efusi sarkoidosis, granulomatosis Wegener, pasca cedera jantung,
emboli paru, paru uremik, sinrom Meig.

DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Keluhan yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa penuh dalam
dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak, berupa nyeri
dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab
seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi
(kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk berdahak. Berat
badan menurun pada neoplasma, ascites pada sirosis hepatis.
2. Pemeriksaan Fidik
Diantara dinding dada dan paru dipisahkan oleh cairan, transmisi suara pada
perkusi maupun pada auskulatasi akan terganggu. Tingkat gangguan transmisi
suara tergantung pada jumlah cairan di dalam rongga pleura. Jika jumlah
cairan pleura kurang dari 300 mL, cairan ini belum menimbulkan gejala pada
pemeriksaan fisik. Jika jumlah cairan telah mencapai 500 mL, baru dapat
ditemukan gejala berupa gerak dada yang melambat atau terbatas saat
inspirasi pada sisi yang mengandung akumulasi cairan. Fremitus taktil juga
berkurang pada dasar paru posterior. Suara perkusi menjadi pekak dan suara
napas pada auskultasi terdengar melemah walaupun sifatnya masih vesikular.
Jika akumulasi cairan melebihi 1000 mL, sering terjadi saat atelektasis pada
paru bagian bawah. Ekspansi dada saat inspirasi pada bagian yang
mengandung timbunan cairan menjadi terbatas sedangkan sela iga melebar
dan menggembung. Pada auskultasi di atas batas cairan, sering didapatkan
suara bronkovesikuler yang dalam, sebab suara ini ditransmisikan oleh
jaringan paru yang mengalami atelectasis. Pada daerah ini juga dapat
ditemukan fremitus vocal dan egofoni yang bertambah jelas. Jika akumulasi
cairan melebihi 2000 mL, cairan ini dapat menyebabkan seluruh paru menjadi
kolaps kecuali bagian apeks. Sela iga semakin melebar, gerak dada pada
inspirasi sangat terbatas, suara napas, fremitus taktil maupun fremitus vocal
sulit didengar karena sangat lemah. Selain itu terjadi pergeseran mediastinum
kea rah ipsilateral dan penurunan letak diafragma.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Gambaran Rontgen
Kelainan pada foto rontgen PA baru akan terlihat jika akumulasi cairan
pleura telah mencapai 300 mL. Pada mulanya, cairan berkumpul pada
dasar hemitoraks di antara permukaan inferior paru dan diafragma
inferior paru dan diafragma terutama di sebelah posterior, yaitu di sinus
pleura yang dalam. Jika cairan pleura terus bertambah banyak, cairan
akan menuju sinus kostofrenikus posterior dan ke lateral, dan akhirnya ke
anterior. Jika cairan masih terus bertambah banyak, cairan akan menuju
ke atas, yaitu ke daerah paru yang cekung, dan menguncup ke atas.
Diafragma dan sinus kostofrenikus akan tidak terlihat jika cairan
mencapai 1000 mL. Jika pada foto PA efusi pleura tampak tidak jelas,
dapat dilakukan foto lateral decubitus.
b. Torakosentesis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara mengambil cairan di rongga
pleura dengan cara pungsi pleura atau torakosentesis atau pleural tapping.
Pungsi pleura dilakukan dengan cara menusukkan jarum pungsi atau
abbocath di antara dua iga. Agar tidak mencederai pembuluh darah dan
saraf, penusukan dilakukan di batas atas iga, karena di bawah iga terdapat
pembuluh darah dan saraf. Setelah pengeluaran cairan pleura, baik untuk
diagnosis maupun untuk terapi selesai dilakukan, jarum pungsi atau
abbocath dicabut. Jika pengeluaran untuk terapi memerlukan jangka
waktu yang lebih lama, tindakan ini disebut drainase dan dilakukan
dengan teknik under water sealed drainage. Cairan yang terdapat di
dalam rongga pleura secara umum disebut efusi pleura. Efusi pleura
berupa nanah disebut empyema, jika berupa darah disebut hemotoraks
atau hematotoraks, jika berisi cairan kulis disebut kilotoraks.
d. Analisis Cairan Pleura
Cairan pleura secara makroskopik diperiksa warna, turbiditas, dan
baunya.Transudat biasanya jernih transparan, berwarna kuning jerami,
dan tidak berbau. Cairan pleura yang menyerupai susu biasanya
mengandung kilus berbau. Cairan pleura yang berbau busuk dan
mengandung nanah biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri anaerob,
cairan yang berwarna kemerahan biasanya mengandung darah, jika
berwarna coklat biasanya karena amebiasis. Sel darah putih dalam jumlah
banyak, dan peningkatan kolesterol atau trigliserida akan membuat cairan
pleura menjadi keruh (turbid). Setelah dilakukan proses sentrifugasi,
supernatant empyema menjadi jernih dan berwarna kuning, sedangkan
efusi kilotoraks akan tetap seperti berawan setelah dilakukan sentrifugasi.
Penambahan 1 mL darah pada sejumlah volume cairan pelura sudah
cukup untuk menyebabkan perubahan warna menjadi kemerahan karena
darah tersebut mengandung 5.000-1.000 sel eritrosit. Efusi pleura yang
mengandung cukup banyak darah (100.000 eritrosit/mL) menimbulkan
dugaan adanya trauma, keganasan atau emboli paru. Cairan pleura yang
kental dan mengandung darah biasanya disebabkan karena keganasan.
Jika hematrokrit cairan pleura melebihi 50% dari hematocrit darah
perifer, dapat dikatakan sebagai hematoraks.
e. Pemeriksaan Mikroskopi dan Sitologi
Jika didapatkan seldarah putih sebanyak > 1.000/mL, hal ini
mengarahkan diagnosis kepada eksudat. Jika sel darah putih >
20.000/mL, keadaan ini menunjukkan empiema. Neutrophil menunjukkan
kemungkinan adanya pneumonia, infark paru, tuberculosis paru fase wal,
atau pankreatitis. Limfosit dalam jumlah banyak mengarahkan kepada
tuberculosis, limfoma atau keganasan. Jika pada torakosentesis
didapatkan banyak eosinophil, tuberculosis dapat disingkirkan.
f. Pemeriksaan Kimia dan pH
Dilakukan pemeriksaan glukosa, amilasi, dan enzim-enzim lain.
Pemeriksaan pH cairan pleura harus menggunakan mesin untuk
memeriksa gas darah karena pemeriksaan dengan menggunakan pH-meter
dan stik pH tidak cukup akurat untuk keperluan ini. Hasil aspirasi cairan
pleura tetap disimpan di dalam siring, kemudian dimasukkan ke dalam
termos es, dan segera diperiksa di laboratorium.

Jenis Efusi Tampilan pH Kadar dalam Cairan Efusi


Sel/µL Protein Glukosa LDH
Cairan Cairan
(g/dL) (mg/dL) (IU/L)
Efusi Efusi
TRANSUDAT
Gagal Jantung Serosa 7.45- < 1000 CE/S < =S CE/S <
Kongestif 7.55 Limfotit 0.5 2/3
Mesotelial batas
atas
kadar
normal
S
Sirosis Hati Serosa 7.40- < 1000 CE/S < =S CE/S <
atau 7.55 Limfotit 0.5 2/3
Hemoragik Mesotelial batas
atas
kadar
normal
S
Sindrom Serosa <7.40 <1000 <1.0 =S < 100
Nefrotik Mononuklear
EKSUDAT
Parapneumoni Keruh ≥7.30 10.000 PMN 1.4-6.1 =S < 700
a (Turbid)
Parapneumoni Keruh atau <7.10 >20.000 PMN >4.5 <40 >1000
a + Komplikasi nanah (20-100.000)
Tuberkulosis Serosa <7.40 <5000 >4.0 =S < 700
<7.30 Limfosit < 60
(20%) (20%)
CE = Cairan Efusi S = Serum PMN : Polimorfonuklear

TATA LAKSANA
Tujuan penatalaksanaan efusi pleura adalah terlebih dahulu meringankan
gejala simptomatik dengan cara mengeluarkan akumulasi cairan dari kavum pleura
dan menangani penyebab dari efusi pleura. Pemilihan terapi biasanya bergantung
pada jenis efusi pleura, jumlah efusi pleura dan penyakit yang mendasari.
Jika efusi disebabkan oleh infeksi maka diberikan antibiotic. Selain itu juga dapat
dilakukan aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis,
aspirasi juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik.

