Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

Disnatremia pada DM Hiperglikemia

Oleh:

dr. Emma Enggar Safitri

Pembimbing:

dr. M. Ivan Jazuli Sp.PD

Pendamping:

dr. Bima Yuniar M

dr. Endah Widy Hastuty

Program Internship Kedokteran Indonesia

RSUD Sumberrejo Bojonegoro

Juli 2020

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Disnatremi pada DM Hiperglikemi

Disusun Oleh:

dr. Emma Enggar Safitri

Disetujui Oleh:

Pendamping I, Pendamping II,

dr. EndahWidy Hastuty dr. Bima Yuniar M

Pembimbing,

dr. M. Ivan Jazuli, Sp. PD

2
BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik,


ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek
kerja insulin atau keduanya.Beberapa jenis yang berbeda dari DM disebabkan oleh
interaksi yang kompleks dari faktor genetika dan lingkungan. Tergantung pada
etiologi DM, faktor yang berperan pada hiperglikemia termasuk kurangnya sekresi
insulin, penurunan penggunaan glukosa, dan peningkatan produksi glukosa.
Disregulasi metabolik yang berhubungan dengan DM menyebabkan perubahan
patofisiologis sekunder beberapa sistem organ yang memaksakan beban yang luar
biasapada individu dengan diabetes dan pada sistem perawatan kesehatan. Di
Amerika Serikat, DM adalah penyebab utama dari penyakit ginjal tahap akhir(ESRD),
nontraumatic amputasi ekstremitas bawah, dan kebutaan dewasa. Hal ini juga
merupakan predisposisi penyakit kardiovaskular. Dengan meningkatnya insiden
infeksi di seluruh dunia, DM akan kemungkinan penyebab utama morbiditasdan
mortalitas di masa depan
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes
melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang menjadi 366 juta tahun 2030. WHO
memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah
penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah
penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah
penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari
penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan
hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur.

Diabetes melitus adalah penyebab disnatremia melalui beberapa mekanisme.


Glukosa adalah zat osmotik aktif. Hiperglikemia meningkatkan osmolalitas serum,
menghasilkan pergerakan air keluar dari sel dan selanjutnya menurunkan kadar
natrium serum natrium melalui dilusi. Oleh karena itu, pada pasien hiperglikemik,
natrium yang dikoreksi harus diperhitungkan, perlu disebutkan bahwa natrium yang
dikoreksi setelah penyesuaian untuk efek dilusi hiperglikemia harus dipertimbangkan
sebagai alat yang berguna untuk pemantauan pengobatan dalam keadaan
hiperglikemik. Diabetes melitus yang tidak terkontrol juga dapat menyebabkan
hipovolemik-hiponatremia akibat diuresis osmotik.
3
BAB II
ILUSTRASI KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Ny. SM

Tgl Lahir : 07 April 1970

Usia : 50 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Ds Suwaloh 014/002, Balen, Bojonegoro

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

II. Anamnesis

12 Juni 2020, autoanamnesis

Keluhan Utama

Badan terasa lemas sejak 10 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh badan terasa lemas sejak 10 hari yang lalu. Pasien
mengeluhkan lemas setiap saat bukan hanya saat beraktivitas saja. Keluhan
tidak membaik saat pasien makan dan istirahat yang cukup. Pasien merasa
lebih lemas saat selesai berkemih. Selama 10 hari pasien mengeluhkan
sering berkemih hingga 10 kali dalam sehari. Air seni berwarna kuning
jernih, tidak berbuih, tidak ada darah.dan tidak nyeri saat BAK. Selama 10
hari pasien juga mengeluh mual dan muntah sehingga kondisi pasien
makin terasa lemas. Intake makanan berkurang. Keluhan penurunan
kesadaran disangkal, kelemahan anggota ekstremitas di sangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien terdiagnosis memiliki penyakit kencing manis sejak 7 tahun yang


lalu, riwayat darah tinggi disangakl, riwayat asma disangkal, riwayat
infeksi saluran kencing berulang disangkal.

4
Riwayat Penyakit Keluarga

Anggota keluarga tidak ada yang memiliki riwayat penyakit yang sama
dengan pasien

Riwayat pengobatan

Pasien mengkonsumsi OAD tidak teratur, Glibenklamid 1x2mg di pagi


hari setelah makan, metformin 3x500mg setelah makan

III. Pemeriksaan Fisis

Keadaan Umum : lemah

Kesadaran : compos mentis

GCS : E4V5M6

Tanda-Tanda Vital

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Nadi : 110 x/menit

Napas : 24 x/menit

SpO2 : 100%

Suhu : 36,5 oC

BB : 65 kg

TB :160 cm

IMT : 23,7 (normoweight)

