Oleh:
Pembimbing:
Pendamping:
Juli 2020
1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Disusun Oleh:
Disetujui Oleh:
Pembimbing,
2
BAB I
PENDAHULUAN
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. SM
Usia : 50 Tahun
II. Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien mengeluh badan terasa lemas sejak 10 hari yang lalu. Pasien
mengeluhkan lemas setiap saat bukan hanya saat beraktivitas saja. Keluhan
tidak membaik saat pasien makan dan istirahat yang cukup. Pasien merasa
lebih lemas saat selesai berkemih. Selama 10 hari pasien mengeluhkan
sering berkemih hingga 10 kali dalam sehari. Air seni berwarna kuning
jernih, tidak berbuih, tidak ada darah.dan tidak nyeri saat BAK. Selama 10
hari pasien juga mengeluh mual dan muntah sehingga kondisi pasien
makin terasa lemas. Intake makanan berkurang. Keluhan penurunan
kesadaran disangkal, kelemahan anggota ekstremitas di sangkal.
4
Riwayat Penyakit Keluarga
Anggota keluarga tidak ada yang memiliki riwayat penyakit yang sama
dengan pasien
Riwayat pengobatan
GCS : E4V5M6
Tanda-Tanda Vital
Napas : 24 x/menit
SpO2 : 100%
Suhu : 36,5 oC
BB : 65 kg
TB :160 cm
Status Generalisata
5
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor, reflex
cahaya langsung +/+, reflex cahaya tidak langsung +/+, khemosis -/-,
konjuntival hemorrhage -/-
Thorax :
Paru : dada simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan
dinamis, retraksi iga -/-, retraksi suprasternal -/-, fremitus simetris kanan
dan kiri, perkusi sonor di seluruh lapang paru, vesikuler +/+, ronki -/-,
wheezing -/-
Jantung : iktus kordis tidak terlihat, batas jantung dalam batas normal,
bunyi jantung I-II regular, murmur -, gallop -
Status Neurologis
6
Hematokrit 46,8
GDS 525 302 326
GDP 343
GD2PP 401
SGOT 10
SGPT 14
Urea 43
Creatinin 0,93
Elektrolit darah
Natrium 118,25
Kalium 3,94
Chloride 93,92
Calsium 2,44
V. Diagnosis
VI. Tatalaksana
Non-Farmakologi:
Diet seimbang, istirahat cukup
Farmakologi:
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : bonam
7
VIII. Follow Up di Ruangan Perawatan Dewasa
O :
Nadi : 79 x/menit
Suhu : 36,4oC
SpO2 : 99%
Kesadaran : E4 V5 M6
A : DM tipe 2 + hiponatremi
P : Inf. PZ 20 tpm
Actrapid 3x6 iu
Sansulin G 0-0-14iu
8
Tanggal 14 Juni 2020
S : keluhan -
O :
Nadi : 79 x/menit
Suhu : 36,4oC
SpO2 : 99%
Kesadaran : E4 V5 M6
A : DM tipe 2 + hiponatremi
P : Inf. PZ 20 tpm
Actrapid 3x8 iu
Sansulin G 0-0-12iu
9
Tanggal 15 Juni 2020
S : keluhan -
O :
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36,4oC
SpO2 : 99%
Kesadaran : E4 V5 M6
A : DM tipe 2 + hiponatremi
P : KRS
Actrapid 3x8 iu
Sansulin G 0-0-12iu
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Diabetes Mellitus
1.1 Definisi
Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikan
dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak
danprotein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun
keduanya.Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan
kerusakan,ganguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf,
jantung, danpembuluh darah. Walaupun pada diabetes melitus ditemukan ganguan
metabolisme semua sumber makanan tubuh kita, kelainan metabolisme
yangpaling utama ialah kelainan metabolisme karbohidarat.Oleh karena itu
diagnosisdiabetes melitus selalu berdasarkan tinginya kadar glukosa dalam plasma
darah.1
1.2 Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus, yaitu:
1.5 Diagnosis
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa
lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya
diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM
13
pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal.
Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan
dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun
cepat. 6
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM
1.6 Tatalaksana
1.6.1 Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,
tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus. 7
1.6.2 Terapi Nutrisi Medis
- Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. 8
14
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 4565% total asupan energy, Pembatasan
karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan, Makanan harus mengandung
karbohidrat terutama yang berserat tinggi, Gula dalam bumbu diperbolehkan
sehingga penyandang diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga
yang lain, Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energy, Pemanis
alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted-Daily Intake), Makan tiga kali sehari untuk
mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Kalau diperlukan dapat
diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari. 14
Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energy, Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori, Lemak
tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal, Bahan
makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk), Anjuran
konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
Protein
- Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan
tempe.
