Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

GRAVES DISEASE

Disusun oleh:

dr. Hadi Setiaji

Pembimbing :

dr. Meilisa M. Watania, Sp.PD


dr. Imelda Vivianthy Komangki

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DATOE BINANGKANG

KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW

PROVINSI SULAWESI UTARA

2022
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : dr. Hadi Setiaji

Judul Lapsus : Graves Desease

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka program Internship


Dokter Indonesia Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Bolaang Mongondow, 22 November 2022

Pembimbing Dokter Interenship

dr. Imelda Vivianthy Komangki dr. Hadi Setiaji

1
BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. Z
Nomor RM : 410958
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir/ Umur : 07-04-1971/ 47 thn
Alamat : Mongkoinit Barat
Agama : Kristen
Pendidikan :-
Masuk Rawat Inap : 09 November 2022

II.Anamnesis pada 09 November 2022 di Poli RSUD Datoe Binangkang

Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan utama jantung berdebar-debar

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien masuk dengan keluhan jantung berdebar-debar. Keluhan ini


dirasakan sejak 1 tahun sebelum masuk rumah sakit dan hilang timbul tanpa
dipengaruhi aktivitas. Keluhan ini disertai dengan sesak nafas yang sering
kambuh. Sesak tidak dipengaruhi posisi, dirasakan memberat dengan aktivitas dan
berkurang dengan istirahat. sesak tanpa disertai nyeri dada. Pasien juga
mengeluhkan sering berkeringat walaupun tidak sedang berada dibawah matahari
ataupun saat beristirahat berat. Pasien juga mengalami penurunan berat badan
sedangkan nafsu makan miningkat dan pesien sering merasa lapar. Pasien
mengalami penurunan berat badan dari 70 kg menjadi 55 kg dalam waktu 6 bulan
terakhir. Namun sejak akhir-akhir ini pasien mengalami penuruna nafsu makan
dan makan lebih sedikit. Pasien juga merasa lemas dan sedikit gemetar didaerah
jari kedua tangan. Pasien juga merasakan sangat mudah lelah walaupun hanya
melakukan aktivitas yang sangat sederhana dan ringan. Pasien mengeluhkan mata
melotot yang dirasakan sejak 6 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Dahulu

2
Pasien memiliki riwayat penyakit maag. Riwayat hipertensi, diabetes
mellitus dan asma disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa pada keluarga disangkal.

III.Pemeriksaan Fisik (Tanggal 09 November 2022)


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Tanda vital :
 Tekanan Darah : 140/70 mmHg
 Frekuensi nadi : 120x/menit, reguler, kuat angkat
 Frekuensi napas : 24x/menit, reguler
 Suhu : 36,5° C axilaris dextra
 Saturasi O2 : 98%

Status Generalis :
 Kepala : Normocephal, wajah simetris, deformitas (-)
 Mata : Eksoftalmus (+), Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat
isokor diameter 3mm/3mm, RC +/+, gerakan mata kesegala arah, edem
palpebra -/-
 Hidung : Septum deviasi (-), konka edema (-), mukosa hiperemis (-), sekret
(-/-), warna kekuningan
 Mulut : mukosa bibir kering (-), lidah kotor (-)
 Leher : pembesaran Kelenjar tiroid (+)
 Paru :
- Inspeksi : Pergerakan dada cepat dan simetris, retraksi iga (-)
- Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan normal
- Perkusi : Sonor pada paru kiri dan kanan
- Auskultasi : Suara napas vesikular +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-
 Jantung
- Inspeksi : Ictus kordis tampak pada sela iga V, linea midclavicularis
sinistra

3
- Palpasi : Ictuc kordis teraba pada ICS V, linea midclavicularis sinistra
- Perkusi : Batas jantung kiri ICS V sisi medial MCLS, batas jantung kanan
ICS V PSL dektra
- Auskultasi : S1-S2 normal
- reguler, murmur (-) , gallop (-)
 Abdomen
- Inspeksi : Datar
- Palpasi : Lemas, Nyeri tekan (-), Hepar/lien tak teraba, ballotement -/-
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : Bising usus positif normal
 Ekstremitas atas : Akral hangat, turgor kulit kembali cepat, edema (-/-), CRT <
2 detik
 Genital: dalam batas normal