Status Generalisata

Kulit : sawo matang, turgor baik, tidak pucat

Kepala : normosefal, deformitas, - hematoma -

5
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor, reflex
cahaya langsung +/+, reflex cahaya tidak langsung +/+, khemosis -/-,
konjuntival hemorrhage -/-

Hidung : tidak ada napas cuping hidung

Mulut : tidak ada sianosis, mukosa lidah basah

Leher : JVP normal, tidak ada pembesaran KGB, massa -

Thorax :

Paru : dada simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan
dinamis, retraksi iga -/-, retraksi suprasternal -/-, fremitus simetris kanan
dan kiri, perkusi sonor di seluruh lapang paru, vesikuler +/+, ronki -/-,
wheezing -/-

Jantung : iktus kordis tidak terlihat, batas jantung dalam batas normal,
bunyi jantung I-II regular, murmur -, gallop -

Abdomen : datar, spider navi -, pelebaranvena -, bising usus (+)


normal,supel, tidak ada nyeritekan, tidak teraba pemesaran
hepardanlien,timpanipadaperkusi,shiftingdullness -

Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik, edema (+)/-

Status Neurologis

Pupil : bulat, isokor, RCL +/+, RCTL +/+

Saraf Kranialis : tidak ada kesan parese nerve II-XII, ptosis -

Motorik dan sensorik : dalam batas normal, parlisis - atau parese -

Refleks fisiologis : dalam batas normal

Refleks patologis : tidak ada

IV. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan 12 juni 2020 13 Juni 2020 14 juni 15 juni


(21.40) (01.00) 2020 2020
Hemoglobin 15,7
Leukosit 16.400
Diff count 0/2/83/8/7

6
Hematokrit 46,8
GDS 525 302 326
GDP 343
GD2PP 401
SGOT 10
SGPT 14
Urea 43
Creatinin 0,93
Elektrolit darah
Natrium 118,25
Kalium 3,94
Chloride 93,92
Calsium 2,44

V. Diagnosis

- DM tipe 2 dengan hiponatremia

VI. Tatalaksana
Non-Farmakologi:
 Diet seimbang, istirahat cukup
Farmakologi:

 InF. PZ 1500cc/24 jam


 Inj. Ceftriaxone 2x1gr
 Inj. Ranitidin 2x150mg
 Inj. Ondansetron 3x4mg
 Inj Ranitidin 2 x 1 amp
 RCI 4x4 iu
VII. Prognosis

Ad vitam : bonam

Ad functionam : bonam

Ad sanationam : bonam

7
VIII. Follow Up di Ruangan Perawatan Dewasa

Tanggal 13 Juni 2020

S : Lemas di seluruh badan mulai membaik, nafsu makan mulai


membaik, mual dan muntah berkurang

O :

Keadaan umum : baik

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Nadi : 79 x/menit

Suhu : 36,4oC

Frekuensi Napas : 18 x/menit

SpO2 : 99%

Kesadaran : E4 V5 M6

Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, ptosis -/-,


konjuntival beleeding -/-

Thorax : ves +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung : Bunyi jantung I-II regular, gallop -, murmur -

Abdomen : supel, bising usus + normal, nyeri teka -

Ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik

A : DM tipe 2 + hiponatremi

P : Inf. PZ 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2x1gr

Inj. Omeprazole 2x1

Inj. Ondansetron 3x1amp

Actrapid 3x6 iu

Sansulin G 0-0-14iu

8
Tanggal 14 Juni 2020

S : keluhan -

O :

Keadaan umum : baik

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Nadi : 79 x/menit

Suhu : 36,4oC

Frekuensi Napas : 18 x/menit

SpO2 : 99%

Kesadaran : E4 V5 M6

Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, ptosis -/-,


konjuntival beleeding -/-

Thorax : ves +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung : Bunyi jantung I-II regular, gallop -, murmur -

Abdomen : supel, bising usus + normal, nyeri teka -

Ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik

A : DM tipe 2 + hiponatremi

P : Inf. PZ 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2x1gr

Inj. Omeprazole 2x1

Inj. Ondansetron 3x1amp

Actrapid 3x8 iu

Sansulin G 0-0-12iu

9
Tanggal 15 Juni 2020

S : keluhan -

O :

Keadaan umum : baik

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Suhu : 36,4oC

Frekuensi Napas : 18 x/menit

SpO2 : 99%

Kesadaran : E4 V5 M6

Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, ptosis -/-,


konjuntival beleeding -/-

Thorax : ves +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung : Bunyi jantung I-II regular, gallop -, murmur -

Abdomen : supel, bising usus + normal, nyeri teka -

Ekstremitas : akral hangat, crt < 2 detik

A : DM tipe 2 + hiponatremi

P : KRS

Actrapid 3x8 iu

Sansulin G 0-0-12iu

10
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Diabetes Mellitus
1.1 Definisi
Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikan
dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak
danprotein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun
keduanya.Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan
kerusakan,ganguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf,
jantung, danpembuluh darah. Walaupun pada diabetes melitus ditemukan ganguan
metabolisme semua sumber makanan tubuh kita, kelainan metabolisme
yangpaling utama ialah kelainan metabolisme karbohidarat.Oleh karena itu
diagnosisdiabetes melitus selalu berdasarkan tinginya kadar glukosa dalam plasma
darah.1
1.2 Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus, yaitu:

1. Diabetes Melitus Tipe 1


DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat
kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing
(terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita
DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia
muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar
insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin
untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam
darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM
type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM
setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
11
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional3

1.3 Patofisiologi DM Tipe II


Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
kekurangan insulin secara relatif maupun absolut.Defisiensi insulin dapat terjadi
melalui 3 jalan, yaitu 4:
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus,zat kimia,dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu:
- Resistensi insulin
- Disfungsi sel B pancreas
DM tipe 2 mungkin mencakup berbagai gangguan dengan fenotipe umum
dari hiperglikemia.
Pada keadaan defisiensi insulin relatif, masalah yang akan ditemui terutama
adalah hiperglikemia dan hiperosmolaritas yang terjadi akibat efek insulin yang
tidak adekuat.
Hiperglikemia pada diabetes melitus terjadi akibat penurunan pengambilan
glukosa darah ke dalam sel target, dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa
darah setinggi 300 sampai 1200 mg per 100ml. Hal ini juga diperberat oleh
adanya peningkatan produksi glukosa dari glikogen hati sebagai respon tubuh
terhadap kelaparan intrasel. Keadaan defisiensi glukosa intrasel ini juga akan
menimbulkan rangsangan terhadap rasa lapar sehingga frekuensi rasa lapar
meningkat (polifagi). 5
Penimbunan glukosa di ekstrasel akan menyebabkan
hiperosmolaritas.Pengeluaran cairan tubuh berlebih akibat poliuria disertai dengan
adanya hiperosmolaritas ekstrasel yang menyebabkan penarikan air dari intrasel
ke ekstrasel akan menyebabkan terjadinya dehidrasi, sehingga timbul rasa haus
terus-menerus dan membuat penderita sering minum (polidipsi). Dehidrasi dapat
12
berkelanjutan pada hipovolemia dan syok, serta AKI akibat kurangnya tekanan
filtrasi glomerulus. Jadi, salah satu gambaran diabetes yang penting adalah
kecenderungan dehidrasi ekstra sel dan intra sel, dan ini sering juga disertai
dengan kolapsnya sirkulasi.Dan perubahan volume sel akibat keadaan
hiperosmotik ekstrasel yang menarik air dari intrasel dapat mengganggu fungsi
sel-sel dalam tubuh. 4
Kadar glukosa plasma yang tinggi (di atas 180 mg%) yang melewati batas
ambang bersihan glukosa pada filtrasi ginjal, yaitu jika jumlah glukosa yang
masuk tubulus ginjal dalam filtrat meningkat kira-kira diatas 225mg/menit, maka
glukosa dalam jumlah bermakna mulai dibuang atau terekskresi ke dalam urin
yang disebut glukosuria.Keberadaan glukosa dalam urin menyebabkan keadaan
diuresis osmotik yang menarik air dan mencegah reabsorbsi cairan oleh tubulus
sehingga volume urin meningkat dan terjadilah poliuria. Karena itu juga terjadi
kehilangan Na dan K berlebih pada ginjal. 5

1.4 Manifestasi Klinik


Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut
diabetes melitus yaitu: Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum),
poliuria(banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah
namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah
lelah. 6
Gejala kronik diabetes melitus yaitu: Kesemutan, kulit terasa panas atau
seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah
mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu
hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan
bayi berat lahir lebih dari 4kg. 6

1.5 Diagnosis
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa
lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya
diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM
13
pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal.
Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan
dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun
cepat. 6
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM

1.6 Tatalaksana
1.6.1 Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,
tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus. 7
1.6.2 Terapi Nutrisi Medis
- Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. 8

14
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 4565% total asupan energy, Pembatasan
karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan, Makanan harus mengandung
karbohidrat terutama yang berserat tinggi, Gula dalam bumbu diperbolehkan
sehingga penyandang diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga
yang lain, Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energy, Pemanis
alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted-Daily Intake), Makan tiga kali sehari untuk
mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Kalau diperlukan dapat
diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari. 14
Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energy, Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori, Lemak
tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal, Bahan
makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk), Anjuran
konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
Protein
- Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan
tempe.
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan pro-tein menjadi 0,8
g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai
biologiktinggi.
Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1
sendok teh) garam dapur.
- Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
- Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan na-trium nitrit.
15
Serat
- Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes di-anjurkan
mengonsumsicukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber
karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan
bahan lain yang baik untukkesehatan.
- Anjuran konsumsi serat adalah± 25 g/hari.
Pemanis alternative
- Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol danfruktosa.
- Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol danxylitol.
- Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
- Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek
samping pada lemak darah.
- Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin,
acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batasaman (Accepted Daily
Intake / ADI).
Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan
kalori basal yang besarnya 2530 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi
bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dll.
1.6.3 Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit). Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan beratbadan dan memperbaiki sensitivitas
insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani. 15