II. 2 GAGAL JANTUNG


Definisi dan Manifestasi klinis
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien
harus memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat
istrahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi cairan
(kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan
struktur atau fungsi jantung saat istrahat.
Tabel 1. Tanda dan gejala gagal jantung
Definisi gagal jantung
Gagal jantung merupakan kumpulan gejala klinis pasien dengan
tampilan seperti :
Gejala khas gagal jantung : Sesak nafas saat istrahat atau aktifitas,
kelelahan, edema tungkai
DAN
Tanda khas Gagal Jantung : Takikardia, takipneu, ronki paru, efusi
pleura, peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer,
hepatomegali
DAN
Tanda objektf gangguan struktur atau fungsional jantung saat
istrahat, kardiomegali, suara jantung ke tiga, murmur jantung,
abnormalitas dalam gambaran ekokardiografi, kenaikan konsentrasi
peptida natriuretik
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute
and chronic heart failure.(3)

Tabel 2. Manifestasi klinis gagal jantung


Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
 Sesak nafas  Peningkatan JVP
 Orthopneu  Refluks hepatojugular
 Paroxysmal nocturnal  Suara jnatung S3 (gallop)
dyspnea  Apex jantung bereser ke
 Toleransi aktivitas yang lateral
berkurang  Bising ‘jantung
 Cepat lelah
 Bengkak di pergelangan
kaki
Kurang tipikal Kurang tipikal
 Batuk di malam/dini hari  Edema perifer
 Mengi  Krepitasi pulmonal
 Berat badan bertambah  Suara pekak di basal paru
>2 kg/minggu pada perkusi
 Berat badan turun  Takikardia
(gagal jantung stadium  Nadi irregular
lanjut)  Nafas cepat
 Perasaan  Hepatomegaly
kembung/begah  Asites
 Nafsu makan menurun  Kaheksia
 Perasaan bingung
(terutama pasien usia
lanjut)
 Depresi
 Berdebar
 Pingsan
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute
and chronic heart failure.(3)

Klasifikasi
Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart Association (NYHA).
Tabel 2. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan NYHA
Klasifikasi Fungsional NYHA
(Klasifikasi berdasarkan Gejala dan Aktivitas Fisik)
Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas sehari – hari tidak
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas Sedikit pembatasan aktivitas fisik. Berkurang dengan istirahat, tetapi
II aktivitas sehari – hari menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.

Kelas Adanya pembatasan yang bermakna pada aktivitas fisik. Berkurang dengan
III istirahat, tetapi aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari – hari
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Kelas Tidak dapat melakukan aktivitas sehari – hari tanpa adanya kelelahan.
IV Gejala terjadi pada saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan
akan semakin meningkat.
Klasifikasi Derajat Gagal Jantung berdasarkan American College of Cardiology dan
American Heart Association.

Tabel 3. Tahapan Gagal Jantung berdasarkan ACC/AHA


Tahapan Gagal Jantung berdasarkan ACC/AHA
(Derajat Gagal Jantung berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung)
Tahap A Risiko tinggi berkembang menjadi gagal jantung, tidak ada dijumpai
abnormalitas struktural dan fungsional, tidak ada tanda atau gejala.

Tahap B Berkembangnya kelainan struktural jantung yang berhubungan erat


dengan perkembangan gagal jantung, tetapi tanpa gejala atau tanda.

Tahap C Gagal jantung simptomatik berhubungan dengan kelainan struktural


jantung.
Tahap D Kelainan struktural jantung yang berat dan ditandai adanya gejala
gagal jantung saat istirahat meskipun dengan terapi yang maksimal.

PATOFISIOLOGI
1. Struktur Jantung yang Gagal
Heart failure (HF) adalah sindrom klinis kompleks yang sebagian
disebabkan oleh perubahan patologis pada struktur dan fungsi miokardium. Pada
awal abad keenam belas, ahli anatomi mengenali kelainan struktural karakteristik
jantung pasien yang meninggal karena HF. Jantung yang gagal ditemukan
membesar pada otopsi, dengan peningkatan massa karena penebalan dinding
ventrikel dan/atau dilatasi rongga ventrikel. Pola sebelumnya dikenal sebagai
hipertrofi konsentris dan yang terakhir disebut hipertrofi eksentrik (Gambar 3.2).
Osler dan lainnya menyimpulkan bahwa hipertrofi eksentrik biasanya dikaitkan
dengan penurunan fungsi kontraktil jantung dan menandakan prognosis yang
lebih buruk. Kami sekarang tahu bahwa hipertrofi konsentris berkembang
sebagai respons awal adaptif terhadap pembebanan tekanan kronis, konsisten
dengan Hukum LaPlace di mana tekanan internal meningkat untuk meningkatkan
tegangan (tegangan) dinding yang menghasilkan ekspansi kompensasi ketebalan
dinding (Gambar 8.3). Hipertrofi eksentrik dapat timbul dari pembebanan
volume kronis, kardiomiopati primer, atau dapat berkembang pada jantung
terhipertrofi yang terpapar oleh ketegangan dinding yang terus meningkat. Dasar-
dasar molekuler dari hipertrofi patologis telah dijelaskan pada abad ini sejak
pengamatan Osler dan telah sangat berharga dalam memahami HF.

2. Perubahan Hemodinamik pada HF


Seperti yang ditemukan oleh ahli fisiologi pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20, kelainan struktural yang terkait dengan gagal jantung muncul dari
dan menyebabkan perubahan dalam parameter hemodinamik dasar termasuk
preload, afterload, dan kontraktilitas. Mungkin pelopor yang paling berpengaruh
adalah Ernest Starling, yang menunjukkan bahwa volume stroke meningkat
secara proporsional dengan volume akhir diastolik (preload). Prinsip ini, yang
sekarang disebut Hukum Frank-Starling, memungkinkan jantung untuk
mengkompensasi gangguan kontraktilitas dan dapat mencegah perkembangan
sindrom klinis gagal jantung. Respons adaptif yang awalnya ini dipertahankan,
sebagian, oleh retensi dan redistribusi cairan, yang dihasilkan dari respons
neurohormonal terhadap gangguan kinerja jantung. Ketika penyakit berkembang,
retensi cairan menyumbang banyak tanda dan gejala gagal jantung yang nyata,
yang hampir selalu ditandai dengan peningkatan preload.
Gambar 3.2. Hukum LaPlace yang berkaitan dengan jantung. Hukum
LaPlace menggambarkan tegangan dinding yang timbul dari radius tertentu
dan tekanan internal dari bilik ventrikel. Diagram jantung menunjukkan
variabel yang terlibat dalam Hukum LaPlace. Di sebelah kanan, efek
perubahan tekanan (P) atau jari-jari pada tegangan dinding (T)
digambarkan. Perubahan patologis dalam sistem kardiovaskular dapat
mengubah tekanan atau jari-jari untuk secara efektif meningkatkan
ketegangan dinding untuk mengurangi aliran dan pemendekan darah
miokard, yang biasanya memicu respons hipertrofik oleh miokardium.

Gambar 3.3. Pola hipertrofi jantung yang gagal. Respons hipertrofi


jantung terbagi dalam dua kategori: konsentris dan eksentrik. Hipertrofi
konsentris, di mana penebalan dinding terjadi dan pada tingkat sel
dibuktikan dengan peningkatan volume kardiomiosit dan penambahan
unit sarkomer secara paralel. Hipertrofi eksentrik diamati sebagai
penipisan dinding ventrikel; kardiomiosit memang meningkatkan volume,
tetapi biasanya dengan perpanjangan sebagai unit sarkomer ditambahkan
secara seri. Hipertrofi adalah respons adaptif namun pada gagal jantung,
perubahan ini menyebabkan penurunan fungsi jantung.