Status Neurologis
 GCS  E4M6V5
 TRM  Kaku kuduk (-), Laseq > 70/> 70, Kerniq >135/>135, Brudzinski I
dan II (-/-)
 Nervus Kranialis (kesan tidak ada parese)
 Kekuatan Motorik : kesan baik, Sensorik dan Otonom : kesan baik
5 5
5 5
Reflek fisiologis bisep, tricep, achiles, patella ++/++
 Reflek patologis (-/-)

IV.Pemeriksaan Penunjang : Hasil Laboratorium 14/06/2022

Parameter Hasil Nilai Rujukan


Leukosit 6.76 ribu/ul 4-12
Eritrosit 4.94 juta/ul 3.5-5.2
Hemoglobin 15.3 g/Dl 12-16
Hematokrit 47.8% 35-49

4
Trombosit 216 ribu/ul 100-400
GDS 73 mg/dl 70-200
TSH 0,006 mIU/ml 0,0027–0,047
FT4 18,2 ng/dl 0,7–1,55

V.Resume

Pasien masuk dengan keluhan janting berdebar-debar. Keluhan ini


dirasakan sejak 1 tahun sebelum masuk rumah sakit dan hilang timbul tanpa
dipengaruhi aktivitas. Keluhan ini disertai dengan sesak nafas yang sering
kambuh. Sesak tidak dipengaruhi posisi, dirasakan memberat dengan aktivitas
dan berkurang dengan istirahat. sesak tanpa disertai nyeri dada. Pasien juga
mengeluhkan sering berkeringat walaupun tidak sedang berada dibawah
matahari ataupun saat beristirahat berat. Pasien juga mengalami penurunan
berat badan sedangkan nafsu makan miningkat dan pesien sering merasa lapar.
Pasien mengalami penurunan berat badan dari 70 kg menjadi 55 kg dalam
waktu 6 bulan terakhir. Namun sejak akhir-akhir ini pasien mengalami
penuruna nafsu makan dan makan lebih sedikit. Pasien juga merasa lemas dan
sedikit gemetar didaerah jari kedua tangan. Pasien juga merasakan sangat
mudah lelah walaupun hanya melakukan aktivitas yang sangat sederhana dan
ringan. Pasien mengeluhkan mata melotot yang dirasakan sejak 6 bulan yang
lalu. Pasien memiliki riwayat penyakit maag, sedangkan riwayat hipertensi,
diabetes mellitus dan asma disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
takanan darah 140/70 mmhg, nadi 120 x/menit, pernapasan 24x/menit, dan
suhu 36,7 C, mata eksoftalmus, pemeriksaan leher didapatkan pembesaran
kelenjar tiroid. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar TSH 0,006
Uiu/ml, T3 5,56 mg/dl, T4 18,2 mg/dl.