1.6.4 Terapi Farmakologi

16
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan. 16
Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan
berat badan normal dan kurang.Namun masih boleh diberikan kepada
pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan
seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjur kan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang. 11
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. 13
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.
1) Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPARg), suatu reseptor inti di sel otot dan sel
lemak.Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer.Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas IIV karena
dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.
Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala. 14
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin).
17
1) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah
makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara
titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau
efek samping obat tersebut. 15
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (Acarbose).
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Acarbosetidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang
paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. 15
e. DPPIV inhibitor.
Glucagon-like peptide-1(GLP1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa
usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP1
merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat
sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP1 diubah oleh enzim
dipeptidyl peptidase4 (DPP4), menjadi metabolit GLP1(9,36)amide yang tidak
aktif.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
- Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
- Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
- Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
- Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
- Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
18
- DPPIV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
Suntikan
1) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasidan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
- Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
- Insulin kerja pendek (short acting insulin)
- Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
- Insulin kerja panjang (long acting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
- Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
- Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial.
Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang
fisiologis.
- Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial
atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya
hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial
akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.

19
- Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi
terhadap defisiensi yang terjadi.
- Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah
basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral
maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran
glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau
panjang).
- Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan
dengan menambah 24 unit setiap 34 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
- Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telahtercapai, sedangkan A1C
belum mencapai target,maka dilakukan pengendalian glukosa darah
prandial (mealrelated). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran
glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin
kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin
prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1
kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2
plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).
- Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan
glukosa darah prandialseperti golongan obat peningkat sekresi insulin
kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapankarbohidrat
dari lumen usus (acarbose).
- Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah harian.
2) Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP1 dapat bekerja sebagai perangsang
penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun
peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan
insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek agonis GLP1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon yang diketahui berperan pada prosesglukoneogenesis. Pada
percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas.

20
Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan
muntah.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combinationdalam bentuk
tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan
terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah
610 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan
cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali,
maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.
Penilaian Hasil Terapi
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah. Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
- Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
- Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran
terapi.Guna mencapai tujuan tersebut perludilakukan pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa, glukosa2 jam post prandial, atau glukosa darah pada
waktu yanglain secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
b. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin,
atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 812 minggu sebelumnya. Tes ini
21
tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan
A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.

c. Pemeriksaan Glukosa Urin


Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung. Hanya
digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa
darah. Batas ekskresi glu-kosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi

22
pada beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama.
Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat
dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi. 9

d. Pemantauan Benda Keton


Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting
terutama pada penyandang DM tipe 2 yangterkendali buruk (kadar glukosa
darah>300 mg/dL). Peme-riksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang
diabe-tes yang sedang hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat,
sementara benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini
telah dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah
secaralangsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam beta hidroksibutirat
darah <0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis dan
melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan
benda ke-ton secara mandiri, dapatmencegah terjadinya penyulit akut diabetes,
khususnyaKAD. 13

1.7 Penyulit Diabetes Mellitus


Penyulit Akut
1) Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah yang tinggi (300600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda
dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat
(300320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap.
2) Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (6001200
mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat
(330380 mOs/mL), plasma keton (+/), anion gap normal atau sedikit
meningkat.Catatan: kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit
guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.
3) Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya:
- Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL
23
- Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering
disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat
sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh
obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu
yang cukup lama untuk pengawasannya (2472 jam atau lebih, terutama pada
pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkanterapi dengan OHO
kerja panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus
dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran
mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut
sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.
- Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak
keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (pusing, gelisah,
kesadaran menurun sampaikoma).
- Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi
pasien dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang
mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau
glukosa 15-20 gram melalui intravena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang
glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada
pasien dengan hipoglikemia berat.
- Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan
glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum
dapat dipastikan penyebab menurunnyakesadaran. 17
Penyulit Menahun
1) Makroangiopati
- Pembuluh darah jantung
- Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadipada penyandang
diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent,
meskipun sering tanpagejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan
kelainanyang pertama muncul.
- Pembuluh darah otak
2) Mikroangiopati:
- Retinopati diabetic

24
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirintidak mencegahtimbulnya retinopati
- Nefropati diabetik
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan me-ngurangi risiko
nefropati
- Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi
risikoterjadinya nefropati
3) Neuropati
- Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untukterjadinya ulkus kaki dan
amputasi.
- Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetarsendiri, dan
lebihterasasakit di malam hari.
- Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining
untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.
- Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai
akan menurunkan risiko amputasi.
- Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresantrisiklik,
atau gabapentin.
- Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. 16