Afterload didefinisikan sebagai tekanan dinding ventrikel selama kontraksi


dan biasanya diperkirakan oleh tekanan darah atau resistensi vaskular sistemik.
Peran afterload pada HF bersifat multifaktorial: afterload yang meningkat secara
kronis, seperti pada hipertensi atau stenosis aorta, dapat menyebabkan hipertrofi
dan akhirnya menyebabkan HF. Afterload juga dapat meningkat sebagai respons
kompensasi untuk mempertahankan perfusi sistemik dalam pengaturan curah
jantung yang rendah. Evaluasi hemodinamik invasif, seperti yang dipelopori oleh
Andre Cournand dan Dickinson Richards pada awal 1940-an, memungkinkan
perhitungan resistensi vaskular sistemik yang sangat penting untuk pemahaman
saat ini bahwa pengurangan afterload yang bijak secara farmakologis bermanfaat
dalam pengelolaan HF.
Kontraktilitas adalah ukuran kekuatan kontraksi miokard pada setiap preload
dan afterload yang ada, dan ditentukan pada tingkat sel dengan derajat
pemendekan sarkomer. Secara historis, HF dipahami terutama sebagai kegagalan
kontraktilitas karena cedera miokard, meskipun baru-baru ini menjadi jelas
bahwa HF dapat berkembang dalam pengaturan kontraktilitas yang tampak
normal. Dalam istilah patofisiologis, HF dalam pengaturan penurunan
kontraktilitas disebut HF sistolik, sedangkan HF berkembang dalam pengaturan
kontraktilitas normal dan disebut HF diastolik. Secara klinis, entitas ini dikenal
sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi berkurang (HFrEF) dan HFpEF, di
mana EF adalah ukuran pengganti untuk kontraktilitas (volume stroke/volume
diastolik akhir). Anehnya, sekitar 50% pasien gagal jantung memiliki HFpEF.
Patofisiologi HFpEF kurang dipahami, tetapi mencakup kelainan pada fungsi
diastolik, serta kopling ventrikel-vaskular patologis karena kekakuan arteri,
respon denyut jantung yang tidak memadai (inkompetensi kronotropik), dan
cadangan kontraktil yang tidak memadai.
Manifestasi klinis gagal jantung ditentukan oleh derajat gangguan
hemodinamik. Sebagian besar pasien dengan HF simptomatik, baik HFpEF atau
HFrEF, secara nyata mengalami peningkatan preload karena retensi cairan.
Pasien-pasien HfrEF dengan gangguan kontraktilitas yang parah juga dapat
mengembangkan tanda-tanda dan gejala-gejala hipoperfusi karena curah jantung
yang tidak memadai, meskipun kelainan-kelainan ini berkembang hanya selama
stadium lanjut penyakit.

3. HF Kiri dan Kanan


Terlepas dari apakah gagal jantung muncul dalam pengaturan kontraktilitas
yang dipertahankan atau berkurang, patofisiologi dan manifestasi klinisnya
ditentukan oleh ventrikel yang terkena. HF kiri dikaitkan dengan peningkatan
tekanan pengisian LV (preload) yang berhubungan secara pasif kembali ke
atrium kiri (LA) dan kemudian melalui vena paru ke pembuluh darah paru.
Ketika tekanan hidrostatik di pembuluh pulmonal melebihi tekanan di
interstitium, cairan ekstravasasi menyebabkan edema paru. Pada tekanan yang
sangat tinggi, cairan dapat bergerak dari kapiler paru ke ruang udara alveolar,
menyebabkan dispnea dan hipoksia. Perkembangan gagal jantung kiri memiliki
banyak penyebab, termasuk penyakit jantung iskemik, kardiomiopati dilatasi,
kelainan katup mitral atau aorta, dan hipertensi sistemik.
HF kanan dikaitkan dengan peningkatan tekanan vena sentral, yang
berfungsi sebagai preload ventrikel kanan. Peningkatan yang terjadi pada tekanan
vena sistemik menyebabkan edema di hati, dinding usus, dan di rongga perut
sendiri (asites) ketika tekanan meningkat secara nyata.
Secara kolektif, proses ini sering menyebabkan pasien dengan gagal jantung
kanan mengalami rasa kenyang perut, mual, atau rasa kenyang dini. Retensi
cairan, peningkatan tekanan vena sistemik, dan gravitasi bersatu dan
menyebabkan edema ekstremitas bawah, manifestasi paling khas dari gagal
jantung kanan. Penyebab paling umum dari HF kanan adalah HF kiri, di mana
retensi cairan menyebabkan peningkatan preload dan afterload ke ventrikel
kanan. Namun, gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa adanya gagal
jantung kiri pada kondisi yang menyebabkan peningkatan afterload ventrikel
kanan (hipertensi paru). Penyebab hipertensi paru yang berkontribusi terhadap
gagal jantung sisi kanan termasuk penyakit paru hipoksik kronis, penyakit
pembuluh darah kolagen, penyakit tromboemboli vena, dan hipertensi arteri paru
primer. Sementara sebagian besar HF sisi kanan terjadi secara tidak langsung
dari peningkatan tekanan, gagal jantung kanan jarang dapat disebabkan oleh
proses penyakit primer pada otot ventrikel kanan itu sendiri, MI yang dihasilkan
dari penyumbatan arteri koroner memasok darah ke sisi kanan jantung, penyakit
jantung kongenital, atau kardiomiopati ventrikel kanan aritmogenik.

4. Remodeling Miokard pada HF: Kematian Sel dan Regenerasi


Dasar anatomi untuk disfungsi jantung dan gagal jantung awalnya dijelaskan
oleh Linzbach dan Hort. Sebagai ahli patologi, mereka berhipotesis bahwa stres
jantung kronis menyebabkan hipertrofi jantung progresif (peningkatan ukuran
kardiomiosit), yang dari waktu ke waktu melebihi kapasitas pembuluh darah
koroner untuk memperbaiki peningkatan massa sel. Mereka mengusulkan bahwa
ini mengarah pada pembentukan fokus iskemik yang menyebabkan nekrosis
multifokal, sub-endokardial, selip, dan penggantian fibrosis selain pelebaran
ruang stereotip. Berat jantung untuk efek ini terjadi pada 500 g, sesuai dengan
berat LV kritis 200 g, menurut penelitian Linzbach dan Hort. Remodeling
miokard ini, ditunjukkan oleh dilatasi struktural, baru-baru ini telah diakui
sebagai hasil dari sejumlah besar proses kompleks. Menariknya, Linzbach
menemukan bahwa peningkatan yang diamati dalam diameter cross-sectional
kurang dari yang diprediksi mengingat peningkatan keseluruhan massa jantung,
menyimpulkan bahwa hiperplasia (peningkatan jumlah kardiomiosit) harus
terjadi dalam jantung dengan hipertrofi eksentrik, melebihi berat kritis 500 g.
Sementara tingkat mitosis tidak didokumentasikan, penilaian histologis
miokardium menunjukkan peningkatan jumlah miosit, yang mengarah pada
kesimpulan bahwa hiperplasia kardiomiosit disebabkan oleh pembelahan
kardiomiosit longitudinal. Pada saat itu, konsep proliferasi kardiomiosit bersifat
spekulatif pada mamalia, melalui fenomena yang terdokumentasi di hati amfibi
dan ikan teleost.

5. Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi normal


a. Sekitar 50% dari semua kasus HF mewakili HFpEF (heart failure with
preserved ejection fraction). Prevalensi HFpEF yang tinggi dan meningkat
dikaitkan dengan peningkatan usia harapan hidup, populasi yang bertambah
tua, dan epidemi penyakit penyerta seperti hipertensi, penyakit arteri
koroner, diabetes, obesitas, sindrom metabolik, fibrilasi atrium, penyakit
ginjal kronis, dan paru obstruktif kronik (COPD).
Penyebab paling umum dari HFpEF adalah hipertensi, praklinis disfungsi
diastolik/DD (DD dengan LVEF yang normal dan tanpa gejala HF), dan
hipertrofi LV adalah faktor risiko umum untuk HFpEF. Kelainan patofisiologis
utama pada HFpEF adalah DD, kopling ventrikel abnormal, disfungsi sistolik
longitudinal dalam menghadapi LVEF normal, hipertensi paru dengan HF,
inkompetensi kronotropik, gangguan vasodilator cadangan, berkurangnya fungsi
cadangan, kerusakan fungsi otot rangka, dan penyebab ekstrakardiak dari volume
berlebih. Sementara hipertensi dapat memicu perkembangan hipertrofi LV dan
fibrosis, perkembangan HFpEF dalam skenario ini sangat bervariasi. Dalam studi
Framingham Heart, hipertensi sistolik terisolasi menyebabkan LVH konsentris
pada wanita, tetapi pada pria menyebabkan hipertrofi eksentrik. Penelitian pada
hewan juga menemukan hubungan ini, menunjukkan bahwa hipertensi sistolik
terisolasi berkontribusi terhadap peningkatan HFpEF pada wanita. Kekakuan
arteri yang terkait dengan usia lanjut, karena kolagen cross-linking, perubahan
geometrik, dan perubahan fungsi sel endotel dapat berkontribusi pada HFpEF.
Borlaug et al. mengidentifikasi disfungsi sel endotel pada 42% pasien dengan
HFpEF, dibandingkan dengan 28% dari hipertensi tanpa HF. Selanjutnya,
diabetes, obesitas, dan COPD berinteraksi untuk menciptakan lingkungan yang
menyebabkan disfungsi sel endotel, suatu kondisi yang menonjol pada HFpEF.
Gambar 8.8 merangkum interaksi antara faktor-faktor risiko utama yang
berkontribusi pada pengembangan HFpEF.