VI.Diagnosis Kerja
 Hipertiroid ec Graves Disease

5
VII.Diagnosis Banding
 Hipertensi Grd 1

VIII.Tatalaksana Awal
 PTU 3 x 100 mg
 Propranolol 3 x 10 mg
 Vit b comp 1 x 1

IX.Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

6
I. PENDAHULUAN

Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi


tiroid, yang merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan. Hipertiroidisme
(Hyperthyrodism) adalah keadaan disebabkan oleh kelenjar tiroid bekerja secara
berlebihan sehingga menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan di dalam darah
(Semiardjie, 2003)
Hipertiroidisme dapat timbul spontan atau akibat asupan hormon tiroid yang
berlebihan. Terdapat dua tipe hipertiroidisme spontan yang paling sering dijumpai
yaitu penyakit Graves dan goiter nodular toksik. Pada penyakit Graves terdapat
dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal, dan keduanya
mungkin tak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar
tiroid, dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Pasien
mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas,
kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu makan yang
meningkat, palpitasi dan takikardi, diare, dan kelemahan serta atropi otot.
Manifestasi ekstratiroidal oftalmopati ditandai dengan mata melotot, fisura
palpebra melebar, kedipan berkurang, lig lag, dan kegagalan konvergensi. Goiter
nodular toksik, lebih sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi
goiter nodular kronik, manifestasinya lebih ringan dari penyakit Graves
(Schteingart, 2006)
Di negara Amerika Serikat, penyakit Graves adalah bentuk yang paling umum
dari hipertiroid. Sekitar 60-80% kasus tirotoksikosis akibat penyakit Graves.
Kejadian tahunan penyakit Graves ditemukan menjadi 0,5 kasus per 1000 orang
selama periode 20-tahun, dengan terjadinya puncak pada orang berusia 20-40
tahun. Gondok multinodular (15-20% dari tirotoksikosis) lebih banyak terjadi di
daerah defisiensi yodium. Kebanyakan orang di Amerika Serikat menerima
yodium cukup, dan kejadian gondok multinodular kurang dari kejadian di wilayah
dunia dengan defisiensi yodium. Adenoma toksik merupakan penyebab 3-5%
kasus tirotoksikosis (Lee, et.al., 2011).
Prevalensi hipertiroid berdasarkan umur dengan angka kejadian lebih kurang
10 per 100.000 wanita dibawah umur 40 tahun dan 19 per 100.000 wanita yang

7
berusia di atas 60 tahun. Prevalensi kasus hipertiroid di Amerika terdapat pada
wanita sebesar (1 ,9%) dan pria (0,9%). Di Eropa ditemukan bahwa prevalensi
hipertiroid adalah berkisar (1-2%). Di negara lnggris kasus hipertiroid terdapat
pada 0.8 per 1000 wanita pertahun (Guyton, 2007 ).
Tujuan dari penulisan untuk mengetahui penyakit hipertiroid yang mencakup
definisi, epidemiologi, etiologi, penegakkan diagnosis, patofisiologi dan
pathogenesis, penatalaksanaan pada kasus hipertiroid sehingga petugas kesehatan
dapat mengenali dan memberi terapi secara tepat.

8
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Menurut American Thyroid Association dan American Association of
Clinical Endocrinologists, hipertiroidisme didefinisikan sebagai kondisi
Berupa peningkatan kadar hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan
oleh kelenjar tiroid melebihi normal. Hipertiroidisme merupakan salah satu
bentuk thyrotoxicosis atau tingginya kadar hormon tiroid, T4, T3 maupun
kombinasi keduanya, di aliran darah.
Hipertiroidisme adalah sindrom yang dihasilkan dari efek metabolic yang
beredar secara berlebihan oleh hormone tiroid T4, T3 atau keduanya.
Subklinis hipertiroidisme mengacu pada kombinasi konsentrasi serum TSH
yang tidak terdeteksi dan konsentrasi serum T3, T4 normal, terlepas dari ada
atau tidak adanya tanda-tanda gejala klinis (Pauline, 2007).

B. Etiologi
Penyebab Hipertiroidisme adalah adanya Imuoglobulin perangsang tiroid
(Penyakit Grave), sekunder akibat kelebihan sekresi hipotalamus atau
hipofisis anterior, hipersekresi tumor tiroid. Penyebab tersering
hipertiroidisme adalah penyakit Grave, suatu penyakit autoimun, yakni tubuh
secara serampangan membentuk thyroid-stymulating immunoglobulin (TSI),
suatu antibodi yang sasarannya adalah reseptor TSH di sel tiroid (Sherwood,
2002).
1. Tiroid :
a. Grave’s disease  80% karena ini
Terjadi pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan
adanya penyakit autoimun lainnya misalnya DM tipe I
b. Adenoma toksik
c. Toksik nodular goiter
d. McCune-Albrigth
e. Tiroiditis sub akut
f. Tiroiditis limfositik kronik

9
2. Hipofisis :
a. Adenoma hipofisis
b. Hipofisis resisten terhadap T4
3. Lain :
a. Eksogen
b. Iodine induced hyperthyroidism
c. hCG

C. Epidemiologi
Graves Disease menyumbang antara 60% sampai 80% dari pasien dengan
hipertiroidisme. Hal ini menyerang 10 kali lebih banyak pada wanita
dibandingkan pria, dengan risiko tertinggi onset antara usia 40 sampai 60
tahun. Prevalensi adalah orang Asia dan Eropa. Adenoma autonom dan racun
multi-nodular gondok lebih sering terjadi di Eropa dan daerah lain di dunia di
mana penduduk cenderung mengalami defisiensi yodium, prevalensi mereka
juga lebih tinggi pada wanita dan pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun
(Pauline, 2007).