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan pro-tein menjadi 0,8
g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai
biologiktinggi.
Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1
sendok teh) garam dapur.
- Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
- Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan na-trium nitrit.
15
Serat
- Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes di-anjurkan
mengonsumsicukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber
karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan
bahan lain yang baik untukkesehatan.
- Anjuran konsumsi serat adalah± 25 g/hari.
Pemanis alternative
- Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol danfruktosa.
- Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol danxylitol.
- Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
- Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek
samping pada lemak darah.
- Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin,
acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batasaman (Accepted Daily
Intake / ADI).
Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan
kalori basal yang besarnya 2530 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi
bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dll.
1.6.3 Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit). Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan beratbadan dan memperbaiki sensitivitas
insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani. 15
16
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan. 16
Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan
berat badan normal dan kurang.Namun masih boleh diberikan kepada
pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan
seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjur kan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang. 11
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. 13
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.
1) Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPARg), suatu reseptor inti di sel otot dan sel
lemak.Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer.Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas IIV karena
dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.
Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala. 14
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin).
17
1) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah
makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara
titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau
efek samping obat tersebut. 15
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (Acarbose).
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Acarbosetidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang
paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. 15
e. DPPIV inhibitor.
Glucagon-like peptide-1(GLP1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa
usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP1
merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat
sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP1 diubah oleh enzim
dipeptidyl peptidase4 (DPP4), menjadi metabolit GLP1(9,36)amide yang tidak
aktif.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
- Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
- Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
- Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
- Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
- Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
18
- DPPIV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
Suntikan
1) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasidan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
- Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
- Insulin kerja pendek (short acting insulin)
- Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
- Insulin kerja panjang (long acting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
- Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
- Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial.
Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang
fisiologis.
- Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial
atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya
hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial
akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
19
- Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi
terhadap defisiensi yang terjadi.
- Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah
basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral
maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran
glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau
panjang).
- Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan
dengan menambah 24 unit setiap 34 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
- Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telahtercapai, sedangkan A1C
belum mencapai target,maka dilakukan pengendalian glukosa darah
prandial (mealrelated). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran
glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin
kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin
prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1
kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2
plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).
- Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan
glukosa darah prandialseperti golongan obat peningkat sekresi insulin
kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapankarbohidrat
dari lumen usus (acarbose).
- Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah harian.
2) Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP1 dapat bekerja sebagai perangsang
penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun
peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan
insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek agonis GLP1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon yang diketahui berperan pada prosesglukoneogenesis. Pada
percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas.
20
Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan
muntah.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combinationdalam bentuk
tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan
terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah
610 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan
cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali,
maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.
Penilaian Hasil Terapi
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah. Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
- Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
- Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran
terapi.Guna mencapai tujuan tersebut perludilakukan pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa, glukosa2 jam post prandial, atau glukosa darah pada
waktu yanglain secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
b. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin,
atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 812 minggu sebelumnya. Tes ini
21
tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan
A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.
22
pada beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama.
Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat
dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi. 9
24
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirintidak mencegahtimbulnya retinopati
- Nefropati diabetik
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan me-ngurangi risiko
nefropati
- Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi
risikoterjadinya nefropati
3) Neuropati
- Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untukterjadinya ulkus kaki dan
amputasi.
- Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetarsendiri, dan
lebihterasasakit di malam hari.
- Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining
untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.
- Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai
akan menurunkan risiko amputasi.
- Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresantrisiklik,
atau gabapentin.
- Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. 16
2. Disnatremia
Cairan tubuh terdiri dari air dan elektrolit. Cairan tubuh dibedakan atas cairan
ekstrasel dan intrasel. Cairan ekstrasel meliputi plasma dan cairan interstisial.
Beberapa contoh kation dalam tubuh adalah natrium (Na+), kalium (K+), kalsium
(Ca2+), magnesium (Mg2+). Sedangkan anion adalah klorida (Cl-), HCO3-, HPO4-, SO4-.