Gambar 3.4. Gagal jantung kompensasi dan dekompensasi, sebagaimana


diindikasikan dengan ada atau tidak adanya retensi natrium urin, bersama
dengan gejala dan tanda-tanda volume intravaskular dan ekstravaskular
yang diperluas. A, Pada gagal jantung kompensasi dengan pengurangan
perfusi ginjal ringan sampai sedang, peptida natriuretik, seperti atrial
natriuretic peptide (ANP) yang dilepaskan oleh atrium yang terdistensi,
merangsang ekskresi natrium (mengurangi reabsorpsi, tanda minus)
sehingga rasio natrium-kalium urin adalah lebih besar dari 1,0. B, Pada
gagal jantung dekompensasi, penurunan perfusi ginjal sedang hingga berat
mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), menggantikan
aksi peptida natriuretik untuk menstimulasi reabsorpsi natrium urin yang
hampir lengkap (tanda plus), menghasilkan natrium urin. rasio kalium
kurang dari 1,0. ACh = asetilkolin; CNS = sistem saraf pusat; E =
epinefrin. (Dari KT Weber: Aldosterone pada gagal jantung kongestif. N
Engl J Med 345: 1689, 2001; dan KT Weber, Villareal D: terapi Aldosteron
dan antialdosteron pada gagal jantung kongestif. Am J Cardiol 71 [suppl
3A]: 11A, 1993.)6

1.1. Algoritma diagnosis gagal jantung


1. Gejala dan tanda
Gejala HF seringkali tidak spesifik dan seringkali tidak dapat dibedakan
antara HF dan masalah lainnya. (Tabel 2.1). gejala dan tanda HF akibat retensi
cairan dapat teratasi dengan cepat dengan terapi diuretik. Tanda, seperti
peningkatan tekanan vena jugular dan perubahan letak impuls apikal, mungkin
lebih spesifik, tetapi lebih sulit ditemui dan memiliki ketepatan yang buruk.
Gejala dan tanda mungkin terutama sulit untuk diidentifikasi dan dinilai pada
pasien obesitas, pada usia lanjut dengan penyakit paru kronis. Pasien muda
dengan HF seringkali memiliki etiologi, presentasi klinis dan keluaran yang
berbeda dibandingkan dengan pasien yang lebih tua.
1.
2. Gambar 3.5. Tanda dan gejala HF
3.
Riwayat yang rinci harus selalu didapat. HF jarang terjadi pada individu
yang tidak memiliki riwayat klinis yang relevan (seperti penyebab potensial
cedera jantung), dimana beberapa gambaran, terutama riwayat infark miokard,
meningkatkan kecenderungan HF pada pasien dengan tanda dan gejala yang
sesuai.
Pada setiap kunjungan pasien, tanda dan gejala HF perlu dinilai, dengan
perhatian utama pada bukti adanya kongesti. Gejala dan tanda bersifat penting
dalam memonitor respon pasien terhadap terapi dan stabilisasi sepanjang waktu.
Menetapnya gejala pada saat terapi biasanya mengindikasikan perlunya
tambahan terapi, dan perburukan gejala adalah suatu perubahan serius
(menempatkan pasien pada risiko rujukan darurat ke RS dan kematian) dan
memerlukan perhatian medis yang tepat.
2. pemeriksaan awal yang penting: peptida natriuretik, elektrokardiogram dan
ekokardiografi.
Konsentrasi plasma peptida natriuretik (NPs) dapat digunakan sebagai
sebuah pemeriksaan diagnostik awal, khususnya pada keadaan non akut ketika
ekokardiografi tidak tersedia dalam segera. Peningkatan NPs membantu
menentukan diagnosis kerja awal, menentukan mereka yang membutuhkan
pemeriksaan jantung lebih lanjut; pasien dengan nilai dibawah cutpoint untuk
eksklusi disfungsi jantung yang penting tidak memerlukan ekokardiografi. Pasien
dengan konsentrasi plasma NP yang normal jarang mengidap HF. Batas atas nilai
normal pada keadaan non-akut untuk kadar peptida natriuretik tipe-B (BNP)
adalah 35 pg/mL dan untuk kadar N-terminal pro-BNP (NT-proBNP) adalah 125
pg/mL; pada keadaan akut, nilai yang lebih besar harus digunakan [BNP, 100
pg/mL, NT-proBNP, 300 pg/mL dan mid-regional pro peptida natriuretik tipe A
(MR-proANP), 120 pmol/L]. Nilai diagnostik digunakan serupa pada HFrEF and
HFpEF; rata-rata, nilainya lebih rendah pada HFpEF daripada untuk HFrEF.
Pada titik potong eksklusi yang disebutkan, nilai-nilai prediktif negatif sangat
mirip dan tinggi (0,94-0,98) baik dalam keadaan non-akut dan akut, tetapi nilai
prediksi positif lebih rendah baik dalam pengaturan non-akut (0,44-0,57) dan
dalam keadaan akut (0,66-0,67). Oleh karena itu, penggunaan NP dianjurkan
untuk menyingkirkan gagal jantung, tetapi tidak untuk menegakkan diagnosis.
Ada banyak penyebab kardiovaskular dan non-kardiovaskular dari
peningkatan NP yang dapat melemahkan utilitas diagnostik mereka terhadap
gagal jantung. Di antara mereka, AF, usia dan gagal ginjal adalah faktor paling
penting yang menghambat interpretasi pengukuran NP. Di sisi lain, kadar NP
mungkin rendah secara proporsional pada pasien obesitas.
Elektrokardiogram abnormal (EKG) meningkatkan kemungkinan diagnosis
gagal jantung, tetapi memiliki spesifisitas yang rendah. Beberapa kelainan pada
EKG memberikan informasi tentang etiologi (misalnya infark miokard), dan
temuan pada EKG mungkin memberikan indikasi untuk terapi (misalnya
antikoagulasi untuk AF, pacu jantung untuk bradikardia, CRT jika kompleks
QRS melebar). HF tidak mungkin terjadi pada pasien dengan EKG normal
(sensitivitas 89%). Oleh karena itu, penggunaan EKG secara rutin dianjurkan
untuk menyingkirkan HF.
Ekokardiografi adalah tes yang paling berguna dan tersedia secara luas pada
pasien dengan dugaan gagal jantung untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan
ini memberikan informasi langsung tentang volume ruang, fungsi sistolik dan
diastolik ventrikel, ketebalan dinding, fungsi katup, dan hipertensi paru.
Informasi ini sangat penting dalam menegakkan diagnosis dan dalam
menentukan perawatan yang tepat.
Informasi yang didapat dengan evaluasi klinis yang cermat dan tes-tes yang
disebutkan di atas akan memungkinkan diagnosis kerja awal dan rencana
perawatan pada kebanyakan pasien. Tes lain umumnya diperlukan hanya jika
diagnosis tetap tidak pasti (mis. Jika gambar ekokardiografi suboptimal atau
dicurigai sebagai penyebab gagal jantung).

3. Algoritma untuk diagnosis gagal jantung


b. Algoritma untuk diagnosis gagal jantung dalam keadaan non-akut
Algoritma untuk diagnosis gagal jantung pada keadaan non-akut
ditunjukkan pada Gambar 3.
Untuk pasien yang mengalami gejala atau tanda untuk pertama kalinya,
tidak mendesak dalam perawatan primer atau di klinik rawat jalan rumah
sakit yang tidak darurat (gambar 2), probabilitas gagal jantung pertama-tama
harus dievaluasi berdasarkan riwayat klinis pasien sebelumnya [mis.
penyakit arteri koroner (CAD), hipertensi arteri, penggunaan diuretik], gejala
yang muncul (mis. ortopnoea), pemeriksaan fisik (mis. edema bilateral,
peningkatan tekanan vena jugularis, denyut apikal yang bergeser) dan EKG
istirahat. Jika semua elemen normal, gagal jantung sangat tidak mungkin dan
diagnosis lain perlu dipertimbangkan. Jika setidaknya satu elemen abnormal,
NP plasma harus diukur, jika tersedia, untuk mengidentifikasi mereka yang
membutuhkan ekokardiografi (ekokardiogram diindikasikan jika level NP di
atas ambang pengecualian atau jika kadar NP yang beredar tidak dapat
dinilai).