D. Patogenesis dan patofisiologi


1. Patogenesis
Proses pengeluaran hormone tiroid yang normal adalah sebagai berikut:
Hipotalamus Hipofisis Tiroid
(menerima
TRH/TIH)

Kurang Lebih Pengeluaran TIH Reseptor TSH/TIH


(tiroid inhibiting merangsang kelenjar tiroid
hormon)

Kadar hormon Sekresi hormone Pengeluaran Pengeluaran


tiroid di tubuh tiroid ke pembuluh hormon hormon

10
darah dan jaringan tiroid tiroid
dihentikan (T3 & T4)

Keterangan:
Panah hitam : umpan balik positif
Panah merah : umpan balik negative

Dari bagan tersebut dapat diketahui bahwa apabila terjadi suatu


peningkatan kadar hormone tiroid didalam tubuh maka akan terjadi
feedback negative menuju hipotalamus. Ketika feedback negative
diterima oleh hipotalamus, maka akan terjadi pengeluaran hormone
inhibiting yang akan menurunkan sekresi/pembuatan hormone tiroid.
Proses ini terjadi ketika tiroid tidak mengalami suatu kelainan, apabila
terjadi suatu kelainan pada tiroid maka proses yang akan terjadi adalah
sebagai berikut (Guyton, 2007).

Hipotalamus Hipofisis Tiroid


(menerima
TRH/TIH)

Lebih Pengeluaran Reseptor TSH/TIH


TIH ditutupi oleh TSI
(Tiroid (Tiroid Stimulating
Inhibiting Imunoglobulin)
Hormone)

Kadar hormon Sekresi hormone Pengeluaran Pengeluaran


tiroid di tubuh tiroid ke pembuluh hormon hormon
darah dan jaringan tiroid tidak tiroid
makin meningkat dihentikan (T3 & T4)

11
Dari bagan diatas dapat dijelaskan bahwa terjadi peningkatan
hormone tiroid. Hal ini disebabkan oleh penutupan reseptor TSH dan
TIH oleh Tiroid Stimulating Inhibitor yang akan merangsang kelenjar
tiroid untuk memproduksi hormone tiroid secara terus menerus. Ketika
produksi hormone tiroid telah dirasa cukup oleh tubuh, maka tubuh akan
memberikan umpan balik negative kepada hipotalamus untuk
mengeluarkan TIH (Tiroid Inhibiting hormone) yang akan menurunkan
produksi hormone tiroid. Dalam kejadian ini, TIH tidak akan
memberikan efek kepada kelenjar tiroid karena reseptornya ditutupi oleh
TSI sehingga kelenjar tiroid akan melanjutkan proses produksi hormone
tiroidnya.
Ketika dilakukan pemeriksaan laboratorium mengenai kadar hormone
tiroid, maka akan didapatkan hasil berupa peningkatan hormone T3 dan
T4 tanpa adanya peningkatan hormone TSH (Guyton, 2007). Kejadian ini
didapatkan pada kasus penderita hipertiroidisme, yang akan
menyebabkan peningkatan kadar metabolism di dalam tubuh dan
peningkatan tmbuh kembang dari penderita tersebut (Robbins, 2007).
2. Patofisiologi
Hipertiroidisme disebabkan oleh antibody reseptor TSH yang
merangsang aktifitas tiroid, sehingga produksi tiroksin (T4) meningkat.
Akibat peningkatan ini ditandai dengan adanya tremor, ketidakstabilan
emosi, palpitasi, meningkatnya nafsu makan, kehilangan berat badan.
Kulit lebih hangat dan berkeringat, rambut halus, detak jantung cepat,
tekanan nadi yang kecil, pembesaran hati, kadang kadang terjadi gagal
jantung. Peningkatan cardiac output dan kerja jantung selama
ketidakstabilan atrial menyebabkan ketidakteraturan irama jantung,
terutama pada pasien dengan penyakit jantung. Ancaman bagi kehidupan
di kombinasi dengan delirium atau koma, temperatur tubuh naik sampai
41o C, detak jantung meningkat, hipotensi, muntah dan diare.