Dalam keadaan normal, kadar kation dan anion ini sama besar sehingga potensial
listrik cairan tubuh bersifat netral. Pada cairan ektrasel, kation utama adalah Na+
sedangkan anion utamanya adalah Cl- sedangkan di intrasel kation utamanya adalah
kalium (K+). Distribusi elektrolit pada cairan intrasel dan ekstrasel dapat dilihat pada
Gambar 1.20
25
Gambar 1. Kation dan Anion Utama dalam Cairan Intrasel dan Ekstrasel
26
2.1 Fisiologi Natrium
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa
mencapai 60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 1014 mEq/L)
berada dalam cairan intrasel. Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel
ditentukan oleh garam yang mengandung natrium, khususnya dalam bentuk natrium
klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat (NaHCO3) sehingga perubahan tekanan
osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan perubahan konsentrasi natrium. 12
Cairan Cairan
Na 140 148 13
Plasma Interstitial
K +
4,5 5,0 140 Intraseluler
+
Cl- 104 115 3,0
HCO3 24 27 10
Protein 15 8 40 27
28
b. Etiologi dan Klasifikasi
Penyebab hiponatremia diklasifikasikan menurut status cairan pasien
(euvolemik,hipovolemik, atau hypervolaemic). Pseudohiponatremia ditemukan ketika
ada pengukuran natrium rendah karena lipid yang berlebihan atau protein dalam
plasma, atau karena hiperglikemia, dimana pergerakan air bebas terjadi ke dalam
ruang ekstraselular dalam menanggapi akumulasi glukosa ekstraseluler. 18
29
Bowel syndrome
obstruction
sepsis
Renal loss:
Addison’s disease
Renal tubular
acidosis
Salt wasting
nephropathy
Diuretic use
cerebral salt
wasting
Hyperglicemia
c. Manifestasi klinis
Gejala-gejala dan tanda-tanda hiponatremia dapat sangat halus dan non
spesifik (lihat Tabel 3). Hal ini penting untuk menentukan apakah hiponatremia ini
akut (memburuk dalam ≤ 48 jam) atau kronis (memburuk dalam ≥ 48 jam). Tingkat
toleransi natrium jauh lebih rendah jika hiponatremia berkembang menjadi kronis.
Etiologi hiponatremia harus dipertimbangkan ketika melakukan anamnesa dan
melakukan pemeriksaan pasien, misalnya cedera kepala, bedah saraf, abdominal
symptoms and signs, pigmentasi kulit (terkait dengan penyakit Addison), riwayat obat,
dll. Status cairan pasien sangat penting untuk diagnosis dan pengelolaan selanjutnya.
12
30
anorexia, headache, nausea,
vomiting, lethargy
d. Tatalaksana
Tatalaksana hiponatremia harus dipertimbangkan dari kronisitasnya,
keseimbangan cairan pasien, dan potensi etiologinya. Dalam hiponatremia akut
(durasi ≤ 48 jam), pengobatan yang cepat dan koreksi natrium disarankan untuk
mencegah edema serebral. Hal ini berbeda dengan hiponatremia kronis, di mana
koreksi harus lambat untuk mencegah central pontine myelinolysis yang dapat
menyebabkan kerusakan saraf permanen. Target yang harus dicapai untuk
meningkatkan natrium ke tingkat yang aman (≥ 120 mmol / l). Natrium tidak harus
mencapai level normal dalam 48 jam pertama. Central pontine myelinolysis adalah
suatu kondisi dimana terjadi demielinasi fokus di daerah pons dan extrapontine. Hal
ini menyebabkan dampak serius dan ireversibel gejala sisa neurologis yang cenderung
dilihat satu sampai tiga hari setelah natrium telah diperbaiki.12
Pada pasien dengan hiponatremia akut dan gejala sisa neurologis (kejang atau
koma) pengobatan dapat dimulai dengan 3% saline. Tidak ada konsensus universal
untuk penggunaan atau dengan rezim yang harus diberikan: bisa dimulai pada 1-2 ml /
kg / jam dengan pengukuran rutin natrium serum, urin dan status kardiovaskular.