4.
5. Gambar 3.6. Algoritma diagnosis HF onset non-akut
6.
c. Diagnosis gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang dipertahankan (heart
failure with preserved ejection fraction, HFpEF)
Diagnosis HFpEF tetap menantang. LVEF normal dan tanda-tanda dan
gejala gagal jantung (gambar 2) sering tidak spesifik dan tidak membedakan
dengan baik antara gagal jantung dan kondisi klinis lainnya. Bagian ini
merangkum rekomendasi praktis yang diperlukan untuk diagnosis yang tepat
dari entitas klinis ini dalam praktik klinis.
Diagnosis HFpEF kronis, terutama pada pasien lansia tipikal dengan
komorbiditas dan tidak ada tanda-tanda jelas kelebihan cairan sentral, rumit
dan standar emas yang divalidasi tidak ada. Untuk meningkatkan spesifisitas
mendiagnosis HFpEF, diagnosis klinis perlu didukung oleh tindakan objektif
disfungsi jantung saat istirahat atau selama berolahraga. Diagnosis HFpEF
membutuhkan kondisi berikut untuk dipenuhi:
a) Adanya gejala dan / atau tanda-tanda HF (gambar 2)
b) EF “yang tersedia” (didefinisikan sebagai LVEF ≥50% atau 40-49%
untuk HFmrEF)
c) Peningkatan kadar NP (BNP>35 pg/mL dan/atau NT-proBNP>125
pg/mL)
d) Bukti obyektif dari perubahan fungsional dan struktural jantung lainnya
yang mendasari gagal jantung (untuk perincian, lihat di bawah)
e) Jika terjadi ketidakpastian, uji tekanan atau tekanan pengisian LV yang
meningkat yang diukur secara invasif mungkin diperlukan untuk
mengonfirmasi diagnosis (untuk perincian, lihat di bawah).

Penilaian awal terdiri dari diagnosis klinis yang kompatibel dengan


algoritma yang disajikan di atas dan penilaian LVEF dengan ekokardiografi.
Cutoff 50% untuk diagnosis HFpEF adalah sewenang-wenang; pasien
dengan LVEF antara 40 dan 49% sering diklasifikasikan sebagai HFpEF
dalam uji klinis. Namun, dalam pedoman ini, kami mendefinisikan HFpEF
sebagai LVEF ≥50% dan menganggap pasien dengan LVEF antara 40 dan
49% sebagai area abu-abu, yang dapat diindikasikan sebagai HFmrEF.
Tanda dan gejala klinis serupa untuk pasien dengan HFrEF, HFmrEF, dan
HFpEF. EKG istirahat dapat mengungkapkan kelainan seperti AF, hipertrofi
LV dan kelainan repolarisasi. EKG normal dan/atau konsentrasi plasma
BNP<35 pg/mL dan/atau NT-proBNP<125 pg/mL membuat diagnosis
HFpEF, HFmrEF atau HFrEF tidak mungkin.
Langkah selanjutnya terdiri dari pemeriksaan lanjutan dalam kasus bukti
awal HFpEF/HFmrEF dan terdiri dari demonstrasi obyektif perubahan
struktural dan/atau fungsional jantung sebagai penyebab yang mendasari
presentasi klinis. Perubahan struktural utama adalah indeks volume atrium
kiri (LAVI)>34 mL/m2 atau indeks massa ventrikel kiri (LVMI)≥115 g/m2
untuk pria dan ≥95 g/m2 untuk wanita. Perubahan fungsional utama adalah
E/e′≥13 dan rata-rata e' septum dan dinding lateral< 9 cm/s. Pengukuran
turunan ekokardiografi adalah regangan longitudinal atau kecepatan
regurgitasi trikuspid (TRV).
Tes stres diastolik dapat dilakukan dengan ekokardiografi, biasanya
menggunakan protokol latihan ergometer sepeda semi supine dengan
penilaian LV (E/e′) dan tekanan arteri pulmonalis (TRV), disfungsi sistolik
(regangan longitudinal), volume stroke, dan curah jantung berubah dengan
olahraga. Protokol latihan dinamis yang berbeda tersedia, dengan ergometri
sepeda semi-supine dan ekokardiografi saat istirahat dan olahraga
submaksimal yang paling sering digunakan. Latihan yang diinduksi
peningkatan E/e′ di luar batas diagnostik (mis.>13), tetapi juga pengukuran
tidak langsung lainnya dari fungsi sistolik dan diastolik, seperti regangan
longitudinal atau TRV, digunakan. Atau, hemodinamik invasif saat istirahat
dengan penilaian tekanan pengisian [tekanan baji kapiler pulmoner, PCWP]
≥15 mmHg atau tekanan diastolik akhir ventrikel kiri (LVEDP) ≥16 mmHg]
diikuti dengan latihan hemodinamik jika di bawah ambang batas ini, dengan
penilaian perubahan pengisian tekanan, tekanan sistolik arteri pulmonalis,
volume stroke dan curah jantung, dapat dilakukan.
Diagnosis HFpEF pada pasien dengan AF adalah sulit. Karena AF
dikaitkan dengan kadar NP yang lebih tinggi, penggunaan NT-proBNP atau
BNP untuk mendiagnosis HFpEF mungkin perlu distratifikasi dengan
adanya irama sinus (dengan cut-off yang lebih rendah) vs AF (cut-off yang
lebih tinggi). LAVI meningkat oleh AF, dan parameter fungsional disfungsi
diastolik kurang mapan pada AF, dan nilai batas lainnya mungkin berlaku.
Di sisi lain, AF mungkin merupakan tanda kehadiran HFpEF, dan pasien
dengan AF dan HFpEF sering memiliki karakteristik pasien yang serupa.
Selain itu, pasien dengan HFpEF dan AF mungkin memiliki HF lebih
berkembang dibandingkan dengan pasien dengan HFpEF dan irama sinus.
Pasien dengan HFpEF adalah kelompok heterogen dengan berbagai
etiologi dan kelainan patofisiologis yang mendasarinya. Berdasarkan
penyebab spesifik yang dicurigai, tes tambahan dapat dilakukan. Namun,
mereka hanya dapat direkomendasikan jika hasilnya mungkin
mempengaruhi manajemen.

3.6. Tatalaksana
Tabel. Tujuan pengobatan gagal jantung kronik
Prognosis Menurunkan mortalitas
Morbiditas Meringankan gejala dan tanda
Memperbaiki kualitas hidup
Menghilangkan edema dan retensi
cairan
Meningkatkan kapasitas aktifitas fisik
Mengurangi kelelahan dan sesak
nafas
Mengurangi kebutuhan rawat inap
Menyediakan perawatan akhir hayat
Pencegahan Timbulnya kerusakan miokard
Perburukan kerusakan miokard
Remodelling miokard
Timbul kembali gejala dan akumulasi
cairan
Rawat inap
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2008.
Gambar. Strategi pengobatan pada pasien gagal jantung kronik simptomatik
(NYHA fc II-IV). Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2012

ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)


Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien
gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka
kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh
sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat
dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACEI
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala
Kontraindikasi pemberian ACEI
 Riwayat angioedema
 Stenosis renal bilateral
 Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
 Stenosis aorta berat

Cara pemberian ACEI pada gagal jantung (Tabel 9)


Inisiasi pemberian ACEI
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu setelah terapi
ACEI
 Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
 Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di rumah sakit
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat di toleransi (Tabel 11)
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai
dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali

Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012.
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012

Tabel. Indikasi pemberian digoxin pada gagal jantung.


Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012

Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012

ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)


Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun
sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat
antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran
ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab
kardiovaskular.

Indikasi pemberian ARB


 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat
(kelas fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI
 ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan
hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan
batuk

Kontraindikasi pemberian ARB


 Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
 Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
 Monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan
bersama ACEI

Cara pemberian ARB pada gagal jantung


Inisiasi pemberian ARB
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
 Dosis awal lihat Tabel 11

Naikan dosis secara titrasi

 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan


naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hyperkalemia
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat ditoleransi (Tabel 11)
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai
dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali

HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)


Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran
terhadap ACEI dan ARB. Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN
 Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
 Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak
dapat ditoleransi
 Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI,
penyekat β dan ARB atau antagonis aldosteron

Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN


 Hipotensi simtomatik
 Sindroma lupus
 Gagal ginjal berat

Cara pemberian kombinasi H-ISDN pada gagal jantung (Tabel 10)


Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN
 Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari
 Naikan dosis secara titrasi
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
 Jangan naikan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik
 Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target (hydralazine 50
mg dan ISDN 20 mg, 3-4 x/hari)

Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi


H-ISDN:
 Hipotensi simtomatik
 Nyeri sendi atau nyeri otot

DIGOKSIN

Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik,
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat
mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka
kelangsungan hidup. Cara pemberian digoksin pada gagal jantung.