12
Penyakit Graves memiliki gejala-gejala patognomonik sebagai ciri
khas atau tanda khusus. Beberapa gejala patognomonik yang menyertai
penyakit Graves, yaitu:
a. Eksoftalmus
Eksoftalmus disebabkan karena limfosit sitotoksik dan antibodi
sitotoksik yang bersintesis dengan antigen serupa seperti TSH reseptor
yang ditemukan di orbital fibroblast, otot orbital, dan jaringan tyroid.
Sitokin yang berasal dari limfosit yang disintesis menyebabkan
inflamasi di orbital fibroblast dan otot ekstraokular, dan hasilnya
adalah pembengkakan pada otot orbital (Gardner, 2007).

Pada hipertiroidisme imunogenik, eksoftalmus dapat ditambahkan


terjadi akibat peningkatan hormone tiroid, penonjolan mata dengan
diplopia, aliran air mata yang berlebihan, dan peningkatan fotofobia
juga terjadi. Penyebabnya terletak pada reaksi imun terhadap antigen
retrobulbar yang tampaknya sama dengan reseptor TSH. Akibatnya
terjadi pembengkakan otot mata, infiltrasi limfosit, akumulasi asam
mukopolisakarida, dan peningkatan jaringan ikat retrobulbar
(Silbernagl, et al., 2006).
Pengamatan eksoftalmus dapat dimilai menggunakan suatu
metode yang dinamakan NO SPECS:
0 = No signs or symptom
1 = Only signs (lid retraction or lag)
2 = Soft tissue involvement (periorbital edema)
3 = Proptosis (>22 mm)
4 = Extraocular muscle involvement (diplopia)

13
5 = Corneal involvement
6 = Sight loss
Namun, metode NO SPECS tidak bisa menilai mata secara
keseluruhan, dan kadang-kadang kronologi gangguan pada mata
pasien tidak berurutan seperti yang tertera di daftar NO SPECS untuk
menilai derajat keparahan yang diderita pasien tersebut. Sehingga
ditakutkan hasilnya jadi kurang valid.
1) Untuk menilai proptosis bisa dilakukan dengan cara visualisasi
antara iris bagian bawah dengan palpebra bagian bawah. Untuk
Graves Disease biasanya iris pasien bisa terlihat di bagian bawah
palpebra, padahal normalnya tidak.
2) Untuk menilai proptosis juga bisa menggunakan alat
exopthalmometer (Harrison, 2005).
b. Tremor
Berbeda dengan tremor yang biasa tejadi pada penyakit Parkinson,
tremor pada penyakit Graves merupakan tremor lembut, bukan tremor
kasar. Tremor halus terjadi dengan frekuensi 10-15 x/detik, dan
dianggap sebagai efek dari bertambahnya kepekaan sinaps saraf
pengatur tonus otot di daerah medulla (Guyton, 2007). Gejala lain
yang mengiringi penyakit Graves, diantaranya:
1) Nafsu makan meningkat, tetapi berat badan turun
Tingginya kadar hormon tiroid menyebabkan terjadinya
peningkatan metabolisme pada tubuh. Sehingga, tubuh memerlukan
asupan makanan yang lebih banyak untuk megimbanginya.
2) Berat badan turun
Peningkatan metabolisme yang terjadi karena banyaknya hormon
tiroid membuat tbuh menggunakan senyawa-senyawa glukagonik
yang ada di dalam otot untuk membentuk glukosa melalui proses
glukoneogenesis. Karena diambil dari otot, maka pemakaian
senyawa glukogenik secara terus-menerus dapat mengurangi massa
otot sehingga berat badan pun bisa mengalami penurunan (Guyton,
2007).