2. Disnatremia
Cairan tubuh terdiri dari air dan elektrolit. Cairan tubuh dibedakan atas cairan
ekstrasel dan intrasel. Cairan ekstrasel meliputi plasma dan cairan interstisial.
Beberapa contoh kation dalam tubuh adalah natrium (Na+), kalium (K+), kalsium
(Ca2+), magnesium (Mg2+). Sedangkan anion adalah klorida (Cl-), HCO3-, HPO4-, SO4-.
Dalam keadaan normal, kadar kation dan anion ini sama besar sehingga potensial
listrik cairan tubuh bersifat netral. Pada cairan ektrasel, kation utama adalah Na+
sedangkan anion utamanya adalah Cl- sedangkan di intrasel kation utamanya adalah
kalium (K+). Distribusi elektrolit pada cairan intrasel dan ekstrasel dapat dilihat pada
Gambar 1.20

25
Gambar 1. Kation dan Anion Utama dalam Cairan Intrasel dan Ekstrasel

Disamping sebagai penghantar aliran listrik, elektrolit mempunyai banyak


manfaat, tergantung dari jenisnya, seperti:

• Natrium : sebagai penentu utama osmolaritas dalam darah dan pengaturan


volume ekstra sel
• Kalium : mempertahankan membran potensial elektrik dalam tubuh dan
mempunyai peranan penting dalam sel syaraf
• Klorida : mempertahankan tekanan osmotik, distribusi air pada berbagai
cairan tubuh dan keseimbangan anion dan kation dalam cairan
ekstrasel
• Magnesium : berperan dalam aktivitas elektrik jaringan, mengatur pergerakan
Ca2+ ke dalam otot serta memelihara kekuatan kontraksi jantung

dan kekuatan pembuluh darah tubuh, serta berperan dalam proses

keseimbangan asam basa

• Kalsium : penting dalam fungsi sel untuk depolarisasi, sebagai penggerak


dari otot-otot, deposit utamanya berada di tulang dan gigi, apabila
diperlukan, kalsium ini dapat berpindah ke dalam darah. 2

26
2.1 Fisiologi Natrium
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa
mencapai 60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 1014 mEq/L)
berada dalam cairan intrasel. Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel
ditentukan oleh garam yang mengandung natrium, khususnya dalam bentuk natrium
klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat (NaHCO3) sehingga perubahan tekanan
osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan perubahan konsentrasi natrium. 12

Perbedaan kadar natrium intravaskuler dan interstitial disebabkan oleh


keseimbangan GibbsDonnan, sedangkan perbedaan kadar natrium dalam cairan
ekstrasel dan intrasel disebabkan oleh adanya transpor aktif dari natrium keluar sel
yang bertukar dengan masuknya kalium ke dalam sel (pompa Na+ K+). 10

Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran keseimbangan antara


natrium yang masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan natrium yang berasal
dari diet melalui epitel mukosa saluran cerna dengan proses difusi dan
pengeluarannya melalui ginjal atau saluran cerna atau keringat di kulit. Pemasukan
dan pengeluaran natrium perhari mencapai 48-144 mEq. Tabel 1 menunjukkan kadar
elektrolit dalam cairan intrasel dan ekstrasel. 10

Tabel 1. Kadar Elektrolit dalam Cairan Ekstrasel dan Intrasel

Cairan Cairan
Na 140 148 13
Plasma Interstitial
K +
4,5 5,0 140 Intraseluler

Ca2+ 5,0 4,0 1x10-7 mEq/L mEq/L


mEq/L
Mg2+ 1,7 1,5 7,0

+
Cl- 104 115 3,0

HCO3 24 27 10

SO42+ 1,0 1,2 --

PO42- 2,0 2,3 107

Protein 15 8 40 27

Anion Organik 5,0 5,0 --


Jumlah natrium yang keluar dari traktus gastrointestinal dan kulit kurang dari
10%. Cairan yang berisi konsentrasi natrium yang berada pada saluran cerna bagian
atas hampir mendekati cairan ekstrasel, namun natrium direabsorpsi sebagai cairan
pada saluran cerna bagian bawah, oleh karena itu konsentrasi natrium pada feses
hanya mencapai 40 mEq/L. Keringat adalah cairan hipotonik yang berisi natrium dan
klorida. Kandungan natrium pada cairan keringat orang normal rerata 50 mEq/L. 12

Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Pengaturan eksresi ini


dilakukan untuk mempertahankan homeostasis natrium, yang sangat diperlukan untuk
mempertahankan volume cairan tubuh. Natrium difiltrasi bebas di glomerulus,
direabsorpsi secara aktif 60-65% di tubulus proksimal bersama dengan H2O dan
klorida yang direabsorpsi secara pasif, sisanya direabsorpsi di lengkung henle (25-
30%), tubulus distal (5%) dan duktus koligentes (4%). Sekresi natrium di urine <1%.
Aldosteron menstimulasi tubulus distal untuk mereabsorpsi natrium bersama air
secara pasif dan mensekresi kalium pada sistem renin-angiotensin-aldosteron untuk
mempertahankan elektroneutralitas. 18