Inisiasi pemberian digoksin


 Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal.
Pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan
menjadi 0,125 atau 0,0625 mg, 1 x/hariPeriksa kadar digoksin dalam
plasma segera saat terapi kronik. Kadar terapi digoksin harus antara 0,6
- 1,2 ng/mL.
 Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam darah (amiodaron,
diltiazem, verapamil, kuinidin).
Efek tidak mengutungkan yang dapat timbul akibat pemberian digoksin:
 Blok sinoatrial dan blok AV.
 Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hypokalemia.
 Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan
melihat warna

DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai
status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin,
yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau
reistensi.

Cara pemberian diuretik pada gagal jantung


 Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum
elektrolit
 Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
 Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan
tiazid karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada
diuretik loop. Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi
keadaan edema yang resisten

Dosis diuretik (Tabel 13)


 Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan
tanda kongesti
 Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering
(tanpa retensi cairan),untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan
dehidrasi. Tujuan terapi adalah mempertahankan berat badan kering
dengan dosis diuretik minimal
 Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat
mengatur dosis diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran
berat badan harian dan tanda-tanda klinis dari retensi cairan
Gambar. Algoritma terapi farmakologis pada pasien yang telah didiagnosis sebagai gagal
jantung akut. Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2012
II. 3 Diabetes Mellitus Tipe II
3.1 Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes

melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

kedua-duanya.

Insulin yaitu hormon penurun glukosa darah, meningkat dalam waktu

beberapa menit setelah makan dan kembali turun ke nilai dasar dalam waktu 3

jam. Insulin berperan penting dalam mengatur metabolisme karbohidrat, lemak

dan protein (Price & Lorraine, 2007). Diabetes melitus (DM) adalah keadaan

hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan

hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf

dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan

dengan mikroskop electron (Mansjoer,2001)

3.2 Etiologi

Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh berbagai faktor antara lain :

bertambahnya usia harapan hidup dengan individu >40 tahun, obesitas, kurangnya

aktifitas fisik, diet tinggi gula, riwayat keluarga diabetes melitus, dislipidemia,

riwayat melahirkan bayi >4 kg dan riwayat diabetes melitus pada saat kehamilan

(Depkes RI,2008). Banyak orang yang berpotensi terkena diabetes melitus tipe 2

menghabiskan bertahun-tahun dalam keadaan pra diabetes, yaitu suatu kondisi


dimana kadar glukosa darah lebih tinggi dari biasanya tapi tidak cukup tinggi

untuk dignosis diabetes melitus tipe 2 (Sutanto,2010). Pada diabetes melitus tipe

2, pada awalnya kelainan terletak pada jaringan perifer (resistensi insulin) dan

kemudian disusul dengan disfungsi sel beta pankreas, defek pada fase pertama

sekresi insulin, yaitu antara lain, sekresi insulin oleh pankreas mungkin cukup

atau kurang namun terdapat keterlambatan sekresi insulin, jumlah reseptor di

jaringan perifer kurang antara 20.000 sampai 30.000, kadang-kadang jumlah

reseptor cukup tetapi kualitas reseptornya jelek sehingga kerja insulin tidak

efektif, terdapat kelainan di pasca reseptor menyebabkan proses glikolisis

intraseluler terganggu dan adanya kelainan campuran (Tjokroprawiro,2007).


3.3 Patofisiologi

Ketika glukosa masuk ke dalam jaringan, keseimbangan antara produksi

glukosa endogen dan ambilan glukosa oleh jaringan pun menjadi tidak seimbang.

Peningkatan glukosa plasma merangsang pelepasan insulin oleh sel-sel beta,

menyebabkan hiperinsulinemia. Kedua keadaan ini, hiperglisemia dan

hiperinsulinemia akan merangsang ambilan glukosa oleh jaringan splanknik

(saluran cerna dan hati) dan jaringan perifer terutama otot lurik serta menekan

produksi glukosa endogen. Sebagian besar glukosa (80-85%) yang terambil oleh

jaringan perifer akan terkonsentrasi pada otot lurik. Toleransi glukosa akan tetap

terjaga normal selama masih dapat dikompensasi oleh peningkatan sekresi

insulin. Jadi, sel beta pankreas yang masih berfungsi normal mampu menduga

keparahan resistensi insulin serta mengatur sekresi insulin untuk mempertahankan

kenormalan toleransi glukosa. Kelainan yang tergambar pada diabetes melitus

tipe 2 berupa resistensi insulin dan penurunan fungsi sekretorik sel-sel beta.

Ketidakpekaan insulin dalam merespon peningkatan gula darah menyebabkan

peningkatan produksi glukosa oleh hati serta penurunan ambilan glukosa oleh

jaringan. Peningkatan kadar glukosa plasma dalam keadaan puasa merupakan

cerminan dari pengurangan ambilan glukosa oleh jaringan atau peningkatan

glukoneogenesis. Jika kadar glukosa darah meningkat sedemikian tinggi, ginjal

tidak mampu lagi menyerap balik glukosa yang tersaring sehingga glukosa akan

keluar ke dalam urin (glukosuria). Ketidakpekaan insulin di sel-sel hati dan

jaringan perifer, terutama otot rangka, mengakibatkan produksi glukosa oleh hati
menjadi tidak terbendung, sementara ambilan dan penggunaan glukosa berkurang.

Mekanisme tersebut terjadi terkait dengan defek pengikatan reseptor insulin atau

penurunan kemampuan insulin post reseptor. Ketidakpekaan insulin semakin

diperberat oleh peningkatan kadar asam lemak bebas dalam darah dan berdampak

lebih buruk pada kinerja sel-sel beta dalam menyekresikan insulin/ lipotoksisitas

(Arisman,2010).

3.4 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan

diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan

glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan

darah utuh (whole blood), vena, ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan

memperhatikan angka angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan

oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat

dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan

glukometer.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan

adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah

ini (PERKENI, 2011).

1. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia dan


penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi (pada pria) serta pruritus vulva (pada wanita).
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu (GDS)>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa (GDP ) ≥126 mg/dL dengan
adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Kadar gula plasma 2 jam pada
TTGO (GD2PP) ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan
dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 gram glukosa.

Table 3.2 Tabel kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan

penyaring dan diagnosis (mg/dl).

Tes Sampel Bukan DM Belum Pasti DM DM

(pre diabetes)

Kadar glukosa darah Plasma <100 100-199 ≥200


sewaktu (mg/dL) vena

Darah <90 90-199 ≥200


kapiler

Kadar glukosa darah Plasma <100 100-125 ≥126


puasa (mg/dL) vena

Darah <90 90-99 ≥100


kapiler
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199
mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L)
dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140mg/dl.

Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa,
merupakan tahapan sementara menuju DM (pre diabetes). Kedua keadaan
tersebut juga merupakan faktor resiko untuk terjadinya DM dan penyakit
kardiovaskular dikemudian hari.
Bagan 3.1 Langkah diagnostic DM dan gangguan toleransi glukosa

3.5 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup

penyandang diabetes.
- Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda

DM,mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target

pengendalianglukosa darah.

- Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitaspenyulit

mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.

- Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas danmortalitas

DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa

darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien

secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani

selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum

mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik

oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera

diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam

keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat

badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera

diberikan.

Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus


1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup

danperilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang

diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat.

Tim kesehatan mendampingi pasiendalam menuju perubahan perilaku

sehat. Untuk mencapaikeberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan

edukasi yangkomprehensif dan upaya peningkatan motivasi.

Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tandadan

gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikankepada

pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara

mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.

2. Terapi gizi medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari

penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah

keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter,ahli gizi,

petugas kesehatan yang lain serta pasien dankeluarganya).

Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai

dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip

pengaturan makan pada penyandang diabetes hamper sama dengan

anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang

dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing


individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya

keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah

makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun

glukosa darah atau insulin.

3. Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur

(3-4 kali) seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah

satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti

berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap

dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat

menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,

sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.

Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang

bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan

berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan

status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat,intensitas

latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat

komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang

kurang gerak atau bermalas-malasan.