14
3) Berdebar-debar
Peningkatan kadar triiodotironin (T3) sebagai salah satu hormon
tiroid dapat merangsang saraf simpatis yang berkaitan dengan
hormon-hormon yang dibentuk medulla suprarenal, yaitu
epinephrin dan norepinephrin. Kedua hormon tersebut dapat
meningkatkan frekuensi denyut jantung dengan cara menstimulasi
α dan β reseptor, terutama β reseptor yang berada di membran
plasma otot jantung (Guyton, 2007).
4) Peningkatan frekuensi buang air besar dengan konsistensi normal
Hormon tiroid berperan dalam meningkatkan kecepatan sekresi
getah pencernaan dan pergerakan saluran cerna, sehingga
hipertiroidisme seringkali menyebabkan diare (Guyton, 2007).

15
Sekresi hormon tiroid

hipertiroidisme

hipermetabolisme

Penguraian glikogen - Kontraksi usus masa protein otot rangka


glukosa

Degradasi KH, protein Sering defekasi Sering lelah


dan lemak

Kebutuhan metabolisme BB

Nafsu makan

Bagan patofisiologi berat badan menurun, nafsu makan meningkat, sering


defekasi, sering lelah pada hipertiroidisme

16
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan
bereaksi dengan antigen diatas dan
bila terangsang oleh pengaruh sitokin
(seperti interferon gamma

Mengekspresikan molekul-molekul
permukaan sel kelas II (MHC kelas II,
seperti DR4) untuk mempresentasikan
antigen pada limfosit T

Sitokin yang terbentuk dari limfosit


akan menyebabkan inflamasi
fibroblast dan miositis orbit

Menyebabkan pembengkakan otot-


otot bola mata, proptosis dan diplopia

Bagan patofisiologi diplopia dan eksoftalmus pada hipertiroidisme

17
T3&T4 meningkat

Fungsi hormon tiroid


memodulasi system saraf

Kepekaan sinaps saraf pada daerah


medulla (mengatur tonus otot)

Kepekaan saraf

Rangsangan berlebih

tremor

Bagan patofisiologi tremor pada hipertiroidisme

E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pada hipertiroid dapat ditemukan dua kelompok gambaran utama,
yaitu tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya dapat juga tidak tampak.
Tiroidal dapat berupa goiter karena hiperplasia kelenjar tiroid dan
hipertiroidisme akhibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala
hipertiroidisme dapat berupa hipermetabolisme dan aktivitas simpatis
yang meningkat seperti pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan
panas, keringat berlebih, berat badan menurun sementara nafsu makan

18
meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan atau atrofi otot.
Manifestasi ekstratiroidal dapat ditemukan seperti oftalmopati dan
infiltrasi kulit lokal yang terbatas pada tungkai bawah biasanya (Amory,
2011).
Pada anamnesis riwayat keluarga dan penyakit turunan, pada
hipertiroid perlu juga mengonfirmasi apakah ada riwayat keluarga yang
memiliki penyakit yang sama atau memiliki penyakit yang berhubungan
dengan autoimun (Amory, 2011).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat jelas manifestasi ekstratiroidal
yang berupa oftalmopati yang ditemukan pada 50-80% pasien yang
ditandai dengan mata melotot, fissura paplebra melebar, kedipan
berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan
mata) dan kegagalan konvergensi. Pada manifestasi tiroidal dapat
ditemukan goiter difus, eksoftalmus, palpitasi, suhu badan meningkat, dan
tremor (Amory, 2011).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakkan diagnosis
adalah pemeriksaan kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau FT41 (free
thyroxine index), pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi anti
tiroglobulin dan antimikrosom, penguruan kadar TSH serum, test
penampungan yodium radiokatif (radioactive iodine uptake) dan
pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid scanning) (Amory, 2011).
4. Gold Standard Diagnosis
Gold standard yang digunakan dalam klinis adalah serum TSH dan
FT4 (Amory, 2011).