Nilai Rujukan Natrium


Nilai rujukan kadar natrium pada:

- serum bayi : 134-150 mmol/L


- serum anak dan dewasa : 135-145 mmol/L

- urine anak dan dewasa : 40-220 mmol/24 jam


- cairan serebrospinal : 136-150 mmol/L
- feses : < 10 mmol/hari
2.2 Hiponatremia
a. Definisi
Hiponatremia didefinisikan sebagai serum Na ≤ 135 mmol/l. Hiponatremia
dilaporkan memiliki insiden dalam praktek klinis antara 15 dan 30%.

28
b. Etiologi dan Klasifikasi
Penyebab hiponatremia diklasifikasikan menurut status cairan pasien
(euvolemik,hipovolemik, atau hypervolaemic). Pseudohiponatremia ditemukan ketika
ada pengukuran natrium rendah karena lipid yang berlebihan atau protein dalam
plasma, atau karena hiperglikemia, dimana pergerakan air bebas terjadi ke dalam
ruang ekstraselular dalam menanggapi akumulasi glukosa ekstraseluler. 18

Ada tiga penyebab utama hypervolaemic hiponatremia: congestive cardiac


failure (CCF), gagal ginjal dan sirosis hati. Dalam kasus ini jumlah natrium tubuh
meningkat tetapi jumlah total air dalam tubuh tidak proporsional lebih besar
mengarah ke hiponatremia dan edema. Penurunan curah jantung di CCF
menyebabkan penurunan aliran darah ginjal, merangsang produksi ADH dan resorpsi
air di collecting ducts. Penurunan aliran darah ginjal juga merangsang sistem
reninangiotensin, menyebabkan retensi natrium dan air. Hiponatremia di CCF juga
dapat diperburuk oleh penggunaan diuretik. Ini telah ditunjukkan dalam beberapa
penelitian bahwa hiponatremia di CCF adalah faktor prognosis yang buruk. 18

Sirosis hati merupakan salah satu faktor menyebabkan hiponatremia. Ini


termasuk pengurangan volume sirkulasi, hipertensi portal menyebabkan ascites, dan
kegagalan hati untuk metabolisme zat vasodilatasi. Perubahan ini mengakibatkan
stimulasi sistem renin-angiotensin dan retensi natrium dan air. Hiponatremia terjadi
karena konsumsi berlebihan air dan ekskresi natrium yang relatif lebih rendah (seperti
pada pelari maraton), tetapi mekanisme lain yang dijelaskan dalam literature lain
meliputi peningkatan ADH, dan menurunnya motilitas usus. 18

Tabel 2. Klasifikasi hiponatremia

Euvolaemic Hypovolaemic Hypervolaemic Other

SIADH GIT loss: CCF Hyperglycaemia


Psychogenic Diarrhoea and Liver cirrhosis Mannitol
polydipsia Nephrotic administration
vomiting

29
Bowel syndrome
obstruction
sepsis

Renal loss:
Addison’s disease

Renal tubular
acidosis
Salt wasting
nephropathy
Diuretic use
cerebral salt
wasting

Hyperglicemia

c. Manifestasi klinis
Gejala-gejala dan tanda-tanda hiponatremia dapat sangat halus dan non
spesifik (lihat Tabel 3). Hal ini penting untuk menentukan apakah hiponatremia ini
akut (memburuk dalam ≤ 48 jam) atau kronis (memburuk dalam ≥ 48 jam). Tingkat
toleransi natrium jauh lebih rendah jika hiponatremia berkembang menjadi kronis.
Etiologi hiponatremia harus dipertimbangkan ketika melakukan anamnesa dan
melakukan pemeriksaan pasien, misalnya cedera kepala, bedah saraf, abdominal
symptoms and signs, pigmentasi kulit (terkait dengan penyakit Addison), riwayat obat,
dll. Status cairan pasien sangat penting untuk diagnosis dan pengelolaan selanjutnya.
12