4. Intervensi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan

latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari

obat oral dan bentuk suntikan (insulin) (PERKENI,2011).

a. Obat hipoglikemik oral


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5
golongan yaitu:
1) Pemicu Sekresi Insulin
- Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas,
dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan
berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh
diberikan kepada pasiendengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal
ginjaldan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang (PERKENI, 2011).
Berdasarkan lama kerjanya sulfonilurea (SU) dibagi
menjadi generasi pertama dan generasi kedua.
Sulfonilurea generasi pertama adalah acetohexmide,
tolbutamid, tolazamid dan klorpropamid. Sulfonilurea
generasi kedua adalah glibenklamid, glimepirid,
glipizid, gliburid dan glikazid. Glibenklamid, ada dua
dosis, 2,5 mg dan 5 mg. Dosis sehari antara 2,5 sampai
15 mg, obat ini memiliki efek hipoglikemik yang cukup
kuat. Lama kerjanya termasuk intermediate antara 5-8
jam yang diberikan 1-2 kali sehari, pagi dan siang hari.
Tolbutamid, biasanya tersedia dalam dosis 500 mg satu
tablet, obat ini bekerja jangka pendek (short –acting)
sekitar 4 jam yang diberikan 1-3 kali sehari, di pagi,
siang dan sore hari. Dosis sehari Tolbutamid antara
500-2000 mg. Gliklazid, dosis yang tersedia adalah 80
mg. Lama kerja obat ini intermediate. Karena itu obat
ini memiliki efek hipoglikemik sedang sehingga jarang
menimbulkan hipoglikemia, dosis sehari antara 80
sampai 320 mg. Klorpropamid, dosis pemeliharaan
rerata klorpropamid 200 mg/hari, yang diberikan
sebagai dosis tunggal pada pagi hari, tolazamid
sebanding dengan klorpropamid, tetapi lama kerjanya
lebih pendek, jika dibutuhkan dosis 500 mg/hari, dosis
tersebut harus dibagi dan diberikan dua kali sehari.
Sulfoniluria golongan kedua seperti glimepirid telah
disetujui untuk digunakan sekali sehari sebagai
monoterapi, dengan dosis sebesar 1 mg/hari dengan
dosis maksimal 8 mg. Gliburid, dosis awal yang biasa
diberikan 2,5 mg/hari atau lebih kecil dan dosis
pemeliharaan rerata 5-10 mg/ hari, yang diberikan
sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Glipizid, dosis
awal yang dianjurkan adalah 5 mg/hari yang dapat
dinaikkan sampai 15 mg/hari yang diberikan sebagai
dosis tunggal (Katzung, 2011).

- Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama
dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari dua macam obat yaitu Repaglinid (derivat
asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin).
Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial
(PERKENI, 2011). Repaglinid, obat ini diberikan
dengan dosis 0,25-4 mg sesaat sebelum makan dengan
dosis maksimum 16 mg/hari (Katzung, 2011).
2) Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidinedion berikatan pada
PeroxisomeProliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-
g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa diperifer.Tiazolidinedion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas
I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan
juga pada gangguan faal hati.Pada pasien yang
menggunakan Tiazolidinedion perlu dilakukan pemantauan
faal hati secara berkala (PERKENI, 2011). Terdapat dua
tiazolidinedion kini tersedia yaitu pioglitazon dan
rosiglitazon. Pioglitazion dapat diberikan sekali sehari
dengan dosis awal 15-30 mg. Rosiglitazon diberikan sehari
atau dua kali sehari dengan dosis 4-8 mg (Katzung, 2011).
3) Penghambat glukoneogenesis (biguanida)
Metformin, obat ini mempunyai efek utama
mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di
samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes yang obesitas.
Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan
hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian
metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan
memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat
tersebut (PERKEN, 2011). Dosis metformin yang diberikan
setelah makan sekali sehari berkisar dari 500 mg sampai
maksimum sebesar 2,25 g/hari (Katzung, 2011).
4) Penghambat Glukosidase Alfa (Akarbose)
Penghambat glukosidase alfa seperti akarbose dan
miglitol, diberikan sekali sehari dengan dosis 25-100 mg
sesaat sebelum menelan suapan pertama makanan (Katzung,
2011).Obat ini bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa
diusus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan
efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling
sering ditemukan ialah kembung dan flatulens (PERKENI,
2011).

5) DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu
hormonpeptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.
Peptidaini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan
yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1
merupakan perangsang kuat pelepasan insulin dan sekaligus
sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun
demikian,secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim
dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-
(9,36)-amide yang tidak aktif.Sekresi GLP-1 menurun pada
DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional
dalam pengobatan DM tipe 2.Peningkatan konsentrasi GLP-
1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat
kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4) atau memberikan
hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis)
(PERKENI, 2011). Eksentid merupakan inkretin pertama
yang tersedia untuk mengobati diabetes. Eksentid sebagai
suatu analog sintetik polipeptida 1 yang menyerupai
glikagon (GLP-1). Obat ini disuntikkan secara subkutan
dalam waktu 60 menit sebelum makan, terapi dimulai pada
dosis 5 mcg dua kali sehari, dengan dosis maksimum 10
mcg dua kali sehari. Sitagliptin adalah suatu inhibitor
dipeptidil peptidase-4 (DPP-4), obat ini diberikan dengan
dosis sebesar 100 mg yang diberikan per oral sekali sehari
(Katzung, 2011).
b. Suntikan insulin
Pada beberapa kondisi saat kebutuhan insulin sangat
meningkat akibat adanya, Penurunan berat badan yang cepat,
hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik,
hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan
asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres
berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan
dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang
berat, kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO (PERKENI,
2011).
Jenis dan lama kerja insulin Berdasar lama kerja, insulin
terbagi menjadi empat jenis, yakni:
o Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
o Insulin kerja pendek (short acting insulin)
o Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
o Insulin kerja panjang (long acting insulin)
o Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed
insulin).

Dasar pemikiran terapi insulin


 Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi
prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola
sekresi insulin yang fisiologis.
 Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal,
insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal
menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa,
sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
 Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan
koreksi terhadap defisiensi yang terjadi.
 Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan
glukosa darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat
dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang
dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal
adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).
 Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan
dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari
bila sasaran terapi belum tercapai.
 Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai,

sedangkan A1C belum mencapai target, maka dilakukan


pengendalian glukosa darah prandial (meal-related). Insulin

yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah

prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin

kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan

insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1

kaliinsulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1

kalibasal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3

kaliprandial (basal bolus).

 Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk

menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat

peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid),

atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen

usus(acarbose).

 Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan

kebutuhan pasien dan respons individu, yang dinilai dari

hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.


Bagan 3.2 Memulai pemberian terapi insulin
Tabel 3.3 Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja
Penilaian hasil terapi

Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2harus dipantau

secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:

1. Pemeriksaan kadar glukosa darah

Tujuan pemeriksaan glukosa darah:

- Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai

- Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum

tercapai sasaran terapi.

Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar

glukosa darah puasa,glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa

darah padawaktu yang lain secara berkala sesuai dengan

kebutuhan.

2. Pemeriksaan A1C

Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai

glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai

A1C), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek

perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.Tes ini tidak dapat

digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.


Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2

kali dalam setahun.

Bagan 3 Algoritme pengelolaan DM tanpa dekompensasi

3.6 Komplikasi

Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi 2 kategori

mayor yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular kronik / jangka

panjang (Price & Lorraine, 2007).


1. Komplikasi Metabolik Akut

a. KAD ( Ketoasidosis Diabetikum )


Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan

peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),

disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+)

kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi

peningkatan anion gap.

b. Hiperosmolar non ketotik (HNK)

Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat

tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas

plasma sangat meningkat (330- 380 mOs/mL), plasma keton (+/-),

anion gap normal atau sedikit meningkat.

c. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah

< 60 mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang

diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia.

Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea

dan insulin.Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama,

sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja

obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk

pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan


gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja

panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang

harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya

kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada

DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang

lebih lama.

Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergic (berdebar-

debar, banyak keringat, gemetar, dan rasalapar) dan gejala neuro-

glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma).

Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang

memadai. Bagi pasien dengan kesadaran yangmasih baik, diberikan

makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang

mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 gram melalui intra

vena.Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15menit

setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan

hipoglikemia berat. Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar,

sementara dapat diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu

sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab

menurunnya kesadaran.

2. Komplikasi Metabolik Kronis


Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melitus

melibatkan pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-

pembuluh sedang dan besar (makroangiopati) (Price & Lorraine, 2007).

a) Mikroangiopati
Merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan
arteriola retina (retinopati diabetikum), glomerulus ginjal (nefropati
diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetikum), otot-otot
serta kulit. Terdapat kaitan yang kuat antara hiperglikemia dengan
insidens dan berkembangnya retinopati. Manifestasi dini retinopati
berupa mikroaneurisma atau pelebaran sakular yang kecil dari
arteriola retina. Akibatnya, perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan
parut retina dapat mengakibatkan kebutaan. Neuropati disebabkan
oleh gangguan jalur poliol akibat defisiensi insulin. Terdapat
penimbunan sorbitol sehingga mengakibatkan pembentukan katarak
dan dapat mengakibatkan kebutaan (Price & Lorraine, 2007).
b) Makroangiopati
Gangguan vaskular ini dapat disebabkan karena penimbunan
sorbitol dalam intima vaskular, hiperlipoproteinemia, kelainan
pembekuan darah. Pada akhirnya makroangiopati diabetik ini akan
mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri
perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang
disertai klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstremitas serta
insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena arteri koronaria dan
aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokard.