F. Penatalaksanaan
1. Farmakologis
Hipertiroid dapat diberikan obat antitiroid golongan tionamid.
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil yang dipasarkan
dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol yang dipasarkan dengan

19
nama metimazol dan karbimazol. Mekanisme kerja obat antitiroid bekerja
dengan dua efek, yaitu efek intra dan ekstratiroid. Berikut merupakan
mekanisme masing-masing efek (Palacios, 2012).
a. Mekanisme aksi intratiroid adalah menghambat oksidasi dan
organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosis, mengubah
struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin
sehingga mencegah atau mengurangi biosintesis hormon tiroid T3 dan
T4.
b. Mekanisme aksi ekstratiroid adalah menghambat konversi T4 menjadi
T3 di jaringan perifer. Obat yang bekerja dengan mekanisme aksi
ekstratiroid adalah propiltiourasil (PTU).
Dosis PTU dimulai degan 3x100-200 mg/hari dan
metimazol/tiamazol 20-40 mg/hari dengan dosis terbagi untuk 3-6
minggu pertama. Setelah itu dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai
respon klinis dan biokimia. Jika ditemukan dosis awal belum
memberikan perbaikan klinis, dosis dapat dinaikan bertahap hingga dosis
maksimal, sementara jika dosis awal sudah memberi perbaikan klinis
maupun biokimia, dosis diturunkan hingga dosis terkecil PTU 50 mg/hari
dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat
mempertahankan keadaan eutiroid dan kadar T4 bebas dalam batas
normal. Pemilihan PTU dan metimazol dapat disesuaikan dengan kondisi
klinis karena berdasarkan kemampuan menghambat penurunan segera
hormon tiroid di perifer, PTU lebih direkomendasikan (Palacios, 2012).
2. Nonfarmakologis
Pada terapi nonfarmakologi, penderita hipertiroid dapat diedukasi
untuk diet tinggi kalori dengan memberikan kalori 2600-3000 kalori per
hari baik dari makanan main dari suplemen, konsumsi protein tinggi 100-
125 gr (2,5 gr/kg BB) per hari untuk mengatasi proses pemecahan protein
jaringan seperti susu dan telur, olah raga teratur, serta mengurangi rokok,
alkohol, dan kafein yang dapat meningkatkan kadar metabolisme
(Palacios, 2012).

20
III. KESIMPULAN

1. Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi


tiroid, yang merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan.
Hipertiroidisme (Hyperthyrodism) adalah keadaan disebabkan oleh kelenjar
tiroid bekerja secara berlebihan sehingga menghasilkan hormon tiroid yang
berlebihan di dalam darah
2. Penyebab paling sering adalah grave’s disease
3. Manifestasi klinis dari hipertiroid adalah jantung berdebar, rasa lelah, tremor,
gelisah, nafsu makan meningkat namun BB menurun, eksoftalmus.
4. Penegakan diagnosis hipertiroid dapat menggunakan pemeriksaan
laboratorium kadar FT4 dan TSH
5. Tata laksana farmakologis yang digunakan adalah PTU dan tiamazol. Tata
laksana nonfarmakologis yang dilakukan adalah diet tinggi kalori dan protein.

21
DAFTAR PUSTAKA

Amory, JK., Irl BH. 2011. Hyperthyroidism from Autoimmune Thyroiditis in a


Man with Type 1 Diabetes Mellitus: a Case Report. Journal of Medical
Case Reports 2011, 5:277
Gardner, David G, Dolores Shoback. 2007. Basic and Clinical Endocrinology.
Jakarta: Sagung Seto.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC

Harrison, Tinsley R. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th


Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies.
Lee, S.L., Ananthankrisnan, S., Ziel, S.H., Talavera, S., Griffing, G.T., 2011.
Hyperthyroidism. http://emedicine.medscape.com (Diakses tanggal 3
November 2014)
Palacios, SS. Eider, PC. Juan, CG. 2012. Management of Subclinical
Hyperthyroidism. International Journal of Endocrinology and
Metabolism April 2012; 10(2): 490-496
Pauline, M. Chamacho., Hossein, Gharib., Glen, W. Sizemore. 2007. Evidence-
Based Endocrinology.
Schteingart, D.E. 2006. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam Huriawati H., Natalia
S., Pita W., Dewi A.M (Editors). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Dalam. Penerbit Buku Kedokteran: EGC. Hal: 1225-36
Sherwood, L. 2002. Human Physiology: From Cells to Systems. Penerbit buku
kedokteran: EGC
Silbernagl, Stefan, Florian Lang. 2006. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta:EGC



22








 -

 N








23


 -

 

24

Anda mungkin juga menyukai