Tabel 3. Gambaran klinis dari hiponatremia

Severity Expected plasma Clinical features


sodium

Mild 130 – 135 mmol/ l Often no features, or,

30
anorexia, headache, nausea,
vomiting, lethargy

Moderate 120 – 129 mmol/ l Muscle cramps, muscle


weakness, confusion,
ataxia, personality change

Severe ≤ 120 mmol /l Drowsiness, reduced


reflexes, convulsions,
coma, death

d. Tatalaksana
Tatalaksana hiponatremia harus dipertimbangkan dari kronisitasnya,
keseimbangan cairan pasien, dan potensi etiologinya. Dalam hiponatremia akut
(durasi ≤ 48 jam), pengobatan yang cepat dan koreksi natrium disarankan untuk
mencegah edema serebral. Hal ini berbeda dengan hiponatremia kronis, di mana
koreksi harus lambat untuk mencegah central pontine myelinolysis yang dapat
menyebabkan kerusakan saraf permanen. Target yang harus dicapai untuk
meningkatkan natrium ke tingkat yang aman (≥ 120 mmol / l). Natrium tidak harus
mencapai level normal dalam 48 jam pertama. Central pontine myelinolysis adalah
suatu kondisi dimana terjadi demielinasi fokus di daerah pons dan extrapontine. Hal
ini menyebabkan dampak serius dan ireversibel gejala sisa neurologis yang cenderung
dilihat satu sampai tiga hari setelah natrium telah diperbaiki.12

Pada pasien dengan hiponatremia akut dan gejala sisa neurologis (kejang atau
koma) pengobatan dapat dimulai dengan 3% saline. Tidak ada konsensus universal
untuk penggunaan atau dengan rezim yang harus diberikan: bisa dimulai pada 1-2 ml /
kg / jam dengan pengukuran rutin natrium serum, urin dan status kardiovaskular.
Disarankan agar natrium dikoreksi tidak lebih dari 8 mmol dalam 24 jam. Furosemide
juga dapat digunakan untuk mengeluarkan air yang berlebihan. 20

Hiponatremia hipovolemik terkait penyakit Addison harus ditangani dengan


saline isotonik dan menggunakan hormon pengganti dengan hidrokortison. Pasien-
pasien ini dapat memerlukan sejumlah besar penggantian cairan ketika mereka berada
dalam keadaan krisis. Hiponatremia kronis dapat diobati dengan menghilangkan
penyebab (misalnya diuretik) dan pembatasan cairan menjadi sekitar 500-800 ml /

31
hari. Vasopresin antagonis reseptor adalah kelompok baru obat untuk pengobatan
hiponatremia. Mereka bekerja dengan menghalangi pengikatan ADH (AVP - arginin
vasopressin) di nefron distal, sehingga mempromosikan ekskresi air bebas. Tolvaptan
adalah salah satu obat tersebut dan telah terbukti efektif meningkatkan natrium serum
pada euvolemik atau hypervolaemic hiponatremia kronis. 10

Dapat diberikan NaCl:


1. Na+ > 125 mg/L -> restriksi cairan
2. Na+ < 120 mg/L -> NaCl 3%: (140-X) x BB x 0,6= mEq
3. Pediatrik: 1,5-2,5 mg/kgBB

2.3 Hipernatremia

a. Definisi
Hipernatremia didefinisikan sebagai natrium serum lebih besar dari 145
mmol/l dan selalu dikaitkan dengan keadaan hiperosmolar. Ada morbiditas dan
mortalitas yang signifikan terkait dengan hipernatremia yang sulit untuk dihitung
karena hubungannya dengan komorbiditas serius lainnya. Beberapa studi telah
mengutip angka kematian setinggi 75% akibat hipernatremia. 10

Hipernatremia menyebabkan dehidrasi sel yang menyebabkan sel-sel


menyusut. Sel-sel merespon dengan mengangkut elektrolit melintasi membran sel dan
mengubah potensial membran menjadi istirahat. Sekitar satu jam kemudian jika masih
ada hipernatremia, larutan organik intraseluler dibentuk untuk mengembalikan
volume sel dan mencegah kerusakan struktural. Oleh karena itu ketika mengganti air
harus dilakukan dengan sangat perlahan untuk memungkinkan akumulasi zat terlarut
untuk menghindari edema serebral. 10

Jika hipernatremia berlanjut dan sel-sel mulai menyusut, perdarahan otak


dapat terjadi karena peregangan dan pecahnya pembuluh darah (subdural,
subarachnoid atau intraserebral). 10

b. Etiologi dan Klasifikasi


Penyebab hipernatremia dapat dibagi menjadi tiga kategori besar seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 4. Ini sering memiliki penyebab iatrogenik dan yang paling

32
berisiko pada pasien yang diintubasi, bayi yang hanya meminum susu formula, atau
orang tua dan orang-orang dalam perawatan yang tidak memiliki cairan yang tersedia
bagi mereka atau mereka yang memiliki penurunan reseptor kehausan. 12