3.7 KAKI DIABETES


Kaki diabetes adalah kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes mellitus
yang tidak terkendali dengan baik yang disebabkan olah gangguan pembuluh darah,
gangguan persyarafan dan infeksi. Kaki diabetes merupakan gambaran secara umum
dari kelainan tungkai bawah secara menyeluruh pada penderita diabetes mellitus yang
diawali dengan adanya lesi hingga terbentuknya ulkus yang sering disebut dengan
ulkus kaki diabetika yang pada tahap selanjutnya dapat dikategorikan dalam
gangrene, yang pada penderita diabetes mellitus disebut dengan gangrene diabetik
(Misnadiarly, 2006).
Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik diabetes mellitus
berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian
jaringan setempat. Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit
karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan
neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan,
dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun
anaerob (Tambunan, 2006).
Klasifikasi Kaki Diabetes
Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dari klasifikasi oleh
Edmonds dari King’s College Hospital London, klasifikasi Liverpool, klasifikasi
wagner, klasifikasi texas, serta yang lebih banyak digunakan adalah yang dianjurkan
oleh International Working Group On Diabetic Foot karena dapat menentukan
kelainan apa yang lebih dominan, vascular, infeksi, neuropatik, sehingga arah
pengelolaan dalam pengobatan dapat tertuju dengan baik (Waspadji, 2006).
Derajat keparahan ulkus kaki diabetes menurut Wagner
Grade 1 : Ulkus superfisial tanpa terlibat jaringan dibawah kulit
Grade 2 : Ulkus dalam tanpa terlibat tulang / pembentukan abses.
Grade 3 : Ulkus dalam dengan selulitis/abses atau osteomielitis
Grade 4 : Tukak dengan Gangren lokal
Grade 5 : Tukak dengan Gangren luas / melibatkan keseluruhan kaki
Patogenesis Kaki Diabetes
Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang diabetes mellitus
adalah ulkus kaki diabetes. Ulkus kaki diabetes disebabkan adanya tiga faktor yang
sering disebut trias yaitu : iskemik, neuropati, dan infeksi. Pada penderita diabetes
mellitus apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan terjadi komplikasi kronik
yaitu neuropati, menimbulkan perubahan jaringan syaraf karena adanya penimbunan
sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan akson menghilang, penurunan
kecepatan induksi, parastesia, menurunnya reflek otot, atrofi otot, keringat
berlebihan, kulit kering dan hilang rasa, apabila penderita diabetes mellitus tidak hati-
hati dapat terjadi trauma yang akan meneybabkan lesi dan menjadi ulkus kaki
diabetes (Waspadji, 2006).
Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena kekurangan
darah dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini disebabkan
adanya proses makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi jaringan
menurun yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis
pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan
selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai
dari ujung kaki atau tungkai. Aterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri
menebal dan menyempit karena penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh
darah. Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otot-otot kaki karena
berkurangnya suplai darah, sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa tidak nyaman,
dan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan
berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses angiopati pada penderita diabetes
mellitus berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer, sering terjadi
pada tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal dari tungkai
menjadi berkurang kemudian timbul ulkus kaki diabetes (Tambunan, 2006).
Pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkendali kadar gula darahnya
akan menyebabkan penebalan tunika intima (hiperplasia membram basalis arteri)
pada pembuluh darah besar dan pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran
albumin keluar kapiler sehingga mengganggu distribusi darah ke jaringan dan timbul
nekrosis jaringan yang mengakibatkan ulkus diabetika. Eritrosit pada penderita
diabetes mellitus yang tidak terkendali akan meningkatkan HbA1C yang
menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen di jaringan oleh
eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang menggangu sirkulasi jaringan
dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang selanjutnya timbul
ulkus kaki diabetes. Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya reaktivitas
trombosit menyebabkan tingginya agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah
menjadi lambat dan memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding pembuluh
darah yang akan mengganggu sirkulasi darah. Penderita diabetes mellitus biasanya
kadar kolesterol total, LDL, trigliserida plasma tinggi. Buruknya sirkulasi ke sebagian
besar jaringan akan menyebabkan hipoksia dan cedera jaringan, merangsang reaksi
peradangan yang akan merangsang terjadinya aterosklerosis. Perubahan / inflamasi
pada dinding pembuluh darah, akan terjadi penumpukan lemak pada lumen pembuluh
darah, konsentrasi HDL (highdensity- lipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya
rendah. Adanya faktor risiko lain yaitu hipertensi akan meningkatkan kerentanan
terhadap aterosklerosis (Tambunan, 2006).
Konsekuensi adanya aterosklerosis yaitu sirkulasi jaringan menurun sehingga
kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai.
Pada penderita diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah tidak terkendali
menyebabkan abnormalitas lekosit sehingga fungsi khemotoksis di lokasi radang
terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid menurun sehingga bila ada
infeksi mikroorganisme sukar untuk dimusnahkan oleh sistem plagositosis-bakterisid
intra selluler. Pada penderita ulkus kaki diabetes, 50 % akan mengalami infeksi akibat
adanya glukosa darah yang tinggi karena merupakan media pertumbuhan bakteri
yang subur. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus diabetika yaitu kuman aerobik
Staphylococcus atau Streptococcus serta kuman anaerob yaitu Clostridium
Perfringens, Clostridium Novy, dan Clostridium Septikum (Tambunan, 2006;
Waspadji, 2006).
BAB IV
PEMBAHASAN

Tn. S 61 tahun datang dengan keluhan sesak sejak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit. Sesak terutama malam hari, dan membaik jika pasien posisi duduk
dibandingkan saat berbaring. Keluhan juga disertai batuk berdahak selama 1 minggu,
dengan dahak kental berwarna hijau. Kedua tungkai juga bengkak sejak 5 hari
terakhir.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi pernafasan 22 kali per menit,
saat di palpasi vocal fremitus kanan lebih lemah dibandingkan kiri. Saat diperkusi
terdengar bising ketok redup pada paru kanan dan sonor pada paru kiri. Pada
auskultasi didapatkan penurunan suara nafas vesikuler dan ronkhi pada paru kanan.
Sesak nafas, vocal fremitus yang melemah, bising ketok redup, serta penurunan suara
nafas vesikuler dan ronkhi pada paru kanan dapat disebabkan oleh efusi pleura.
Cairan dalam rongga pleura tersebut menghalangi getaran suara mencapai dinding
toraks.
Penegakan diagnosis efusi pleura diperkuat dengan hasil radiologi, yang
menunjukkan adanya gambaran sudut kostofrenikus kanan pada foto toraks postero-
anterior. Dari hasil kultur dahak didapatkan adanya infeksi bakteri gram positif kokus
dan bakteri gram negatif batang. Hal ini dapat mengindikasikan adanya infeksi dari
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza, atau Staphylococcus aureus,
karena ketiga bakteri ini merupakan penyebab terbanyak dari infeksi paru-paru. Oleh
sebab itu, diberikan pula pengobatan antibiotic berupa Ampicillin Sulbactam.
Ampicilin Sulbactam yaitu kombinasi dari ampisilin yang merupakan penisilin
spectrum luas pertama, efektif untuk melawan bakteri gram negative dan gram postif
dengan sulbaktam yang menghambat lactamase beta, sehingga memperluas spectrum.
Selain bakteri, didapatkan juga adanya infeksi jamur dengan ditemukannya spora dan
blastospora sehingga pasien juga diberikan obat anti jamur yaitu fluconazole.
Pasien diberikan drip lasal 2cc dalam Asering 500cc/24 jam. Lasal merupakan
obat bronkodilator agonis beta-2 adrenergik yang digunakan pada kasus obstruksi
bronkus. Pasien diberikan ambroxol yang merupakan mukolitik untuk dapat
mengencerkan secret di saluran pernapasan.
Selain keluhan sesak nafas, pasien juga memiliki keluhan kedua tungkai
membengkai. Hal ini menunjukkan adanya gagal jantung dimana terjadi resitensi
cairan dijaringan. Pasien diberikan injeksi furosemide yang merupakan obat diuretic,
obat utama untuk mengatasi gagal jantung yang selalu disertai dengan kelebihan
cairan yang bermanifestasi sebagai kongesti paru atau edema perifer. Furosemid
merupakan diuretic kuat, dimana penggunaannya bertujuan untuk mengurangi
volume cairan ekstrasel, sehingga keluhan edema perifer akan berkurang. Pasien juga
dibe

Anda mungkin juga menyukai