Disarankan agar natrium dikoreksi tidak lebih dari 8 mmol dalam 24 jam. Furosemide
juga dapat digunakan untuk mengeluarkan air yang berlebihan. 20
31
hari. Vasopresin antagonis reseptor adalah kelompok baru obat untuk pengobatan
hiponatremia. Mereka bekerja dengan menghalangi pengikatan ADH (AVP - arginin
vasopressin) di nefron distal, sehingga mempromosikan ekskresi air bebas. Tolvaptan
adalah salah satu obat tersebut dan telah terbukti efektif meningkatkan natrium serum
pada euvolemik atau hypervolaemic hiponatremia kronis. 10
2.3 Hipernatremia
a. Definisi
Hipernatremia didefinisikan sebagai natrium serum lebih besar dari 145
mmol/l dan selalu dikaitkan dengan keadaan hiperosmolar. Ada morbiditas dan
mortalitas yang signifikan terkait dengan hipernatremia yang sulit untuk dihitung
karena hubungannya dengan komorbiditas serius lainnya. Beberapa studi telah
mengutip angka kematian setinggi 75% akibat hipernatremia. 10
32
berisiko pada pasien yang diintubasi, bayi yang hanya meminum susu formula, atau
orang tua dan orang-orang dalam perawatan yang tidak memiliki cairan yang tersedia
bagi mereka atau mereka yang memiliki penurunan reseptor kehausan. 12
c. Manifestasi klinis
Gambaran klinis hipernatremia non spesifik seperti anoreksia, mual, muntah,
kelelahan dan mudah tersinggung. Seperti natrium meningkat akan ada perubahan
dalam fungsi neurologis yang lebih menonjol jika natrium telah meningkat pesat dan
tingkat tinggi. Bayi cenderung menunjukkan takipnea, kelemahan otot, gelisah,
tangisan bernada tinggi, dan kelesuan menyebabkan koma. Diagnosis diferensial
utama untuk gejala-gejala tersebut pada populasi ini adalah sepsis yang bisa
diperparah oleh hipernatremia. 18
d. Tatalaksana
33
kasus kecuali onsets sangat akut. Dalam hipernatremia akut (≤ 48 jam) natrium dapat
diperbaiki dengan cepat tanpa menimbulkan masalah. Namun, jika ada keraguan
untuk tingkat onset, natrium harus diperbaiki perlahan selama setidaknya 48 jam. 18
Dapat diberikan:
DAFTAR PUSTAKA
34
5. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III.
Edisi V. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2009.
6. Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat and Risk of Clinic Type Diabetes.
American Journal of Epidemiology.2003;15(1);150-9.
7. Hawkins M, Rossetti L. Insulin Resistance and Its Role in the Pathogenesis of
Type 2 Diabetes. In : Kahn CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Jacobson AM,
Smith RJ (Eds) Joslin’s Diabetes Mellitus. Lippincott Williams & Wilkin.
Philadelphia. Pg 425-448, 2005
8. Kaye AD, Riopelle JM. Intravascular Fluid and Electrolyte Physiology. In:
Miller RD, editor. Miller’s Anesthesia, 7th ed. Philadelphia: Elsevier Churcilll
Livingstone; 2010.
9. Leahy JL. B-cell Dysfunction in Type 2 Dia betes In: Kahn CR, King GL,
Moses AC, Weir GC, Jacobson AM , Smith RJ (Eds) Joslin’s Diabetes Mellitus.
Lippincott Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg 449-462, 2005
10. Lobo DN, Lewington AJP, Allison SP. Disorders of Sodium, Potassium,
Calcium, Magnesium, and Phosphate. In: Basic Concepts of Fluid and
Electrolyte Therapy. 2013, hal 101-112.
11. Nathan MN, Buse JB, Mayer BD, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R et al.
Medical management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes A consensus
Algorithm for the Initiation and Adjustment of Therapy. A consensus statement
of the American Diabetes Association and the European Association for the
Study of Diabetes. Diabetes Care2008; 31:1-11.
12. Morgan CE, Mikhart MS, Murray MJ. Management of Patients with Fluid and
Electrolyte Disturbances. In: Clinical Anesthesiology, 4th ed. McGraw Hill.
2006.
13. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. 2011. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
Jakarta. 2011.
14. Persi, dkk. Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu
Diabetes.2008.
15. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus.
Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine Mc
35
Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia Edisi
6. Jakarta;2014; hal.1259
16. Soegondo S, dkk. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe
2 di Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
17. Teixeria L. Regular physical exercise training assists in preventing type 2
diabetes development: focus on its antioxidant and anti-inflammantory
properties. Biomed Central Cardiovascular Diabetology. 2011; 10(2);1-15.
18. Yaswir R, Ferawati I. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium, Kalium,
dan Klorida, serta Pemeriksaan Laboratorium. Jurnal Kesehatan Andalas 2012;
1(2) : 80-84.
19. Waspadji S, dkk. Komplikasi kronik diabetes: mekanisme terjadinya, diagnosis
dan strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit
FKUI, 2006.
20. Wang N, Ewen MD. Management of Electrolyte Emergencies in Hospital
Physician Board Review Manual. Turner White. 2006; 8(3) : 1-12.
36