Tabel 4. Penyebab hipernatremia

Reduced water intake Loss of free water Sodium gain

Unwell infants e.g. with 1. Extra-renal: Primary


diarrhoea and vomiting Dehydration hyperaldosteronism
Intubated patients
Burns (Conns)
Institutionalised elderly
Exposure Secondary
hyperaldosteronism e.g.
Gastrointestinal losses 2. CCF, liver cirrhosis, renal
Renal: failure, nephrotic
syndrome
Osmotic diuretics e.g.
Sodium-bicarbonate
Glucose, urea, mannitol, administration
diabetes insipidus
Hypertonic saline
administration

c. Manifestasi klinis
Gambaran klinis hipernatremia non spesifik seperti anoreksia, mual, muntah,
kelelahan dan mudah tersinggung. Seperti natrium meningkat akan ada perubahan
dalam fungsi neurologis yang lebih menonjol jika natrium telah meningkat pesat dan
tingkat tinggi. Bayi cenderung menunjukkan takipnea, kelemahan otot, gelisah,
tangisan bernada tinggi, dan kelesuan menyebabkan koma. Diagnosis diferensial
utama untuk gejala-gejala tersebut pada populasi ini adalah sepsis yang bisa
diperparah oleh hipernatremia. 18

d. Tatalaksana

Manajemen terdiri dari mengobati penyebab yang mendasari dan memperbaiki


hipertonisitas tersebut. Seperti dengan hiponatremia, aturan umum adalah untuk
memperbaiki tingkat natrium pada tingkat di mana ia naik. Jika natrium tersebut
diperbaiki terlalu cepat ada risiko mengakibatkan edema serebral. Saran yang baik
adalah bertujuan untuk 0,5 mmol/l/jam dan maksimal 10 mmol/l/ hari dalam semua

33
kasus kecuali onsets sangat akut. Dalam hipernatremia akut (≤ 48 jam) natrium dapat
diperbaiki dengan cepat tanpa menimbulkan masalah. Namun, jika ada keraguan
untuk tingkat onset, natrium harus diperbaiki perlahan selama setidaknya 48 jam. 18

Dapat diberikan:

1. Kelebihan cairan: (X-140) x BB x 0,6=…mg


2. Defisit cairan: {(X-140) x BB x 0,6} : 140=…L

DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association; Standards of Medical Care inDiabetes2014.


2. American Diabetes Association. Diabetes CareVolume 38, Supplement 1,
January 2015. USA.
3. American Diabetes Association (ADA) Diabetes Guidelines Summary
Recommendations from NDEI. 2016.
4. Foster DW, et al. Diabetes melitus. Dalam: Harrison Prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.

34
5. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III.
Edisi V. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2009.
6. Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat and Risk of Clinic Type Diabetes.
American Journal of Epidemiology.2003;15(1);150-9.
7. Hawkins M, Rossetti L. Insulin Resistance and Its Role in the Pathogenesis of
Type 2 Diabetes. In : Kahn CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Jacobson AM,
Smith RJ (Eds) Joslin’s Diabetes Mellitus. Lippincott Williams & Wilkin.
Philadelphia. Pg 425-448, 2005
8. Kaye AD, Riopelle JM. Intravascular Fluid and Electrolyte Physiology. In:
Miller RD, editor. Miller’s Anesthesia, 7th ed. Philadelphia: Elsevier Churcilll
Livingstone; 2010.
9. Leahy JL. B-cell Dysfunction in Type 2 Dia betes In: Kahn CR, King GL,
Moses AC, Weir GC, Jacobson AM , Smith RJ (Eds) Joslin’s Diabetes Mellitus.
Lippincott Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg 449-462, 2005
10. Lobo DN, Lewington AJP, Allison SP. Disorders of Sodium, Potassium,
Calcium, Magnesium, and Phosphate. In: Basic Concepts of Fluid and
Electrolyte Therapy. 2013, hal 101-112.
11. Nathan MN, Buse JB, Mayer BD, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R et al.
Medical management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes A consensus
Algorithm for the Initiation and Adjustment of Therapy. A consensus statement
of the American Diabetes Association and the European Association for the
Study of Diabetes. Diabetes Care2008; 31:1-11.
12. Morgan CE, Mikhart MS, Murray MJ. Management of Patients with Fluid and
Electrolyte Disturbances. In: Clinical Anesthesiology, 4th ed. McGraw Hill.
2006.
13. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. 2011. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
Jakarta. 2011.
14. Persi, dkk. Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu
Diabetes.2008.
15. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus.
Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine Mc

35
Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia Edisi
6. Jakarta;2014; hal.1259
16. Soegondo S, dkk. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe
2 di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
17. Teixeria L. Regular physical exercise training assists in preventing type 2
diabetes development: focus on its antioxidant and anti-inflammantory
properties. Biomed Central Cardiovascular Diabetology. 2011; 10(2);1-15.
18. Yaswir R, Ferawati I. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium, Kalium,
dan Klorida, serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal Kesehatan Andalas 2012;
1(2) : 80-84.
19. Waspadji S, dkk. Komplikasi kronik diabetes: mekanisme terjadinya, diagnosis
dan strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit
FKUI, 2006.
20. Wang N, Ewen MD. Management of Electrolyte Emergencies in Hospital
Physician Board Review Manual. Turner White. 2006; 8(3) : 1-12.

36

Anda mungkin juga menyukai